Melawan rasa takut.

Setelah mendapat izin dari anak-anak, Ten benar-benar membawa Ayla ke taman hiburan yang tiketnya sudah dipersiapkan itu. Di samping Ten, mata Ayla tidak juga berkedip saat mendapati biang lala yang sangat besar di hadapan. “Dok? Kita lagi nggak mau naik ini, kan?”

Ten terkekeh kecil, “kita ke sini ya itu artinya kita naik ini dong!”

“Ini tinggi banget loh?” Ayla memundurkan kakinya beberapa langkah. Menatap biang lala menyeluruh.

Ten memegang bahu Ayla, “Lihat saya, Ayla! Kamu harus bisa ngelawan rasa takut kamu yang berlebihan. Emang kamu nggak ngerasa tertekan kaya gini terus?” netra kecoklatan bersinar itu menatap manik legam Ayla dalam. “Kamu bahkan takut keramaian, kan?”

Kepala Ayla pening mendengar omongan Ten, tapi benar juga sih. Memangnya kalau bukan dirinya sendiri yang memulai rasa takut, siapa lagi?

“Mau biang lala atau langsung hysteria?” tanyanya sambil terkekeh kecil.

Ayla mendengus malas, “dokter maunya bikin saya sembuh dulu atau langsung mati?”

“Hush! Ngomongnya gitu,” Ten beralih menggandeng tangan wanita itu, berjalan mendekati wahana biang lala. “mau naik sama saya dulu atau langsung sendiri?”

Tanpa berpikir lagi Ayla langsung memukul bahu pria di sampingnya yang malah sibuk terkekeh. Kayanya pria berjabatan psikiater itu lebih banyak tertawa hari ini. Entah benar atau tidak, tapi Ayla merasakan energi yang positif di sampingnya.

“Ayo, naik.” Ten menarik tangan Ayla saat pintu biang lala itu terbuka, siap untuk ditempati.

Ayla menatap Ten bingung. “Dokter ikut juga, kan?”

Lagi, Ten tertawa sampai matanya membentuk sabit. “Iya, iya saya ikut. Ayo!”

Wanita itu masih diam di tempatnya. Membiarkan Dokternya masuk duluan ke dalam sana. Lalu dengan langkah yang kecil, ia ikut masuk ke dalamnya.

Seperti nostalgia, Ayla merasakan atmosfer yang berbeda saat dua tahun lalu ia menaiki wahana yang sebenarnya tidak pernah berubah ini. Hanya saja, orang yang di hadapannya sekaramg itu Ten, bukan lagi Doyoung. Sampai pada akhirnya ia duduk manis di sana, menundukkan kepalanya dalam. Tangannya berpegang erat pada tali tas.

“Ayla, kamu ingat dua tahun lalu saat kamu koma?” tanya Ten membuat Ayla menatap wajahnya dan mengangguk mengiyakan. Tanpa sadar, sang biang lalapun sudah berjalan perlahan membawa mereka hampir menembus ke awan.

Ten kembali tersenyum, ia mengambil tangan Ayla yang masih berpegangan pada tali tas. “Tau kenapa saya periksa kamu waktu itu? Padahal saya bukan Dokter umum seperti Kun?”

Ayla menggeleng, setiap bersama Ten rasanya seperti aman. Entah perasaan dari mana, tapi ya memang begitu adanya.

“Doyoung pernah meragukan kejiwaan kamu setelah kecelakaan itu, Ayla. Tapi ya... wajar sih, soalnya malam itu adalah hal yang sulit diterima oleh semua orang, kan?” Ten merapikan rambut wanita di hadapannya, bibirnya mengulum senyum tipis yang sebenarnya sangat manis itu.

Astaga, Ten. Kenapa kamu ikut membuat sang pembaca mabuk kepayang?

Ayla yang sedari tadi diam menatap Ten kini memikirkan segala kemungkinan yang ada di pikiran Doyoung waktu itu. Termasuk, bagaimana kalau ternyata jiwanya tidak lagi sehat? Apa Doyoung akan tetap menerimanya?

“Doyoung itu sayang banget sama kamu, Ayla.” Seolah tau pikiran wanita itu, Ten mengucapkan kalimat itu sembari melihat pemandangan kota dari atas. “Ayla kita sudah di atas!”

Ayla mengarahkan pandangannya di bagian terbuka biang lala. Matanya sedikit membola saat mengetahui ia berhasil sampai di atas. Tentu saja karena Ten mengajaknya berbicara, agar ia juga merasa rileks. Lihat, Ten bisa membuat Ayla merasa aman, kan?

“Don't be panic, santai, santai. Jangan gerak berlebihan kalau kamu takut.” Perlahan, Ten melepaskan genggaman tangannya di milik wanita itu. Ia tertawa singkat saat melihat kepanikan wajah di hadapan.

“Dok...” Suaranya sedikit bergetar menahan rasa takut. Banyak sekali kemungkinan yang ada di kepalanya. Bagaimana kalau jatuh? Bagaimana kalau biang lalanya macet? Bagaimana? Bagaimana?

Astaga, terlalu banyak bagaimana padahal ia akan baik-baik saja di sini bersama Ten.

“Tenang, jangan takut. Lawan rasa takutnya, okay? Kalau kamu lupa saya di sini.” Ten menepuk pundak Ayla dua kali, mengarahkan pandangannya untuk ke luar jendela. “Lihat, pemandangannya bagus.”

Perlahan tapi pasti Ayla segera mengarahkan pandangannya ke luar jendela lagi. Tangannya menarik milik Ten untuk digenggam, meredam segala ketakutan yang ada di benaknya. Tanpa sadar, ia perlahan mulai menghilangkan rasa takut tapi juga mulai ketergantungan dengan Ten.

Setelah hampir satu jam, akhirnya mereka kembali ke bawah dan menuruni wahana itu. Di benak Ten, ada beberapa wahana lain yang setidaknya bisa melawan rasa takut Ayla secara perlahan.

“Wow...” Ayla bergumam kagum saat sudah menuruni wahana itu. Matanya menatap biang lala bagian atas, “tadi kita di sana, Dok.”

Ten mengangguk cepat, “berani kan, kamu? Bisa kan, kamu? Apapun pasti bisa kamu lakuin kalau kamu lawan rasa takut kamu, Ayla.”

— drrrt

Ponsel Ayla bergetar, menandakan ada pesan masuk beberapa kali. Sejenak ia membiarkannya sambil menetralkan detak jantungnya yang masih tidak beraturan.

“Siapa?” tanya Ten saat mendapati perubahan wajah Ayla saat membaca pesan.

“Ayo pulang, Dok.” katanya melemah.