Saya, merelakanmu.
⚠ perlu diingat, genre ceritanya adalah marriage life.
Doyoung menyipitkan matanya saat mendapati satu pria yang sepertinya ia kenali menghadang mobilnya di tengah jalan yang sepi. Jalan pemuda, Jakarta. Dia mengerinyit kebingungan, “nggak mungkin saya dibegal, kan?” lalu tertawa kecil.
“Keluar.” pinta si sosok pria berkaus putih sembari mengetuk kaca pintu mobil Doyoung.
Si pengemudi keluar dari mobil tanpa mematikan mesinnya. Ia sedikit membulat saat melihat dengan jelas siapa pria yang menghadang jalannya. Di tangan pria itu sudah ada satu botol minuman keras yang langsung membuat Doyoung buru-buru menutup hidungnya. Ia melihat arloji di pergelangan kirinya. “Bodoh. Baru pukul sepuluh udah mabuk di tengah jalan.”
“Doyoung,” pria itu menyipitkan matanya lalu bersandar di kap mobil fortuner putih milik Doyoung. “mau minum?”
“Gila.” Doyoung memutar bolamatanya malas. Ia menghela napasnya, “minggir, saya mau balik.”
Tangan Jaehyun terangkat untuk kembali menutup pintu mobil yang baru saja dibuka oleh Doyoung. “Temenin gue. Gue.. Butuh cerita...”
“Kamu mabuk, besok aja ceritanya. Mending kamu balik ke rumah, saya nggak bisa mengurus orang mabuk.” balasnya acuh, lalu kembali hendak membuka pintu mobilnya.
Jaehyun mengangkat sebelah bibirnya, “lo balik gue ke kelab.”
“Saya nggak peduli.” Memang, Doyoung terkesan acuh. Padahal dalam hatinya ia berharap kalau Jaehyun tidak benar-benar akan pergi ke kelab malam ini. Karena Doyoungpun tidak mau kalau pria itu mengulangi kesalahan yang sama seperti lima tahun lalu.
Jaehyun mengangguk, “oke.” lalu hendak berjalan menjauh.
Tapi lima detik berikutnya ia tertawa saat Doyoung menepuk pundaknya sambil mengatakan, “mau cerita di mana?”
Doyoung mengikuti langkah Jaehyun sambil sesekali mengeluh malas karena jalan yang mereka pijaki hanya muat untuk satu orang saja. Jaehyun berjalan lebih dulu, disusul Doyoung di belakangnya. Sempit dan banyak nyamuk membuat Doyoung berkali-kali menggaruk pipinya yang gatal.
“Duduk!” perintah Jaehyun saat mereka sampai di rumah makan kecil di ujung gang yang memang tidak terlihat.
Mata Doyoung menelisik sekitar, “kamu tau dari mana tempat ini?”
Pria yang sudah mabuk itu— Jaehyun, hanya tertawa kecil lalu menuang minuman keras dan menyodorkannya ke Doyoung. Lalu ia mengambil pemantik api dari saku kemeja putihnya, menyalakan rokok lalu menghisapnya dalam.
Doyoung paling tidak suka di sini. Banyak pemabuk dan perokok.
“Buruan, kamu mau cerita apa? Saya harus pulang.” Ia mengambil ponsel dari dalam saku bajunya lalu menyambungkan panggilan ke nomor sang isteri lalu meletakkan ponselnya di dalam saku kemejanya tanpa memutus panggilan.
“Do...” Jaehyun menegakkan posisinya, lalu kembali menghisap satu batang rokok di jemari. “Gue juga nggak tau kenapa gue bisa setergantung ini sama Ayla. Kenapa rasanya lima tahun nggak cukup buat gue ngelupain dua puluh tahun yang pernah kita jalanin sama-sama.”
Doyoung masih diam pada posisinya, berharap di seberang sana Ayla juga mendengarkan kalimat Jaehyun barusan.
“Gue yang nyelamatin dia dari om-om yang hampir aja macem-macem sama dia. Dia rapuh, Do. Dia harus dilindungi. Karena mentalnya nggak sekuat yang kita kira...” Jaehyun meniup asap rokoknya lalu tertawa kecil, meneguk segelas minuman keras yang baru saja ia tuang dari botol untuk dirinya sendiri.
Doyoung masih setia diam, tidak ada sama sekali keinginan untuk memotong kalimat Jaehyun.
“Jangan sekali-kali pernah punya pikiran buat bilang dia adalah wanita kotor, Do. Karena dia bersih dan murni. Ayla itu apa adanya yang sederhana, Do. Dia hampir sempurna, dan lo beruntung...” Jaehyun kembali meneguk segelas minuman di tangan kirinya padahal ia sudah mabuk berat.
Doyoung menyadari, begitu banyak hal yang telah dilalui Ayla dan Jaehyun bersama-sama. Dua puluh tahun sampai akhirnya semesta memisahkan mereka dengan alasan yang tidak begitu jelas namun masuk pada akal. Kesalahpahaman yang sama-sama tidak dimengerti.
Hanya karena Ayla membiayai hidupnya dan keluarga, ia jadi dibenci oleh Mamanya Jaehyun. Padahal, wanita itu sudah banyak mengorbankan dirinya sendiri untuk Jaehyun. Entah mimpinya yang tidak tercapai. Putus kuliah di semester tiga karena mengandung putera dari Jaehyun adalah satu-satunya hal yang tidak pernah Ayla sesali.
Jaehyun tertawa, “kali ini... gue relain Ayla buat lo, Do. Jangan pernah sakiti dia kaya gue, Do. Jaga kepercayaanya karena dia udah banyak berkorban selama dua tahun ini buat lo.”
Tangan Doyoung meraih ponsel di dalam saku, lalu menempelkan benda pipih itu di telinga kiri. “Sudah dengar? Jalan pemuda, di belakang rumah putih. Jemput aku sama Jaemin ke sini, Bun.” Lalu mematikan panggilannya secara sepihak.
Doyoung menatap Jaehyun lamat, tangannya tergerak untuk mengambil sebotol minuman keras di depannya yang membuat Jaehyun terkekeh di tempatnya.
“Sembilanbelas tahun, Jae...” Doyoung menarik napasnya, merasakan pening luar biasa di bagian kepala karena ia langsung meneguk minuman itu dari botolnya.
“Sembilanbelas tahun gue berjuang buat Ayla. Berusaha baik-baik aja padahal gue nggak... Gue mundur karena lo selalu ada. Sayang. Mungkin gue jauh lebih sayang sama Ayla ketimbang lo, karena akhirnya semesta biarin Ayla bersama gue..”
Jaehyun meremat jemarinya di bawah meja. Merasakan sakit yang mendalam di bagian hatinya. Ia merelakan, tapi masih ada sedikit luka yang sepertinya harus diobati.
“Jangan bodoh, Jaehyun. Ada orang yang lagi berjuang mati-matian buat lo dan itu adalah Stef. Orang yang berjuang buat lo adalah orang yang dititipkan semesta buat lo...” Doyoung memarik napasnya, menelungkupkan wajahnya pada meja bundar itu.
Tiga puluh menit setelahnya, Ayla juga Jaemin menatap satu mobil fortuner putih yang ia sangat yakin adalah milik Doyoung terparkir hampir di tengah jalan. Mesin mobilnya bahkan belum mati, untung saja tidak ada orang yang mengambil mobil yang pajaknya baru saja dibayar seminggu lalu itu.
“Ini mobil Om Papa kan, Bun?” tanya Jaemin yang langsung menghentikan mobilnya sendiri di sisi jalan.
Ayla mengangguk lalu turun dari mobil, berjalan ke arah mobil Doyoung dan memeriksa bagian dalamnya. Kosong. Tidak ada siapapun dan membuat Ayla langsung mematikan mesin juga mencabut kuncinya.
“Di belakang rumah putih...”
Kalimat Ayla langsung membuat Jaemin mengalihkan pandangan pada satu-satunya rumah bercat putih di dekat posisinya. Ia menyipitkan matanya saay mendapati gang kecil di sana. “Bun, itu..”
Ayla mengangguk, berjalan mendahului Jaemin yang juga sedang memerhatikan sekitar yang sepi. “Do!”
Mata Ayla mendapati Doyoung yang sedang menatapnya sambil mengangkat sudut bibirnya sebelah kiri. Kakinya melangkah mendekat ke arah Doyoung yang sedang menyandarkan tubuhnya di kursi. “Sini, duduk dulu...”
Tangan Ayla terangkat di udara, “kamu mabuk?” netra pekatnya beralih ke arah Jaehyun yang di sampingnya sudah ada Jaemin. “Na, kamu ajak pulang Dadah naik mobil kamu, ya? Biar bunda sam Papa naik mobil yang dibawa Papa.”
Jaemin mengangguk, dan langsung membantu Jaehyun yang sudah mabuk berat untuk berdiri. Anak laki-laki itu mengeluarkan tujuh lembar uang berwarna biru dari dompet hitamnya lalu diletakkan di atas meja.
Aylapun sama, membantu Doyoung untuk tetap berjalan stabil sampai di depan mobil putihnya. “Nyusahin aja.”
“Bun, hati-hati. Udah lama nggak nyetir sendiri, kan?” Jaemin berusaha menopang tubuh Jaehyun untuk ia bawa ke dalam mobilnya.
Ayla mengangguk, “kamu juga hati-hati. Nanti kalau sudah sampai langsung hubungi Bunda, ya?”
Anak laki-laki itu mengacungkan jempolnya, lalu mengitari mobil untuk duduk di kursi kemudi. Begitu pula dengan Ayla— bedanya ia bersandar sebentar di kursi, mengatur napasnya yang berantakan karena tubuh Doyoung ternyata seberat itu.
“Bun,” rintih pria yang sudah memejamkan matanya di samping Ayla.
Wanita itu menarik napasnya, “jangan gaya-gayaan mabuk kalau nggak bi—” ia menghentikan kalimatnya saat Doyoung dengan tiba-tiba menarik tubuhnya untuk mendekat, menyatukan bibirnya dengan milik sang isteri. Melumatnya perlahan sambil memejamkan matanya.
“Sembarangan banget! Nggak tau tempat!” Ayla mendorong tubuh itu sekuat tenaga lalu kembali duduk di posisinya, menjalankan mobil perlahan sambil mengatur detak jantungnya yang berdetak begitu cepat.