Tentang kamu, D.

Aku... aku nggak tau harus memulainya dari mana, Do. Semuanya begitu tiba-tiba dan terasa tidak begitu nyata. Hampa, hancur dan kosong menjadi satu. Tidak pernah aku rasakan ini sebelumnya.

Kita terlalu sering bersama sampai akhirnya kita lupa kalau perpisahan bisa datang kapan saja.

Inginnya menyerah, tapi tidak mungkin.

Ingin rasanya menangis, tapi sudah terlalu sering.

Ingin rasanya marah, tapi tidak tau sama siapa.

“Aku di sini. Selalu.” adalah kalimat yang sampai detik ini masih dan selalu membekas di benakku.

Do, jujur. Aku nggak tau mau memulainya dari mana. Memulainya dengan cara seperti apa lagi. Semuanya datang bersamaan sampai aku bingung harus menyelesaikan bagian yang mana dulu.

Ingin rasanya berhenti, tapi aku pernah bilang; hidupku harus tetap berjalan tanpa atau adanya kamu, kan? Karena waktu itu aku tidak mau munafik.

Tapi rasanya begitu kosong saat kamu benar-benar tidak ada.

Rasanya seperti aku menenggelamkan diri pada jutaan pertanyaan lalu luka adalah jawaban satu-satunya.

Dan kali ini,

aku ingin munafik barang lima detik. Aku tidak bisa bertahan yang benar-benar bertahan sendirian, Do. Tanpa kamu, rumah yang sejauh ini kita bangun seperti hancur begitu aja.

Semua. Semuanya tentang kamu tidak pernah ada yang aku lupa, Do. Gimana caramu pertama kali datang, mengetuk pintu ruangan rawat-inap Jaemin di pukul duabelas malam lalu mengenalkan nama dengan senyum yang sampai detik ini masih jelas tergambar di benakku.

Kamu bukanlah sesuatu yang dilupakan dengan mudah. Walau kita belum terlalu lama bersama, tapi rasanya begitu menyakitkan.

Rasanya seperti aku jatuh, lalu duduk dan tidak mau kemana-mana. Tapi ada Jeno, Jaemin juga Raina yang butuh aku. Mereka udah kehilangan kaptennya. Lalu... aku harus membawa ke mana anggota yang lain, Do?

Kamu ingat saat aku koma? Aku berada di antara hidup dan mati. Rasanya seperti aku yang ingin pergi meninggalkanmu juga anak-anak. Tapi rasanya, aku tidak sampai hati dan tidak mau menjadi sejahat itu. Do, kembali, ya?

Ingin rasanya berhenti di sini, tapi tidak... Aku memutuskan untuk tetap berdiri walau beberapa kali jatuh. Berjalan maju walau beberapa kali mundur. Tertawa walau beberapa kali didampingi air mata.

Doyoung, maaf. Maaf kalau sampai detik ini aku belum bisa menerima keputusan semesta. Maaf kalau sampai detik ini aku masih berharap kalau kamu tidak pergi walau ada begitu banyak bukti. Tapi demi apapun, sampai tubuhmu belum terlihat di mataku, aku nggak mau memercayai siapapun.

Gambaran kamu dengan tas besarmu juga sepatu putih yang selalu kamu banggakan itu masih tersimpan rapi di dalam memori ingatanku, Do. Ah, kamu juga tersenyum waktu itu dengan mengucapkan selamat tinggal yang kukira tidak memiliki makna tersendiri. Kalimat selamat tinggal yang kukira akan kamu tarik lagi ketika kamu kembali.

Maaf telah berburuk sangka, Do. Karena nyatanya, kamu nggak pernah mempermainkanku. Kamu malah menjaga, mencintaiku sepenuh yang kamu bisa sampai-sampai semua orang percaya bahwa kamu pergi meninggalkanku dengan segala rasa cinta yang kamu punya.

Do, ingat tidak? Biasanya kita bergadang berdua sambil meminum dua cangkir kopi berbeda rasa, lalu sibuk masing-masing dengan beberapa kertas. Kamu dengan penyakit para pasien, sedangkan aku dengan beberapa laporan kerjasama. Semuanya indah, Do. Nggak ada hari yang kulewati sekuat bersama kamu.

Sekarang cuma ada aku dan anak-anak. Berjalan berdampingan saling menguatkan— walau mereka tau, kalau akulah yang paling lemah di perjalanan ini. Aku berdiri di belakang mereka, tertinggal jauh dengan nyawa yang tidak lagi penuh. Dengan tawa yang kali ini diiringi oleh duka.

Karena sebenarnya, duka adalah sesuatu yang lebih menyakitkan ketimbang luka.

Kalau saja malam itu aku tidak marah, mungkin kamu tidak akan kembali ke Jakarta. Kalau saja malam itu tidak ada kesalahpahaman mungkin kamu ada bersamaku, di sini, selalu. Kalau saja malam itu kamu menjelaskannya di panggilan suara dan tidak perlu repot-repot kembali ke Jakarta mungkin sekarang kita lagi duduk bertiga di ruang tamu sambil menemani raina menonton kartun kesukaannya.

Terlalu banyak kalau yang sampai detik ini masih selalu menghantuiku. Terlalu banyak kata yang menggambarkan kamu, Do.

Sebab namamu adalah kalimat yang selalu aku rindukan.

Di lembar kali ini, aku benar-benar tidak pernah mengikhlaskanmu. Mungkin nanti, suatu hari nanti di saat aku benar-benar lelah dengan semuanya. Dan sekali lagi, maaf... aku membiarkan Shani memenangi peperangannya. Karena setelah ditinggal kamu, jiwaku mati.

Dan aku, hancur.

Ah, mungkin para pembaca cerita KITA yang sebenarnya sangat amat singkat ini jadi meletakkan sepenuh hatinya untuk kamu di saat mereka menyadari kalau kamu adalah ciptaan semesta yang mendekati kata sempurna. Tidak apa-apa. Kamu memang pantas mendapat banyak cinta, Do.

Ini, aku harus mengakhirinya bagaimana? Kamu tau kalau aku tidak pandai dalam menutup kisah kan, Do?

Yasudah. Mungkin lewat sini, lewat lembaran yang sebenarnya hanya terisi dengan luka ini bisa membawamu kembali— walau rasanya mustahil, aku... berserah diri pada semesta.

Aku nggak akan lagi minta bahagia, karena bahagiaku sepenuhnya ada di kamu. Biarkan hidupku mengalir sebagaimana mestinya.

Biarkan bagaimana WAKTU membawaku untuk meneruskan perjalanan yang sebenarnya akan terasa sangat panjang kalau kubuat buku.

Sayang, aku tidak pernah mau mengucapkan selamat jalan ke kamu. Jadi, selamat tinggal dan jangan lupa jalan pulang. Aku mencintaimu selalu.

Dibuat oleh orang yang sama sekali tidak pandai dalam menulis. Dibuat dengan penuh luka oleh ; Ayla. Seseorang yang selalu menunggu kepulanganmu.

Sampai bertemu sampai WAKTU yang mentukan, Captain.

Entah hidup ataupun mati, aku sudah menyiapkan segala kemungkinan yang ada sampai daksamu kembali ke padaku.

Terimakasih KITA, karena telah menggores banyak luka tanpa ada kata ampun. Selamat datang, WAKTU yang mungkin saja menjadi pembawa kata BAHAGIA yang selama ini kucari.

Terimakasih, Sekala. Kamu menuliskan kisahnya dengan sempurna. Terimakasih telah menjadi semesta di bumimu sendiri. Terimakasih Sekala, atas waktu dan segala kalimatmu yang mengajarkan aku apa itu kehidupan yang sebenarnya.

Karena, bahagia juga butuh diperjuangkan.

— Saya, Ayla.