Malaikat.
Dan pada akhirnya, harus ada selesai untuk semua yang dimulai.
“Gimana?” Ten membuka topinya saat baru saja sampai di rumah Ayla. Matanya menatap Jaemin juga Jaehyun yang malah diam di depan pintu kamar Ayla. “Kok pada diam, sih?”
Jaehyun menghela napasnya, “Ayla nggak mau keluar dari tadi, Dok.” lalu berjalan mendekat ke arah Jaemin yang sedari tadi justru menunduk dalam. Segala kemungkinan berlarian ke sana-sini di kepalanya.
Ten berdecak, aneh sekali dua pria ini— terutama Jaehyun. “Ini di dalam ada orang depresi, loh. Kita kalau telat sedikit aja, fatal akibatnya.” Pria itu tidak lagi bisa menahan emosinya. Matanya menatap pintu putih di hadapan, menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku.
“Mau ngapain?” tanya Jaehyun yang menahan pergelangan tangan Ten.
“Mandi!” Pria itu berdecak, lagi. Bisa-bisanya Jaehyun bertanya hal konyol seperti itu di saat keadaan genting seperti ini. “Ya mau dobrak, lah!”
Jaehyun makin menarik ten untuk menjauh dari pintu, yang membuat pria berkemeja hitam itu merotasikan bolamatanya malas. Drama apalagi, ini? Ia harus menyelamatkan nyawa seseorang, tapi kenapa ada aja halangannya?
“Ayla bakalan terjun ke bawah kalau kita dobrak pintunya.” Kata Jaehyun memberi tau.
Rasanya, Ten ingin marah saja dengan Jaehyun. Tapi ia menggelengkan kepalanya, otak ya harus tetap segar di keadaan seperti ini. “Jaehyun, dengerin saya. Kita lakuin ini dengan cepat. Di dalam Ayla nggak tau kalau kita mau dobrak, jadi dia nggak ada persiapan apapun kalau mau terjun.” katanya berusaha menahan amarah.
Benar juga. Semuanya harus dilakukan dengan cepat, karena kalau tidak nyawa taruhannya. Orang yang depresi tidak bisa berpikir dengan jernih, maka dari itu, Ten yang harus berpikir dengan jernih di sini.
— BRAK!
“Ayla!” Ten menepuk tangan wanita yang sudah berdiri di depan jendela kamarnya itu dengan kasar, di tangan kanannya ada pisau kecil yang sudah menggores beberapa luka kecil di bagian tangan.
Pisaunya terlempar akibat tepukan Ten tadi, sedangkan Ayla terkejut saat daksanya di bawa kembali ke dalam pelukan hangat milik Ten. Sejak dua tahun lalu, rasanya hanya Ten yang bisa membuatnya aman.
“Saya udah bilang, jangan lakukan apapun, Ayla.” katanya. Ia membawa daksa kecil di rengkuhan itu untuk kembali duduk di kasur. “Kamu minum obat penenang, lagi? Ayla—”
“Itu nggak baik?” Ayla memotong kalimat pria di sampingnya. Pria yang sampai saat ini masih mengelus puncak kepalanya lembut. Ayla rindu diperlakukan manis seperti ini dan tentu saja dengan Doyoung. “Terus apa yang baik, Dok?”
Ten menghela napas, “nggak semuanya harus kamu pikirin, Ayla. Kadang beberapa beban cuma perlu kamu ikhlasin.” katanya dengan nada lembut yang menenangkan.
Tidak salah rasanya kalau Ayla menggantungkan dirinya pada Dokter yang satu ini, karena pria itu sudah berkali-kali menyelamatkan hidupnya. Lihat saja, dokter mana yang mau ke rumah pasiennya di pukul satu dini hari?
“Udah, sekarang tidur. Saya, Jaehyun sama Jaemin di sini. Jangan takut.” katanya lagi-lagi menenangkan. Genggaman tangannya sengaja ia lepaskan agar si wanita bisa naik lebih jauh ke atas kasurnya. Manik mata Ten tetap bersinar walau di bawah sorotan remang lampu tidur saja.
Mana sempat ia untuk menyalakan lampu di saat keadaannya seprti ini?
Jaemin sedari tadi hanya memerhatikan interaksi yang dibuat oleh Ten, sedangkan Jaehyun sedang mati-matian menahan api cemburunya.
“Dok,” Ayla menahan tangan Ten saat pria itu ingin beranjak.
“Hm?” Ten berdeham sambil kembali duduk di ujung ranjang. Bibirnya mengulum senyum tipis khas yang bisa menyihir siapapun yang melihatnya.
“Bukannya semua yang dimulai harus segera diselesaikan, ya?” tanyanya.
Ten memaklumi, beberapa orang yang mengalami cidera pada jiwanya akan berpikir begitu kerasnya. Sampai terkadang ada beberapa yang memikirkan hal-hal tidak masuk akal.
“Iya, Ayla. Semua yang dimulai harus segera diselesaikan, tapi dengan cara yang nggak gegabah kaya kamu tadi. Kamu tau? Hidup kamu berharga karena kamu spesial, Ayla.” katanya memperingati. Tangannya terulur untuk merapikan rambut wanita itu yang bahkan tidak bisa dibilang rapi.
Astaga, Ayla benar-benar berantakan malam ini. Di saat mengalami puncak stress yang seperti ini kadang membuat Ten tidak tega. Ia ingin selalu dan tetap berada di samping wanita ini, tapi apa daya?
“Tidur, ya? Nanti pagi ada yang mau ketemu sama kamu.”