Kecewa adalah hal wajar.

Kecewa itu wajar, apalagi seseorang sudah melakukan hal yang tidak kamu inginkan.

Ayla meletakkan ponselnya di atas meja. Matanya menatap Doyoung yang sedang fokus dengan layar ponselnya sendu. Ia tau, tau banget. Kalau kesalahan Doyoung mungkin sudah tidak lagi bisa ditoleransi— terutama oleh Jaemin. Wanita itu tau bagaimana perjuangan Jaemin dalam menghadapinya selama dua tahun. Tidak sekali ataupun dua kali Ayla melihat Jaemin ikut menangis kala ia merindukan sosok Doyoung.

“Nggak apa-apa, Bun.” Doyoung juga meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menyesap kopi hangatnya sedikit, “kecewa itu wajar.”

Ayla ikut menyesap kopinya, ia menatap sekitar cafe yang sudah lumayan dipenuhi oleh anak muda. Biasanya menjelang malam anak-anak muda akan mendatangu cafe itu hanya untuk sekedar mengerjakan tugas, mengobrol atau bahkan menghibur dirinya karena ada music live.

“Tapi aku nggak suka cara ngomongnya Jaemin, Mas. Aku jadi kaya ngerasa nggak bener ngedidiknya.” Ia menghela napasnya sesekali.

Tangan pria itu terangkat untuk mengelus surai isterinya. Dia menyunggingkan senyum tipis yang lebih menenangkan dari pada debur ombak di ujung lautan. “Kamu ngerasa kalau salah ngomong juga sama Jaemin tadi nggak? Beberapa kalimat kamu nyakitin Jaemin, aku yakin itu.”

Wanita itu memokuskan matanya pada cangkir kopi di depan. Otaknya berjelajah ulang ke percakapan teksnya ia dan Jaemin barusan. Setelah menyadari apa-apa yang sekiranya menyakiti Jaemin ia mendesah lelah. “Ah... Aku salah, ya, Mas?”

Lagi-lagi pria itu tersenyum kecil. Astaga, ini senyum yang selalu ia rindukan selama dua tahun terakhir. Senyun yang rasanya tidak lagi mungkin hadir di hidupnya, benar-benar nyata sekarang.

“Bukan salah kamu, juga bukan salah Jaemin, sayang. Kalian cuma sama-sama emosi. Lain kali kalau sama anak itu emosinya dikurangin, ya? Nanti malah mikir yang aneh-aneh.” Tangan kekar itu menarik daksa wanita di sampingnya untuk masuk ke dalam pelukan.

“Mas,” Ayla menengadahkan wajahnya, ia dapat melihat rupa hampir sempurna milik suaminya dari bawah sini. Hidung yang mancung, bibir yang tipis, mata kecokelatan juga rahang yang tegas. “Kita kaya orang pacaran, ya... Hehehehe.”

Doyoung tertawa, menyesap kopi yang masih mengepul itu lagi. “Pacaran setelah menikah.” katanya sambil mengambil ponsel Ayla dari atas meja. “Ini, kasih pengertian dulu ke anaknya, nanti tambah marah sama aku.”

Ayla mengangguk dua kali, “aye-aye, Capt!”

Setelahnya ia larut ke dalam pesan Jaemin di sana. Berusaha memberi pengertian kepada puteranya yang juga keras kepala itu membuat Ayla agak kesulitan.

Beberapa menit dihabiskan untuk sekedar berbincang, akhirnya Doyoung mengajak Ayla untuk kembali masuk ke dalam rumah sakit untuk sekedar menjemput Jeno yang sekarang sedang dijaga oleh Mamanya Doyoung. Tangan Ayla menggenggam erat jemari Doyoung.

“Nggak apa-apa, sayang. Nggak bakalan ada yang terjadi. Aku di sini, selalu.” katanya sambil mengelus punggung tangan isterinya— hanya untuk sekedar menyalurkan ketenangannya pada si wanita.

Aku di sini, selalu adalah kalimat sederhana yang sampai sekarang selalu membuat Ayla ketakutan saat mendengarnya. Ditambah dengan harus berhadapan dengan Mamanya Doyoung membuat Ayla makin bercucur keringat dingin.

“Mas,” ia menarik tangan Doyoung yang akan menekan knop pintu ruangan Jeno. “Aku tunggu di sini aja, deh...”

Doyoung menggeleng, “liat aku. Aku di sini, Ayla. Jangan takut, ya?”

Wanita itu menatap mata Doyoung yang menenangkan seperti aliran air dalam sungai. Mata yang selalu ia rindukan di setiap malamnya lagi-lagi menyihirnya untuk menganggukkan kepala.

Doyoung memajukan tubuhnya untuk mengecup puncak kepala isternya. Ia terus-terusan menyalurkan ketenangan yang ia miliki. Doyoung tau, sejak ditinggal olehnya selama dua tahun, Ayla memang menjadi sepenakut itu. Ia bahkan selalu takut pada apapun yang terjadi di kemudian hari.

“Ma...” Doyoung berjalan ke arah Mamanya yang sedang duduk di sofa sambil memerhatikan daksa Jeno. Di samping Mamanya tentu saja ada wanita dengan jas dokternya. Siapa lagi kalau bukan Rea?

“Do, antar Rea pulang dulu, ya? Udah malam.”