Do, itu kamu?

Dalam semogaku, aku maunya kamu yang di sini.

Netra pekat itu beralih ke arah anak laki-laki yang duduk di samping Jaehyun. Sedari tadi, Jeno menundukkan kepalanya dalam. “Kenapa, Jeno?”

“Eh?” Jeno menggaruk pipinya yang jelas saja tidak gatal. Ia terkekeh sumbang, “nggak apa-apa, Bun. Jeno mau izin ke toilet dulu, ya.”

Arah pandang Ayla mengikuti setiap pergerakan Jeno, bahkan sampai anak laki-laki itu hilang ditelan belokan toilet. Jaehyun yang menyadari langsung menyenggol tangan Ayla. “Jeno kenapa?”

Ia mengangkat bahunya, “nggak tau. Aku juga bingung— aku samperin dulu deh, ya. Aku nitip Jaemin sama Raina sebentar.” lalu berjalan ke arah toilet meninggalkan mereka yang sedang sibuk dengan makanannya masing-masing, terutama Raina yang sibuk dengan kue ulang tahun pemberian Jaehyun.

Ayla meletakkan telapak tangannya di bagian dada saat melihat Jeno yang malah diam di lorong pembatas antara toilet perempuan dan laki-laki. Dadanya sesak saat melihat satu bulir air mata yang keluar dengan sempurna dari mata yang selalu tersenyum itu.

“Jeno,” panggilnya. Anak laki-laki itu tentu saja terkejut dan dengan segera menghapus air matanya. “kenapa?”

Jeno malah diam, menatap mata pekat bundanya lamat. Sedangkan Ayla kebingungan di tempatnya. Ia tidak mau memaksa Jeno untuk menceritakan apa masalahnya sekarang. Tapi nanti, mungkin. Tangannya membawa Jeno ke dalam pelukan, ia mengusap punggung anak itu lembut.

“Semuanya akan baik-baik aja, Jeno.” Dia tersenyum di sana.

Di saat seperti ini Ayla menyadari satu hal, kalau selama ini ia selalu menjadi tameng dari anak-anaknya. Ia selalu menjadi penopang anak-anaknya. Padahal sekarangpun hatinya sedang resah, tentang pesan dari Mamanya Doyoung tadi.

“Bunda...” Jeno sedikit menjauhkan tubuhnya yang lebih besar dari sang bunda guna melihat wajahnya. “Jeno maunya Papa...”

Ayla mengangguk sedikit mengerti apa yang menjadi kemauan puteranya itu. Dalam hati ia menjawab, “Bunda juga maunya gitu, Jeno...”

“Jeno maunya bukan Om Jaehyun, Bunda..” katanya lagi, berusaha menjelaskan apa yang menjadi isi hatinya. Karena sudah pernah dibilang, Jeno bukanlah manusia yang mampu menjelaskan apa isi hatinya dengan mudah.

Dalam diamnya Ayla tersenyum tipis. Lagi-lagi menyembunyikan luka yang baru saja tergores. “Cup, cup, cup superhero udah gede, nggak boleh nangis lagi, ya, sayang? Papa nggak mau lihat Jeno kaya gini..”

Anak laki-laki yang sudah pintar menyembunyikan lukanya itu terkekeh sumbang— sama, ia juga sekedar menutupi perasaan sakitnya di dalam dada. “Bunda, tetap di sini sama Jeno, ya?”

Ia mengangguk, “iya, sayang. Bunda, Jaemin sama Raina akan tetap di sini sama Jeno. Kita sama-sama, ya? Yaudah, sekarang Jeno cuci muka dulu, baru kita lanjut makan terus pulang.”

Jeno tertawa kecil, ia mengacungkan jempol kanannya ke Ayla. Kali ini, matanya ikut tersenyum yang menandakan ia sedang mencoba memperbaiki suasana hatinya, lagi.

Sedangkan Ayla berjalan kembali menghampiri yang lain. Pandangannya berjalan ke sana-sini untuk menemukan Jaehyun juga Raina yang tidak ada di kursinya. Di sana hanya ada Jaemin yang sedang fokus dengan ponselnya.

“Dika, kalau ini, gimana?”

Entah apa yang membawa Ayla untuk menatap seorang wanita yang sedang menunjukkan beberapa barang di hadapan pria yang memunggunginya. Tapi rasanya, bahu itu tidak lagi asing di mata Ayla. Matanya menyipit, memastikan bahwa sepertinya ia pernah melihat siapa wanita tadi. “Kaya kenal...”

“Ini bagus buat kamu.” jawab pria itu sambil menunjukkan satu kalung.

Suara itu. Demi apapun. Suara itu mengingatkan Ayla pada satu orang yang sampai detik ini tidak pernah ia lupakan. Orang yang sampai detik ini masih mengisi seluruh ruang di hati bagian terkecil sekalipun.

“Do..”

“Bunda masih di sini?” Jeno agak terkejut saat mendapati sang Bunda masih di bagian ujung lorong toilet. Arah pandangnya bergerak ke sana-sini, seolah mencari alasan kenapa Bundanya masih diam tidak bergeming.

“Jeno... Bunda denger suara Papa..” katanya sambil menahan napas. Tidak pernah terpikirkan oleh Ayla kalau mengucapkan satu kalimat bisa sesulit ini.

Jeno menautkan alisnya, “Bunda? Nggak ada Papa di sini.” katanya tidak percaya.

Mata Ayla bergerak ke arah dua pasangan tadi yang sepertinya duduk tidak jauh dari tempatnya berdiri. Telunjuknya bergerak seolah meminta Jeno untuk melihat ke arah sana. “Itu Papa, Jeno...”

Jeno diam, di sana kosong dan tidak ada siapapun.

Bundanya, kembali berhalusinasi. Dan ia harus membicarakannya dengan Dokter Ten, lagi.