Memulai.
Untuk tujuhbelas tahun.
Stef tersenyum kecil kala Jaehyun meletakkan daging panggang di piringnya. Dalam hati, ia senang luar biasa. Apalagi saat matanya mendapati anak keduanya tersenyum manis untuknya.
Haechan. Sore tadi anak itu memilih berkunjung ke rumah Jaehyun dengan alasan ingin meminjam topi milik Mark, padahal ia hanya ingin tau bagaimana keadaan Mamanya.
“Oom Jaehyun pinter masak, ya?” Tanya Haechan polos. Ia memasukkan sepotong daging yang baru saja diletakkan oleh Jaehyun di piringnya. Bolamata bulat itu mengerjap lucu, “enak banget!”
Kepala keluarga kecil itu terkekeh, “nggak juga sih, Chan. Tapi kalau dagingnya enak, yasudah berarti hari ini kita lagi beruntung.”
“Beruntung?” Mark yang sedang bermain dengan adik kecilnya itu menoleh sebentar.
Jaehyun langsung mengangguk, “ya beruntung karena Papa sudah sewa resto ini untuk kita. Dan kalau makanannya nggak enak jadi rugi.”
Stef yang sedaritadi memilih diam akhirnya berdiri, mengambil alih pekerjaan suaminya untuk memanggang daging. “Kamu duduk aja, pegangin Aurel— mungkin Mark mau makan duluan.”
Diam artinya setuju. Jaehyun segera menggeser tubuhnya ke dekat Mark yang masih setia memangku si puteri kecil. Dengan perlahan tangannya mengambil alih, “sini sama Papa.”
Diam-diam kedua sudut bibir Stef terangkat kala hatinya menghangat mendengar Jaehyun menyebut dirinya sendiri sebagai “Papa”
Ah, andai Stef mengakui sedari dulu kalau sebenarnya puteri berumur lima tahun di pangkuan Jaehyun itu puterinya dengan si pria. Pasti Jaehyun akan menganggap dirinya ada.
“Anak Papa mau makan apa lagi?” Jaehyun tersenyum manis kala Aurel mengerjapkan matanya lucu. Jika dilihat dengan seksama, Aurel memang mirip dengan Jaehyun. Mulai dari lubang di pipinya, hidung manisnya, dan bibir tebalnya.
Dan ya, mata kucing keabuan itu ia dapatkan dari Stef yang memang memiliki keturunan Belanda.
“Papa, bunganya untuk siapa?” Gadis kecil itu mengangkat telunjuknya ke arah satu buket bunga tulip berwarna merah.
Jaehyun mengambil bunga yang sempat ia lupakan, tanannya terulur kepada Stef yang sedang berbincang dengan Haechan— ah, tentangnya... Stef sudah mulai terbiasa dengan Haechan. Anak ajaibnya itu ternyata punya banyak cara untuk membuat bahagia orang-orang di sekitarnya.
“Kenapa tulip merah, Stef?” Tanya Jaehyun penasaran. Sebenarnya ia juga tidak tau kenapa harus tulip, bukannya banyak bunga yang lebih indah? Matahari, misalnya?
Si wanita tertawa, “biar setidaknya sebelum aku meninggal, aku dapat merasakan kasih sayang kamu.”
Satu meja— ah, bahkan satu rumah makan hening. Karena memang isina hanya mereka berlima saja. Tidak ada siapapun kecuali beberapa pelayan yang sedari tadi sibuk bolak-balik.
“Karena tulip merah artinya kasih yang sempurna, Jaehyun.” Lanjutnya di akhiri tawa kecil di akhiri kalimat.
“Ma, jangan ngomong gitu.” Kata anak tengah— Haechan memperingati. Anak laki-laki itu menggenggam jemari Ibunya seolah menyalurkan kekuatan yang ia punya. Padahal Haechanpun tidak cukup kuat untuk dirinya sendiri. “Dokter itu bukan tuhan, Ma.”
Mark mengangguk setuju, “jangan ngomong kaya gitu lagi, Mom. Yang perlu kita lakuin sekarang nikmati momen-momen yang ada. Jangan sampai ucapan Dokter kemarin itu ganggu pikiean Mommy.”
Jaehyun mengangkat Aurel untuk duduk di kursinya, sedangkan ia berjalan untuk mendekat ke arah Stef. “Jangan ngomong kaya gitu lagi, ya? Anak-anak sedih, nanti siapa yang hibur selain kamu?”
Stef tersenyum tipis saat mendapati wajah khawatir Jaehyun yang cukup kentara di hadapannya. “Kan ada kamu, Jaehyun. Walau kamu nggak cinta sama aku, tapi tolong cintai anak-anak Aku, ya?”
Pria itu menarik napasnya, ia mendekatkan wajahnya pada milik Stef. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, rasanya sudah lama sekali ia tidak merasa seperti ini. Bibir tebalnya ia tempelkan pada milik Stef. Hanya menempel. Tidak lebih dari pada itu.
Untungnya, Mark dengan sigap menutup mata Aurel dengan lengan besarnya. Sedangkan Haechan memejamkan matanya sendiri. “Astaga, orang tua nggak tau tempat.” katanya dalam hati.
Perlahan, Jaehyun menahan tubuh Stef dengan tangan kanannya, mulai membuka mulutnya sendiri, menggigit milik wanitanya sedikit— seolah meminta akses. Ia memejamkan mata kala Stef membuka miliknya.
“CUT CUT CUT! ALAH dasar sepuh teu emut tempat. Aya budak alit di handap umur tujuh belas taun. Lamun katerusan, bade kumaha?” Teriak Haechan dengan logatnya yang membuat Stef segera menjauhkan tubuhnya dari Stef— karena hanya ia saja yang mengerti.
( TRANS : dasar orangtua nggak tau tempat. Ada anak kecil di bawah umur tujuh belas tahun. Kalau keterusan, gimana?)
Sedangkan di sampingnya, Mark mengerinyit. “Lo... ngomong apaan?”
Haechan berdecak, “ALAH SIAH BOY. Inget Mama lo orang Bandung masa anaknya nggak bisa sundaan.”