Di bagian kali ini, aku melepasmu.
aku pergi, do.
Kedua sudut bibirnya terangkat penuh saat wanita di hadapannya mengerjapkan mata berkali-kali. Ia masih berusaha membiasakan diri untuk masuk ke dalam rumahsakit. Karena tidak tau kenapa, setelah kejadian menghilangnya Doyoung dua tahun lalu, Ayla menjadi takut untuk berkunjung ke tempat ini.
Wangi khas ruangan yang sekarang ia pijaki menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. “Ayla ganggu, ya?”
Di kursinya, wanita paruh baya itu menggeleng. Tangannya terangkat menepuk bagian kursi di sampingnya. Ia mengucak matanya yang masih terasa perih, kepalanya terasa agak pening karena terjaga semalaman.
“Ayla,” Tangannya meraih jemari kiri milik Ayla. “Mama minta maaf soal kemarin. Mama tau, mama salah— tapi, orang tua mana yang mau anaknya salah ambil langkah?”
Ayla mengerinyit bingung, “salah ambil langkah? Doyoung... nggak bahagia sama Ayla ya, Ma?”
Ia menggeleng dua kali, menutup mulutnya menggunakan sapu tangan saat batuk. “Sama seperti Mamanya Jaehyun...”
Jantung Ayla berdetak keras, cukup keras. Matanya agak memanas saat ia mengingat apa yang menjadi alasan Mamanya Jaehyun membenci dirinya. “Tapi... tapi Ayla bukan lagi wanita kaya gitu, Ma. Itu cuma masa lalu, Ayla... Ayla juga terpaksa ngelakuin hal kaya gitu...”
“Ayla, semua orang tua mau yang terbaik untuk anaknya. Dan mamapun mau yang terbaik untuk Doyoung.” Mamanya Doyoung mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman.
“Awalnya Mama percaya sama kamu saat Doyoung minta izin Mama untuk menikahi kamu. Tapi setelah melihat kamu kembali ke Jaehyun setelah Doyoung nggak ada, itu bikin kepercayaan Mama hilang sepenuhnya sama kamu, Ayla...” Mata indah wanita paruh baya itu menusuk dalam ke milik Ayla. Dilihat ada ketulusan di sana, tapi Mama Doyoung benar-benar tidak mau kehilangan puteranya, lagi.
“Ma,” Ayla menarik napasnya, memersiapkan kalimat yang akan dan selalu menyakitinya kalau ia sebutkan. “Ini karma untuk Ayla, ya? Kehilangan anak dari Doyoung, kehilangan Ibu kandung dan sekarang harus kehilangan laki-laki yang Ayla sayang...”
Di dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri. Meminta pengampunan pada semesta. Ayla cukup menyadari— atau bahkan sangat menyadari kalau perbuatannya di masa lalu akan sangat berpengaruh untuk masa depannya, bahkan masa depan puteranya juga; Jaemin.
“Udah berapa wanita yang kehilangan suaminya karena kamu, Ayla?” Lembut tapi menusuk. Kalimat tanya itu diucapkan dengan senyum manis yang dipaksakan oleh Mamanya Doyoung. “Sekarang gantian kamu yang kehilangan ya, Ayla? Biarin Doyoung hidup bahagia sama Rea...”
Ia melepaskannya, tapi di bagian paling kecil hatinya berteriak tegas kalau ia tidak bisa melepaskan apa-apa yang menjadi alasannya bertahan dari dua tahun lalu.
“Waktu SMA, kamu sudah menjadi wanita nggak benar, kan, Ayla? Dan itu yang bikin Mamanya Jaehyun nggak suka kamu...”
Dan pada akhirnya, memang tidak ada yang bisa menerima Ayla apa adanya kecuali Jaehyun, kan? Tapi semuanya sudah terlambat, Ayla. Jaehyun harus bahagia dan itu tanpa kamu.
“Ma?” Seseorang membuka pintu ruang rawat-inap Jeno pelan, ia mengecilkan suaranya saat mendapati seorang wanita yang selalu ia harapkan menangis di samping Mamanya. “Ayla kenapa?”
Ayla berdiri dari tempatnya, bersiap meninggalkan ruangan itu dengan segala kehancuran hatinya. Apapun yang ada di masa lalu tidak akan bisa berubah di masa depannya. Mau dijelaskan seberapa keras juga semua orang tidak akan bisa mengerti kenapa Ayla melakukan hal itu di masa lalu.
“Ayla?” Doyoung menarik tangan wanita itu sampai daksanya membentur dada bidangnya cukup keras. “Mau bicara sama aku sebentar?”
Tidak. Ayla tidak menjawab. Tidak iya, tidak juga menggeleng. Ia hanya mengikuti kemana langkah Doyoung membawanya. Ia pasrah dengan apa yang menjadi takdir semesta. Bukannya memang harus begitu?
“Ayla, aku udah nemu jawaban atas pertanyaan kamu siang tadi.” Ucap Doyoung saat ia berhasil membawa Ayla ke rooftop rumahsakit, padahak ia tau kalau Ayla sangat takut dengan ketinggian.
Ayla masih diam di tempatnya, tiga langkah di depan Doyoung. Ia membiarkan air matanya mengering diterpa angin sore. “Jawabannya bukan aku, kan?”
Sekarang berganti Doyoung yang diam dan menarik napasnya. Beberapa detik setelahnya ia mengulum senyum tipis.
“Ayla, maaf...”