Teka-teki.

Kenapa harus ikuti kemauan orang, sih? Padahal dirimu sendiri aja bisa kamu percayai. Tuhan menciptakan otak dan hati saling berjauhan, tapi untuk bekerjasama.

Ayla mengangkat kedua sudut bibir tipis saat mendapati Doyoung sedang duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponselnya. Tangannya terangkat untuk melepaskan handuk yang terikat di kepalanya lalu menggantungkan kembali di tempat. Ia berjalan ke arah Doyoung perlahan, masih dengan bathrobe abunya. Wanita itu baru saja berendam air hangat untuk sekedar menghilangkan rasa pegal di bagian punggungnya.

Doyoung tidak juga bergeming saat Ayla mendudukan dirinya di samping. Ia masih fokus menatap ponselnya sampai pada akhirnya sang isteri melingkarkan tangan di pinggang. Pria itu hendak menoleh,

“Eh, kena...” Ayla yang memang meletakkan wajahnya di punggung kanan Doyoung mengecup pipi suaminya saat mau menoleh.

Pria itu tersenyum tipis, “satu. dua. tiga. empat. lima. bilang aja mau dicium.” Dia melipat bibirnya ke bawah setelah menghujani sang isteri dengan lima kali kecupan di bibirnya. “Nggak cukup?”

Wanita di sampingnya terkekeh geli, “gemes banget, bayi!”

Keduanya terkekeh. Ayla masih merasa nyaman pada posisinya memeluk Doyoung dari samping, ia mengerjap beberapa kali saat menyadari ada yang salah.

“Kamu... pakai parfum siapa, Mas?” Ia kembali mendekatkan indera penciumannya pada leher sang suami.

“Jangan gitu,” Doyoung menjauhkan kepala Ayla dari lehernya. “Geli...”

Si wanita terkekeh sumbang saat mendapatkan reaksi sang suami. Matanya kembali menatap kaus putih suaminya. Ia sedikit menaruh curiga pada pria itu. “Em... Di rumah Mama nggak ada Rea, kan, Mas?”

Sayangnya Doyoung mengangguk, “ada.”

Pria itu mengingat kejadian dua jam yang lalu di mana Rea mengancam untuk terjun dari lantai dua rumah Mamanya Doyoung kalau pria itu tidak dengan segera menceraikan Ayla. Katakanlah Rea gila karena memang begitu adanya. Tapi lebih gila lagi Doyoung, ia memutuskan tanpa berpikir panjang lebih dulu dan akan membawa anak-anak juga isterinya ke lain kota— yang tentu saja atas saran dari Winan.

“Mau mandi dulu atau langsung diskusi? Sudah makan malam, kan?” Ayla berjalan ke arah lemari, berencana menyiapkan pakaian tidur untuk suaminya.

“Langsung diskusi aja, biar capeknya sekalian.” jawabnya sambil merebahkan tubuh di kasur yang empuk itu.

Ayla kembali melangkahkan kakinya mendekat, mengulum senyum tipis di bibirnya. “Kalau aku minta kamu mandi dulu, mau atau nggak? Kamu... bau parfum perempuan, Mas— tapi sumpah, aku nggak... aku nggak mau ngambil kesimpulan sendiri. Apapun penjelasan kamu nanti pasti aku dengerin dan berusaha terima.” katanya.

Doyoung tersenyum, ia meraih tangan isterinya yang menggantung bebas. “Yaudah, aku mandi. Anak-anak udah makan? Kalau belum, ayo kita makan bareng.”

Dia tersenyum tipis saat mendapati suaminya melangkah ke kamar mandi. Sebenarnya, masih banyak pertanyaan yang ada di benak Ayla tentang Doyoung. Suaminya itu begitu tertutup bahkan lebih memilih pergi ketika ada masalah. Beberapa kali ia terlihat pengecut, padahal beberapa orang tidak tau kalau ada yang harus diselesaikan oleh Doyoung.

Seperti apa katanya tadi, Ayla akan berusaha menerima penjelasan Doyoung nanti tentang wangi perempuan yang sudah bisa dipastikan Rea menempel di tubuh suaminya. Cemburu? Ya bayangkan saja, isteri mana yang tidak?

⏰⏰⏰

“Jeno, sabar ya, sayang? Dua setengah bulan lagi...” Ayla mengelus surai kecokelatan puteranya yang hampir saja terlelap. Ia menatap wajah sempurna milik Jeno sendu, “bunda minta maaf sama Jeno...”

Jeno terkekeh, tangan kanannya mengapung di udara membuat gerakan melingkar seolah ingin meraba wajah Bundanya. “Nggak apa-apa, Bun. Jeno udah ikhlas... Kalau aja nggak ada kecelakaan itu, mungkin kita nggak bisa utuh kaya gini lagi, kan? Karena Papa udah menikah sama dokter Rea.” Jeno tertawa, sedangkan tangan Ayla terangkat untuk mengelus pipinya lembut.

“Jeno mau bobo?” tanya Ayla tiba-tiba sambil menarik selimut putih itu untuk menutupi separuh tubuh Jeno.

Tadi, setelah makan malam ia berinisiatif menemani Jeno untuk mengobrol dengannya sebentar sebelum tidur. Anak laki-laki itu bercerita tentang banyak hal dan bagaimana Papanya memerjuangkan hidup mereka. Mulai dari dokter biasa sampai dengan direktur rumah sakit. Banyak hal yang sudah dilewati dan itu membuat Ayla semakin yakin akan Doyoung yang memang pekerja keras.

“Ay,” Doyoung membuka pintu kamar Jeno, netranya mendapati sang isteri yang sedang duduk di pinggir ranjang sambil mengelus surai puteranya. “Jeno sudah tidur?”

Ayla menggeleng singkat, “belum...” ia mengecilkan suaranya kala dengkuran halus mulai terdengar dari Jeno yang memang baru saja hampir terlelap.

“Aku tunggu di kamar, ya? Raina minta bobo sama Mas Jemin.” katanya sambil mengusap pelan surai isterinya yang hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

Setelah sepuluh menit cukup dirasa kalau Jeno benar-benar sudah terlelap, Ayla mengecup singkat dahi puteranya. Ia berjalan ke kamar Jaemin untuk sekedar memastikan kedua anaknya itu sudah tertidur. Pasalnya, ini sudah hampir pukul sebelas malam, dan besok Raina harus pergi ke sekolah.

Kedua sudut bibirnya lagi-lagi terangkat saat mendapati Jaemin juga Raina yang tidur hampir saja berpelukan, walau sekarang kaki gadis kecil itu tepat berada di perut Jaemin. Ayla mengubah posisi Raina agar lebih nyaman, mengecup dahinya dan pipinya lalu beralih ke Jaemin. Ia menarik selimut dan tak lupa mengecilkan pendingin ruangan di kamar Jaemin— mengingat puteranya itu selalu kedinginan setiap pagi.

“Dulu kalau Nana kedinginan pas bangun pagi, pasti Dadah yang kecilim ACnya, ya, kan?” Ayla terkekeh sendiri atas pertanyaannya. Ia mengingat bertahun-tahun yang lalu. Sejak Jaehyun mengatakan bahwa ia menyerah dan merelakan Ayla untuk Doyoung, ada sebagian dalam dirinya yang mengatakan bahwa ia tidak juga rela. Tapi entah, rasanya Ayla adalah orang paling munafik di dunia.

Tapi kembali lagi, duapuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi mereka berpisah hanya karena satu wanita yang sampai detik ini belum bisa masuk ke dalam hati Jaehyun.

“Sudah pada tidur?” Doyoung menyingkirkan laptop di pangkuannya saat mendapati Ayla yang baru saja membuka pintu kamar. Ia menepuk ruang kosong di sampingnya, seolah meminta sang isteri untuk duduk di sana.

Langkah Ayla terhenti karena ada satu panggilan masuk yang membuat Doyoung mendesah malas saat melihat layar ponselnya. “Angkat aja, Do.”

Pria itu justru menggeleng, “nggak wajar seorang suami mengangkat telepon dari perempuan lain.” katanya.

Ayla tersenyum tipis di tempatnya, lalu kembali melangkah untuk duduk di samping Doyoung. “Aku mau tau apa yang diomongin sama Rea.”

“Kalau gitu, kamu yang angkat. Aku nggak mau berantem karena hal sepele, Ay.” Doyoung menyodork ponselnya di hadapan Ayla yang membuat wanita itu diam tak bergeming selama beberapa detik.

“Halo...” Ayla menahan napasnya saat suara Mamanya Doyoung yang justru mengintrupsinya. Wanita itu terdengar marah-marah di seberang sana dan menyebutkan beberapa kalimat yang memang sama sekali tidak mau Ayla dengar.

“Ceraikan Ayla, Do.” kalimat itu adalah kalimat paling menyakitkan di dunia bagi Ayla. Ia segera menyodorkan kembali ponsel Doyoung kepada pemiliknya tanpa memutus panggilan.

“Udah aku bilang, kan? Nggak penting.” Doyoung melempar kasat ponselnya ke atas nakas setelah memutus panggilan sepihak. “Sini, deketan. Kita diskusi.”

Ayla perlahan mendekat, tapi tetap memisahkan dirinya dan Doyoung dengan guling putih miliknya. Ia masih takut dengan kata “cerai” karena lima tahun lalu Jaehyun mengetiknya tanpa memikirkan perasaan wanita itu.

“Kamu... nggak akan layangkan surat per—”

Doyoung mengecup bibir pink kesukaannya itu satu kali. “Sekali ngomong kata itu, aku hukum, ya?”

Si wanita mengangguk setuju. “Jadi kita beneran mau pindah ke Surabaya, Do?”

Doyoung menghela napasnya, matanya bergerak untuk menatap netra legam sang isteri. “Kamu masih mau tinggal di Jakarta, ya?”

“Bukan gitu, Do.” Ayla mengambil jemari pria itu, memainkannya secara acak. “Tapi lari dari masalah bukan jawaban yang baik, kan? Kamu yang bilang sendiri. Jakarta sudah rumit, Do. Jangan makin memperumitnya di Surabaya, ya? Kita nggak tau kalau mungkin saja Rea atau Aksara meminta orang suruhannya untuk mengikuti kita, kan?”

Dalam hati pria itu membenarkan kalimat si wanita sepenuhnya. Ia tidak boleh kabur dari masalah karena itu bukanlah jawaban yang tepat. “Aku juga sebenernya nggak mau pindah dari Jakarta, Ay.”

“Terus kenapa malah mau move ke Surabaya?” Ayla menghela napasnya lelah.

“Kata Win—”

“Kenapa harus ikuti kemauan orang, sih? Padahal dirimu sendiri aja bisa kamu percayai. Tuhan menciptakan otak dan hati saling berjauhan, tapi untuk bekerjasama.” potong Ayla cepat, karena ia tau kalau Doyoung pasti lagi-lagi mengikuti saran dari teman sejatinya itu— Winan. “Dan lagi,

kamu di sini masih punya aku untuk kasih kamu saran, Do. Jangan cerita masalah kita keluar selagi masih ada aku di sini...”

Doyoung menghela napas, menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Tangannya terangkat untuk mengurut pangkal hidungnya sejenak. Berusaha menetralkan pikirannya yang benar-benar runyam. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa semesta membawanya sejauh ini? Kenapa semesta memberikan cobaannya sebanyak ini?

Jawabannya satu, karena kamu bisa, Doyoung. Karena kamu mampu. Semesta selalu memberi cobaan bagi orang-orang yang mampu. You did a great job, Capt.

“Capek, ya? Mau aku buatin teh hangat?” Ayla tersenyum tipis saat mendapati wajah suaminya yang berubah jadi agak putus asa di bawah temaramnya lampu.

Dia menggeleng, “Mama Ani bukan Mama kandungku, Ay.”

Sebenarnya Ayla kaget bukan main tapi ia berusaha meredam keingintauannya itu di depan Doyoung. Karena kalau pria itu memercayai dan menganggapnya ada, ia pasti bercerita.

“Mama Ani itu.... adiknya Mama Jaehyun. Itu sebabnya beliau tau masa lalu kamu.”

Si wanita berpiyama biru itu menggenggam tangan suaminya erat, seolah meminta pertolongan lebih. Mendengar kata “masa lalu kamu” akhir-akhir membuat Ayla selalu ketakutan sendiri.

“Hey, nggak apa-apa... Aku terima kamu di sini apa adanya kamu, Ayla.” Doyoung mengusap punggung tangan isterinya lembut. Ia tersenyum kecil, “mau lanjut cerita atau mau tidur aja?”

Ayla menggeleng, “lanjut. Aku perlu tau tentang kamu...”

“Aku baru tau satu tahun lalu, kalau sebenarnya...” Doyoung menggantung kalimatnya membuat Ayla mengerinyit dan mengatur detak jantung untuk kalimat yang bisa saja—

“Jaehyun nikahin di umur muda karena dia juga nggak mau kehilangan warisan dari Kakeknya....”

— mengejutkan. Dan ya, benar saja semuanya terlalu tiba-tiba dan benar mengejutkan sampai membuat Ayla meloloskan air matanya begitu saja.

“Jaehyun harus kerja di percetakan omnya karena itu atas dasar permintaan Kakek Ronald, Ay. Dia harus melewatkan beberapa tahap termasuk mendapatkan anak perempuan.”

Jadi, ini alasannya kenapa Mamanya Jaehyun dan anaknya itu ingin sekali anak perempuan dari Ayla? Jadi hanya karena harta dan keyakinan yang tidak sepenuhnya Jaehyun menikahi Ayla?

“Setelah beberapa tahun kalian menikah, Jaehyun baru menyadari kalau ternyata dia sayang sama kamu karena terbiasa dan karena waktu. Dan seperti apa katanya, Ay... Mamanya jebak Jaehyun untuk tidur sama Stef malam itu. Semua yang dibilang mereka salah, anak bayi itu bukan anak dari Johnny karena waktu itu,

waktu itu Stef dan Johnny berhubungan badan pas Stef nggak lagi masa suburnya. Sedangkan malam itu, Jaehyun benar-benar....”

“Jangan dilanjut, Do...” Ayla mengeratkan pelukannya pada pria di samping. Menenggelamkan diri di dada bidangnya dan bersandar di tubuh kekar suaminya. “Dan bahkan waktu masih sekolah... Jaehyun nggak benar-benar sayang sama aku, ya, Do?”

“Cintanya datang terlambat dan tidak bisa diprediksi, Ay.”

Apa ini? Teka-teki.