TetehnyaaJisung

hari itu.

“kamu mau foto nggak?” ayla melihat ke arah doyoung yang sedang sibuk mengedarkan pandangannya ke sana kemari, menikmati indahnya langit pagi.

dia menggeleng, “nggak, ah.”

ayla mengulum senyum tipisnya, ia mengeluarkan ponsel dari saku hoodie lalu mengambil gambar suaminya yang sedang menikmati indahnya karya semesta. sesekali pria itu tersenyum tipis kala ada petani teh yang menyapanya.

pagi tadi, saat matahari baru saja menunjukkan wajahnya di ufuk timur doyoung menajak ayla untuk bejalan-jalan di sekitar villanya. ia ingat kalau dulu mama dan papanya pernah bekerja di kebun teh ini. karenanya, banyak sekali para petani yang menyapa.

“doyoung teh anaknya pak soni bukan, ya?” tanya salah satu petani yang sekarang sedang sibuk memilah pucuk daun teh. kedua sudutnya terangkat penuh seiring dengan binar matanya yang memancar indah.

doyoung mengangguk, “iya, ibu..”

“bapak gimana, doy? sehat?” tanyanya.

doyoung diam, mencerna kalimat tanya yang dengan mudahnya keluar dari petani itu. dulu. dulu sekali saat mama dan papa kandungnya memilih bercerai, banyak orang yang tidak tau sebab doyoung dan mamanya pindah ke jakarta, menumpang di salah satu rumah teman mamanya— yang sekarang menjadi ibu angkat doyoung, mama ani yang memiliki status sebagai saudara kandung mamanya jaehyun.

karena dulu, ekonomilah yang menjadi salah satu perceraian mama dan papanya. jadi doyoung harus banting tulang untuk membayar uang kuliahnya sendiri.

mamanya meninggal satu minggu setelah hari wisudanya dan sampai sekarang pria itu tidak tau di mana kehadiran sang papa.

“do?” ayla menyenggol lengan suaminya. “okay?”

pria itu mengangguk, “okay!” lalu mengalihkan atensi pada si petani yang tadi bertanya dengannya. “nggak tau, bi. doyoung udah lama nggak ketemu papa.”

ayla mengambil lengan kekar suaminya, ia mengusap lembut bagian punggung tangan pria itu— seolah menyalurkan kekuatan yang ia punya. sebelum si petani teh itu bertanya lebih lanjut dan akan membuka luka lama sang suami, ayla memilih untuk memotong pembicaraan mereka. “bi, kita ke sana dulu ya.”

ia mengangguk lalu memokuskan dirinya pada tanaman teh di hadapan.

“mas, boleh nggak balik ke villa sampai sore nggak?” tanyanya sambil mengaitkan jemari lentiknya dengan jemari kekar milik sang suami.

doyoung terkekeh, “bilang aja mau berduaan sama aku.”

wanita itu mengangguk semangat. lalu tangannya terangkat untuk mengambil daun yang bertengger di rambut sang suami. “kalau nggak ada anak-anak aku maunya manja terus sama kamu, mas. kenapa, ya?”

doyoung mengangkat tangannya untuk mengapit pipi kanan dan kiri sang isteri. gemas. “astaga, bayiiiii! sini peluk dulu!” katanya sambil merentangkan tangan.

tentu saja ayla langsung menenggelamkan daksanya di pelukan sang suami. menghirup dalam-dalam wangi tubuh itu sampai terasa sesak. wangi yang akhir-akhir ini menjadi wangi kesukaannya. ia berjinjit, mendekatkan bibirnya pada telinga doyoung. katanya, “aku sayang kamu.”

suaminya tertawa, “me too. aku juga sayaaaaaaaang banget sama kamu.”

suasana sejuk di kebun teh seakan menjadi saksi bisu bagaimana cara mereka mengungkapkan rasanya masing-masing dengan jantung yang sama-sama tidak dapat dikendalikan. dan, untuk pertama kalinya ayla memohon dalam hati kepada semesta, “tolong jangan ambil siapa-siapa lagi..”

“heh— kok nangis?” doyoung menjauhkan tubuh isterinya kala mendengar isak tertahan yang berasal dari wanita itu. kuasanya terangkat untuk menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah cantik itu. “kenapa? aku kekencengan peluknya, ya? dadanya sesek? atau... laper? ayo balik ke villa deh, makan dulu!”

ayla menggeleng dan menarik tangan doyoung saat suaminya itu berusaha menggendongnya. “nggak...”

“terus kamu kenapaaaaaaa?” tanyanya penasaran. pasalnya tadi ayla tidak mengalami dan mengeluh apapun yang membuatnya merasa kesakitan.

setelah menatap dalam netra kecokelatam milik doyoung, ayla mengelap air matanya. suaranya berubah agak bindeng karena hidungnya tersumbat. ia tertawa kecil, “mau sama kamu selama-lamanyaaa.”

doyoung tertawa, kuasanya terangkat untuk mengelap air mata si pemilik netra legam di hadapan. “sure, sayang. aku di sini kok. jangan khawatirin apa-apa, ya?”

“mas,”

doyoung tersenyum manis. manis sekali. sampai ayla baru menyadari kalau ini adalah kali pertama pria itu tersenyum selepas ini. ah, kebun teh memang semenenangkan itu.

“ada apa, sayang?”

“mau peluk, boleh?” tanyanya sambil mengerucutkan bibir bak anak kecil yang meminta persetujuan sang ayah untuk membeli ice cream.

hal itu tentu saja membuat doyoung gemas. sebuah ide jail tiba-tiba muncul pada otaknya. telunjuk itu terangkat pada bibi kirinya, “cium dulu!”

dengan senang hati ayla mendekatkan wajahnya pada pipi, dahi dan terakhir bibir suaminya. sedangkan doyoung masih diselimuti ide jail langsung menahan kepala bagian belakang isterinya kala bibir mereka saling bertemu.

memang. pria itu suka tidak tau tempat. untung saja petani teh pagi ini hanya ada tiga orang saja. itupun jaraknya lumayan jauh dari mereka.

drrrt.

getaran ponsel ayla membuat wanita itu segera menjauhkan tubuhnya yang sudah dipeluk sang suami dengan paksa. “sebentar, ada pesan masuk.”

doyoung mengerucutkan bibirnya. “ganggu aja!” ocehnya sambil mengintip layar ponsel yang saat ini menjadi perhatian ayla. “siapa?”

ayla menggigit bibir bawahnya, ia ragu.

“EH! jangan digigit, aset aku!” kata doyoung sambil menepuk pelan bibir sang isteri. “coba sini aku liat siapa yang kirim pesan ke—”

“dokter ten...”

Hati adalah penentu.

Ayla melirik suaminya sekilas, memastikan bahwa pria itu baik-baik saja saat ini. Pasalnya iapun tidak tau apa yang membuat Doyoung berbicara sedemikian rupa di kamar Jaemin. Detik itu masih selalu membekas di benak Ayla. Walau sudah beberapa menit yang lalu, tapi rasanya begitu takut. Ia tidak lagi mau kehilangan sosok di sampingnya.

“Apa aja yang mau dibeli?” Doyoung memecah keheningan. Ia memutar stir mobilnya untuk masuk ke dalam salahsatu pusat perbelanjaan di Jakarta.

Bukan Ayla, kini justru puterinya yang berada di pangkuan wanita itu membuka suara. “Ice cream, permen, cokelat, em.... sama apalagi ya?” Ia mengetuk telunjuknya di bagian dahi, “ah! Rambut palsu!!!”

Doyoung tidak bisa menahan tawanya. Ia segera memarkirkan mobilnya, lalu berjalan memutar ke kursi penumpang. Ia membawa Raina ke dalam gendongannya lalu membantu Ayla untuk turun dari mobil.

“Mau beli apa?” Tanyanya lagi. Ia tidak juga melepaskan genggaman tangannya dari jari kecil milik sang isteri. “Bahan makanan pada habis, kan?”

Ayla menggeleng. Setelah resign, ia pasti memeriksa dan memastikan bahwa mereka tidak kehabisan bahan makanan di setiap malam. “Udah dibelanjain Mbak Ina pagi tadi di Pasar Besar.”

Doyoung mengangguk saja, ia mendudukkan Raina pada troli yang baru saja diambilnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong troli. Kemudian ia berjalan ke arah makanan ringan untuk di rumah karena barusan saja Raina merengek ingin dibelikan salah satu olahan rumput laut.

Melihat Raina sedang menimang jajanannya, Ayla segera berjalan mendekati suaminya. “Mas,”

Doyoung hanya berdeham saja tanpa mengalihkan pandangannya dari si anak bungsu.

“Mas kok tadi ngomong sama Jaemin gitu?” Ia memainkan jemari suaminya. “Kamu nggak lagi mau menyerah, kan?”

Doyoung mengibaskan tangannya, “ya nggak lah.”

“Terus?”

Pria itu mengerutkan dahinya pertanda bingung. “Kok terus? Aku cuma bic ara fakta, sayang. Selagi kamu sama aku, ya aku usahain bahagiamu.” Ia mengacak rambut isterinya gemas.

Seketika, atensi Doyoung beralih pada sepasang suami isteri yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sedangkan Ayla kini malah sibuk memilih makanan ringan bersama Raina— sesekali Ibu dan anak itu berbeda pendapat tentang varian rasa yang mereka akan bawa pulang. Padahal Doyoung sudah meminta untuk beli saja keduanya kalau mereka menginginan beda varian. Toh, dimakan juga, kan?

Tapi semua ucapan Doyoung dipatahkan oleh Ayla dengan dalih, “Sayang uangnya. Lebih baik simpan, operasi Jeno bulan depan.”

“Mbak Ayla?” Pasangan suami isteri tadi berjalan pelan menghampiri Ayla yang sebelumnya sedang tertawa bersama Raina karena gadis kecil itu memperagakan salah satu iklan di televisi.

Ayla mengalihkan atensinya saat suara itu mengingrupsi. “Stef? Ah,— Jaehyun? Apa kabar?” Tanyanya ramah.

Stef tersenyum manis sembari mengangguk, tangan kanannya memegang tulip merah yang membuat Ayla sedikit mengerinyit. “Tulip merah?”

“Ah, ini...” Stef mengangkat bunganya, memperlihakan sepenuhnya ke arah Ayla. “Barusan dibeliin Jaehyun, Mbak.”

Ayla tersenyum tipis kala netranya menatap Jaehyun yang justru sedang tersenyum canggung— wajah pria itu bahkan terlihat agak menegang. Pasalnya dulu setiap kali Ayla meminta dibelikan bunga anyelir putih, Jaehyun sering mengatakan, “aku nggak suka bunga. Jangan simpan bunga apapun di rumah.”

Padahal, Ayla sangat menyukai Anyelir Putih. Karena kata Ibunya, Anyelir memiliki makna yang sangat dalam.

“Mbak?” Stef mengibaskan tangannya di depan wajah Ayla.

“Ah, iya?” Ayla menangkat kedua sudut bibirnya tipis. Ia berjalan ke arah Doyoung yang sekarang justru sedang terkekeh singkat.

“Kamu lucu kalau lagi kaget. Mikirin apa?” Tanyanya seolah tidak peduli dengan kehadiran Jaehyun, Stef juga puteri kecil mereka.

“Nggak. Nggak ada apa-apa.” Ayla memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam troli.

Dengan tiba-tiba Jaehyun menahan pergerakan wanita itu kala memasukkan beberapa makanan ringan lagi. “Jangan makan ciki banyak-banyak.”

Doyoung maupun Stef mengerinyit kebingungan dalam diam. Tapi diam-diam mereka menunggu kalimat Jaehyun selanjutnya. “Gendut. Nanti tambah jelek.”

Brengsek.

Dia berbohong.

Manusia itu berbohong.

Jaehyun hanya tidak ingin kejadian duabelas tahun lalu terulang di hidup Ayla. Wanita itu harus diopname lima hari karena tidak memakan nasi dan memilih makanan ringan saja untuk mengisi perutnya.

“Nggak apa-apa gendut. Kan dia sudah jadi milik saya.” Doyoung mengangkat sebelah sudut bibirnya, “yang berhak mengatur hanya saya, kan?”

Hati adalah penentu.

Ayla melirik suaminya sekilas, memasukkan bahwa pria itu baik-baik saja saat ini. Pasalnya iapun tidak tau apa yang membuat Doyoung berbicara sedemikian rupa di kamar Jaemin. Detik itu masih selalu membekas di benak Ayla. Walau sudah beberapa menit yang lalu, tapi rasanya begitu takut. Ia tidak lagi mau kehilangan sosok di sampingnya.

“Apa aja yang mau dibeli?” Doyoung memecah keheningan. Ia memutar stir mobilnya untuk masuk ke dalam salahsatu pusat perbelanjaan di Jakarta.

Bukan Ayla, kini justru puterinya yang berada di pangkuan wanita itu membuka suara. “Ice cream, permen, cokelat, em.... sama apalagi ya?” Ia mengetuk telunjuknya di bagian dahi, “ah! Rambut palsu!!!”

Doyoung tidak bisa menahan tawanya. Ia segera memarkirkan mobilnya, lalu berjalan memutar ke kursi penumpang. Ia membawa Raina ke dalam gendongannya lalu membantu Ayla untuk turun dari mobil.

“Mau beli apa?” Tanyanya lagi. Ia tidak juga melepaskan genggaman tangannya dari jari kecil milik sang isteri. “Bahan makanan pada habis, kan?”

Ayla menggeleng. Setelah resign, ia pasti memeriksa dan memastikan bahwa mereka tidak kehabisan bahan makanan di setiap malam. “Udah dibelanjain Mbak Ina pagi tadi di Pasar Besar.”

Doyoung mengangguk saja, ia mendudukan Raina pada troli yang baru saja diambilnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong troli. Kemudian ia berjalan ke arah makanan ringan untuk di rumah karena barusan saja Raina merengek ingin dibelikan salah satu olahan rumput laut.

Melihat Raina sedang menimang jajanannya, Ayla segera berjalan mendekati suaminya. “Mas,”

Doyoung hanya berdeham saja tanpa mengalihkan pandangannya dari si anak bungsu.

“Mas kok tadi ngomong sama Jaemin gitu?” Ia memainkan jemari suaminya. “Kamu nggak lagi mau menyerah, kan?”

Doyoung mengibaskan tangannya, “ya nggak lah.”

“Terus?”

Pria itu mengerutkan dahinya pertanda bingung. “Kok terus? Aku cuma biara fakta, sayang. Selagi kamu sama aku, ya aku usahain bahagiamu.” Ia mengacak rambut isterinya gemas.

Seketika, atensi Doyoung beralih pada sepasang suami isteri yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sedangkan Ayla kini malah sibuk memilih makanan ringan bersama Raina— sesekali Ibu dan anak itu berbeda pendapat tentang varian rasa yang mereka akan bawa pulang. Padahal Doyoung sudah meminta untuk beli saja keduanya kalau mereka menginginan beda varian. Toh, dimakan juga, kan?

Tapi semua ucapan Doyoung dipatahkan oleh Ayla dengan dalih, “Sayang uangnya. Lebih baik simpan, operasi Jeno bulan depan.”

“Mbak Ayla?” Pasangan suami isteri tadi berjalan pelan menghampiri Ayla yang sebelumnya sedang tertawa bersama Raina karena gadis kecil itu memperagakan salah satu iklan di televisi.

Ayla mengalihkan atensinya saat suara itu mengingrupsi. “Stef? Ah,— Jaehyun? Apa kabar?” Tanyanya ramah.

Stef tersenyum manis sembari mengangguk, tangan kanannya memegang tulip merah yang membuat Ayla sedikit mengerinyit. “Tulip merah?”

“Ah, ini...” Stef mengangkat bunganya, memperlihakan sepenuhnya ke arah Ayla. “Barusan dibeliin Jaehyun, Mbak.”

Ayla tersenyum tipis kala netranya menatap Jaehyun yang justru sedang tersenyum canggung— wajah pria itu bahkan terlihat agak menegang. Pasalnya dulu setiap kali Ayla meminta dibelikan bunga anyelir putih, Jaehyun sering mengatakan, “aku nggak suka bunga. Jangan simpan bunga apapun di rumah.”

Padahal, Ayla sangat menyukai Anyelir Putih. Karena kata Ibunya, Anyelir memiliki makna yang sangat dalam.

“Mbak?” Stef mengibaskan tangannya di depan wajah Ayla.

“Ah, iya?” Ayla menangkat kedua sudut bibirnya tipis. Ia berjalan ke arah Doyoung yang sekarang justru sedang terkekeh singkat.

“Kamu lucu kalau lagi kaget. Mikirin apa?” Tanyanya seolah tidak peduli dengan kehadiran Jaehyun, Stef juga puteri kecil mereka.

“Nggak. Nggak ada apa-apa.” Ayla memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam troli.

Dengan tiba-tiba Jaehyun menahan pergerakan wanita itu kala memasukkan beberapa makanan ringan lagi. “Jangan makan ciki banyak-banyak.”

Doyoung maupun Stef mengerinyit kebingungan dalam diam. Tapi diam-diam mereka menunggu kalimat Jaehyun selanjutnya. “Gendut. Nanti tambah jelek.”

Brengsek.

Dia berbohong.

Manusia itu berbohong.

Jaehyun hanya tidak ingin kejadian duabelas tahun lalu terulang di hidup Ayla. Wanita itu harus diopname lima hari karena tidak memakan nasi dan memilih makanan ringan saja untuk mengisi perutnya.

“Nggak apa-apa gendut. Kan dia sudah jadi milik saya.” Doyoung mengangkat sebelah sudut bibirnya, “yang berhak mengatur hanya saya, kan?”

Hati adalah penentu.

Ayla melirik suaminya sekilas, memasukkan bahwa pria itu baik-baik saja saat ini. Pasalnya iapun tidak tau apa yang membuat Doyoung berbicara sedemikian rupa di kamar Jaemin. Detik itu masih selalu membekas di benak Ayla. Walau sudah beberapa menit yang lalu, tapi rasanya begitu takut. Ia tidak lagi mau kehilangan sosok di sampingnya.

“Apa aja yang mau dibeli?” Doyoung memecah keheningan. Ia memutar stir mobilnya untuk masuk ke dalam salahsatu pusat perbelanjaan di Jakarta.

Bukan Ayla, kini justru puterinya yang berada di pangkuan wanita itu membuka suara. “Ice cream, permen, cokelat, em.... sama apalagi ya?” Ia mengetuk telunjuknya di bagian dahi, “ah! Rambut palsu!!!”

Doyoung tidak bisa menahan tawanya. Ia segera memarkirkan mobilnya, lalu berjalan memutar ke kursi penumpang. Ia membawa Raina ke dalam gendongannya lalu membantu Ayla untuk turun dari mobil.

“Mau beli apa?” Tanyanya lagi. Ia tidak juga melepaskan genggaman tangannya dari jari kecil milik sang isteri. “Bahan makanan pada habis, kan?”

Ayla menggeleng. Setelah resign, ia pasti memeriksa dan memastikan bahwa mereka tidak kehabisan bahan makanan di setiap malam. “Udah dibelanjain Mbak Ina pagi tadi di Pasar Besar.”

Doyoung mengangguk saja, ia mendudukan Raina pada troli yang baru saja diambilnya. Kedua tangannya ia gunakan untuk mendorong troli. Kemudian ia berjalan ke arah makanan ringan untuk di rumah karena barusan saja Raina merengek ingin dibelikan salah satu olahan rumput laut.

Melihat Raina sedang menimang jajanannya, Ayla segera berjalan mendekati suaminya. “Mas,”

Doyoung hanya berdeham saja tanpa mengalihkan pandangannya dari si anak bungsu.

“Mas kok tadi ngomong sama Jaemin gitu?” Ia memainkan jemari suaminya. “Kamu nggak lagi mau menyerah, kan?”

Doyoung mengibaskan tangannya, “ya nggak lah.”

“Terus?”

Pria itu mengerutkan dahinya pertanda bingung. “Kok terus? Aku cuma biara fakta, sayang. Selagi kamu sama aku, ya aku usahain bahagiamu.” Ia mengacak rambut isterinya gemas.

Seketika, atensi Doyoung beralih pada sepasang suami isteri yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sedangkan Ayla kini malah sibuk memilih makanan ringan bersama Raina— sesekali Ibu dan anak itu berbeda pendapat tentang varian rasa yang mereka akan bawa pulang. Padahal Doyoung sudah meminta untuk beli saja keduanya kalau mereka menginginan beda varian. Toh, dimakan juga, kan?

Tapi semua ucapan Doyoung dipatahkan oleh Ayla dengan dalih, “Sayang uangnya. Lebih baik simpan, operasi Jeno bulan depan.”

“Mbak Ayla?” Pasangan suami isteri tadi berjalan pelan menghampiri Ayla yang sebelumnya sedang tertawa bersama Raina karena gadis kecil itu memperagakan salah satu iklan di televisi.

Ayla mengalihkan atensinya saat suara itu mengingrupsi. “Stef? Ah,— Jaehyun? Apa kabar?” Tanyanya ramah.

Stef tersenyum manis sembari mengangguk, tangan kanannya memegang tulip merah yang membuat Ayla sedikit mengerinyit. “Tulip merah?”

“Ah, ini...” Stef mengangkat bunganya, memperlihakan sepenuhnya ke arah Ayla. “Barusan dibeliin Jaehyun, Mbak.”

Ayla tersenyum tipis kala netranya menatap Jaehyun yang justru sedang tersenyum canggung— wajah pria itu bahkan terlihat agak menegang. Pasalnya dulu setiap kali Ayla meminta dibelikan bunga anyelir putih, Jaehyun sering mengatakan, “aku nggak suka bunga. Jangan simpan bunga apapun di rumah.”

Padahal, Ayla sangat menyukai Anyelir Putih. Karena kata Ibunya, Anyelir memiliki makna yang sangat dalam.

“Mbak?” Stef mengibaskan tangannya di depan wajah Ayla.

“Ah, iya?” Ayla menangkat kedua sudut bibirnya tipis. Ia berjalan ke arah Doyoung yang sekarang justru sedang terkekeh singkat.

“Kamu lucu kalau lagi kaget. Mikirin apa?” Tanyanya seolah tidak peduli dengan kehadiran Jaehyun, Stef juga puteri kecil mereka.

“Nggak. Nggak ada apa-apa.” Ayla memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam troli.

Dengan tiba-tiba Jaehyun menahan pergerakan wanita itu kala memasukkan beberapa makanan ringan lagi. “Jangan makan ciki banyak-banyak.”

Doyoung maupun Stef mengerinyit kebingungan dalam diam. Tapi diam-diam mereka menunggu kalimat Jaehyun selanjutnya. “Gendut. Nanti tambah jelek.”

Brengsek.

Dia berbohong.

Manusia itu berbohong.

Jaehyun hanya tidak ingin kejadia

Rumah yang hancur.

Bersiap, ya? Banyak pelajaran yang harus diambil apalagi untuk kalian yang sudah menikah. Kalau yang belum? Jangan teburu-buru. Karena perceraian bukanlah jawaban yang dibenarkan.

Ayla menghela napasnya, seolah melepaskan semua beban yang selama ini ia pikul di bagian punggungnya. Tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu kamar Jaemin, lagi. “Na,”

Dari dalam tidak terdengar suara apapun yang tentu membuat Ayla mengerinyit bingung. Pasalnya, sedari siang tadi memang Jaemin tidak izin untuk pergi ke manapun. Dan rasanya tidak mungkin kalau anaknya yang satu itu pergi diam-diam.

Ayla meraih knop pintu itu, menekannya lalu didoron pelan. Matanya menyapu sekitar, berantakan. Tidak biasanya kamar Jaemin seperti ini. Sampai kemudian netra itu berhenti tepat pada daksa yang menyandarkan tubuhnya pada jendela balkon. Ia berjalan, menghampiri Jaemin yang sedang menatap langit biru dari bawah.

“Na, masih pusing?” Ayla menempelkan punggung tangannya di dahi Jaemin. Panas. Lebih panas dari sebelumnya. Netra pekat itu bergerak gelisah, “ke rumah sakit deh, Na. Ayo!”

Tangan Jaemin menahan pegerakan sang Bunda yang sedang berusaha untuk bangun dari posisinya. Netra milik Jaemin menatap lembut ke Sang Bunda. Bayangan Jaehyun juga keluarga kecil yang Jaemin lihat tadi malam masih dengan sempurna terputar di memori ingatannya. “Bun, memang setiap perceraian harus anak yang menanggang beban, ya?”

Wanita itu diam, ia berusaha merengkuh daksa anaknya. “Jaemin, kenapa?”

“Bun, kenapa Semesta menyatukan Bunda sama Dadah kalau pada akhirnya kalian dipisahkan?” Jaemin memejamkan matanya, berusaha menghilangkan potongan bayangan yang masih setia memutar di kepalanya. Jaemin belum cukup rela kala Sang Ayah kandung bersanding dengan wanita lain.

Anak mana yang merasa tidak sakit hati kalau penyebab dari perceraian kedua orang tuanya adalah orang ketiga? Lalu, sang Ayah dengan lantang memilih orang ketiga itu dan membuangnya. Tidak dilebihkan tapi perlu digaris bawahi kalau rasanya adalah hancur.

“Jaemin salah ya, Bun?” Dia menghela napasnya, menatap mata Bundanya dalam seolah mencari kebohongan di sana.

Ayla menggeleng, “kenapa Jaemin yang salah? Ini murni kesalahan Bunda sama Dadah. Maafin Bunda sama Dadah, ya, Jaemin?”

Sekarang, yang terlintas di benak Jaemin justru bagaimana harinya waktu semasa kecil. Ia merasa sangat disayang oleh Jaehyun selalu Ayahnya— walau beberapa keluarga Jaehyun mengatakan bahwa Jaemin bukanlah anak yang diingkan tapi dulu Bundanya pernah bilang, “kalau Nana nggak diinginkan sama Bunda dan Dadah, nggak mungkin Nana masih ada sama Bunda, kan?”

Benar juga. Bundanya selalu memiliki pemikiran seluas langit biru dan hati seluas samudera. Tapi Jaemin, Bunda tetap manusia. Ia akan merasa sakit kalau ada yang menyakiti. Hana saja, ia memang sudah terlalu biasa dalam menyembunyikan luka.

“Bun, Jaemin salah karena minta Bunda nikah sama Om Papa, ya?” Ia menghela napasnya. Netra kecokelatan itu kembali menatap langit biru sehingga membuat Ayla dapat melihat dengan jelas wajah pahatan tuhan itu dari samping.

Mirip sekali dengan Jaehyun. Mirip sekali.

“Jaemin kenapa berkali-kali dan sesering itu nanya tentang ini ke Bunda, sayang?” Ayla membenarkan posisi duduknya. Ia mengangkat kedua sudut bibirnya, menunduk sebentar seolah mengambil kekuatan yang akan ia salurkan untuk Jaemin. “Kamu itu nggak salah. Bunda justru merasa sangat amat bahagia karena udah dipertemukan oleh manusia sebaik Papa Doyoung. Jangan terus-terusan merasa bersalah, ya? Bunda nggak suka lihat Jaemin Jaya gini..”

“Bun, tapi yang Jaemin lihat, Bunda nggak sebahagia waktu sama Dadah. Bunda nggak bisa senyum lebar ketika sama Om Papa. Jaemin ngerasa kalau Bunda butuh Om Papa hanya sebagai support system? Mungkin? Bukan sebagai pendamping hidup.” Jaemin menghela napasnya. Menyandarkan tubuh yang lelah itu di kaca.

“Jaemin... jangan buat Bunda merasa sebersalah ini... Jangan buat Bunda semakin takut untuk ambil langkah ke depannya.” Ayla menggenggam jemari anaknya, memejamkan mata barang lima detik. “Bunda... bahagia sama Papa Doyoung. Bunda selalu dapat apa yang selama ini Bunda cari ketika Bunda sama Papa Doyoung. Bunda bahkan nggak pernah merasa sekehilangan itu kecuali waktu Papa Doyoung pergi. Jaemin... jangan halangi langkah Bunda untuk cari kebahagiaan, ya?”

Jaemin terkekeh, “maafin Jaemin ya, Bun? Maafin Jaemin kalau jadi beban buat Bunda mencari kebahagiaan.

“Nggak gitu, jagoan.” Tangannya terangkat untuk menahan pergerakan Jaemin yang akan meninggalkannya di balkon bersamaan dengan perbincangan yang menyakitkan. Sangat. “Jaemin dengerin Bunda,

semesta punya cara sendiri untuk menyatukan pun memisahkan. Semesta menyatukan Bunda dengan Papa Do ya karena memang berarti Bunda miliknya Papa, bukan lagi Dadah.”

“Tapi kalau pada akhirnya Bunda kembali lagi sama Dadah? Apa artinya semua ini, Bunda? Semua penderitaan Bunda apalagi menunggu kepulangan Om Papa kemarin?” Jaemin menghempas tangan Bundanya. Lalu berjalan masuk ke dalam kamar yang ternyata sudah ada Doyoung.

“Kalau pada akhirnya Bunda kembali lagi sama Dadah kamu, itu artinya Om Papa sudah nggak ada di dunia, Jaemin. Karena kalau masih bisa menjaga Bunda dan kamu, Om Papa pasti usahakan.” Doyoung bangun dari posisinya berjalan ke arah Jaemin. Mengelus puncak kepala anak itu sebentar. Lalu netranya menatap Ayla yang masih berdiri di ambang pintu balkon. “Kalau suatu saat nanti kamu kembali ke Jaehyun, anggap saja ketika bersama aku itu pelajaran, petualangan dan perjalanan untuk kalian berdua.”

Doyoung menarik napasnya, menyembunyikan rasa sakit di dalam dada. “Pelajaran kalau mengucap kalimat perceraian itu membawa dampak yang sangat besar. Entah pada diri kalian masing-masing atau pada anak kalian.”

“Kok ngomongnya gitu?” Ayla berjalan mendekat ke arah suaminya. “Kamu... Nggak—”

“Aku nggak tau kapan Tuhan ambil nyawaku, Ay.”

A/N : AAAAAA NANGIS. NANGIS BANGET NULIS PART INI BYEBYE

Memulai.

Untuk tujuhbelas tahun.

Stef tersenyum kecil kala Jaehyun meletakkan daging panggang di piringnya. Dalam hati, ia senang luar biasa. Apalagi saat matanya mendapati anak keduanya tersenyum manis untuknya.

Haechan. Sore tadi anak itu memilih berkunjung ke rumah Jaehyun dengan alasan ingin meminjam topi milik Mark, padahal ia hanya ingin tau bagaimana keadaan Mamanya.

“Oom Jaehyun pinter masak, ya?” Tanya Haechan polos. Ia memasukkan sepotong daging yang baru saja diletakkan oleh Jaehyun di piringnya. Bolamata bulat itu mengerjap lucu, “enak banget!”

Kepala keluarga kecil itu terkekeh, “nggak juga sih, Chan. Tapi kalau dagingnya enak, yasudah berarti hari ini kita lagi beruntung.”

“Beruntung?” Mark yang sedang bermain dengan adik kecilnya itu menoleh sebentar.

Jaehyun langsung mengangguk, “ya beruntung karena Papa sudah sewa resto ini untuk kita. Dan kalau makanannya nggak enak jadi rugi.”

Stef yang sedaritadi memilih diam akhirnya berdiri, mengambil alih pekerjaan suaminya untuk memanggang daging. “Kamu duduk aja, pegangin Aurel— mungkin Mark mau makan duluan.”

Diam artinya setuju. Jaehyun segera menggeser tubuhnya ke dekat Mark yang masih setia memangku si puteri kecil. Dengan perlahan tangannya mengambil alih, “sini sama Papa.”

Diam-diam kedua sudut bibir Stef terangkat kala hatinya menghangat mendengar Jaehyun menyebut dirinya sendiri sebagai “Papa”

Ah, andai Stef mengakui sedari dulu kalau sebenarnya puteri berumur lima tahun di pangkuan Jaehyun itu puterinya dengan si pria. Pasti Jaehyun akan menganggap dirinya ada.

“Anak Papa mau makan apa lagi?” Jaehyun tersenyum manis kala Aurel mengerjapkan matanya lucu. Jika dilihat dengan seksama, Aurel memang mirip dengan Jaehyun. Mulai dari lubang di pipinya, hidung manisnya, dan bibir tebalnya.

Dan ya, mata kucing keabuan itu ia dapatkan dari Stef yang memang memiliki keturunan Belanda.

“Papa, bunganya untuk siapa?” Gadis kecil itu mengangkat telunjuknya ke arah satu buket bunga tulip berwarna merah.

Jaehyun mengambil bunga yang sempat ia lupakan, tanannya terulur kepada Stef yang sedang berbincang dengan Haechan— ah, tentangnya... Stef sudah mulai terbiasa dengan Haechan. Anak ajaibnya itu ternyata punya banyak cara untuk membuat bahagia orang-orang di sekitarnya.

“Kenapa tulip merah, Stef?” Tanya Jaehyun penasaran. Sebenarnya ia juga tidak tau kenapa harus tulip, bukannya banyak bunga yang lebih indah? Matahari, misalnya?

Si wanita tertawa, “biar setidaknya sebelum aku meninggal, aku dapat merasakan kasih sayang kamu.”

Satu meja— ah, bahkan satu rumah makan hening. Karena memang isina hanya mereka berlima saja. Tidak ada siapapun kecuali beberapa pelayan yang sedari tadi sibuk bolak-balik.

“Karena tulip merah artinya kasih yang sempurna, Jaehyun.” Lanjutnya di akhiri tawa kecil di akhiri kalimat.

“Ma, jangan ngomong gitu.” Kata anak tengah— Haechan memperingati. Anak laki-laki itu menggenggam jemari Ibunya seolah menyalurkan kekuatan yang ia punya. Padahal Haechanpun tidak cukup kuat untuk dirinya sendiri. “Dokter itu bukan tuhan, Ma.”

Mark mengangguk setuju, “jangan ngomong kaya gitu lagi, Mom. Yang perlu kita lakuin sekarang nikmati momen-momen yang ada. Jangan sampai ucapan Dokter kemarin itu ganggu pikiean Mommy.”

Jaehyun mengangkat Aurel untuk duduk di kursinya, sedangkan ia berjalan untuk mendekat ke arah Stef. “Jangan ngomong kaya gitu lagi, ya? Anak-anak sedih, nanti siapa yang hibur selain kamu?”

Stef tersenyum tipis saat mendapati wajah khawatir Jaehyun yang cukup kentara di hadapannya. “Kan ada kamu, Jaehyun. Walau kamu nggak cinta sama aku, tapi tolong cintai anak-anak Aku, ya?”

Pria itu menarik napasnya, ia mendekatkan wajahnya pada milik Stef. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, rasanya sudah lama sekali ia tidak merasa seperti ini. Bibir tebalnya ia tempelkan pada milik Stef. Hanya menempel. Tidak lebih dari pada itu.

Untungnya, Mark dengan sigap menutup mata Aurel dengan lengan besarnya. Sedangkan Haechan memejamkan matanya sendiri. “Astaga, orang tua nggak tau tempat.” katanya dalam hati.

Perlahan, Jaehyun menahan tubuh Stef dengan tangan kanannya, mulai membuka mulutnya sendiri, menggigit milik wanitanya sedikit— seolah meminta akses. Ia memejamkan mata kala Stef membuka miliknya.

“CUT CUT CUT! ALAH dasar sepuh teu emut tempat. Aya budak alit di handap umur tujuh belas taun. Lamun katerusan, bade kumaha?” Teriak Haechan dengan logatnya yang membuat Stef segera menjauhkan tubuhnya dari Stef— karena hanya ia saja yang mengerti.

( TRANS : dasar orangtua nggak tau tempat. Ada anak kecil di bawah umur tujuh belas tahun. Kalau keterusan, gimana?)

Sedangkan di sampingnya, Mark mengerinyit. “Lo... ngomong apaan?”

Haechan berdecak, “ALAH SIAH BOY. Inget Mama lo orang Bandung masa anaknya nggak bisa sundaan.”

Memulai.

Stef tersenyum kecil kala Jaehyun meletakkan daging panggang di piringnya. Dalam hati, ia senang luar biasa. Apalagi saat matanya mendapati anak keduanya tersenyum manis untuknya.

Haechan. Sore tadi anak itu memilih berkunjung ke rumah Jaehyun dengan alasan ingin meminjam topi milik Mark, padahal ia hanya ingin tau bagaimana keadaan Mamanya.

“Oom Jaehyun pinter masak, ya?” Tanya Haechan polos. Ia memasukkan sepotong daging yang baru saja diletakkan oleh Jaehyun di piringnya. Bolamata bulat itu mengerjap lucu, “enak banget!”

Kepala keluarga kecil itu terkekeh, “nggak juga sih, Chan. Tapi kalau dagingnya enak, yasudah berarti hari ini kita lagi beruntung.”

“Beruntung?” Mark yang sedang bermain dengan adik kecilnya itu menoleh sebentar.

Jaehyun langsung mengangguk, “ya beruntung karena Papa sudah sewa resto ini untuk kita. Dan kalau makanannya nggak enak jadi rugi.”

Stef yang sedaritadi memilih diam akhirnya berdiri, mengambil alih pekerjaan suaminya untuk memanggang daging. “Kamu duduk aja, pegangin Aurel— mungkin Mark mau makan duluan.”

Diam artinya setuju. Jaehyun segera menggeser tubuhnya ke dekat Mark yang masih setia memangku si puteri kecil. Dengan perlahan tangannya mengambil alih, “sini sama Papa.”

Diam-diam kedua sudut bibir Stef terangkat kala hatinya menghangat mendengar Jaehyun menyebut dirinya sendiri sebagai “Papa”

Ah, andai Stef mengakui sedari dulu kalau sebenarnya puteri berumur lima tahun di pangkuan Jaehyun itu puterinya dengan si pria. Pasti Jaehyun akan menganggap dirinya ada.

“Anak Papa mau makan apa lagi?” Jaehyun tersenyum manis kala Aurel mengerjapkan matanya lucu. Jika dilihat dengan seksama, Aurel memang mirip dengan Jaehyun. Mulai dari lubang di pipinya, hidung manisnya, dan bibir tebalnya.

Dan ya, mata kucing keabuan itu ia dapatkan dari Stef yang memang memiliki keturunan Belanda.

“Papa, bunganya untuk siapa?” Gadis kecil itu mengangkat telunjuknya ke arah satu buket bunga tulip berwarna merah.

Jaehyun mengambil bunga yang sempat ia lupakan, tanannya terulur kepada Stef yang sedang berbincang dengan Haechan— ah, tentangnya... Stef sudah mulai terbiasa dengan Haechan. Anak ajaibnya itu ternyata punya banyak cara untuk membuat bahagia orang-orang di sekitarnya.

“Kenapa tulip merah, Stef?” Tanya Jaehyun penasaran. Sebenarnya ia juga tidak tau kenapa harus tulip, bukannya banyak bunga yang lebih indah? Matahari, misalnya?

Si wanita tertawa, “biar setidaknya sebelum aku meninggal, aku dapat merasakan kasih sayang kamu.”

Satu meja— ah, bahkan satu rumah makan hening. Karena memang isina hanya mereka berlima saja. Tidak ada siapapun kecuali beberapa pelayan yang sedari tadi sibuk bolak-balik.

“Karena tulip merah artinya kasih yang sempurna, Jaehyun.” Lanjutnya di akhiri tawa kecil di akhiri kalimat.

“Ma, jangan ngomong gitu.” Kata anak tengah— Haechan memperingati. Anak laki-laki itu menggenggam jemari Ibunya seolah menyalurkan kekuatan yang ia punya. Padahal Haechanpun tidak cukup kuat untuk dirinya sendiri. “Dokter itu bukan tuhan, Ma.”

Mark mengangguk setuju, “jangan ngomong kaya gitu lagi, Mom. Yang perlu kita lakuin sekarang nikmati momen-momen yang ada. Jangan sampai ucapan Dokter kemarin itu ganggu pikiean Mommy.”

Jaehyun mengangkat Aurel untuk duduk di kursinya, sedangkan ia berjalan untuk mendekat ke arah Stef. “Jangan ngomong kaya gitu lagi, ya? Anak-anak sedih, nanti siapa yang hibur selain kamu?”

Stef tersenyum tipis saat mendapati wajah khawatir Jaehyun yang cukup kentara di hadapannya. “Kan ada kamu, Jaehyun. Walau kamu nggak cinta sama aku, tapi tolong cintai anak-anak Aku, ya?”

Pria itu menarik napasnya, ia mendekatkan wajahnya pada milik Stef. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, rasanya sudah lama sekali ia tidak merasa seperti ini. Bibir tebalnya ia tempelkan pada milik Stef. Hanya menempel. Tidak lebih dari pada itu.

Untungnya, Mark dengan sigap menutup mata Aurel dengan lengan besarnya. Sedangkan Haechan memejamkan matanya sendiri. “Astaga, orang tua nggak tau tempat.” katanya dalam hati.

Perlahan, Jaehyun menahan tubuh Stef dengan tangan kanannya, mulai membuka mulutnya sendiri, menggigit milik wanitanya sedikit— seolah meminta akses. Ia memejamkan mata kala Stef membuka miliknya.

“CUT CUT CUT! ALAH dasar sepuh teu emut tempat. Aya budak alit di handap umur tujuh belas taun. Lamun katerusan, bade kumaha?” Teriak Haechan dengan logatnya yang membuat Stef segera menjauhkan tubuhnya dari Stef— karena hanya ia saja yang mengerti.

( TRANS : dasar orangtua nggak tau tempat. Ada anak kecil di bawah umur tujuh belas tahun. Kalau keterusan, gimana?)

Sedangkan di sampingnya, Mark mengerinyit. “Lo... ngomong apaan?”

Haechan berdecak, “ALAH SIAH BOY. Inget Mama lo orang Bandung masa anaknya nggak bisa sundaan.”

Teka-teki.

Kenapa harus ikuti kemauan orang, sih? Padahal dirimu sendiri aja bisa kamu percayai. Tuhan menciptakan otak dan hati saling berjauhan, tapi untuk bekerjasama.

Ayla mengangkat kedua sudut bibir tipis saat mendapati Doyoung sedang duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponselnya. Tangannya terangkat untuk melepaskan handuk yang terikat di kepalanya lalu menggantungkan kembali di tempat. Ia berjalan ke arah Doyoung perlahan, masih dengan bathrobe abunya. Wanita itu baru saja berendam air hangat untuk sekedar menghilangkan rasa pegal di bagian punggungnya.

Doyoung tidak juga bergeming saat Ayla mendudukan dirinya di samping. Ia masih fokus menatap ponselnya sampai pada akhirnya sang isteri melingkarkan tangan di pinggang. Pria itu hendak menoleh,

“Eh, kena...” Ayla yang memang meletakkan wajahnya di punggung kanan Doyoung mengecup pipi suaminya saat mau menoleh.

Pria itu tersenyum tipis, “satu. dua. tiga. empat. lima. bilang aja mau dicium.” Dia melipat bibirnya ke bawah setelah menghujani sang isteri dengan lima kali kecupan di bibirnya. “Nggak cukup?”

Wanita di sampingnya terkekeh geli, “gemes banget, bayi!”

Keduanya terkekeh. Ayla masih merasa nyaman pada posisinya memeluk Doyoung dari samping, ia mengerjap beberapa kali saat menyadari ada yang salah.

“Kamu... pakai parfum siapa, Mas?” Ia kembali mendekatkan indera penciumannya pada leher sang suami.

“Jangan gitu,” Doyoung menjauhkan kepala Ayla dari lehernya. “Geli...”

Si wanita terkekeh sumbang saat mendapatkan reaksi sang suami. Matanya kembali menatap kaus putih suaminya. Ia sedikit menaruh curiga pada pria itu. “Em... Di rumah Mama nggak ada Rea, kan, Mas?”

Sayangnya Doyoung mengangguk, “ada.”

Pria itu mengingat kejadian dua jam yang lalu di mana Rea mengancam untuk terjun dari lantai dua rumah Mamanya Doyoung kalau pria itu tidak dengan segera menceraikan Ayla. Katakanlah Rea gila karena memang begitu adanya. Tapi lebih gila lagi Doyoung, ia memutuskan tanpa berpikir panjang lebih dulu dan akan membawa anak-anak juga isterinya ke lain kota— yang tentu saja atas saran dari Winan.

“Mau mandi dulu atau langsung diskusi? Sudah makan malam, kan?” Ayla berjalan ke arah lemari, berencana menyiapkan pakaian tidur untuk suaminya.

“Langsung diskusi aja, biar capeknya sekalian.” jawabnya sambil merebahkan tubuh di kasur yang empuk itu.

Ayla kembali melangkahkan kakinya mendekat, mengulum senyum tipis di bibirnya. “Kalau aku minta kamu mandi dulu, mau atau nggak? Kamu... bau parfum perempuan, Mas— tapi sumpah, aku nggak... aku nggak mau ngambil kesimpulan sendiri. Apapun penjelasan kamu nanti pasti aku dengerin dan berusaha terima.” katanya.

Doyoung tersenyum, ia meraih tangan isterinya yang menggantung bebas. “Yaudah, aku mandi. Anak-anak udah makan? Kalau belum, ayo kita makan bareng.”

Dia tersenyum tipis saat mendapati suaminya melangkah ke kamar mandi. Sebenarnya, masih banyak pertanyaan yang ada di benak Ayla tentang Doyoung. Suaminya itu begitu tertutup bahkan lebih memilih pergi ketika ada masalah. Beberapa kali ia terlihat pengecut, padahal beberapa orang tidak tau kalau ada yang harus diselesaikan oleh Doyoung.

Seperti apa katanya tadi, Ayla akan berusaha menerima penjelasan Doyoung nanti tentang wangi perempuan yang sudah bisa dipastikan Rea menempel di tubuh suaminya. Cemburu? Ya bayangkan saja, isteri mana yang tidak?

⏰⏰⏰

“Jeno, sabar ya, sayang? Dua setengah bulan lagi...” Ayla mengelus surai kecokelatan puteranya yang hampir saja terlelap. Ia menatap wajah sempurna milik Jeno sendu, “bunda minta maaf sama Jeno...”

Jeno terkekeh, tangan kanannya mengapung di udara membuat gerakan melingkar seolah ingin meraba wajah Bundanya. “Nggak apa-apa, Bun. Jeno udah ikhlas... Kalau aja nggak ada kecelakaan itu, mungkin kita nggak bisa utuh kaya gini lagi, kan? Karena Papa udah menikah sama dokter Rea.” Jeno tertawa, sedangkan tangan Ayla terangkat untuk mengelus pipinya lembut.

“Jeno mau bobo?” tanya Ayla tiba-tiba sambil menarik selimut putih itu untuk menutupi separuh tubuh Jeno.

Tadi, setelah makan malam ia berinisiatif menemani Jeno untuk mengobrol dengannya sebentar sebelum tidur. Anak laki-laki itu bercerita tentang banyak hal dan bagaimana Papanya memerjuangkan hidup mereka. Mulai dari dokter biasa sampai dengan direktur rumah sakit. Banyak hal yang sudah dilewati dan itu membuat Ayla semakin yakin akan Doyoung yang memang pekerja keras.

“Ay,” Doyoung membuka pintu kamar Jeno, netranya mendapati sang isteri yang sedang duduk di pinggir ranjang sambil mengelus surai puteranya. “Jeno sudah tidur?”

Ayla menggeleng singkat, “belum...” ia mengecilkan suaranya kala dengkuran halus mulai terdengar dari Jeno yang memang baru saja hampir terlelap.

“Aku tunggu di kamar, ya? Raina minta bobo sama Mas Jemin.” katanya sambil mengusap pelan surai isterinya yang hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

Setelah sepuluh menit cukup dirasa kalau Jeno benar-benar sudah terlelap, Ayla mengecup singkat dahi puteranya. Ia berjalan ke kamar Jaemin untuk sekedar memastikan kedua anaknya itu sudah tertidur. Pasalnya, ini sudah hampir pukul sebelas malam, dan besok Raina harus pergi ke sekolah.

Kedua sudut bibirnya lagi-lagi terangkat saat mendapati Jaemin juga Raina yang tidur hampir saja berpelukan, walau sekarang kaki gadis kecil itu tepat berada di perut Jaemin. Ayla mengubah posisi Raina agar lebih nyaman, mengecup dahinya dan pipinya lalu beralih ke Jaemin. Ia menarik selimut dan tak lupa mengecilkan pendingin ruangan di kamar Jaemin— mengingat puteranya itu selalu kedinginan setiap pagi.

“Dulu kalau Nana kedinginan pas bangun pagi, pasti Dadah yang kecilim ACnya, ya, kan?” Ayla terkekeh sendiri atas pertanyaannya. Ia mengingat bertahun-tahun yang lalu. Sejak Jaehyun mengatakan bahwa ia menyerah dan merelakan Ayla untuk Doyoung, ada sebagian dalam dirinya yang mengatakan bahwa ia tidak juga rela. Tapi entah, rasanya Ayla adalah orang paling munafik di dunia.

Tapi kembali lagi, duapuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi mereka berpisah hanya karena satu wanita yang sampai detik ini belum bisa masuk ke dalam hati Jaehyun.

“Sudah pada tidur?” Doyoung menyingkirkan laptop di pangkuannya saat mendapati Ayla yang baru saja membuka pintu kamar. Ia menepuk ruang kosong di sampingnya, seolah meminta sang isteri untuk duduk di sana.

Langkah Ayla terhenti karena ada satu panggilan masuk yang membuat Doyoung mendesah malas saat melihat layar ponselnya. “Angkat aja, Do.”

Pria itu justru menggeleng, “nggak wajar seorang suami mengangkat telepon dari perempuan lain.” katanya.

Ayla tersenyum tipis di tempatnya, lalu kembali melangkah untuk duduk di samping Doyoung. “Aku mau tau apa yang diomongin sama Rea.”

“Kalau gitu, kamu yang angkat. Aku nggak mau berantem karena hal sepele, Ay.” Doyoung menyodork ponselnya di hadapan Ayla yang membuat wanita itu diam tak bergeming selama beberapa detik.

“Halo...” Ayla menahan napasnya saat suara Mamanya Doyoung yang justru mengintrupsinya. Wanita itu terdengar marah-marah di seberang sana dan menyebutkan beberapa kalimat yang memang sama sekali tidak mau Ayla dengar.

“Ceraikan Ayla, Do.” kalimat itu adalah kalimat paling menyakitkan di dunia bagi Ayla. Ia segera menyodorkan kembali ponsel Doyoung kepada pemiliknya tanpa memutus panggilan.

“Udah aku bilang, kan? Nggak penting.” Doyoung melempar kasat ponselnya ke atas nakas setelah memutus panggilan sepihak. “Sini, deketan. Kita diskusi.”

Ayla perlahan mendekat, tapi tetap memisahkan dirinya dan Doyoung dengan guling putih miliknya. Ia masih takut dengan kata “cerai” karena lima tahun lalu Jaehyun mengetiknya tanpa memikirkan perasaan wanita itu.

“Kamu... nggak akan layangkan surat per—”

Doyoung mengecup bibir pink kesukaannya itu satu kali. “Sekali ngomong kata itu, aku hukum, ya?”

Si wanita mengangguk setuju. “Jadi kita beneran mau pindah ke Surabaya, Do?”

Doyoung menghela napasnya, matanya bergerak untuk menatap netra legam sang isteri. “Kamu masih mau tinggal di Jakarta, ya?”

“Bukan gitu, Do.” Ayla mengambil jemari pria itu, memainkannya secara acak. “Tapi lari dari masalah bukan jawaban yang baik, kan? Kamu yang bilang sendiri. Jakarta sudah rumit, Do. Jangan makin memperumitnya di Surabaya, ya? Kita nggak tau kalau mungkin saja Rea atau Aksara meminta orang suruhannya untuk mengikuti kita, kan?”

Dalam hati pria itu membenarkan kalimat si wanita sepenuhnya. Ia tidak boleh kabur dari masalah karena itu bukanlah jawaban yang tepat. “Aku juga sebenernya nggak mau pindah dari Jakarta, Ay.”

“Terus kenapa malah mau move ke Surabaya?” Ayla menghela napasnya lelah.

“Kata Win—”

“Kenapa harus ikuti kemauan orang, sih? Padahal dirimu sendiri aja bisa kamu percayai. Tuhan menciptakan otak dan hati saling berjauhan, tapi untuk bekerjasama.” potong Ayla cepat, karena ia tau kalau Doyoung pasti lagi-lagi mengikuti saran dari teman sejatinya itu— Winan. “Dan lagi,

kamu di sini masih punya aku untuk kasih kamu saran, Do. Jangan cerita masalah kita keluar selagi masih ada aku di sini...”

Doyoung menghela napas, menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Tangannya terangkat untuk mengurut pangkal hidungnya sejenak. Berusaha menetralkan pikirannya yang benar-benar runyam. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa semesta membawanya sejauh ini? Kenapa semesta memberikan cobaannya sebanyak ini?

Jawabannya satu, karena kamu bisa, Doyoung. Karena kamu mampu. Semesta selalu memberi cobaan bagi orang-orang yang mampu. You did a great job, Capt.

“Capek, ya? Mau aku buatin teh hangat?” Ayla tersenyum tipis saat mendapati wajah suaminya yang berubah jadi agak putus asa di bawah temaramnya lampu.

Dia menggeleng, “Mama Ani bukan Mama kandungku, Ay.”

Sebenarnya Ayla kaget bukan main tapi ia berusaha meredam keingintauannya itu di depan Doyoung. Karena kalau pria itu memercayai dan menganggapnya ada, ia pasti bercerita.

“Mama Ani itu.... adiknya Mama Jaehyun. Itu sebabnya beliau tau masa lalu kamu.”

Si wanita berpiyama biru itu menggenggam tangan suaminya erat, seolah meminta pertolongan lebih. Mendengar kata “masa lalu kamu” akhir-akhir membuat Ayla selalu ketakutan sendiri.

“Hey, nggak apa-apa... Aku terima kamu di sini apa adanya kamu, Ayla.” Doyoung mengusap punggung tangan isterinya lembut. Ia tersenyum kecil, “mau lanjut cerita atau mau tidur aja?”

Ayla menggeleng, “lanjut. Aku perlu tau tentang kamu...”

“Aku baru tau satu tahun lalu, kalau sebenarnya...” Doyoung menggantung kalimatnya membuat Ayla mengerinyit dan mengatur detak jantung untuk kalimat yang bisa saja—

“Jaehyun nikahin di umur muda karena dia juga nggak mau kehilangan warisan dari Kakeknya....”

— mengejutkan. Dan ya, benar saja semuanya terlalu tiba-tiba dan benar mengejutkan sampai membuat Ayla meloloskan air matanya begitu saja.

“Jaehyun harus kerja di percetakan omnya karena itu atas dasar permintaan Kakek Ronald, Ay. Dia harus melewatkan beberapa tahap termasuk mendapatkan anak perempuan.”

Jadi, ini alasannya kenapa Mamanya Jaehyun dan anaknya itu ingin sekali anak perempuan dari Ayla? Jadi hanya karena harta dan keyakinan yang tidak sepenuhnya Jaehyun menikahi Ayla?

“Setelah beberapa tahun kalian menikah, Jaehyun baru menyadari kalau ternyata dia sayang sama kamu karena terbiasa dan karena waktu. Dan seperti apa katanya, Ay... Mamanya jebak Jaehyun untuk tidur sama Stef malam itu. Semua yang dibilang mereka salah, anak bayi itu bukan anak dari Johnny karena waktu itu,

waktu itu Stef dan Johnny berhubungan badan pas Stef nggak lagi masa suburnya. Sedangkan malam itu, Jaehyun benar-benar....”

“Jangan dilanjut, Do...” Ayla mengeratkan pelukannya pada pria di samping. Menenggelamkan diri di dada bidangnya dan bersandar di tubuh kekar suaminya. “Dan bahkan waktu masih sekolah... Jaehyun nggak benar-benar sayang sama aku, ya, Do?”

“Cintanya datang terlambat dan tidak bisa diprediksi, Ay.”

Apa ini? Teka-teki.

Karena aku bukan kamu.

Yang bisa merelakan dengan mudahnya.

Doyoung mengerjap beberapa kali saay mendapati punggung isterinya yang sedang sibuk memotong apel menjadi beberap bagian. Di meja makan sudah ada satu mangkuk telur mentah juga teh hijau hangat yang asapnya masih mengepul. Sesekali sang isteri berjalan ke sana kemari untuk menyicipi rasa dari masakannya. Kadang ia tersenyum tipis saat dirasa pas.

Pria itu melangkah maju, memeluk daksa isterinya yang sedang memotong buah apel. Ia menempelkan dagunya pada bahu sang isteri. Sesekali ia menghirup aroma dari rambutnya, “maafin aku...”

Wanita itu menghela napas, menyingkirkan lengan yang melingkar dari pinggangnya. “Awas dulu, repot banget, sih?”

“Maafin aku dulu..” katanya sambil sesekali mengecup pipi sang isteri.

Ayla mengangguk kecil kemudian karena semakin lama Doyoung semakin banyak tingkah. Untung saja Jaemin kuliah, Raina sekolah dan Jeno masih terlelap.

“Oke! Sebagai gantinya pagi ini aku yang masak!” katanya bersemangat dan melepaskan apron sang isteri, memakai pada tubuhnya sendiri. “Mau bikin cup cakes deh.”

Wanita itu hanya diam, berjalan ke arah meja makan dan duduk di sana. Memerhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh suaminya. Ini adalah hal yang selalu Ayla lakukan dulu saat bersama Jaehyun. Karena dulu Ayla tidak bisa memasak dan Jaehyunlah yang mengajarinya.

“Sushi atau Cake?” Doyoung meminta pendapat Ayla sambil lanjut memotong buah apel.

“Jaehyun.” ucap Ayla karena agak terkejut saat Doyoung yang tiba-tiba bertanya.

Pria di depan sana tersenyum kecil, “lagi mikirin Jaehyun, ya?” lalu berjalan untuk menyalakan oven. Ia berniat akan membuat cake saja pagi ini— siapa tau Raina menyukainya.

Ayla mengangguk singkat yang membuat Doyoung semakin menggenggam erat pisaunya seolah menyalurkan emosi di dalam dada.

“Mikirin apa?” Doyoung berjalan ke sana kemari mengambil bahan-bahan kue dari ruang persegi kecil khusus untuk menyimpan bahan makanan.

“Nggak...” balas si wanita sambil mengambil telur mentah dan teh hijau hangat, membawanya ke hadapan Doyoung yang sekarang justru sibuk dengan tepung.

“Bun, aku kalau diminta untuk ngelepas kamu sama Jae—” Doyoung menghentikan ucapannya saat Ayla meletakkan teh hijau juga telurnya di hadapan dengan wajah dingin.

Tadinya Ayla hendak membantu Doyoung untuk minum teh hijau hangat juga telur mentahnya. Tapi setelah pria itu mengucap kalimat yang sama sekali tidak ingin ia dengar keluar dari mulut suaminya, jadi malas.

Selama hampir satu jam Ayla hanya duduk di kursi makan, memerhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh Doyoung saat membuat kue sekaligus menu makan siang. Beberapa kali ia mengeluh karena bosan, tapi tidak juga ditanggapi oleh Doyoung.

“Lucu, kan?”

Si wanita menghela napasnya, “jelek.”

Dia melipat bibirnya ke dalam, “masih marah?”

Ayla menggeleng, “udah itu diminum dulu teh hijaunya.”

“Peluk dulu.”

Ayla masih diam tak bergeming di tempatnya. Sedangkan Doyoung sibuk berjalan ke arahnya sambil memasang senyum tipis.

“Sana, ah.” Ia mendorong tubuh suaminya. “Kamu tau? Kalo kamu ngomong kaya gitu bikin aku tuh nggak layak banget, Do. Aku ini barang atau apa? Oper sana-sini. Heran banget deh. Kurang percaya kalau kamu nunggu aku selama sembilan belas tahun.”

“Ay, nggak gitu...” Doyoung menarik tangan isterinya yang hendak pergi meninggalkan area dapur. “Maksudku, kalau kamu emang mau balik sama Jaehyun—”

“Dua tahun bikin aku gila karena kamu emang nggak cukup membuktikan kalau kamu berpengaruh di hidup aku, ya, Do?” Ayla menunjuk dada Doyoung geram. Napasnya tersenggal-senggal menahan amarah. “Terus dengan seenaknya kamu minta aku buat balik sama Jaehyun? Oh... atau kamu emang mau nikah sama Dokter Rea?”

Pria itu menggeleng, “capek aku juga sama kamu, Ay. Kekanakan.”

“Yang kekanakan aku atau kamu? Mikir, Do. Tolong.” Ayla menghela napasnya, pikirannya runyam tidak tau kalimat apalagi yang harus ia pergunakan untuk pria di hadapannya. “Kalau kamu mau, talak aku sekarang.”

Doyoung mengerinyit, “berapa kali aku bilang? Ngambil keputusan di saat emosi itu nggak baik, Ayla!”

“Kalau nggak mau aku gegabah, jaga ucapan kamu, Doyoung!”

Sesuatu di depan kedai gelato.

“Tadi gimana? Lancar?” Samudera duduk di hadapan Pelangi. Tangannya meletakkan dua cup besar gelato.

Pelangi mengangguk, “tapi capek.”

“Namanya juga kerja, nggak ada yang nggak capek.” Katanya memperingati. Pemuda Adinata itu menyodorkan satu botol air mineral yang tadi dibelinya dari seorang Bapak tua di depan kedai.

“Bukan itu doang, sih.” Pelangi menerima botol mineral yang disodorkan oleh Samudera, meminum isinya separuh. “Ruangan bosku ada di lantai enam, sedangkan divisiku ada di lantai satu. Aku harus bolak-balik ke ruangannya untuk menujukkan beberapa design yang harus ia pilih.”

Samudera memakan gelatonya, menyisir rambut cokelat tuanya ke belakang. Poninya ia biarkan agak memanjang, tapi Pelangi jelas tau kalau si pria risih dengan itu.

“Tapi kamu naik lift, kan?”

Pelangi menggeleng dan membuat Samudera menghentikan pergelangan tangannya. “Jangan bilang kamu naik tangga?!”

Kaget.

Keduanya sama-sama kaget. Berbeda dengan Samudera yang kaget karena Pelangi memilih tangga sebagai jalurnya, gadis itu justru kaget karena suara Samudera yang tiba-tiba saja melengking.

“Pelangi, kenapa ada-ada aja, sih?” tanya Samudera sembari memerhatikan kaki jenjang milik Pelangi yang terbalut celana hitam panjang bergaris putih. Samudera menghela napasnya sedikit frustasi, “kalau ada yang mudah kenapa harus yang susah sih, Pelangi?”

Gadis yang sibuk dengan gelatonya terkekeh, “kalau ada yang susah kenapa harus yang mudah?”

“Pelangi?”

“Iya?”

“Besok naik lift, ya?”

Gadis yang hendak memasukkan gelato ke dalam mulutnya jadi urung, “aku takut, Sam.”

“Kenapa?” Pria itu menjeda kalimatnya, “kamu... trauma?”

Anggukan Pelangi membuat Samudera sukses mendecak kesal, “kenapa pilih kantor itu?”

“Perusahaan itu membuka lowongan yang sesuai dengan jobdeskku.” jawab Pelangi ringan sambil sibuk menghabiskan santapan di depannya.

“Ada perusahaan lain yang mau terima kamu, pasti.” Ucap Samudera mantap. “Nanti kalau usaha saya sudah berjalan lancar, kamu kerja di kantor saya saja. Kamu yang handle semuanya— kebetulan saya harus kuliah di Bandung, jadi nggak ada yang urus di Jakarta.”

Si gadis hanya diam, sedikit meringis. Ia adalah tipikal manusia yang tidak suka diatur oleh siapapun. Apapun yang ingin ia lakukan, harus ia lakukan. Kata Bumi dulu, “lebih baik menyesal karena pernah mencoba, daripada menyesal karena tidak pernah mencoba.”

“Kenapa diam?” Samudera memecah keheningan yang terjadi.

Sedangkan Pelangi menatapnya sengit, “aku.nggak.suka.diatur!” katanya penuh penekanan.

Samudera mengacak rambutnya sendiri sambil berdecak. Kadang pria itu marah-marah sendiri, daritadi mulutnya mendumal ocehan-ocehan yang seharusnya tidak perlu didengarkan.

“Kalau kamu pingsan setelah mondar-mandir dari lantai satu ke lantai enam, gimana?” Dia menghentikan pergerakannya, memberi waktu Pelangi untuk menjawab.

“Nggak tau.”

Pria itu mendecak, lagi. “Saya tau persis perusahaan besar seperti itu nggak ada yang lewat tangga kecuali office boy atau girl. Dan mereka hanya lewat tangga sekitar dua atau tiga jam sekali, Pelangi.”

“Tapi itu perusahaan impianku sejak sekolah, Sam. Aku nggak mungkin ngundurin diri di saat aku baru banget di terima. Nggak lucu, sumpah.” balas Pelangi tak kalah kesal oleh Samudera.

“Yaudah terserah kamu maunya gimana. Saya nggak ada hak.” katanya lalu bangkit untuk membayar gelato lalu berjalan ke parkiran. Meninggalkan Pelangi yang masih sibuk mengaduk gelatonya yang sudah mencair.

“Sam!” Pelangi menepuk bahu pria yang sedang duduk di atas motor pamannya itu cukup keras. “Kamu kenapasih hari ini? Nggak jelas banget!”

Tatapan dinginnya berubah menghangat. Netra kecokelatan itu menatap gadis yang berdiri di depannya dalam. “Saya mau minta izin sama kamu.”

“Apalagi? Izin apa? Apapun yang mau kamu lakuin, yaudah lakuin. Ngapain minta izin sama aku?” balas si gadis masih terbakar emosi.

Samudera menghela napasnya, “izin menjadikan kamu sebagai tanggung jawab saya.”