Rumah yang hancur.

Bersiap, ya? Banyak pelajaran yang harus diambil apalagi untuk kalian yang sudah menikah. Kalau yang belum? Jangan teburu-buru. Karena perceraian bukanlah jawaban yang dibenarkan.

Ayla menghela napasnya, seolah melepaskan semua beban yang selama ini ia pikul di bagian punggungnya. Tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu kamar Jaemin, lagi. “Na,”

Dari dalam tidak terdengar suara apapun yang tentu membuat Ayla mengerinyit bingung. Pasalnya, sedari siang tadi memang Jaemin tidak izin untuk pergi ke manapun. Dan rasanya tidak mungkin kalau anaknya yang satu itu pergi diam-diam.

Ayla meraih knop pintu itu, menekannya lalu didoron pelan. Matanya menyapu sekitar, berantakan. Tidak biasanya kamar Jaemin seperti ini. Sampai kemudian netra itu berhenti tepat pada daksa yang menyandarkan tubuhnya pada jendela balkon. Ia berjalan, menghampiri Jaemin yang sedang menatap langit biru dari bawah.

“Na, masih pusing?” Ayla menempelkan punggung tangannya di dahi Jaemin. Panas. Lebih panas dari sebelumnya. Netra pekat itu bergerak gelisah, “ke rumah sakit deh, Na. Ayo!”

Tangan Jaemin menahan pegerakan sang Bunda yang sedang berusaha untuk bangun dari posisinya. Netra milik Jaemin menatap lembut ke Sang Bunda. Bayangan Jaehyun juga keluarga kecil yang Jaemin lihat tadi malam masih dengan sempurna terputar di memori ingatannya. “Bun, memang setiap perceraian harus anak yang menanggang beban, ya?”

Wanita itu diam, ia berusaha merengkuh daksa anaknya. “Jaemin, kenapa?”

“Bun, kenapa Semesta menyatukan Bunda sama Dadah kalau pada akhirnya kalian dipisahkan?” Jaemin memejamkan matanya, berusaha menghilangkan potongan bayangan yang masih setia memutar di kepalanya. Jaemin belum cukup rela kala Sang Ayah kandung bersanding dengan wanita lain.

Anak mana yang merasa tidak sakit hati kalau penyebab dari perceraian kedua orang tuanya adalah orang ketiga? Lalu, sang Ayah dengan lantang memilih orang ketiga itu dan membuangnya. Tidak dilebihkan tapi perlu digaris bawahi kalau rasanya adalah hancur.

“Jaemin salah ya, Bun?” Dia menghela napasnya, menatap mata Bundanya dalam seolah mencari kebohongan di sana.

Ayla menggeleng, “kenapa Jaemin yang salah? Ini murni kesalahan Bunda sama Dadah. Maafin Bunda sama Dadah, ya, Jaemin?”

Sekarang, yang terlintas di benak Jaemin justru bagaimana harinya waktu semasa kecil. Ia merasa sangat disayang oleh Jaehyun selalu Ayahnya— walau beberapa keluarga Jaehyun mengatakan bahwa Jaemin bukanlah anak yang diingkan tapi dulu Bundanya pernah bilang, “kalau Nana nggak diinginkan sama Bunda dan Dadah, nggak mungkin Nana masih ada sama Bunda, kan?”

Benar juga. Bundanya selalu memiliki pemikiran seluas langit biru dan hati seluas samudera. Tapi Jaemin, Bunda tetap manusia. Ia akan merasa sakit kalau ada yang menyakiti. Hana saja, ia memang sudah terlalu biasa dalam menyembunyikan luka.

“Bun, Jaemin salah karena minta Bunda nikah sama Om Papa, ya?” Ia menghela napasnya. Netra kecokelatan itu kembali menatap langit biru sehingga membuat Ayla dapat melihat dengan jelas wajah pahatan tuhan itu dari samping.

Mirip sekali dengan Jaehyun. Mirip sekali.

“Jaemin kenapa berkali-kali dan sesering itu nanya tentang ini ke Bunda, sayang?” Ayla membenarkan posisi duduknya. Ia mengangkat kedua sudut bibirnya, menunduk sebentar seolah mengambil kekuatan yang akan ia salurkan untuk Jaemin. “Kamu itu nggak salah. Bunda justru merasa sangat amat bahagia karena udah dipertemukan oleh manusia sebaik Papa Doyoung. Jangan terus-terusan merasa bersalah, ya? Bunda nggak suka lihat Jaemin Jaya gini..”

“Bun, tapi yang Jaemin lihat, Bunda nggak sebahagia waktu sama Dadah. Bunda nggak bisa senyum lebar ketika sama Om Papa. Jaemin ngerasa kalau Bunda butuh Om Papa hanya sebagai support system? Mungkin? Bukan sebagai pendamping hidup.” Jaemin menghela napasnya. Menyandarkan tubuh yang lelah itu di kaca.

“Jaemin... jangan buat Bunda merasa sebersalah ini... Jangan buat Bunda semakin takut untuk ambil langkah ke depannya.” Ayla menggenggam jemari anaknya, memejamkan mata barang lima detik. “Bunda... bahagia sama Papa Doyoung. Bunda selalu dapat apa yang selama ini Bunda cari ketika Bunda sama Papa Doyoung. Bunda bahkan nggak pernah merasa sekehilangan itu kecuali waktu Papa Doyoung pergi. Jaemin... jangan halangi langkah Bunda untuk cari kebahagiaan, ya?”

Jaemin terkekeh, “maafin Jaemin ya, Bun? Maafin Jaemin kalau jadi beban buat Bunda mencari kebahagiaan.

“Nggak gitu, jagoan.” Tangannya terangkat untuk menahan pergerakan Jaemin yang akan meninggalkannya di balkon bersamaan dengan perbincangan yang menyakitkan. Sangat. “Jaemin dengerin Bunda,

semesta punya cara sendiri untuk menyatukan pun memisahkan. Semesta menyatukan Bunda dengan Papa Do ya karena memang berarti Bunda miliknya Papa, bukan lagi Dadah.”

“Tapi kalau pada akhirnya Bunda kembali lagi sama Dadah? Apa artinya semua ini, Bunda? Semua penderitaan Bunda apalagi menunggu kepulangan Om Papa kemarin?” Jaemin menghempas tangan Bundanya. Lalu berjalan masuk ke dalam kamar yang ternyata sudah ada Doyoung.

“Kalau pada akhirnya Bunda kembali lagi sama Dadah kamu, itu artinya Om Papa sudah nggak ada di dunia, Jaemin. Karena kalau masih bisa menjaga Bunda dan kamu, Om Papa pasti usahakan.” Doyoung bangun dari posisinya berjalan ke arah Jaemin. Mengelus puncak kepala anak itu sebentar. Lalu netranya menatap Ayla yang masih berdiri di ambang pintu balkon. “Kalau suatu saat nanti kamu kembali ke Jaehyun, anggap saja ketika bersama aku itu pelajaran, petualangan dan perjalanan untuk kalian berdua.”

Doyoung menarik napasnya, menyembunyikan rasa sakit di dalam dada. “Pelajaran kalau mengucap kalimat perceraian itu membawa dampak yang sangat besar. Entah pada diri kalian masing-masing atau pada anak kalian.”

“Kok ngomongnya gitu?” Ayla berjalan mendekat ke arah suaminya. “Kamu... Nggak—”

“Aku nggak tau kapan Tuhan ambil nyawaku, Ay.”

A/N : AAAAAA NANGIS. NANGIS BANGET NULIS PART INI BYEBYE