Sepotong lautan di duaribu senja.

Untukmu; rumah yang tidak mau dijadikan tempat berpulang.

Maaf kalau aku lancang karena telah meletakkan rasa pada seseorang yang seharusnya tidak terlibat dalam perasaanku yang rumit. Tapi aku sama sepertimu. Aku juga tidak tau di mana Semesta meletakkan pelabuhan hatiku.

Ini membingungkan, tapi kamu lebih. Salah, rasa ini tidak seharusnya ada. Dan aku cukup menyadari, kalau selama ini peranku hanya menjadi bayang-bayang. Kamu tau apa rasanya?

Rasanya seperti kamu bermain lego dan akan menysunnya menjadi sebuah truk pembawa pasir. Tapi saat kamu hampir saja selesai dalam menyusun, tiba-tiba ada blok yang hilang. Kosong juga kurang menyenangkan.

Katamu, “ikuti kata hatimu.”

Dan kata sebuah buku yang aku lupa siapa penulisnya, “lalu kalau hatiku sudah hancur berkeping-keping, bagian mana yang harus aku ikuti?”

Tepatnya,

kita adalah dua yang tidak akan mungkin menjadi satu.

Atau seperti ini,

aku dan kamu tidak akan pernah menjadi KITA.

Tapi, biar aku menuliskan 'Kita' dalam halaman kali ini.

Boleh kusebut namamu?

Samudera, terimakasih banyak telah mengajakku berpetualang mengelilingi duniamu. Tenggelam di lautan hatimu yang sebenarnya masih memiliki pertanyaan. Kita sama sama tau kalau hanya aku yang memiliki perasaan, tapi kenapa kamu bertingkah seolah kamu tidak mengetahui segalanya?

Mungkin memang begini jalan ceritanya. Sesederhana aku mencintai kamu, dan kamu mencintai dia yang lain. Sederhana tapi cukup menyakitkan. Terlebih saat harus memutuskan kalau aku harus berhenti di sini dan kita sama-sama meninggalkan.

Kamu meninggalkan luka, sedangkan aku meninggalkan rasa.

Sesal bukan untuk dipilih, sebab hidupku harus tetap berjalan— dengan atau tanpa adanya kamu.

Lewat sini aku mengucapkan selamat tinggal. Untukmu yang pernah menjadi apa-apa walau kita belum sempat bersama.

— Ditulis oleh aku, Sekala Pelangi Bening. Ahad, pukul 03.15 pagi sambil menyesap kopi hitam penuh kepulan asap kesukaanku.