TetehnyaaJisung

Malaikat.

Dan pada akhirnya, harus ada selesai untuk semua yang dimulai.

“Gimana?” Ten membuka topinya saat baru saja sampai di rumah Ayla. Matanya menatap Jaemin juga Jaehyun yang malah diam di depan pintu kamar Ayla. “Kok pada diam, sih?”

Jaehyun menghela napasnya, “Ayla nggak mau keluar dari tadi, Dok.” lalu berjalan mendekat ke arah Jaemin yang sedari tadi justru menunduk dalam. Segala kemungkinan berlarian ke sana-sini di kepalanya.

Ten berdecak, aneh sekali dua pria ini— terutama Jaehyun. “Ini di dalam ada orang depresi, loh. Kita kalau telat sedikit aja, fatal akibatnya.” Pria itu tidak lagi bisa menahan emosinya. Matanya menatap pintu putih di hadapan, menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku.

“Mau ngapain?” tanya Jaehyun yang menahan pergelangan tangan Ten.

“Mandi!” Pria itu berdecak, lagi. Bisa-bisanya Jaehyun bertanya hal konyol seperti itu di saat keadaan genting seperti ini. “Ya mau dobrak, lah!”

Jaehyun makin menarik ten untuk menjauh dari pintu, yang membuat pria berkemeja hitam itu merotasikan bolamatanya malas. Drama apalagi, ini? Ia harus menyelamatkan nyawa seseorang, tapi kenapa ada aja halangannya?

“Ayla bakalan terjun ke bawah kalau kita dobrak pintunya.” Kata Jaehyun memberi tau.

Rasanya, Ten ingin marah saja dengan Jaehyun. Tapi ia menggelengkan kepalanya, otak ya harus tetap segar di keadaan seperti ini. “Jaehyun, dengerin saya. Kita lakuin ini dengan cepat. Di dalam Ayla nggak tau kalau kita mau dobrak, jadi dia nggak ada persiapan apapun kalau mau terjun.” katanya berusaha menahan amarah.

Benar juga. Semuanya harus dilakukan dengan cepat, karena kalau tidak nyawa taruhannya. Orang yang depresi tidak bisa berpikir dengan jernih, maka dari itu, Ten yang harus berpikir dengan jernih di sini.

— BRAK!

“Ayla!” Ten menepuk tangan wanita yang sudah berdiri di depan jendela kamarnya itu dengan kasar, di tangan kanannya ada pisau kecil yang sudah menggores beberapa luka kecil di bagian tangan.

Pisaunya terlempar akibat tepukan Ten tadi, sedangkan Ayla terkejut saat daksanya di bawa kembali ke dalam pelukan hangat milik Ten. Sejak dua tahun lalu, rasanya hanya Ten yang bisa membuatnya aman.

“Saya udah bilang, jangan lakukan apapun, Ayla.” katanya. Ia membawa daksa kecil di rengkuhan itu untuk kembali duduk di kasur. “Kamu minum obat penenang, lagi? Ayla—”

“Itu nggak baik?” Ayla memotong kalimat pria di sampingnya. Pria yang sampai saat ini masih mengelus puncak kepalanya lembut. Ayla rindu diperlakukan manis seperti ini dan tentu saja dengan Doyoung. “Terus apa yang baik, Dok?”

Ten menghela napas, “nggak semuanya harus kamu pikirin, Ayla. Kadang beberapa beban cuma perlu kamu ikhlasin.” katanya dengan nada lembut yang menenangkan.

Tidak salah rasanya kalau Ayla menggantungkan dirinya pada Dokter yang satu ini, karena pria itu sudah berkali-kali menyelamatkan hidupnya. Lihat saja, dokter mana yang mau ke rumah pasiennya di pukul satu dini hari?

“Udah, sekarang tidur. Saya, Jaehyun sama Jaemin di sini. Jangan takut.” katanya lagi-lagi menenangkan. Genggaman tangannya sengaja ia lepaskan agar si wanita bisa naik lebih jauh ke atas kasurnya. Manik mata Ten tetap bersinar walau di bawah sorotan remang lampu tidur saja.

Mana sempat ia untuk menyalakan lampu di saat keadaannya seprti ini?

Jaemin sedari tadi hanya memerhatikan interaksi yang dibuat oleh Ten, sedangkan Jaehyun sedang mati-matian menahan api cemburunya.

“Dok,” Ayla menahan tangan Ten saat pria itu ingin beranjak.

“Hm?” Ten berdeham sambil kembali duduk di ujung ranjang. Bibirnya mengulum senyum tipis khas yang bisa menyihir siapapun yang melihatnya.

“Bukannya semua yang dimulai harus segera diselesaikan, ya?” tanyanya.

Ten memaklumi, beberapa orang yang mengalami cidera pada jiwanya akan berpikir begitu kerasnya. Sampai terkadang ada beberapa yang memikirkan hal-hal tidak masuk akal.

“Iya, Ayla. Semua yang dimulai harus segera diselesaikan, tapi dengan cara yang nggak gegabah kaya kamu tadi. Kamu tau? Hidup kamu berharga karena kamu spesial, Ayla.” katanya memperingati. Tangannya terulur untuk merapikan rambut wanita itu yang bahkan tidak bisa dibilang rapi.

Astaga, Ayla benar-benar berantakan malam ini. Di saat mengalami puncak stress yang seperti ini kadang membuat Ten tidak tega. Ia ingin selalu dan tetap berada di samping wanita ini, tapi apa daya?

“Tidur, ya? Nanti pagi ada yang mau ketemu sama kamu.”

Melawan rasa takut.

Setelah mendapat izin dari anak-anak, Ten benar-benar membawa Ayla ke taman hiburan yang tiketnya sudah dipersiapkan itu. Di samping Ten, mata Ayla tidak juga berkedip saat mendapati biang lala yang sangat besar di hadapan. “Dok? Kita lagi nggak mau naik ini, kan?”

Ten terkekeh kecil, “kita ke sini ya itu artinya kita naik ini dong!”

“Ini tinggi banget loh?” Ayla memundurkan kakinya beberapa langkah. Menatap biang lala menyeluruh.

Ten memegang bahu Ayla, “Lihat saya, Ayla! Kamu harus bisa ngelawan rasa takut kamu yang berlebihan. Emang kamu nggak ngerasa tertekan kaya gini terus?” netra kecoklatan bersinar itu menatap manik legam Ayla dalam. “Kamu bahkan takut keramaian, kan?”

Kepala Ayla pening mendengar omongan Ten, tapi benar juga sih. Memangnya kalau bukan dirinya sendiri yang memulai rasa takut, siapa lagi?

“Mau biang lala atau langsung hysteria?” tanyanya sambil terkekeh kecil.

Ayla mendengus malas, “dokter maunya bikin saya sembuh dulu atau langsung mati?”

“Hush! Ngomongnya gitu,” Ten beralih menggandeng tangan wanita itu, berjalan mendekati wahana biang lala. “mau naik sama saya dulu atau langsung sendiri?”

Tanpa berpikir lagi Ayla langsung memukul bahu pria di sampingnya yang malah sibuk terkekeh. Kayanya pria berjabatan psikiater itu lebih banyak tertawa hari ini. Entah benar atau tidak, tapi Ayla merasakan energi yang positif di sampingnya.

“Ayo, naik.” Ten menarik tangan Ayla saat pintu biang lala itu terbuka, siap untuk ditempati.

Ayla menatap Ten bingung. “Dokter ikut juga, kan?”

Lagi, Ten tertawa sampai matanya membentuk sabit. “Iya, iya saya ikut. Ayo!”

Wanita itu masih diam di tempatnya. Membiarkan Dokternya masuk duluan ke dalam sana. Lalu dengan langkah yang kecil, ia ikut masuk ke dalamnya.

Seperti nostalgia, Ayla merasakan atmosfer yang berbeda saat dua tahun lalu ia menaiki wahana yang sebenarnya tidak pernah berubah ini. Hanya saja, orang yang di hadapannya sekaramg itu Ten, bukan lagi Doyoung. Sampai pada akhirnya ia duduk manis di sana, menundukkan kepalanya dalam. Tangannya berpegang erat pada tali tas.

“Ayla, kamu ingat dua tahun lalu saat kamu koma?” tanya Ten membuat Ayla menatap wajahnya dan mengangguk mengiyakan. Tanpa sadar, sang biang lalapun sudah berjalan perlahan membawa mereka hampir menembus ke awan.

Ten kembali tersenyum, ia mengambil tangan Ayla yang masih berpegangan pada tali tas. “Tau kenapa saya periksa kamu waktu itu? Padahal saya bukan Dokter umum seperti Kun?”

Ayla menggeleng, setiap bersama Ten rasanya seperti aman. Entah perasaan dari mana, tapi ya memang begitu adanya.

“Doyoung pernah meragukan kejiwaan kamu setelah kecelakaan itu, Ayla. Tapi ya... wajar sih, soalnya malam itu adalah hal yang sulit diterima oleh semua orang, kan?” Ten merapikan rambut wanita di hadapannya, bibirnya mengulum senyum tipis yang sebenarnya sangat manis itu.

Astaga, Ten. Kenapa kamu ikut membuat sang pembaca mabuk kepayang?

Ayla yang sedari tadi diam menatap Ten kini memikirkan segala kemungkinan yang ada di pikiran Doyoung waktu itu. Termasuk, bagaimana kalau ternyata jiwanya tidak lagi sehat? Apa Doyoung akan tetap menerimanya?

“Doyoung itu sayang banget sama kamu, Ayla.” Seolah tau pikiran wanita itu, Ten mengucapkan kalimat itu sembari melihat pemandangan kota dari atas. “Ayla kita sudah di atas!”

Ayla mengarahkan pandangannya di bagian terbuka biang lala. Matanya sedikit membola saat mengetahui ia berhasil sampai di atas. Tentu saja karena Ten mengajaknya berbicara, agar ia juga merasa rileks. Lihat, Ten bisa membuat Ayla merasa aman, kan?

“Don't be panic, santai, santai. Jangan gerak berlebihan kalau kamu takut.” Perlahan, Ten melepaskan genggaman tangannya di milik wanita itu. Ia tertawa singkat saat melihat kepanikan wajah di hadapan.

“Dok...” Suaranya sedikit bergetar menahan rasa takut. Banyak sekali kemungkinan yang ada di kepalanya. Bagaimana kalau jatuh? Bagaimana kalau biang lalanya macet? Bagaimana? Bagaimana?

Astaga, terlalu banyak bagaimana padahal ia akan baik-baik saja di sini bersama Ten.

“Tenang, jangan takut. Lawan rasa takutnya, okay? Kalau kamu lupa saya di sini.” Ten menepuk pundak Ayla dua kali, mengarahkan pandangannya untuk ke luar jendela. “Lihat, pemandangannya bagus.”

Perlahan tapi pasti Ayla segera mengarahkan pandangannya ke luar jendela lagi. Tangannya menarik milik Ten untuk digenggam, meredam segala ketakutan yang ada di benaknya. Tanpa sadar, ia perlahan mulai menghilangkan rasa takut tapi juga mulai ketergantungan dengan Ten.

Setelah hampir satu jam, akhirnya mereka kembali ke bawah dan menuruni wahana itu. Di benak Ten, ada beberapa wahana lain yang setidaknya bisa melawan rasa takut Ayla secara perlahan.

“Wow...” Ayla bergumam kagum saat sudah menuruni wahana itu. Matanya menatap biang lala bagian atas, “tadi kita di sana, Dok.”

Ten mengangguk cepat, “berani kan, kamu? Bisa kan, kamu? Apapun pasti bisa kamu lakuin kalau kamu lawan rasa takut kamu, Ayla.”

— drrrt

Ponsel Ayla bergetar, menandakan ada pesan masuk beberapa kali. Sejenak ia membiarkannya sambil menetralkan detak jantungnya yang masih tidak beraturan.

“Siapa?” tanya Ten saat mendapati perubahan wajah Ayla saat membaca pesan.

“Ayo pulang, Dok.” katanya melemah.

Melawan rasa takut.

Setelah mendapat izin dari anak-anak, Ten benar-benar membawa Ayla ke taman hiburan yang tiketnya sudah dipersiapkan itu. Di samping Ten, mata Ayla tidak juga berkedip saat mendapati biang lala yang sangat besar di hadapan. “Dok? Kita lagi nggak mau naik ini, kan?”

Ten terkekeh kecil, “kita ke sini ya itu artinya kita naik ini dong!”

“Ini tinggi banget loh?” Ayla memundurkan kakinya beberapa langkah. Menatap biang lala menyeluruh.

Ten memegang bahu Ayla, “Lihat saya, Ayla! Kamu harus bisa ngelawan rasa takut kamu yang berlebihan. Emang kamu nggak ngerasa tertekan kaya gini terus?” netra kecoklatan bersinar itu menatap manik legam Ayla dalam. “Kamu bahkan takut keramaian, kan?”

Kepala Ayla pening mendengar omongan Ten, tapi benar juga sih. Memangnya kalau bukan dirinya sendiri yang memulai rasa takut, siapa lagi?

“Mau biang lala atau langsung hysteria?” tanyanya sambil terkekeh kecil.

Ayla mendengus malas, “dokter maunya bikin saya sembuh dulu atau langsung mati?”

“Hush! Ngomongnya gitu,” Ten beralih menggandeng tangan wanita itu, berjalan mendekati wahana biang lala. “mau naik sama saya dulu atau langsung sendiri?”

Tanpa berpikir lagi Ayla langsung memukul bahu pria di sampingnya yang malah sibuk terkekeh. Kayanya pria berjabatan psikiater itu lebih banyak tertawa hari ini. Entah benar atau tidak, tapi Ayla merasakan energi yang positif di sampingnya.

“Ayo, naik.” Ten menarik tangan Ayla saat pintu biang lala itu terbuka, siap untuk ditempati.

Ayla menatap Ten bingung. “Dokter ikut juga, kan?”

Lagi, Ten tertawa sampai matanya membentuk sabit. “Iya, iya saya ikut. Ayo!”

Wanita itu masih diam di tempatnya. Membiarkan Dokternya masuk duluan ke dalam sana. Lalu dengan langkah yang kecil, ia ikut masuk ke dalamnya.

Seperti nostalgia, Ayla merasakan atmosfer yang berbeda saat dua tahun lalu ia menaiki wahana yang sebenarnya tidak pernah berubah ini. Hanya saja, orang yang di hadapannya sekaramg itu Ten, bukan lagi Doyoung. Sampai pada akhirnya ia duduk manis di sana, menundukkan kepalanya dalam. Tangannya berpegang erat pada tali tas.

“Ayla, kamu ingat dua tahun lalu saat kamu koma?” tanya Ten membuat Ayla menatap wajahnya dan mengangguk mengiyakan. Tanpa sadar, sang biang lalapun sudah berjalan perlahan membawa mereka hampir menembus ke awan.

Ten kembali tersenyum, ia mengambil tangan Ayla yang masih berpegangan pada tali tas. “Tau kenapa saya periksa kamu waktu itu? Padahal saya bukan Dokter umum seperti Kun?”

Ayla menggeleng, setiap bersama Ten rasanya seperti aman. Entah perasaan dari mana, tapi ya memang begitu adanya.

“Doyoung pernah meragukan kejiwaan kamu setelah kecelakaan itu, Ayla. Tapi ya... wajar sih, soalnya malam itu adalah hal yang sulit diterima oleh semua orang, kan?” Ten merapikan rambut wanita di hadapannya, bibirnya mengulum senyum tipis yang sebenarnya sangat manis itu.

Astaga, Ten. Kenapa kamu ikut membuat sang pembaca mabuk kepayang?

Ayla yang sedari tadi diam menatap Ten kini memikirkan segala kemungkinan yang ada di pikiran Doyoung waktu itu. Termasuk, bagaimana kalau ternyata jiwanya tidak lagi sehat? Apa Doyoung akan tetap menerimanya?

“Doyoung itu sayang banget sama kamu, Ayla.” Seolah tau pikiran wanita itu, Ten mengucapkan kalimat itu sembari melihat pemandangan kota dari atas. “Ayla kita sudah di atas!”

Ayla mengarahkan pandangannya di bagian terbuka biang lala. Matanya sedikit membola saat mengetahui ia berhasil sampai di atas. Tentu saja karena Ten mengajaknya berbicara, agar ia juga merasa rileks. Lihat, Ten bisa membuat Ayla merasa aman, kan?

“Don't be panic, santai, santai. Jangan gerak berlebihan kalau kamu takut.” Perlahan, Ten melepaskan genggaman tangannya di milik wanita itu. Ia tertawa singkat saat melihat kepanikan wajah di hadapan.

“Dok...” Suaranya sedikit bergetar menahan rasa takut. Banyak sekali kemungkinan yang ada di kepalanya. Bagaimana kalau jatuh? Bagaimana kalau biang lalanya macet? Bagaimana? Bagaimana?

Astaga, terlalu banyak bagaimana padahal ia akan baik-baik saja di sini bersama Ten.

“Tenang, jangan takut. Lawan rasa takutnya, okay? Kalau kamu lupa saya di sini.” Ten menepuk pundak Ayla dua kali, mengarahkan pandangannya untuk ke luar jendela. “Lihat, pemandangannya bagus.”

Perlahan tapi pasti Ayla segera mengarahkan pandangannya ke luar jendela lagi. Tangannya menarik milik Ten untuk digenggam, meredam segala ketakutan yang ada di benaknya. Tanpa sadar, ia perlahan mulai menghilangkan rasa takut tapi juga mulai ketergantungan dengan Ten.

Setelah hampir satu jam, akhirnya mereka kembali ke bawah dan menuruni wahana itu. Di benak Ten, ada beberapa wahana lain yang setidaknya bisa melawan rasa takut Ayla secara perlahan.

“Wow...” Ayla bergumam kagum saat sudah menuruni wahana itu. Matanya menatap biang lala bagian atas, “tadi kita di sana, Dok.”

Ten mengangguk cepat, “berani kan, kamu? Bisa kan, kamu? Apapun pasti bisa kamu lakuin kalau kamu lawan rasa takut kamu, Ayla.”

— drrrt

Ponsel Ayla bergetar, menandakan ada pesan masuk beberapa kali. Sejenak ia membiarkannya sambil menetralkan detak jantungnya yang masih tidak beraturan.

“Siapa?” tanya Ten saat mendapati perubahan wajah Ayla saat membaca pesan.

“Ayo pulang, Dok.” katanya melemah.

Dear, D.

Hai, Do?

It's 01.06 dan yaaaaa selamat malam, capt! Bosan nggak? Semoga aja nggak. Semoga. Semoga. Semoga. Do, kamu tau? Akhir-akhir ini banyak banget sesuatu yang selalu aku semogakan. Dan perlahan, semesta mengabulkannya.

Di lembar kali ini, aku kembali percaya pada semesta. Karena benar, Do. Nggak ada yang lebih indah dari rencana-Nya.

Oh iya, omong-omong sejak aku disuruh Dokter Ten untuk menulis Diary, semuanya jadi agak membaik. Buku adalah satu-satunya yang bisa mengerti aku selain diriku sendiri, Do. Tentu selain kamu juga.

Malam ini, banyak banget kemungkinan yang makin lama makin bikin aku percaya kalau kamu masih dan akan selalu bertahan di dunia ini. Do, nggak bosan aku bilang ini... Jangan lupa jalan pulang, ya?

Aku nggak lagi mau mengeluh capek, Do. Karena kata Dokter Ten, “kalau ditanya siapa yang paling lelah di cerita ini jawabannya bukan kamu, tapi semesta.”

Awalnya aku juga bingung kenapa semesta yang paling lelah padahal semuanya aku yang jalani. Tapi aku kembali berpikir, semesta susah payah menuliskan kisah ini tapi aku menyerah begitu aja. Rasanya nggak adil kan, Do? Jadi aku memutuskan untuk tetap di sini, di samping dan selalu bersama anak-anak.

Oh iya, soal anak-anak... Jaemin sama Jeno udah jadi mahasiswa, mereka tumbuh dengan baik, Do. Nggak ada yang kekurangan sedikitpun. Maaf ya, kalau aku nggak jadi resign setelah project panti. Karena aku nggak tau ada pemasukan dari mana lagi nantinya. Aku bangga, Do. Aku bisa bertahan sejauh ini, dua tahun tanpa kamu. Walau kadang rasanya kosong dan begitu hampa.

Tapi di lembar kali ini, aku masih belum mau mengikhlaskanmu. Walau ada banyak orang yang meminta, tapi nggak. Aku di sini, selalu menunggu kepulanganmu.

Do, Raina belum mendapat kado ulang tahun dari Papanya loh. Kamu nggak mau kasih? Atau ucapan singkat penuh makna, mungkin?

Rasanya nggak pernah salah kalau aku terlalu berharap pada semesta kan, Do? Lagi pula, akhir-akhir ini juga semesta selalu mengabulkan apa yang aku semogakan. Nanti, kalau semesta nggak lagi mengabulkan, tenang aja. Aku nggak akan menyalahkan semesta karena semuanya murni kesalahanku, Do.

Soal pengharapan, bukannya manusia memang begitu, Do?

Dia yang meletakkan harap, lalu dia juga yang marah kalau seluruh realita tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.

Aku juga manusia, Do. Tapi aku nggak lagi mau menyalahkan semesta. Karena tanpa-Nya, kisah KITA nggak akan mungkin seindah kemarin, walau lukanya masih selalu membekas di aku. Hahaha.

Omong-omong malam ini aku nggak ngelakuain bagian tubuhku lagi, Do. Dan besok aku kembali perawatan sama Dokter Ten. Bangga, nggak? Kalau bangga, apa yang mau kamu ucapin ke aku? Hahaha kalau kamu di sini, pasti udah meluk aku, Do.

Udahlah, aku ngantuk nih. Tuhkan! Aku tuh paling nggak bisa menutup sebuah tulisan yang aku mulai, Do. Karena rasanya, aku suka menuliskanmu. Segalanya tentang kamu itu nggak akan pernah ada habisnya, Do. Terlalu banyak kalimat yang ingin kuutarakan untuk menuliskanmu.

Jadi, ya? Di manapun kamu berada, hiduplah dengan baik, Do. Karena aku di sini selalu berusaha menemukanmu. Karena bahagiaku ada di kamu.

— Bagian dari KITA, Ayla.

Do, itu kamu?

Dalam semogaku, aku maunya kamu yang di sini.

Netra pekat itu beralih ke arah anak laki-laki yang duduk di samping Jaehyun. Sedari tadi, Jeno menundukkan kepalanya dalam. “Kenapa, Jeno?”

“Eh?” Jeno menggaruk pipinya yang jelas saja tidak gatal. Ia terkekeh sumbang, “nggak apa-apa, Bun. Jeno mau izin ke toilet dulu, ya.”

Arah pandang Ayla mengikuti setiap pergerakan Jeno, bahkan sampai anak laki-laki itu hilang ditelan belokan toilet. Jaehyun yang menyadari langsung menyenggol tangan Ayla. “Jeno kenapa?”

Ia mengangkat bahunya, “nggak tau. Aku juga bingung— aku samperin dulu deh, ya. Aku nitip Jaemin sama Raina sebentar.” lalu berjalan ke arah toilet meninggalkan mereka yang sedang sibuk dengan makanannya masing-masing, terutama Raina yang sibuk dengan kue ulang tahun pemberian Jaehyun.

Ayla meletakkan telapak tangannya di bagian dada saat melihat Jeno yang malah diam di lorong pembatas antara toilet perempuan dan laki-laki. Dadanya sesak saat melihat satu bulir air mata yang keluar dengan sempurna dari mata yang selalu tersenyum itu.

“Jeno,” panggilnya. Anak laki-laki itu tentu saja terkejut dan dengan segera menghapus air matanya. “kenapa?”

Jeno malah diam, menatap mata pekat bundanya lamat. Sedangkan Ayla kebingungan di tempatnya. Ia tidak mau memaksa Jeno untuk menceritakan apa masalahnya sekarang. Tapi nanti, mungkin. Tangannya membawa Jeno ke dalam pelukan, ia mengusap punggung anak itu lembut.

“Semuanya akan baik-baik aja, Jeno.” Dia tersenyum di sana.

Di saat seperti ini Ayla menyadari satu hal, kalau selama ini ia selalu menjadi tameng dari anak-anaknya. Ia selalu menjadi penopang anak-anaknya. Padahal sekarangpun hatinya sedang resah, tentang pesan dari Mamanya Doyoung tadi.

“Bunda...” Jeno sedikit menjauhkan tubuhnya yang lebih besar dari sang bunda guna melihat wajahnya. “Jeno maunya Papa...”

Ayla mengangguk sedikit mengerti apa yang menjadi kemauan puteranya itu. Dalam hati ia menjawab, “Bunda juga maunya gitu, Jeno...”

“Jeno maunya bukan Om Jaehyun, Bunda..” katanya lagi, berusaha menjelaskan apa yang menjadi isi hatinya. Karena sudah pernah dibilang, Jeno bukanlah manusia yang mampu menjelaskan apa isi hatinya dengan mudah.

Dalam diamnya Ayla tersenyum tipis. Lagi-lagi menyembunyikan luka yang baru saja tergores. “Cup, cup, cup superhero udah gede, nggak boleh nangis lagi, ya, sayang? Papa nggak mau lihat Jeno kaya gini..”

Anak laki-laki yang sudah pintar menyembunyikan lukanya itu terkekeh sumbang— sama, ia juga sekedar menutupi perasaan sakitnya di dalam dada. “Bunda, tetap di sini sama Jeno, ya?”

Ia mengangguk, “iya, sayang. Bunda, Jaemin sama Raina akan tetap di sini sama Jeno. Kita sama-sama, ya? Yaudah, sekarang Jeno cuci muka dulu, baru kita lanjut makan terus pulang.”

Jeno tertawa kecil, ia mengacungkan jempol kanannya ke Ayla. Kali ini, matanya ikut tersenyum yang menandakan ia sedang mencoba memperbaiki suasana hatinya, lagi.

Sedangkan Ayla berjalan kembali menghampiri yang lain. Pandangannya berjalan ke sana-sini untuk menemukan Jaehyun juga Raina yang tidak ada di kursinya. Di sana hanya ada Jaemin yang sedang fokus dengan ponselnya.

“Dika, kalau ini, gimana?”

Entah apa yang membawa Ayla untuk menatap seorang wanita yang sedang menunjukkan beberapa barang di hadapan pria yang memunggunginya. Tapi rasanya, bahu itu tidak lagi asing di mata Ayla. Matanya menyipit, memastikan bahwa sepertinya ia pernah melihat siapa wanita tadi. “Kaya kenal...”

“Ini bagus buat kamu.” jawab pria itu sambil menunjukkan satu kalung.

Suara itu. Demi apapun. Suara itu mengingatkan Ayla pada satu orang yang sampai detik ini tidak pernah ia lupakan. Orang yang sampai detik ini masih mengisi seluruh ruang di hati bagian terkecil sekalipun.

“Do..”

“Bunda masih di sini?” Jeno agak terkejut saat mendapati sang Bunda masih di bagian ujung lorong toilet. Arah pandangnya bergerak ke sana-sini, seolah mencari alasan kenapa Bundanya masih diam tidak bergeming.

“Jeno... Bunda denger suara Papa..” katanya sambil menahan napas. Tidak pernah terpikirkan oleh Ayla kalau mengucapkan satu kalimat bisa sesulit ini.

Jeno menautkan alisnya, “Bunda? Nggak ada Papa di sini.” katanya tidak percaya.

Mata Ayla bergerak ke arah dua pasangan tadi yang sepertinya duduk tidak jauh dari tempatnya berdiri. Telunjuknya bergerak seolah meminta Jeno untuk melihat ke arah sana. “Itu Papa, Jeno...”

Jeno diam, di sana kosong dan tidak ada siapapun.

Bundanya, kembali berhalusinasi. Dan ia harus membicarakannya dengan Dokter Ten, lagi.

Selamat malam.

Jujur aku cuma mau bilang makasih di halaman kali ini. Makasih buat yang baca cerita imi dari awal sampai akhir. Makasih udah ikutin perjalanan KITA yang sebenarnya panjang tapi sebisa mungkin kubuat singkat.

Rasanya, kayak tumbuh bersama dalam satu bulan ini. Hahaha. Aku menuliskannya dengan cepat, kan?

Tapi aku masih inget pasti gimana rasanya nangis tengah malem cuma buat nulis-nulis chapter tertentu. Terlebih ada yang menganggu dan bikin aku makin takut buat berkarya. Tapi kalian, teman-teman pembaca terus bikin aku semangat sampe aku nemuin jalan buat balik lagi menuliskan KITA.

jujur... aku nggak nyangka sampai detik ini punya beberapa pembaca yang wah... keren banget kalian tuh. aku mau bilang makasih yang udah selalu reply di setiap updatean KITA. Buat yang udah dm aku, cerita-cerita kalau dari KITA kalian banyak mendapat pelajaran baru.

Kalau emang benar begitu, terimakasih. Semoga KITA yang kutulis sampai berdarah-darah tetap membekas di hati kalian. Semoga kalimat-kalimat di KITA menyebarkan banyak hal positif untuk kalian.

Aku... Aku beneran nggak tau lagi mau ngucapin apa ke kalian selain banyak-banyak terimakasih dan udah bikin aku terharu karena tiap pagi pasti ada aja dm yang bikin hari aku cerah. Maaf kalau lewat cerita aku mungkin pernah nyakitin kalian. Maaf. Maaf. Maaf. Aku baca semua reply kalian mulai dari yang lucu, gemes, marah, dan nangis satu persatu. Tapi maaf kalau nggak aku rep balik karena aku takut akunku kena suspend kayak akun tulisku yang sebelumnya @/duaribusenja

Aku juga baca pesan di secreto yang kalian kirim buat aku. Aku bersyukur punya temen-temen pembaca yang berhasil menemukan KITA lalu akhirnya menyukai KITA.

Sebentar, sebelum tutup... Aku mau bilang makasih sama om papa. Karenanya aku dapet banyak pembaca yang baik-baik. Om papa, Kala berhasil membangun sosok bunda dengan hampir sempurna. Bangga, nggak?

Ini gimana nutupnya....

Semoga kalian tetap jatuh cinta sama WAKTU walau aku buat beberapa konten yang mungkin agak sensitif di sana nanti. Semoga aku nggak pernah mengecewakan kalian lewat tulisanku (ini lagi dah) makasih ya, semuanya?

Sehat dan bahagia selalu, kesayangannya kala!💙

Akhir tapi bukan berakhir.

Hanya bagian tengah dari perjalanan yang panjang.

ayla menerobos masuk ke dalam pos di mana ada beberapa korban selamat dari tragedi itu saat jaehyun baru saja menghentikan mobilnya dengan sempurna. mata wanita bergerak ke sana-sini dengan gelisah, menghampiri satu persatu tenda yang dengan sengaja dibangun. kian lama netra itu memanas saat ia tidak juga menemukan seseorang yang sangat diharapkan.

“ayla!” jaehyun menarik tangan ayla agak kasar saat mendapati wanita menjambak rambutnya sendiri, frustasi. pria itu tidak mau ayla menyakiti dirinya sendiri apalagi harus merobek kulit kepalanya karena jambakan itu terlalu kuat.

“permisi,” kedua manusia berbeda jenis itu langsung mengalihkan pandangannya kepada seorang pria yang tampaknya lebih muda dengan satu alat pengeras suara di tangannya. sepertinya ia hendak mengumumkan sesuatu.

segala do'a sudah ayla panjatkan pagi ini. karena lagi-lagi ia mengetahui lewat berita kalau ada dua puluh korban yang selamat hari ini. tidak salah kalau rasanya ia berharap pria yang sedang berdiri di depan sana adalah manusia yang membawa kabar bahagia.

“Saya Xiaojun, salah-satu relawan yang berasal dari Jakarta akan memberitau siapa saja korban yang ditemukan dengan selamat hari ini.” katanya dengan senyum tipis yang dipaksakan, seolah ia mengetahui perasaan beberapa orang yang sedang menunggu kabar darinya.

ia meringsut ke bawah saat nama doyoung tidak juga disebutkan oleh pria bernama Xiaojun tadi. kakinya lemas seperti jelly setelah menyadari bahwa doyoung adalah salah-satu korban dari empatbelas lainnya yang tidak juga ditemukan.

“jadi untuk keluarga dari korban yang belum juga ditemukan, kami meminta keikhlasan hatinya. karena,” pria di depan sana menatap ayla yang sekarang sudah berjongkok di atas tanah dengan jaehyun yang menopang bahunya di samping kanan. “karena tidak ada manusia yang bertahan di dalam air selama lebih dari dua jam. dan sekarang, adalah hari ke tiga.”

jaehyun mengerinyit penuh tanya, “jadi, pencarian akan diberhentikan sampai di sini?” tanyanya sambil terus memegang pinggang ayla agar wanita itu tetap pada posisinya.

xiaojun menggeleng. “nggak, pak. pencarian akan tetap dilakukan tapi tidak seintensif biasanya karena cuaca akhir-akhir ini juga sedang tidak memungkinkan.” jelasnya yang dapat diterima oleh jaehyun.

sedangkan wanita di samping jaehyun mendesah frustasi, “JANGAN PERNAH BERHENTIIN PENCARIAN SEBELUM DOYOUNG DITEMUKAN!” katanya teriak. ayla sudah tidak lagi bisa menahan apa yang menjadi bebannya.

anak-anak yang tidak terurus lalu dirinya sendiri yang terlihat seperti sedang di ambang kehidupan. ayla lebih terlihat seperti orang yang depresi ketimbang seorang ibu dengan tiga orang anak.

xiaojun mengangguk, “kamu nggak janji, bu. tapi kami berusaha. saya pamit dulu ya, mau siapin makan siang.” lalu pergi ke arah tenda di mana para relawan ditempati.

“don't be sad, ayla. pasti ada keajaiban. aku di sini. jangan takut, ya?” jaehyun merengkuh daksa wanita itu, mengelus puncak kepalanya berkali-kali guna menenangkan.

“ayla, gimana?” seorang pria dengan kemeja hitam itu menarik tubuh ayla dari pelukan jaehyun dengan kasar.

ayla mengerinyit sambil memegang tangan jaehyun untuk meredam segala kesedihan yang kapan saja siap ditumpahkan.

aksara— pria tadi (kalau lupa dia kakaknya rea) tertawa sumbang. “suami lo hilang, ayla. tapi lo malah sibuk sama mantan suami lo? sadar, tolong. lo yang bikin doyoung buat ninggalin Lampung, kan? lo yang bikin doyoung untuk balik ke Jakarta cuma karena sifat lo yang kekanakan itu, kan?”

demi apapun, tidak ada kalimat yang lebih menusuk di hatinya saat ini selain milik pria berkacamata di hadapannya. ayla menangis, lagi. ia tidak membantah kalimat aksara karena memang begitu adanya. ia adalah penyebab dan kehilangan doyoung adalah akibatnya.

hidup itu adil, karena ada sebabpun diikuti oleh akibat.

“kurang ajar!” jaehyun si keras kepala menghantam wajah pria itu dengan pukulan kerasnya. pergerakannya berhenti saat tangan ayla menariknya. “ay? dia udah kelewatan sama kamu!”

ayla menggeleng.

sedangkan di sana aksara berusaha bangkit lalu tertawa lagi. “lo tau? arsha, cewek yang lo curigain sama doyoung itu sahabat dari isterinya kun. dan dia... dia ikut doyoung ke jakarta cuma buat jelasin apa yang terjadi ke lo.”

ayla mematung saat mendengar kalimat-kalimat yang begitu menyakitkan dari aksara. dan tentu saja, itu artinya... ia penyebabnya. kedua tangan wanita itu menjambak rambutnya, lagi.

“ay! stop!” jaehyun menarik tangannya lagi, mencoba menghentikan apa yang sedang dilakukan wanita itu. “jangan gini, ayla!”

“jaehyun... ketimbang doyoung dan arsha, aku lebih pantes mati.” katanya diiringi tangis yang kian lama makin mengecil.

doyoung... ayla capek menangis.

“ayla, kalo kamu punya seribu alasan untuk meninggalkan dunia. aku yakin kamu punya satu alasan untuk tetap bertahan hidup. jeno, jaemin dan raina nggak mau liat bundanya kayak gini! Kamu sekarang captainnya mereka, ayla! aku selalu di sini, sama kamu. sama kaluan. aku nggak akan ninggalin kamu lagi. jangan menyerah.”

di depannya, aksara tertawa. “arsha itu calon isteri gue, ayla. dan ya, lo bener. yang lebih pantes mati adalah lo.”

— THE END —

Akhir tapi bukan berakhir.

Hanya bagian tengah dari perjalanan yang panjang.

ayla menerobos masuk ke dalam pos di mana ada beberapa korban selamat dari tragedi itu saat jaehyun baru saja menghentikan mobilnya dengan sempurna. mata wanita bergerak ke sana-sini dengan gelisah, menghampiri satu persatu tenda yang dengan sengaja dibangun. kian lama netra itu memanas saat ia tidak juga menemukan seseorang yang sangat diharapkan.

“ayla!” jaehyun menarik tangan ayla agak kasar saat mendapati wanita menjambak rambutnya sendiri, frustasi. pria itu tidak mau ayla menyakiti dirinya sendiri apalagi harus merobek kulit kepalanya karena jambakan itu terlalu kuat.

“permisi,” kedua manusia berbeda jenis itu langsung mengalihkan pandangannya kepada seorang pria yang tampaknya lebih muda dengan satu alat pengeras suara di tangannya. sepertinya ia hendak mengumumkan sesuatu.

segala do'a sudah ayla panjatkan pagi ini. karena lagi-lagi ia mengetahui lewat berita kalau ada dua puluh korban yang selamat hari ini. tidak salah kalau rasanya ia berharap pria yang sedang berdiri di depan sana adalah manusia yang membawa kabar bahagia.

“Saya Xiaojun, salah-satu relawan yang berasal dari Jakarta akan memberitau siapa saja korban yang ditemukan dengan selamat hari ini.” katanya dengan senyum tipis yang dipaksakan, seolah ia mengetahui perasaan beberapa orang yang sedang menunggu kabar darinya.

ia meringsut ke bawah saat nama doyoung tidak juga disebutkan oleh pria bernama Xiaojun tadi. kakinya lemas seperti jelly setelah menyadari bahwa doyoung adalah salah-satu korban dari empatbelas lainnya yang tidak juga ditemukan.

“jadi untuk keluarga dari korban yang belum juga ditemukan, kami meminta keikhlasan hatinya. karena,” pria di depan sana menatap ayla yang sekarang sudah berjongkok di atas tanah dengan jaehyun yang menopang bahunya di samping kanan. “karena tidak ada manusia yang bertahan di dalam air selama lebih dari dua jam. dan sekarang, adalah hari ke tiga.”

jaehyun mengerinyit penuh tanya, “jadi, pencarian akan diberhentikan sampai di sini?” tanyanya sambil terus memegang pinggang ayla agar wanita itu tetap pada posisinya.

xiaojun menggeleng. “nggak, pak. pencarian akan tetap dilakukan tapi tidak seintensif biasanya karena cuaca akhir-akhir ini juga sedang tidak memungkinkan.” jelasnya yang dapat diterima oleh jaehyun.

sedangkan wanita di samping jaehyun mendesah frustasi, “JANGAN PERNAH BERHENTIIN PENCARIAN SEBELUM DOYOUNG DITEMUKAN!” katanya teriak. ayla sudah tidak lagi bisa menahan apa yang menjadi bebannya.

anak-anak yang tidak terurus lalu dirinya sendiri yang terlihat seperti sedang di ambang kehidupan. ayla lebih terlihat seperti orang yang depresi ketimbang seorang ibu dengan tiga orang anak.

xiaojun mengangguk, “kamu nggak janji, bu. tapi kami berusaha. saya izin pamit dulu karena harus menyiapkan makan siang.” lalu pergi ke arah tenda di mana para relawan ditempati.

“don't be sad, ayla. pasti ada keajaiban. aku di sini. jangan takut, ya?” jaehyun merengkuh daksa wanita itu, mengelus puncak kepalanya berkali-kali guna menenangkan.

“ayla, gimana?” seorang pria dengan kemeja hitam itu menarik tubuh ayla dari pelukan jaehyun dengan kasar.

“dok... saya nggak tau..” katanya sambil memegang tangan jaehyun untum meredam segala kesedihan yang kapan saja siap ditumpahkan.

ten— pria tadi tertawa sumbang. “suami lo hilang, ayla. tapi lo malah sibuk sama mantan suami lo? sadar, tolong. lo yang bikin doyoung buat ninggalin Lampung, kan? lo yang bikin doyoung untuk balik ke Jakarta cuma karena sifat lo yang kekanakan itu, kan?”

demi apapun, tidak ada kalimat yang lebih menusuk di hatinya saat ini selain milik dokter berkacamata di hadapannya. ayla menangis, lagi. ia tidak membantah kalimat ten karena memang begitu adanya. ia adalah penyebab dan kehilangan doyoung adalah akibatnya.

hidup itu adil, karena ada sebabpun diikuti oleh akibat.

“kurang ajar!” jaehyun si keras kepala menghantam wajah ten dengan pukulan kerasnya. pergerakannya berhenti saat tangan ayla menariknya. “ay? dia udah kelewatan sama kamu!”

ayla menggeleng.

sedangkan di sana ten berusaha bangkit lalu tertawa lagi. “lo tau? arsha, cewek yang lo curigain sama doyoung itu sahabat dari isterinya kun. dan dia... dia ikut doyoung ke jakarta cuma buat jelasin apa yang terjadi ke lo.”

ayla mematung saat mendengar kalimat-kalimat yang begitu menyakitkan dari ten. dan tentu saja, itu artinya... ia penyebabnya. kedua tangan wanita itu menjambak rambutnya, lagi.

“ay! stop!” jaehyun menarik tangannya lagi, mencoba menghentikan apa yang sedang dilakukan wanita itu. “jangan gini, ayla!”

“jaehyun... ketimbang doyoung dan arsya, aku lebih pantes mati.” katanya diiringi tangis yang kian lama makin mengecil.

doyoung... ayla capek menangis.

“ayla, kalo kamu punya seribu alasan untuk meninggalkan dunia. aku yakin kamu punya satu alasan untuk tetap bertahan hidup. jeno, jaemin dan raina nggak mau liat bundanya kayak gini!”

di depannya, ten tertawa. “arsha itu calon isteri gue, ayla. dan ya, lo bener. yang lebih pantes mati adalah lo.”

— THE END —

Tentang kamu, D.

Aku... aku nggak tau harus memulainya dari mana, Do. Semuanya begitu tiba-tiba dan terasa tidak begitu nyata. Hampa, hancur dan kosong menjadi satu. Tidak pernah aku rasakan ini sebelumnya.

Kita terlalu sering bersama sampai akhirnya kita lupa kalau perpisahan bisa datang kapan saja.

Inginnya menyerah, tapi tidak mungkin.

Ingin rasanya menangis, tapi sudah terlalu sering.

Ingin rasanya marah, tapi tidak tau sama siapa.

“Aku di sini. Selalu.” adalah kalimat yang sampai detik ini masih dan selalu membekas di benakku.

Do, jujur. Aku nggak tau mau memulainya dari mana. Memulainya dengan cara seperti apa lagi. Semuanya datang bersamaan sampai aku bingung harus menyelesaikan bagian yang mana dulu.

Ingin rasanya berhenti, tapi aku pernah bilang; hidupku harus tetap berjalan tanpa atau adanya kamu, kan? Karena waktu itu aku tidak mau munafik.

Tapi rasanya begitu kosong saat kamu benar-benar tidak ada.

Rasanya seperti aku menenggelamkan diri pada jutaan pertanyaan lalu luka adalah jawaban satu-satunya.

Dan kali ini,

aku ingin munafik barang lima detik. Aku tidak bisa bertahan yang benar-benar bertahan sendirian, Do. Tanpa kamu, rumah yang sejauh ini kita bangun seperti hancur begitu aja.

Semua. Semuanya tentang kamu tidak pernah ada yang aku lupa, Do. Gimana caramu pertama kali datang, mengetuk pintu ruangan rawat-inap Jaemin di pukul duabelas malam lalu mengenalkan nama dengan senyum yang sampai detik ini masih jelas tergambar di benakku.

Kamu bukanlah sesuatu yang dilupakan dengan mudah. Walau kita belum terlalu lama bersama, tapi rasanya begitu menyakitkan.

Rasanya seperti aku jatuh, lalu duduk dan tidak mau kemana-mana. Tapi ada Jeno, Jaemin juga Raina yang butuh aku. Mereka udah kehilangan kaptennya. Lalu... aku harus membawa ke mana anggota yang lain, Do?

Kamu ingat saat aku koma? Aku berada di antara hidup dan mati. Rasanya seperti aku yang ingin pergi meninggalkanmu juga anak-anak. Tapi rasanya, aku tidak sampai hati dan tidak mau menjadi sejahat itu. Do, kembali, ya?

Ingin rasanya berhenti di sini, tapi tidak... Aku memutuskan untuk tetap berdiri walau beberapa kali jatuh. Berjalan maju walau beberapa kali mundur. Tertawa walau beberapa kali didampingi air mata.

Doyoung, maaf. Maaf kalau sampai detik ini aku belum bisa menerima keputusan semesta. Maaf kalau sampai detik ini aku masih berharap kalau kamu tidak pergi walau ada begitu banyak bukti. Tapi demi apapun, sampai tubuhmu belum terlihat di mataku, aku nggak mau memercayai siapapun.

Gambaran kamu dengan tas besarmu juga sepatu putih yang selalu kamu banggakan itu masih tersimpan rapi di dalam memori ingatanku, Do. Ah, kamu juga tersenyum waktu itu dengan mengucapkan selamat tinggal yang kukira tidak memiliki makna tersendiri. Kalimat selamat tinggal yang kukira akan kamu tarik lagi ketika kamu kembali.

Maaf telah berburuk sangka, Do. Karena nyatanya, kamu nggak pernah mempermainkanku. Kamu malah menjaga, mencintaiku sepenuh yang kamu bisa sampai-sampai semua orang percaya bahwa kamu pergi meninggalkanku dengan segala rasa cinta yang kamu punya.

Do, ingat tidak? Biasanya kita bergadang berdua sambil meminum dua cangkir kopi berbeda rasa, lalu sibuk masing-masing dengan beberapa kertas. Kamu dengan penyakit para pasien, sedangkan aku dengan beberapa laporan kerjasama. Semuanya indah, Do. Nggak ada hari yang kulewati sekuat bersama kamu.

Sekarang cuma ada aku dan anak-anak. Berjalan berdampingan saling menguatkan— walau mereka tau, kalau akulah yang paling lemah di perjalanan ini. Aku berdiri di belakang mereka, tertinggal jauh dengan nyawa yang tidak lagi penuh. Dengan tawa yang kali ini diiringi oleh duka.

Karena sebenarnya, duka adalah sesuatu yang lebih menyakitkan ketimbang luka.

Kalau saja malam itu aku tidak marah, mungkin kamu tidak akan kembali ke Jakarta. Kalau saja malam itu tidak ada kesalahpahaman mungkin kamu ada bersamaku, di sini, selalu. Kalau saja malam itu kamu menjelaskannya di panggilan suara dan tidak perlu repot-repot kembali ke Jakarta mungkin sekarang kita lagi duduk bertiga di ruang tamu sambil menemani raina menonton kartun kesukaannya.

Terlalu banyak kalau yang sampai detik ini masih selalu menghantuiku. Terlalu banyak kata yang menggambarkan kamu, Do.

Sebab namamu adalah kalimat yang selalu aku rindukan.

Di lembar kali ini, aku benar-benar tidak pernah mengikhlaskanmu. Mungkin nanti, suatu hari nanti di saat aku benar-benar lelah dengan semuanya. Dan sekali lagi, maaf... aku membiarkan Shani memenangi peperangannya. Karena setelah ditinggal kamu, jiwaku mati.

Dan aku, hancur.

Ah, mungkin para pembaca cerita KITA yang sebenarnya sangat amat singkat ini jadi meletakkan sepenuh hatinya untuk kamu di saat mereka menyadari kalau kamu adalah ciptaan semesta yang mendekati kata sempurna. Tidak apa-apa. Kamu memang pantas mendapat banyak cinta, Do.

Ini, aku harus mengakhirinya bagaimana? Kamu tau kalau aku tidak pandai dalam menutup kisah kan, Do?

Yasudah. Mungkin lewat sini, lewat lembaran yang sebenarnya hanya terisi dengan luka ini bisa membawamu kembali— walau rasanya mustahil, aku... berserah diri pada semesta.

Aku nggak akan lagi minta bahagia, karena bahagiaku sepenuhnya ada di kamu. Biarkan hidupku mengalir sebagaimana mestinya.

Biarkan bagaimana WAKTU membawaku untuk meneruskan perjalanan yang sebenarnya akan terasa sangat panjang kalau kubuat buku.

Sayang, aku tidak pernah mau mengucapkan selamat jalan ke kamu. Jadi, selamat tinggal dan jangan lupa jalan pulang. Aku mencintaimu selalu.

Dibuat oleh orang yang sama sekali tidak pandai dalam menulis. Dibuat dengan penuh luka oleh ; Ayla. Seseorang yang selalu menunggu kepulanganmu.

Sampai bertemu sampai WAKTU yang mentukan, Captain.

Entah hidup ataupun mati, aku sudah menyiapkan segala kemungkinan yang ada sampai daksamu kembali ke padaku.

Terimakasih KITA, karena telah menggores banyak luka tanpa ada kata ampun. Selamat datang, WAKTU yang mungkin saja menjadi pembawa kata BAHAGIA yang selama ini kucari.

Terimakasih, Sekala. Kamu menuliskan kisahnya dengan sempurna. Terimakasih telah menjadi semesta di bumimu sendiri. Terimakasih Sekala, atas waktu dan segala kalimatmu yang mengajarkan aku apa itu kehidupan yang sebenarnya.

Karena, bahagia juga butuh diperjuangkan.

— Saya, Ayla.

untuk kepentingan bersama ;

— peringatan :

jangan dibaca di tempat umum, segala sesuatu yang terjadi— entah senyum-senyum sendiri atau air mata di luar tanggung jawab author.

— disclaimer :

murni au karya saya, kala. ini adalah sequel dari KITA jangan dibawa ke kehidupan nyata, karena ini murni fiksi. ditulis dengan lowercase. kalau ada quotes, nggak apa-apa disave. tapi kalau re-share jangan hilangkan cr.

TERIMAKASIH.

— ini paling penting :

hai? waduh,,,,, pasti bosan membaca celoteh saya, ya? tapi kali ini harus dibaca, ya? sebab saya nggak mau ada kejadian seperti saat saya menulis AU KITA.

waktu itu ada yang bilang; “sebenarnya KITA adalah luka.” iya. KITA adalah luka yang sengaja kugores sedikit namun sering. rasanya sama, hampa dan hancur.

lalu jawabannya,

“WAKTU adalah obat.” benar.

karena setiap rasa sakit butuh obatnya. dan setiap yang patah, butuh untuk kembali tumbuh.

pertama, ini bagian paling penting.

KITA dan WAKTU adalah sesuatu yang ditulis dengan penuh cinta dan segala kemungkinan yang sudah dipersiapkan. di KITA aku berusaha membantu kalian untuk berpikir kembali sebelum mengambil keputusan. aku berusaha membantu kalian untuk tidak egois karena mementingkan diri sendiri aja. kalau nggak salah ada kalimat di KITA yang isinya begini,

“mau separah apapun kondisi kita, tidak akan ada yang bisa mengerti kecuali diri sendiri.”

kalau ada yang masih ingat, semoga membekas. semoga dipakai. semoga selalu terpikirkan. karena, bukannya memang begitu? diri sendiri adalah aset yang paling berharga. jadi mulai sekarang, love yourself. TAPI jangan terlalu mencintai diri sendiri sampai kalian lupa, kalau kalian juga perlu memikirkan perasaan orang lain, ya?

aku kasih waktu sepuluh detik untuk mengucapkan banyak terimakasih untuk diri sendiri karena udah bertahan sejauh ini.

satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.

selesai.

kedua, haha hehe.

di WAKTU, aku akan berusaha menyelamatkan kalian lagi lewat tulisan. terutama kalian yang sering melakukan selfharming. jadi di au ini, mungkin konten-nya agak sensitif. JADI kalau aku KELEWATAN atau PARAHNYA melenceng dari alur, tolong ingatkan, ya?

ayo, bantu aku untuk menyelamatkan diri kalian yang sangat amat dan selalu berharga. (wew)

aku nggak akan meminta kalian untuk berhenti melakukan selfharming atau menyakiti diri kalian secara langsung atau nyata. karena aku tau, itu sulit untuk dilakukan, kan?

jadi di sini aku coba membantu, mendorong, dan mengingatkan saja kalau diri kalian itu BERHARGA. kalian butuh BAHAGIA dan sedikit egois untuk diri sendiri.

nggak apa-apa menangis, tapi jangan terlalu, ya? karena, apa-apa yang terlalu akan menyebabkan luka yang terlalu juga.

jadi intinya, yang harus menyelamatkan secara langsung adalah diri kalian sendiri. akumah, bantu aja lewat tulisan. semoga diingat selalu. semoga berhasil juga. aamiin.

ketiga, guys....

saya ini bukan penulis terkenal apalagi artis. jadi biasa aja, ya? kita temenan nggak apa-apa. jadi jangan sungkan untuk mengetuk dm kalau kamu ada masalah atau apa. langsung aja cerita. i'll be there, untuk kalian semua— alah, sebenernya saya agak nggak suka menyelipkan kalimat bahasa inggris di dalam bahasa indonesia saya. aneh.

sejauh ini, ada 7/8 orang yang cerita ke aku tentang segala keresahan, dan alhamdulillah aku bisa bantu semampuku. kalau kamu cuma mau didengarkan tanpa mau diberi saran juga boleh dong! langsung dm aja. kata temenku, “kala such a good listener.” semoga, haha, hehe.

kalau kamu mau cerita, pasti aku bakal tanya, “ini kamu mau didengerin aja atau dikasih saran?” aku juga bakalan terimakasih sama kamu, karena kamu sudah bertahan sejauh ini.

semua orang yang hidup itu pasti punya masalah, sayang. jadi kalau kamu ada masalah, kamu hanya butuh orang lain untuk berbagi. pergi ke belahan dunia manapun kamu pasti punya masalah. kecuali kalau kamu sudah mati. kosong. sudah tidak ada yang menghantuimu. hanya saja pasti ada pertanyaan, “surga atau neraka?”

oh iya, udah malem banget nih aku nulis ini. 01.15 jadi aku pamit. semoga kalian suka dengan WAKTU sebanyak kalian menyukai KITA.

bebas, mau difeedback atau nggak. aku nggak mematok angka untuk semua tulisanku. karena, pembaca yang menghargai adalah manusia yang paling manis di muka bumi.

hehehe mimpi indah, sayang! makasih untuk hari ini. you did a great job.

atau kalau kalian bacanya pas sudah pagi, “HAVE A GREAT DAY!”