TetehnyaaJisung

Saya, merelakanmu.

⚠ perlu diingat, genre ceritanya adalah marriage life.

Doyoung menyipitkan matanya saat mendapati satu pria yang sepertinya ia kenali menghadang mobilnya di tengah jalan yang sepi. Jalan pemuda, Jakarta. Dia mengerinyit kebingungan, “nggak mungkin saya dibegal, kan?” lalu tertawa kecil.

“Keluar.” pinta si sosok pria berkaus putih sembari mengetuk kaca pintu mobil Doyoung.

Si pengemudi keluar dari mobil tanpa mematikan mesinnya. Ia sedikit membulat saat melihat dengan jelas siapa pria yang menghadang jalannya. Di tangan pria itu sudah ada satu botol minuman keras yang langsung membuat Doyoung buru-buru menutup hidungnya. Ia melihat arloji di pergelangan kirinya. “Bodoh. Baru pukul sepuluh udah mabuk di tengah jalan.”

“Doyoung,” pria itu menyipitkan matanya lalu bersandar di kap mobil fortuner putih milik Doyoung. “mau minum?”

“Gila.” Doyoung memutar bolamatanya malas. Ia menghela napasnya, “minggir, saya mau balik.”

Tangan Jaehyun terangkat untuk kembali menutup pintu mobil yang baru saja dibuka oleh Doyoung. “Temenin gue. Gue.. Butuh cerita...”

“Kamu mabuk, besok aja ceritanya. Mending kamu balik ke rumah, saya nggak bisa mengurus orang mabuk.” balasnya acuh, lalu kembali hendak membuka pintu mobilnya.

Jaehyun mengangkat sebelah bibirnya, “lo balik gue ke kelab.”

“Saya nggak peduli.” Memang, Doyoung terkesan acuh. Padahal dalam hatinya ia berharap kalau Jaehyun tidak benar-benar akan pergi ke kelab malam ini. Karena Doyoungpun tidak mau kalau pria itu mengulangi kesalahan yang sama seperti lima tahun lalu.

Jaehyun mengangguk, “oke.” lalu hendak berjalan menjauh.

Tapi lima detik berikutnya ia tertawa saat Doyoung menepuk pundaknya sambil mengatakan, “mau cerita di mana?”

Doyoung mengikuti langkah Jaehyun sambil sesekali mengeluh malas karena jalan yang mereka pijaki hanya muat untuk satu orang saja. Jaehyun berjalan lebih dulu, disusul Doyoung di belakangnya. Sempit dan banyak nyamuk membuat Doyoung berkali-kali menggaruk pipinya yang gatal.

“Duduk!” perintah Jaehyun saat mereka sampai di rumah makan kecil di ujung gang yang memang tidak terlihat.

Mata Doyoung menelisik sekitar, “kamu tau dari mana tempat ini?”

Pria yang sudah mabuk itu— Jaehyun, hanya tertawa kecil lalu menuang minuman keras dan menyodorkannya ke Doyoung. Lalu ia mengambil pemantik api dari saku kemeja putihnya, menyalakan rokok lalu menghisapnya dalam.

Doyoung paling tidak suka di sini. Banyak pemabuk dan perokok.

“Buruan, kamu mau cerita apa? Saya harus pulang.” Ia mengambil ponsel dari dalam saku bajunya lalu menyambungkan panggilan ke nomor sang isteri lalu meletakkan ponselnya di dalam saku kemejanya tanpa memutus panggilan.

“Do...” Jaehyun menegakkan posisinya, lalu kembali menghisap satu batang rokok di jemari. “Gue juga nggak tau kenapa gue bisa setergantung ini sama Ayla. Kenapa rasanya lima tahun nggak cukup buat gue ngelupain dua puluh tahun yang pernah kita jalanin sama-sama.”

Doyoung masih diam pada posisinya, berharap di seberang sana Ayla juga mendengarkan kalimat Jaehyun barusan.

“Gue yang nyelamatin dia dari om-om yang hampir aja macem-macem sama dia. Dia rapuh, Do. Dia harus dilindungi. Karena mentalnya nggak sekuat yang kita kira...” Jaehyun meniup asap rokoknya lalu tertawa kecil, meneguk segelas minuman keras yang baru saja ia tuang dari botol untuk dirinya sendiri.

Doyoung masih setia diam, tidak ada sama sekali keinginan untuk memotong kalimat Jaehyun.

“Jangan sekali-kali pernah punya pikiran buat bilang dia adalah wanita kotor, Do. Karena dia bersih dan murni. Ayla itu apa adanya yang sederhana, Do. Dia hampir sempurna, dan lo beruntung...” Jaehyun kembali meneguk segelas minuman di tangan kirinya padahal ia sudah mabuk berat.

Doyoung menyadari, begitu banyak hal yang telah dilalui Ayla dan Jaehyun bersama-sama. Dua puluh tahun sampai akhirnya semesta memisahkan mereka dengan alasan yang tidak begitu jelas namun masuk pada akal. Kesalahpahaman yang sama-sama tidak dimengerti.

Hanya karena Ayla membiayai hidupnya dan keluarga, ia jadi dibenci oleh Mamanya Jaehyun. Padahal, wanita itu sudah banyak mengorbankan dirinya sendiri untuk Jaehyun. Entah mimpinya yang tidak tercapai. Putus kuliah di semester tiga karena mengandung putera dari Jaehyun adalah satu-satunya hal yang tidak pernah Ayla sesali.

Jaehyun tertawa, “kali ini... gue relain Ayla buat lo, Do. Jangan pernah sakiti dia kaya gue, Do. Jaga kepercayaanya karena dia udah banyak berkorban selama dua tahun ini buat lo.”

Tangan Doyoung meraih ponsel di dalam saku, lalu menempelkan benda pipih itu di telinga kiri. “Sudah dengar? Jalan pemuda, di belakang rumah putih. Jemput aku sama Jaemin ke sini, Bun.” Lalu mematikan panggilannya secara sepihak.

Doyoung menatap Jaehyun lamat, tangannya tergerak untuk mengambil sebotol minuman keras di depannya yang membuat Jaehyun terkekeh di tempatnya.

“Sembilanbelas tahun, Jae...” Doyoung menarik napasnya, merasakan pening luar biasa di bagian kepala karena ia langsung meneguk minuman itu dari botolnya.

“Sembilanbelas tahun gue berjuang buat Ayla. Berusaha baik-baik aja padahal gue nggak... Gue mundur karena lo selalu ada. Sayang. Mungkin gue jauh lebih sayang sama Ayla ketimbang lo, karena akhirnya semesta biarin Ayla bersama gue..”

Jaehyun meremat jemarinya di bawah meja. Merasakan sakit yang mendalam di bagian hatinya. Ia merelakan, tapi masih ada sedikit luka yang sepertinya harus diobati.

“Jangan bodoh, Jaehyun. Ada orang yang lagi berjuang mati-matian buat lo dan itu adalah Stef. Orang yang berjuang buat lo adalah orang yang dititipkan semesta buat lo...” Doyoung memarik napasnya, menelungkupkan wajahnya pada meja bundar itu.

Tiga puluh menit setelahnya, Ayla juga Jaemin menatap satu mobil fortuner putih yang ia sangat yakin adalah milik Doyoung terparkir hampir di tengah jalan. Mesin mobilnya bahkan belum mati, untung saja tidak ada orang yang mengambil mobil yang pajaknya baru saja dibayar seminggu lalu itu.

“Ini mobil Om Papa kan, Bun?” tanya Jaemin yang langsung menghentikan mobilnya sendiri di sisi jalan.

Ayla mengangguk lalu turun dari mobil, berjalan ke arah mobil Doyoung dan memeriksa bagian dalamnya. Kosong. Tidak ada siapapun dan membuat Ayla langsung mematikan mesin juga mencabut kuncinya.

“Di belakang rumah putih...”

Kalimat Ayla langsung membuat Jaemin mengalihkan pandangan pada satu-satunya rumah bercat putih di dekat posisinya. Ia menyipitkan matanya saay mendapati gang kecil di sana. “Bun, itu..”

Ayla mengangguk, berjalan mendahului Jaemin yang juga sedang memerhatikan sekitar yang sepi. “Do!”

Mata Ayla mendapati Doyoung yang sedang menatapnya sambil mengangkat sudut bibirnya sebelah kiri. Kakinya melangkah mendekat ke arah Doyoung yang sedang menyandarkan tubuhnya di kursi. “Sini, duduk dulu...”

Tangan Ayla terangkat di udara, “kamu mabuk?” netra pekatnya beralih ke arah Jaehyun yang di sampingnya sudah ada Jaemin. “Na, kamu ajak pulang Dadah naik mobil kamu, ya? Biar bunda sam Papa naik mobil yang dibawa Papa.”

Jaemin mengangguk, dan langsung membantu Jaehyun yang sudah mabuk berat untuk berdiri. Anak laki-laki itu mengeluarkan tujuh lembar uang berwarna biru dari dompet hitamnya lalu diletakkan di atas meja.

Aylapun sama, membantu Doyoung untuk tetap berjalan stabil sampai di depan mobil putihnya. “Nyusahin aja.”

“Bun, hati-hati. Udah lama nggak nyetir sendiri, kan?” Jaemin berusaha menopang tubuh Jaehyun untuk ia bawa ke dalam mobilnya.

Ayla mengangguk, “kamu juga hati-hati. Nanti kalau sudah sampai langsung hubungi Bunda, ya?”

Anak laki-laki itu mengacungkan jempolnya, lalu mengitari mobil untuk duduk di kursi kemudi. Begitu pula dengan Ayla— bedanya ia bersandar sebentar di kursi, mengatur napasnya yang berantakan karena tubuh Doyoung ternyata seberat itu.

“Bun,” rintih pria yang sudah memejamkan matanya di samping Ayla.

Wanita itu menarik napasnya, “jangan gaya-gayaan mabuk kalau nggak bi—” ia menghentikan kalimatnya saat Doyoung dengan tiba-tiba menarik tubuhnya untuk mendekat, menyatukan bibirnya dengan milik sang isteri. Melumatnya perlahan sambil memejamkan matanya.

“Sembarangan banget! Nggak tau tempat!” Ayla mendorong tubuh itu sekuat tenaga lalu kembali duduk di posisinya, menjalankan mobil perlahan sambil mengatur detak jantungnya yang berdetak begitu cepat.

Tenang.

Doyoung menghentikan mobilnya tepat di depan rumah. Ia menghela napasnya di tempat, sedangkan anak laki-laki yang berhasil ia ajak pulang tengah berusaha membuka pintu mobil yang sebenarnya dikunci oleh Doyoung. Sengaja.

“Buka.” Jaemin berucap dengan suara juga wajah yang datar.

Doyoung menahan pergelangan tangan Jaemin dengan matanya yang tertutup, tubuhnya ia sandarkan pada jok kemudi. Ia menarik napasnya, seolah menghilangkan beban yang selama ini ia bawa ke sana kemari. Kedua kelopak itu terbuka saat menyadari kalau Jaemin sama sekali tidak bergerak. Hanya terdengar deruan napas yang tertahan dari sampingnya.

“Om Papa mau ngomong, Jaemin...” katanya sambil.membenarkan posisinya menjadi seperti semula. Ia membenahi pakaiannya sesaat, lalu menatap mata Jaemin yang sekarang justru membuang pandangannya.

Anak laki-laki itu tertawa kecil, “apa?”

Doyoung memang sengaja menunda obrolannya dengan Jaemin saat mereka sudah sampai di rumah karena kalau di jalan tadi, ia takut kalau benar-benar tidak bisa menahan emosinya dan berakhir kecelakaan. Tidak. Ia tidak mau. Berbincang di dalam mobil dan di halaman rumah adalah waktu yang tepat— menurut Doyoung.

Karena mau bagaimanapun, ia memang harus membicarakan semuanya dengan Jaemin.

“Buruan. Jaemin ngantuk. Besok ada kelas pagi.” Bohong. Jaemin bohong. Besok bahkan ia tidak lagi ada kelas. Dengan gerakan perlahan, ia menyandarkan tubuhnya pada kursi.

Doyoung juga bingung. Harus ia mulai dari mana perbincangan ini? Meminta maaf? Tidak. Jaemin tidak mungkin memaafkannya begitu saja— mengingat pembahasan di ruang chat tadi.

Atau,

menjelaskan semuanya? Tentang rencana jahat Aksara juga Rea terhadap Ayla?

Doyoung rasa opsi kedua adalah pilihan yang tepat.

“Jadi nggak, sih? Diem aja kaya orang cepirit.” Katanya ketus.

Nyaris aja Doyoung tertawa kalau tidak mengingat begitu banyak kesalahannya kepada si puteranya. “Om Papa ngelakuin ini ada alasannya, Jaemin.”

“Apa? Karena Dokter Rea lebih cantik dari Bunda? Karena Dokter Rea lebih menjaga kebersihan dari Bunda? Atau paling parah, apa Dokter Rea lagi mengandung anak Om Papa?” Jaemin tertawa sarkas setelahnya. Pertanyaan terakhir agak mencubit hatinya— mengingat alasan kenapa Bunda dan Ayahnya bercerai dulu.

Sial. Kesal-kesal begini tetap saja Jaemin tidak mengharapkan perceraian merenggut kehidupan Bundanya lagi. Memang, terkadang ada aja yang membuat Jaemin meminta Bunda untuk tinggal bersamanya, berdua, pergi jauh dari orang-orang yang membuat masalah.

Tapi tetap, Jaemin tidak sepengecut itu. Masalah untuk dihadapi, bukan untuk dihindari.

“Bukan. Bukan semua, Jaemin. Tapi Om Papa cuma... cuma mau jaga Bunda dari kejauhan.” Doyoung mengatur napasnya yang memburu. Meredam segala emosi yang bergejolak di dalam dada. Bukan. Doyoung bukan lagi emosi pada Jaemin, tapi pada dirinya sendiri.

“Klasik.” Jaemin beranjak, membuka kunci yang sebenarnya ada di samping Doyoung. Saat menekan tombol kunci yang tentu saja melewati Doyoung, ia bahkan tidak mau menatap wajah Ayah tirinya itu. “Jaga Bunda ya kembali— bukan memilih yang lain. Menikah itu sakral, Om. Jadi tolong hargai wanita yang Om Papa pinang.”

Doyoung menghantamkan kepalanya di atas stir mobil cukup kuat setelah Jaemin memilih keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah dengan kuncinya sendiri. Tidak lupa, anak laki-laki itu juga menutup pintunya dengan sedikit dibanting.

“Bunda!” Samar namun dapat di dengar oleh Doyoung. Itu teriakan Jaemin yang berasal dari kamar Doyoung juga Ayla yang kebetulan jendelanya terbuka sedikit di atas sana.

Tanpa menunggu lagi, Doyoung berlari masuk ke dalam rumah. Jantungnya berdetak kencang saat mendapati Ayla di pojok ruangan dan menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan tangan. Piyama cokelatnya sudah dipenuhi oleh darah yang berasal dari lengan kiri wanita itu.

“Ay, Ayla..” Doyoung menyingkirkan cutter di samping wanita itu. Lalu beralih membawa daksanya dalam dekap. “Jaemin, tolong ambilin kotak P3K.”

Anak laki-laki itu menurut, berjalan tergesa ke ruang tengah di mana Papanya menyimpan segala kebutuhan kesehatan untuk keluarga.

“Aku takut...” rintihnya dalam dekapan Doyoung. Ia menyembunyikan wajahnya makin dalam di dada bidang sang suami seolah ada beberapa binatang buas yang akan memangsanya. “Aku takut...”

“Aku di sini. Aku di sini. Jangan takut. Ada aku, Ayla.” Doyoung mengelus surai pekat itu lalu diciumnya beberapa kali.

Wanita itu melingkarkan tangannya di pinggang sang suami. Meminta perlindungan lebih seolah-olah binatang buas yang berjalan tadi makin mendekat. Ia juga terdengar menahan jeritannya beberapa kali. “Ibu... Ayla ikut Ibu...”

Doyoung tidak tau kenapa Ayla bisa seperti ini, bahkan ia tidak meninggalkan wanita itu sendirian barang satu jam. Dan ya, dari kejadian itu Doyoung kembali berpikir, “ditinggal nggak sampai satu jam aja sebegini ketakutannya. Apalagi dua tahun? Jadi ini sebabnya Jaemin marah banget sama saya, ya?”

“Om Papa, ini!” Jaemin menyodorkan kotak putih itu ke hadapan Doyoung yang langsung diterima.

Tangannya bergerak dengan lembut saat membersihkan luka-luka itu. Dan itu membuat Jaemin merasa lebih aman ketika Bundanya bersama sang Papa. Karena selama bersama Dokter Ten atau Jaehyun, Ayla tidak pernah langsung setenang ini.

Setahun lalu, setelah melukai dirinya sendiri, Ayla pernah membanting laptop miliknya sendiri karena saking ketakutannya. Padahal di sana ada Dokter Ten juga Jaehyun. Tapi bersama Doyoung? Dipeluk saja wanita itu sudah merasa agak baikan.

“Ketenangan Bunda emang cuma ada di Om Papa, ya?” tanya Jaemin tiba-tiba yang membuat Doyoung tersenyum tipis.

Jakarta Kota, 30 April.

Matanya memerhatikan selembar kertas di tangan— kertas yang selama ini ia perjuangkan mati-matian di depan Papanya. Tanpa disadari, kedua sudut bibir gadis itu terangkat hampir sempurna.

Beberapa tahun lalu, tepatnya Desember. Kedua orangtuanya menyerah dan pada berakhir pisah. Ekonomilah yang menjadi alasan utamanya. Miris. Tapi itu benar-benar terjadi.

Semua berkas dibawa oleh sang Papa ke rumah orangtuanya di Surabaya. Seminggu lalu ia sampai di sana— Surabaya, hanya untuk mengambil akta kelahiran yang akan ia gunakan sebagai identitas yang tentu saja selain Kartu Tanda Penduduk.

“Aws, Shit!” Kata kasar itu lolos begitu saja saat seorang pria dengan ransel hitam besarnya menabrak tubuh si gadis cukup keras. “Gila kali itu orang, ya?”

Masih dengan posisi duduk di atas lantai. Ia membenahi dirinya sendiri juga kertas di depan yang sepertinya bukan hanya miliknya. Dan ternuata bukan hanya ia yang jatuh, tapi pria yang menabrak juga.

“Maaf, mbak. Saya buru-buru, mau ke minimarket, lagi kepedesan soalnya.” katanya yang lalu berdiri.

Si gadis berdecak tidak peduli dan memilih kembali membenahi dirinya sendiri. Jatuh di keramaian itu bukan tentang rasa sakitnya, tapi rasa malunya. Mata si gadis menyapu sekitar, ramai. Dan setelahnya ia menghela napas malas. “Lain kali hati-hati. Kalau bukan saya yang ditabrak pasti udah marah-marah, Mas.”

Ia mengangguk, “iya, Mbak. Saya duluan, ya.” Selanjutnya melenggang pergi, masuk ke dalam minimarket di samping pintu keluar.

Sudah setengah jam gadis itu di sini, menunggu ketidakpastian yang tidak kunjung datang. Adiknya, daritadi tidak juga menunjukkan batang hidung. Terakhir ia meminta untuk bertemu di peron sembilan. Ia kembali membuka ponsel, membaca kembali pesan dari adiknya yang dikirim duapuluh menit yang lalu. Helaan napas terdengar setelahnya.

“Sekala Pelangi Bening?”

Gadis itu menoleh cepat saat seorang pria di depan minimarket meneriaki namanya. Kepalanya menolek ke sana kemari seperti sedang mencari seseorang. Tidak tau apa yang membuatnya langsung melihat kertas di tangan, kemudian ia membola saat membaca tulisan,

Investasi Saham Milik Samudera Adinata.

“LAH KETUKER?!” Ia histeris sendiri. Untuk kedua kalinya ia menjadi pusat perhatian hari ini karena satu orang yang sama. Si pria aneh dengan ransel besar yang menabraknya di tengah hari begini. Sial.

Tidak peduli dengan adiknya yang mungkin akan mencari di peron sembilan, ia berlari ke minimarket untuk menemui pria yang kemungkinan besar memiliki nama Samudera.

“Mbak Sekala?” tanyanya sembari tersenyum sampai satu lubang di pipinya tercetak dengan sempurna.

Si gadis tidak menjawab, ia hanya mengangguk sambil menyodorkan selembar kertas putih di tangan. “Ketuker, nih. Aku nggak pernah investasi atau apalah itu.”

Dia terkekeh, “iya. Ini juga bukan akta kelahiran saya. Nama saya bukan Sekala tapi Samudera— barang kali mau berkenalan.”

Si pemilik nama Sekala Pelangi Bening itu mengangguk. “Pelangi aja, jangan Sekala apalagi Mbak. Agak aneh.” katanya. Ia mengambil Akta Kelahiran miliknya di tangan Samudera. “Thank's ya. Untung kamu nggak buang Akta Kelahiranku. Kalau itu terjadi kayanya aku bisa gila.”

Tidak ada yang lucu, tapi si pria tertawa— bahkan matanya hampir menyerupai sabit yang sempurna. “Apalagi saya. Kalau misalnya kamu buang surat itu, bisa nggak makan selama dua tahun.”

Getaran ponsel Pelangi menghentikan tawa Samudera. Lalu dia mengangguk saat Pelangi menatapnya seolah meminta izin untuk membalas pesan.

Nama si adik tertera di sana.

[ Nanti sorean aja lo ke rumah, Mbak. Gue ada kelas dadakan. ]

Walaupun agak malas, ia tetap membalas pesan lalu kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana setelahnya. “Yaudah. Aku duluan ya, Mas.”

Langkahnya baru tiga, tapi sudah bertenti lagi kala si pria bertanya, “Pelangi, mau makan bakso di depan Kota Tua?”

Sepotong lautan di duaribu senja.

Untukmu; rumah yang tidak mau dijadikan tempat berpulang.

Maaf kalau aku lancang karena telah meletakkan rasa pada seseorang yang seharusnya tidak terlibat dalam perasaanku yang rumit. Tapi aku sama sepertimu. Aku juga tidak tau di mana Semesta meletakkan pelabuhan hatiku.

Ini membingungkan, tapi kamu lebih. Salah, rasa ini tidak seharusnya ada. Dan aku cukup menyadari, kalau selama ini peranku hanya menjadi bayang-bayang. Kamu tau apa rasanya?

Rasanya seperti kamu bermain lego dan akan menysunnya menjadi sebuah truk pembawa pasir. Tapi saat kamu hampir saja selesai dalam menyusun, tiba-tiba ada blok yang hilang. Kosong juga kurang menyenangkan.

Katamu, “ikuti kata hatimu.”

Dan kata sebuah buku yang aku lupa siapa penulisnya, “lalu kalau hatiku sudah hancur berkeping-keping, bagian mana yang harus aku ikuti?”

Tepatnya,

kita adalah dua yang tidak akan mungkin menjadi satu.

Atau seperti ini,

aku dan kamu tidak akan pernah menjadi KITA.

Tapi, biar aku menuliskan 'Kita' dalam halaman kali ini.

Boleh kusebut namamu?

Samudera, terimakasih banyak telah mengajakku berpetualang mengelilingi duniamu. Tenggelam di lautan hatimu yang sebenarnya masih memiliki pertanyaan. Kita sama sama tau kalau hanya aku yang memiliki perasaan, tapi kenapa kamu bertingkah seolah kamu tidak mengetahui segalanya?

Mungkin memang begini jalan ceritanya. Sesederhana aku mencintai kamu, dan kamu mencintai dia yang lain. Sederhana tapi cukup menyakitkan. Terlebih saat harus memutuskan kalau aku harus berhenti di sini dan kita sama-sama meninggalkan.

Kamu meninggalkan luka, sedangkan aku meninggalkan rasa.

Sesal bukan untuk dipilih, sebab hidupku harus tetap berjalan— dengan atau tanpa adanya kamu.

Lewat sini aku mengucapkan selamat tinggal. Untukmu yang pernah menjadi apa-apa walau kita belum sempat bersama.

— Ditulis oleh aku, Sekala Pelangi Bening. Ahad, pukul 03.15 pagi sambil menyesap kopi hitam penuh kepulan asap kesukaanku.

Kecewa adalah hal wajar.

Kecewa itu wajar, apalagi seseorang sudah melakukan hal yang tidak kamu inginkan.

Ayla meletakkan ponselnya di atas meja. Matanya menatap Doyoung yang sedang fokus dengan layar ponselnya sendu. Ia tau, tau banget. Kalau kesalahan Doyoung mungkin sudah tidak lagi bisa ditoleransi— terutama oleh Jaemin. Wanita itu tau bagaimana perjuangan Jaemin dalam menghadapinya selama dua tahun. Tidak sekali ataupun dua kali Ayla melihat Jaemin ikut menangis kala ia merindukan sosok Doyoung.

“Nggak apa-apa, Bun.” Doyoung juga meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menyesap kopi hangatnya sedikit, “kecewa itu wajar.”

Ayla ikut menyesap kopinya, ia menatap sekitar cafe yang sudah lumayan dipenuhi oleh anak muda. Biasanya menjelang malam anak-anak muda akan mendatangu cafe itu hanya untuk sekedar mengerjakan tugas, mengobrol atau bahkan menghibur dirinya karena ada music live.

“Tapi aku nggak suka cara ngomongnya Jaemin, Mas. Aku jadi kaya ngerasa nggak bener ngedidiknya.” Ia menghela napasnya sesekali.

Tangan pria itu terangkat untuk mengelus surai isterinya. Dia menyunggingkan senyum tipis yang lebih menenangkan dari pada debur ombak di ujung lautan. “Kamu ngerasa kalau salah ngomong juga sama Jaemin tadi nggak? Beberapa kalimat kamu nyakitin Jaemin, aku yakin itu.”

Wanita itu memokuskan matanya pada cangkir kopi di depan. Otaknya berjelajah ulang ke percakapan teksnya ia dan Jaemin barusan. Setelah menyadari apa-apa yang sekiranya menyakiti Jaemin ia mendesah lelah. “Ah... Aku salah, ya, Mas?”

Lagi-lagi pria itu tersenyum kecil. Astaga, ini senyum yang selalu ia rindukan selama dua tahun terakhir. Senyun yang rasanya tidak lagi mungkin hadir di hidupnya, benar-benar nyata sekarang.

“Bukan salah kamu, juga bukan salah Jaemin, sayang. Kalian cuma sama-sama emosi. Lain kali kalau sama anak itu emosinya dikurangin, ya? Nanti malah mikir yang aneh-aneh.” Tangan kekar itu menarik daksa wanita di sampingnya untuk masuk ke dalam pelukan.

“Mas,” Ayla menengadahkan wajahnya, ia dapat melihat rupa hampir sempurna milik suaminya dari bawah sini. Hidung yang mancung, bibir yang tipis, mata kecokelatan juga rahang yang tegas. “Kita kaya orang pacaran, ya... Hehehehe.”

Doyoung tertawa, menyesap kopi yang masih mengepul itu lagi. “Pacaran setelah menikah.” katanya sambil mengambil ponsel Ayla dari atas meja. “Ini, kasih pengertian dulu ke anaknya, nanti tambah marah sama aku.”

Ayla mengangguk dua kali, “aye-aye, Capt!”

Setelahnya ia larut ke dalam pesan Jaemin di sana. Berusaha memberi pengertian kepada puteranya yang juga keras kepala itu membuat Ayla agak kesulitan.

Beberapa menit dihabiskan untuk sekedar berbincang, akhirnya Doyoung mengajak Ayla untuk kembali masuk ke dalam rumah sakit untuk sekedar menjemput Jeno yang sekarang sedang dijaga oleh Mamanya Doyoung. Tangan Ayla menggenggam erat jemari Doyoung.

“Nggak apa-apa, sayang. Nggak bakalan ada yang terjadi. Aku di sini, selalu.” katanya sambil mengelus punggung tangan isterinya— hanya untuk sekedar menyalurkan ketenangannya pada si wanita.

Aku di sini, selalu adalah kalimat sederhana yang sampai sekarang selalu membuat Ayla ketakutan saat mendengarnya. Ditambah dengan harus berhadapan dengan Mamanya Doyoung membuat Ayla makin bercucur keringat dingin.

“Mas,” ia menarik tangan Doyoung yang akan menekan knop pintu ruangan Jeno. “Aku tunggu di sini aja, deh...”

Doyoung menggeleng, “liat aku. Aku di sini, Ayla. Jangan takut, ya?”

Wanita itu menatap mata Doyoung yang menenangkan seperti aliran air dalam sungai. Mata yang selalu ia rindukan di setiap malamnya lagi-lagi menyihirnya untuk menganggukkan kepala.

Doyoung memajukan tubuhnya untuk mengecup puncak kepala isternya. Ia terus-terusan menyalurkan ketenangan yang ia miliki. Doyoung tau, sejak ditinggal olehnya selama dua tahun, Ayla memang menjadi sepenakut itu. Ia bahkan selalu takut pada apapun yang terjadi di kemudian hari.

“Ma...” Doyoung berjalan ke arah Mamanya yang sedang duduk di sofa sambil memerhatikan daksa Jeno. Di samping Mamanya tentu saja ada wanita dengan jas dokternya. Siapa lagi kalau bukan Rea?

“Do, antar Rea pulang dulu, ya? Udah malam.”

Perjuangan yang tidak ada habisnya.

Boleh saya balik, Ayla? Di bagian kali ini, saya kembali memerjuangkanmu.

“Ayla, maaf...” Doyoung menundukkan kepalanya dalam, ia menarik napasnya. Memejam sebentar sebelum akhirnya mengatakan, “maaf kalau aku maunya kamu— tapi kalau kamu keberatan, aku siap kembali berjuang buat kamu, Ay. Sembilanbelas tahun aku perjuangin kamu dulu, dan aku nggak mung— Ayla?”

Doyoung mengarahkan pandangannya ke sana-sini, di depannya kosong. Ayla sudah pergi meninggalkannya tanpa tau kenapa Doyoung meminta maaf. Ayla, salah paham, mungkin?

“Lah, ini gimana sih?” Doyoung menggaruk kepalanya yang benar-benar tidak gatal. Ia memuruskan untuk berjalan untuk mencari Ayla yang mungkin saja masih di sekitar sana.

Matanya menyipit saat di depan sana ada wanita yang ia cari tengah berbincang dengan pria berjas hitam. Tangannya memberikan satu map berwarna hijau ke hadapan Ayla. Kemudian, wanita itu menjabat dan berucap terimakasih.

Netra Doyoung masih fokus pada Ayla tapi di sampingnya sudah ada pria yang tubuhnya lebih kecil. “Barusan pengacaranya Ayla, dan itu syarat-syarat perceraian yang harus Ayla serahin.” katanya.

“Ten?” Doyoung mengerinyit tidak percaya saat mendapati Ten dengan satu botol air mineral di tangannya. “Lo...”

Pria itu tersenyum kecil, “kejar, Do. Gue yakin Ayla nggak sepenuhnya siap kehilangan lo.”

“Tau dari mana lo?” Doyoung mengalihkan atensinya pada Ayla yang sekarang sedang duduk di kursi tunggu dan membolak-balik lembaran di tangannya. Wanita itu tampak fokus dengan bacaan di sana.

Ten terkekeh sumbang, “gue Dokternya kalau lo lupa.” netranya mengikuti milik Doyoung, menatap wanita itu. Dalam batinya, Ten menertawakan dirinya sendiri. Langkahnya terlambat. Tapi tidak bisa dipungkiri, walau Ten meletakkan hatinya pada wanita itu, ia hanya mau Ayla bahagia— dengan siapapun.

“Gue harus ngapain, Ten?” Doyoung menyandarkan tubuhnya pada pilar, memejamkan matanya sebentar.

“Payah banget. Status doang Direktur rumah sakit. Bolak-balik ngeliat darah pas operasi, kalau masalah hati cupu alias payah banget lo.” katanya sambil tertawa. Ten membenarkan letak kacamatanya. Ia menyodorkan botol mineral di tangannya ke arah Doyoung.

“Apa?”

Hampir saja Ten menggeram kalau tidak menyadari berada di mana ia sekarang. “Mau gue yang kasih atau lo yang kasih? Ayla harus banyak minum air putih biar otaknya kembali fresh.”

Doyoung menerima botol mineral itu, tangannya yang bebas menepuk bahu Ten dua kali. Memang sahabatnya ini tidak pernah mengecewakan. Doyoung bahkan membabi-butanya kemarin, tapi Ten tetap membantunya.

Doyoung...

Semua Ten lakukan hanya untuk kebahagiaan Ayla.

“Bentar,” Ten menarik tangan Doyoung saat pria itu baru saja melangkah dua kali. “Kalau Ayla mau balik sama lo, jangan sakitin dia lagi. Lo harus jaga dia. Dan kalau nggak mau, jangan dipaksa... Gue nggak mau lihat dia setersiksa kemarin.”

Pria di depan Ten mengacungkan dua jempolnya pertanda setuju. Keduanya tertawa kecil setelah itu.

Tidak seperti Doyoung yang berjalan dengan senyum penuh, di sini Ten tengah menahan perih di bagian hatinya sambil tersenyum masam. “Sekali lagi lo bikin dia sakit, gue yang ambil langkah, Do.”

— WAKTU —

Ayla membaca kalimat demi kalimat di atas kertas itu. Memeriksa apa saja persyaratan yang harus ia siapkan untuk pengajuan besok pagi. “Buku nikah, foto— eh?”

Di depannya ada Doyoung yang berdiri sambil tersenyum penuh. Ia mengambil alih map hijau dari tangan Ayla. “Jangan urusin apa-apa, Ayla.”

Wanita itu mengerinyit kebingungan, “bukannya ini yang kamu sama mama kamu mau, Do?”

“Minum dulu,” Doyoung menyodorkan air mineral di tangannya. Lalu memosisikan dirinya untuk duduk di samping sang isteri. “Ay.. Yang punya rasa itu aku, bukan Mamaku. Aku berhak menentukan siapa yang akan jadi isteri aku. Dan kamu punya hak akan itu...”

Tangannya meraih air mineral dari tangan Doyoung, sekedar menetralkan pikirannya. Ia juga bingung mau kaya gimana menghadapi Doyoung. “Do... aku capek...”

Pria di hadapannya tersenyum miris. Ia hanya bisa berandai-andai sekarang. Andai ia tidak memilih langkah yang salah. Andai ia tidak menerima permintaan Aksara untuk menikahi saudara perempuannya, Rea. Dan andai... Ayla mendengar pernyataannya di rooftop tadi.

“Ay, kesempatan kedua?” pintanya dengan tatapan tulus.

Sayangnya, Ayla dapat melihat ketulusan itu. Sayangnya, Ayla tidak dapat menahan hatinya. Sayangnya, Ayla juga merindukan— ralat, sangat merindukan pria di hadapannya.

“Okay,” Doyoung bangkit dari kursinya. Ia memasang senyum yang dipaksakan. Pikirannya ke mana-mana. Ia tau, ini salah dan itu tandanya ia harus memulai memerjuangkan wanita ini, kan? “Aku udah tau jawaban kamu, Ay. Kamu bener-bener mau pisah, kan? Nggak apa-apa. Aku ke kamar Jeno dulu, ya? Setelah itu baru kamu...”

Tangan Ayla terangkat untuk menahan langkah Doyoung, “mas...” jantungnya berdetak kencang saat ia memanggil Doyoung dengan panggilan seperti ini. Ia menghangat, tidak juga dapat menahan senyumnya. “Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, kan?”

Pria itu membulat di tempatnya. Matanya mengerjap berkali-kali, masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan wanita di hadapannya. “Aku janji akan jaga kamu, Bun. Aku janji nggak akan berpaling dari kamu. Aku janji akan menjaga hatiku untuk kamu. Aku jan—”

— Cup.

Ayla mengecup pipi kiri pria itu. Ia tersenyum manis. “Jangan janji ya, mas? Karena nggak semua janji bisa ditepati. Sekarang, gunain kesempatan ini dengan baik kalau kamu serius sama aku...”

Doyoung mengangguk mantap, “Bun, makasih, Bun. Demi apapun, aku... aku mau nangis.”

“Cengeng banget— eh, mas? Mamamu...”

Tangan Doyoung terangkat untuk mengelus rambut isterinya lembut. “Kita berjuang bareng-bareng untuk ambil hati Mama, ya? Kamu jangan salahin dirimu sendiri atas masalalu kamu. Nggak ada yang tau kenapa kamu ngelakuin hal itu, kan?”

Ayla mengangguk, ia menenggelamkan dirinya di dada bidang sang suami. “Mas...”

“Ssst” Doyoung mengelus punggung si isteri. “Aku yang bilang, ya? Makasih banyak, Ayla. Makasih udah bertahan sampai detik ini.”

Ia mengangguk di dalam pelukannya. “Aku sayang kamu, dan itu selalu.”

“Aku sayang kamu, dan itu selalu.” ulang Doyoung sambil mengecup puncak kepala Ayla.

Di bagian kali ini, aku melepasmu.

aku pergi, do.

Kedua sudut bibirnya terangkat penuh saat wanita di hadapannya mengerjapkan mata berkali-kali. Ia masih berusaha membiasakan diri untuk masuk ke dalam rumahsakit. Karena tidak tau kenapa, setelah kejadian menghilangnya Doyoung dua tahun lalu, Ayla menjadi takut untuk berkunjung ke tempat ini.

Wangi khas ruangan yang sekarang ia pijaki menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. “Ayla ganggu, ya?”

Di kursinya, wanita paruh baya itu menggeleng. Tangannya terangkat menepuk bagian kursi di sampingnya. Ia mengucak matanya yang masih terasa perih, kepalanya terasa agak pening karena terjaga semalaman.

“Ayla,” Tangannya meraih jemari kiri milik Ayla. “Mama minta maaf soal kemarin. Mama tau, mama salah— tapi, orang tua mana yang mau anaknya salah ambil langkah?”

Ayla mengerinyit bingung, “salah ambil langkah? Doyoung... nggak bahagia sama Ayla ya, Ma?”

Ia menggeleng dua kali, menutup mulutnya menggunakan sapu tangan saat batuk. “Sama seperti Mamanya Jaehyun...”

Jantung Ayla berdetak keras, cukup keras. Matanya agak memanas saat ia mengingat apa yang menjadi alasan Mamanya Jaehyun membenci dirinya. “Tapi... tapi Ayla bukan lagi wanita kaya gitu, Ma. Itu cuma masa lalu, Ayla... Ayla juga terpaksa ngelakuin hal kaya gitu...”

“Ayla, semua orang tua mau yang terbaik untuk anaknya. Dan mamapun mau yang terbaik untuk Doyoung.” Mamanya Doyoung mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman.

“Awalnya Mama percaya sama kamu saat Doyoung minta izin Mama untuk menikahi kamu. Tapi setelah melihat kamu kembali ke Jaehyun setelah Doyoung nggak ada, itu bikin kepercayaan Mama hilang sepenuhnya sama kamu, Ayla...” Mata indah wanita paruh baya itu menusuk dalam ke milik Ayla. Dilihat ada ketulusan di sana, tapi Mama Doyoung benar-benar tidak mau kehilangan puteranya, lagi.

“Ma,” Ayla menarik napasnya, memersiapkan kalimat yang akan dan selalu menyakitinya kalau ia sebutkan. “Ini karma untuk Ayla, ya? Kehilangan anak dari Doyoung, kehilangan Ibu kandung dan sekarang harus kehilangan laki-laki yang Ayla sayang...”

Di dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri. Meminta pengampunan pada semesta. Ayla cukup menyadari— atau bahkan sangat menyadari kalau perbuatannya di masa lalu akan sangat berpengaruh untuk masa depannya, bahkan masa depan puteranya juga; Jaemin.

“Udah berapa wanita yang kehilangan suaminya karena kamu, Ayla?” Lembut tapi menusuk. Kalimat tanya itu diucapkan dengan senyum manis yang dipaksakan oleh Mamanya Doyoung. “Sekarang gantian kamu yang kehilangan ya, Ayla? Biarin Doyoung hidup bahagia sama Rea...”

Ia melepaskannya, tapi di bagian paling kecil hatinya berteriak tegas kalau ia tidak bisa melepaskan apa-apa yang menjadi alasannya bertahan dari dua tahun lalu.

“Waktu SMA, kamu sudah menjadi wanita nggak benar, kan, Ayla? Dan itu yang bikin Mamanya Jaehyun nggak suka kamu...”

Dan pada akhirnya, memang tidak ada yang bisa menerima Ayla apa adanya kecuali Jaehyun, kan? Tapi semuanya sudah terlambat, Ayla. Jaehyun harus bahagia dan itu tanpa kamu.

“Ma?” Seseorang membuka pintu ruang rawat-inap Jeno pelan, ia mengecilkan suaranya saat mendapati seorang wanita yang selalu ia harapkan menangis di samping Mamanya. “Ayla kenapa?”

Ayla berdiri dari tempatnya, bersiap meninggalkan ruangan itu dengan segala kehancuran hatinya. Apapun yang ada di masa lalu tidak akan bisa berubah di masa depannya. Mau dijelaskan seberapa keras juga semua orang tidak akan bisa mengerti kenapa Ayla melakukan hal itu di masa lalu.

“Ayla?” Doyoung menarik tangan wanita itu sampai daksanya membentur dada bidangnya cukup keras. “Mau bicara sama aku sebentar?”

Tidak. Ayla tidak menjawab. Tidak iya, tidak juga menggeleng. Ia hanya mengikuti kemana langkah Doyoung membawanya. Ia pasrah dengan apa yang menjadi takdir semesta. Bukannya memang harus begitu?

“Ayla, aku udah nemu jawaban atas pertanyaan kamu siang tadi.” Ucap Doyoung saat ia berhasil membawa Ayla ke rooftop rumahsakit, padahak ia tau kalau Ayla sangat takut dengan ketinggian.

Ayla masih diam di tempatnya, tiga langkah di depan Doyoung. Ia membiarkan air matanya mengering diterpa angin sore. “Jawabannya bukan aku, kan?”

Sekarang berganti Doyoung yang diam dan menarik napasnya. Beberapa detik setelahnya ia mengulum senyum tipis.

“Ayla, maaf...”

Menjauh untuk menjaga.

Seperti bumi yang mencintai langit dengan jaraknya.

Doyoung menggeram frustasi saat pesannya hanya dibaca saja oleh Ayla. Ia menatap daksa puteranya yang sedang berbaring dengan perban melingkar di kedua matanya. Langkah membawa Doyoung untuk menghampiri si putera.

“Pa..pa..” Jeno melayangkan tangannya di udara, ia tidak dapat melihat apapun selain kegelapan. “Papa... Jeno udah ikhlas... Papa jangan nangis...”

Mudah sekali untuk anak berhati lembut itu mengikhlaskan apa yang terjadi padanya. Jeno bahkan harus kehilangan indera penglihatannya karena insiden hari ini.

“Jeno...” Papanya mengambil tangan si putera yang masih saja mengapung di udara, padahal ia sendiri tidak tau apa yang mau ia raih. “Maafin papa...”

Si anak yang sebenarnya bermata indah itu berusaha untuk bangkit dari posisinya dan sekarang dibantu oleh sang papa. “Jeno mau telepon bunda, boleh?”

Doyoung mengangguk walau ia tau kalau sang putera tidak bisa melihat apa yang ia lakukan. Tangannya bergerak mencari kontak yang baru beberapa jam lalu ia ambil dan simpan dari ponsel lamanya Jeno.

Tut...

“Nggak diangkat ya, Pa?” bahu anak laki-laki itu merosot saat tau dering panjang itu masih saja terdengar. “Bunda udah tidur—”

“Halo, Doyoung? Kamu bisa nggak sih jangan ganggu aku? Ini udah malem—”

“Bunda...” Doyoung meletakkan ponselnya di telinga kanan Jeno yang langsung diambil dengan cepat oleh si putera. “Jeno ganggu bunda, ya?”

Di seberang sana Ayla menarik napasnya, ia merindukan suara ini. Suara putera tiri yang sudah ia anggap sebagai putera kandungnya. Ia tersenyum sebentar, untuk membawa suasana hatinya kembali seperti semula. “Nggak, Jeno. Kenapa belum bobo malam-malam gini?”

Jeno memegang perban yang menutupi area mata dengan tangannya yang bebas. “Bunda... Jeno nggak bisa lihat apa-apa...”

Di sana, Ayla menarik selimutnya. Berusaha menguatkan dirinya sendiri mendengar suara getir Jeno. Ia menahan air matanya mati-matian. “Nanti... bunda minta tolong Dokter Ten untuk cari bantuan donor, ya, Jeno? Bunda juga usaha nanti.”

Kedua sudut bibir Doyoung terangkat saat mendengar suara menenangkan Ayla. Matanya terpaku pada ponsel yang berada di genggaman Jeno. Bisakah Doyoung mendengar suara itu untuknya lagi?

“Bunda... Jeno mau Bunda...” Jeno menyandarkan tubuhnya pads ranjang, lalu menenggelamkan dirinya di balik selimut. Ia menangis, tapi tidak mau terlihat oleh Doyoung.

Jeno itu sebenarnya lemah, hanya saja ia berusaha tenang di depan Papanya.

“Jeno, besok bunda jemput Jeno ke rumah sakit ya, sayang? Bunda yang akan rawat Jeno...” Ayla tau, kalau hal ini pasti terjadi. Dan ia akan siap menerima keputusan apapun dari Jeno.

Jeno tersenyum manis, “bun.. Jeno nggak menuntut banyak dari Bunda. Semuanya terserah sama Bunda.. Bunda mau pisah sama Papa ya nggak apa-apa... Jeno nggak sampai hati kalau lihat Bunda terus-terusan kaya kemarin...”

Ayla terkekeh di seberang sana. Anak laki-laki yang sudah tinggal hampir empat tahun dengannya itu tumbuh dengan baik rupanya. “Iya, sayang. Kita nggak perlu buru-buru untuk mengambil keputusan, ya? Bunda juga nggak tau mau kaya gimana untuk ke depannya. Yang penting sekarang Jeno bobo, ya? Besok bunda jemput.”

Anak laki-laki penurut itu mengangguk, “have a sweetdream, Bun.” lalu mengembalikan ponsel pada sang Papa. Jeno tidak tau di mana Papanya berada, ia hanya melayangkan tangan yang menggenggam benda pipih itu saja.

“Have a sweetdream, sayang.” balas Ayla yang sayangnya ponsel sudah berpindah ke tangan Doyoung. Diam-diam pria itu kembali mengulum sebuah senyum manis.

“Bun,”

Di seberang sana Ayla mengerinyit saay suara Jeno tiba-tiba saja berubah. “Doyoung, ya?”

Ia mengangguk di tempatnya, dalam hati bersyukur karena Ayla ternyata tidak mematikan panggilan itu. “Ay, bisa kita ketemu?”

Terdengar hembusan napas wanita itu, “buat apalagi, Do? Jujur aku bingung gimana menghadapi kamu... Jangan bikin aku tambah bingung dengan perasaan aku, ya? Bahagiaku nggak muluk-muluk, Do. Aku cuma mau anak-anak aja, karena emang cuma mereka yang aku butuh.”

“Ayla, maaf... Aku tau aku bodoh. Aku tau aku terkesan mengkhianati kamu, kan? Aku tau, Ayla.” Doyoung menarik napasnya, ia menyandarkan tubuhnya di tembok lorong rumah sakit yang malam ini benar-benar sepi. “Tapi setelah ingatan aku kembali, aku lumpuh dan aku cacat. Aku sama terpukulnya kaya Jaemin waktu dulu. Dan satu-satunya orang yang ada di samping aku cuma Rea.”

“Iya, kamu bodoh, Do.” Ayla menguatkan dirinya sendiri agar tidak lagi terdengar menyedihkan. Ia ingin berkembang menjadi Ayla yang hidup dengan baik mulai sekarang. “Kenapa kamu nggak telepon aku? Mama kamu nggak izinin? Mama kamu... jahat ya, Do?”

Doyoung menghela napasnya, “aku sama mama ngelindungi kamu, Ay. Aksara... Aksara ancem bakalan bunuh kamu kalau mama mempertemukan aku sama kamu. Posisinya aku lumpuh, terus apa yang bisa mama lakuin? Lapor polisi? Aksara itu kerjasama dengan Shani yang sekarang tinggal di Singapore.”

“Aku... Aku nggak tau, Do. Aku takut. Aku trauma. Aku takut meletakkan harap pada satu hati.”

Sebuah usaha bersatu.

Pada akhirnya, semua yang aku perjuangkan akan menjadi sia-sia.

“Ayla, maaf.” Doyoung mengikis jaraknya dan Ayla. Tangannya terangkat untuk merengkuh daksa wanita yang sampai detik ini menjadi kesayangannya.

Mata Ayla kembali memanas. Ia melangkah mundur saat Doyoung mengikis jaraknya. Tangannya terangkat untuk mendorong tubuh itu pelan. Matanya tidak berhenti menatap seorang pria yang katanya akan membawa Jeno ke rumah sakit. Karena bagaimanapun, lukanya harus ditangani dengan segera.

“Kamu...” Tidak pernah terbayangkan sama Ayla kalau untuk mengucapkan satu kalimat saja rasanya sesulit ini. “Kamu...kemana aja, Doyoung?”

Bayangan dua tahun lalu saat wajah Rea yang menjadi wajah pertama yang Doyoung lihat setelah menutup mata selama tiga hari lewat begitu saja di benak pria itu. Rea adalah orang yang menyelamatkannya dari maut, dulu. Sejak saat itu, Doyoung berusaha meletakkan hati— yang tentu saja atas permintaan Mamanya, pada Rea yang padahal memiliki dendam terhadapnya.

“Aku di sini, Ayla.” Katanya sambil tersenyum tipis.

Sekarang senyum itu terasa sangat menyakitkan di mata Ayla. Senyum yang dulu ia harapkan sekarang berubah menjadi senyum yang paling tidak mau ia lihat. Benar, hancur adalah hal yang paling mudah dilakukan ketimbang bertahan.

“Dua tahun, Doyoung..” Ayla menaikkan dua jarinya di hadapan Doyoung. Air matanya mengalir begitu saja tanpa dipinta. “Dua tahun aku cari kamu. Dua tahun aku menahan beban sendirian. Dua tahun aku bertahan... Dua tahun aku dianggap gila sama orang-orang sekitar, Doyoung...”

Wanita itu mengatur napasnya, ia tidak lagi mau meredam emosi yang bergejolak di dalam hatinya. Ini bukan lagi masalah hati, ini bukan lagi tentang kerinduan. Tapi ini adalah tentang waktu. Waktu yang ia habiskan untuk meratapi dan mengharapkan kepulangan seseorang adalah hal yang sia-sia.

“Ayla, gimana? Udah bahagia lagi sama Jaehyun?” tanya Doyoung sambil tertawa kecil. Demi apapun, jantungnya terasa ingin lepas dari tempatnya sekarang juga.

Ayla tertawa sarkas, “kamu pikir aku semudah itu ngelupain kamu, Doyoung? Kamu pikir aku nggak berusaha mati-matian cari bahagiaku tanpa kamu? Iya, bener. Jaehyun salah satu orang yang selalu ada di samping aku pas kamu nggak ada. Tapi nyatanya? Aku bener-bener stuck di kamu. Hati aku mati, Doyoung!” tangannya terangkat untuk menampar pipi mulus sebelah kiri milik pria di hadpannya.

Bisa-bisanya Doyoung memiliki pemikiran sependek itu di saat Ayla mengalami hal yang tidak mudah dalam dua tahun ini.

“Kamu tau, Doyoung? Dua tahun aku berusaha ngembaliin hidup aku. Dua tahun aku cari kamu. Dua tahun aku hidup dengan banyak tekanan. Kenapa? Kenapa kamu malah hidup bahagia di atas semua penderitaan aku, Do? Kenapa kamu malah pilih orang lain buat dampingin kamu? Kamu nggak cari—”

— GRAB!

Doyoung memeluk daksa itu dengan kasar yang membuat tamu undangan membulatkan matanya tiba-tiba. Rea sudah menahan air matanya di belakang Doyoung. Di samping gadis itu ada Aksara— orang yang merencanakan semuanya. Ia dendam kepada Ayla karena sampai sekarang calon isterinya tidak ditemukan setelag kecelakaan dua tahun silam.

“Maafin aku. Maafin aku. Maafin aku.” katanya berkali-kali. Doyoung menekuk lututnya di hadapan Ayla, tangannya meraih jemari milik wanita itu.

“Dika— Sorry, Doyoung bangun!” Rea menarik kasar tangan Doyoung. Ia menatap Doyoung lembut, lalu memajukan wajahnya, mengikis jarak antara ia dan Doyoung.

Rea dengan sengaja menempelkan bibirnya pada milik Doyoung di depan Ayla. Bersamaan dengan itu, Ten meraih tangan Ayla. Membawa wanita itu dalam pelukannya. Menutupi pandangan wanita itu untuk tidak melihat adegan di depan dengan dada bidangnya. Sekarang Ayla aman bersama dengan Ten di depannya juga Jaemin di belakangnya.

“Maafin saya, Ayla...” Ten semakin menenggelamkan Ayla di pelukannya. Demi apapun, ia tidak akan lagi membiarkan siapapun menyakiti wanita yang malang itu. Ten bersumpah dalam hati ia akan menjaga Ayla.

Tiga menit kemudian tangan Ten terasa ditarik kasar oleh seseorang. “Dia masih isteri gue!”

Ten berdecih, “MANA ADA SUAMI YANG CIUMAN DI DEPAN ISTERINYA SENDIRI?”

Satu pukulan mendarat di wajah mulus milik Ten. Ia dapatkan itu dari Doyoung dengan wajah merah padamnya. Semua manusia di ruang persegi itu semakin kaget di buatnya— termasuk Ayla. Tidak pernah ia lihat sisi Doyoung yang satu ini.

“Doyoung!” Ayla menarik tangan pria itu, memintanya berhenti untuk membabi-buta Ten yang sudah mulai kualahan tapi masih tetap bisa tersenyum di saat matanya menatap Ayla.

Ayla semakin merasa bersalah di buatnya. “Kamu... Kamu makin bikin aku takut sama kamu, Doyoung...”

“Ayla, Ayla dengerin aku..” Doyoung menangkap bahu Ayla, menatap netranya dalam. “Dua tahun. Dua tahun aku cuma bisa lihat kamu dari kejauhan. Dua tahun aku sama tersiksanya sama kamu. Dua tahun aku kepingin meluk kamu. Dua tahun juga aku nahan rasa sakit karena lihat kamu dilindungi Jaehyun.”

Doyoung menarik napasnya, ia membawa Ayla ke dalam dekapnya lagi. “Demi tuhan. Aku juga nggak mau kaya gini, Ayla. Tapi semesta maunya gini, kan? Demi tuhan, aku juga lagi berusaha membenahi semuanya, Ayla.”

“Membenahi dengan cara kaya apalagi, Doyoung? Menikah dengan wanita lain?” Tanyanya tanpa mau menatap pria di hadapan. “Aku capek, Doyoung... Biarin aku pergi dari hidup kamu. Kamu... Maunya gitu, kan? Mama kamu maunya gitu, kan?”

Ia masih mengusahakan senyum tipisnya. Demi apapun, Jaemin tidak bisa bergerak di tempatnya. Ia ingin menghantam wajah Doyoung sekarang juga. Tapi Ten menahan pergelangan tangan anak laki-laki itu.

“Kita... Kita sampai di sini, Doyoung. Besok aku urus perceraiannya...”

Maaf, Ayla.

Pada dasarnya, kita lagi-lagi terjebak dalam kata asing.

Ayla menempatkan dirinya di samping kursi kemudi, matanya menatap Ten dari atas ke bawah. Rapi dan bersih. Iya, setiap harinya Ten akan dan selalu begitu. Omong-omong soal pakaian, warna dress milik Ayla ternyata hampir mirip dengan kemeja punya Ten.

“Acaranya semi-formal, that's why saya cuma pakai kemeja. Nggak jas-jas gitu, gerah. Lagipula, masa saya harus pakai jas lab, kan nggak lucu.” Kata Ten tiba-tiba seolah tau apa isi pikiran Ayla. Setelahnya pria itu terkekeh karena mendapati wajah Ayla yang kebingungan. Dia menginjak pedal untuk melajukan kendaraannya.

Banyak hal yang berkecamuk di pikiran Ayla kalau sudah diam seperti ini. Dari hal-hal yang penting sampai dengan hal yang tidak penting. Contohnya, “kenapa di dunia ini ada listrik?” ya.. Semacam itulah.

Kalau menurut Ten itu wajar. Manusia spesial yang memiliki cidera pada jiwanya kadang berpikir terlalu keras sampai ia bisa saja melukai dirinya sendiri kalau tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya.

“Calon suaminya Dokter Rea orang mana, Dok?” tanya Ayla sambil memainkan jemarinya.

Keduanya tampak asik mengobrol sampai lupa kalau ternyata mereka sudah sampai di depan gedung besar yang sepertinya tidak memiliki ujung. Tapi anehnya, di sini hanya ada beberapa orang saja yang datang— tidak terlalu penuh, malah terkesan kosong

“Ini ijabnya udah dimulai?” tanya Jaemin yang sekarang berdiri di samping Ten. Matanya bergerak ke sana-sini untuk memastikan jawaban atas tanyanya.

Ten tampak melihat jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Matanya menatap sekitar gelisah. Dengan segera ia menarik Ayla untuk berdiri di tengah-tengah gedung yang mana orang-orang fokus pada kegiatan di depan sana.

“Dok?” Netra Ayla bergerak ke sana-sini saat tangan Ten tidak lagi menggandengnya. Dan bahkam Jaeminpun tidak ada di sini. Ia benar-benar sendiri di antara keramaian. Ia takut, sungguh.

“Ini termasuk ke dalam treatment Dokter Ten?” tanyanya pada diri sendiri. Mungkin iya atau mungkin juga tidak, pikirnya. Ia berusaha untuk tenang padahal jantungnya sudah berdetak tiga kali lebih cepat.

“Tenang, Ayla. Tenang.. Nggak ada yang jahat di sini. Selama kamu masih di bumi, kamu bisa selamat.” katanya berusaha menenangkan diri sendiri.

Ayla memikirkan tatapan-tatapan orang di sekitarnya. Wanita itu berpikir kalau beberapa orang tidak menyukainya, ia merasa terpojoki. Padahal, semua orang terlihat biasa saja.

“Saya terima nikah dan kawin—”

Ayla tau suara siapa itu. Kakinya melemas, ia meletakkan telapak tangannya di dada bagian kiri— sekedar meredam rasa sakit di sana. “Aws...”

“Reanabila binti—”

“BUNDA AWAS!”

Wanita itu merasakan ada seseorang yang mendorong daksanya dengan keras. Sehingga ia terpental ke arah meja besi di ujung ruangan, cukup jauh. Bersamaan dengan itu, lampu utama di tengah gedungpun terjatuh— menghantam daksa anak laki-laki dengan jas hitam di sana.

“J-jeno...” Ayla memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Barusan Jeno yang menyelamatkannya.

Atensi seluruh manusia di ruang persegi itu ke arah Jeno. Ijab yang awalnya dimulai dengan senyum manispun tidak dapat diselesaikan dengan sempurna. Si mempelai pria berjalan mendekati keramaian. Matanya membulat dengan sempurna. “JENO!”

Di sana, Ayla tidak kalah membulatnya. Itu.. Doyoung. Itu benar-benar Doyoung. Ia berani bersumpah kalau ia bisa membedakan mana kenyataan dan mana mimpi hari ini.

Tidak lagi Skizofrenia— seperti apa yang didiagnosa oleh Ten. Walau sebelumnya Ayla kesulitan membedakan antara kenyataan dan mimpi, tapi kali ini ia yakin dua puluh juta persen kalau ini nyata.

“Do..” Matanya memerah, tangannya menutup mulut tidak percaya. Ayla tidak tau kalimat apa yang harus dia ucapkan saat mata Doyoung menatapnya dalam. Tersirat sebuah kerinduan di sana.

— Plak!

Wanita itu merasakan perih luar biasa di bagian pipi kirinya. Jantungnya bergetar hebat saat menatap siapa wanita paruh baya di hadapannya. “Mama... ini apa?”

“Kamu yang apa?!” Mamanya Doyoung mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Ayla. “Kalau sampai cucu saya kenapa-napa, saya nggak segan-segan untuk membunuh kam—”

“Mama!” Doyoung menarik mamanya. Ia berdiri di depan Ayla sekarang. Matanya menatap dalam manik pekat milik Ayla. Demi apapun, ini bukan kejadian yang diinginkan tapi juga tidak pernah disesali.

“Tanpa Mama mintapun... Ayla bakalan mati karena tekanan.” Katanya.

Sedangkan Doyoung hanya berdiri manis di sana, “apa kabar?”

Ayla merasa pertahanannya runtuh saat suara lembut itu kembali menyapu indera pendengarannya. Yang semakin membuat ia runtuh adalah pakaian Doyoung saat ini— ia bersiap untuk meminang wanita lain.

“Do...”

“Maaf, Ayla.”