Tenang.
Doyoung menghentikan mobilnya tepat di depan rumah. Ia menghela napasnya di tempat, sedangkan anak laki-laki yang berhasil ia ajak pulang tengah berusaha membuka pintu mobil yang sebenarnya dikunci oleh Doyoung. Sengaja.
“Buka.” Jaemin berucap dengan suara juga wajah yang datar.
Doyoung menahan pergelangan tangan Jaemin dengan matanya yang tertutup, tubuhnya ia sandarkan pada jok kemudi. Ia menarik napasnya, seolah menghilangkan beban yang selama ini ia bawa ke sana kemari. Kedua kelopak itu terbuka saat menyadari kalau Jaemin sama sekali tidak bergerak. Hanya terdengar deruan napas yang tertahan dari sampingnya.
“Om Papa mau ngomong, Jaemin...” katanya sambil.membenarkan posisinya menjadi seperti semula. Ia membenahi pakaiannya sesaat, lalu menatap mata Jaemin yang sekarang justru membuang pandangannya.
Anak laki-laki itu tertawa kecil, “apa?”
Doyoung memang sengaja menunda obrolannya dengan Jaemin saat mereka sudah sampai di rumah karena kalau di jalan tadi, ia takut kalau benar-benar tidak bisa menahan emosinya dan berakhir kecelakaan. Tidak. Ia tidak mau. Berbincang di dalam mobil dan di halaman rumah adalah waktu yang tepat— menurut Doyoung.
Karena mau bagaimanapun, ia memang harus membicarakan semuanya dengan Jaemin.
“Buruan. Jaemin ngantuk. Besok ada kelas pagi.” Bohong. Jaemin bohong. Besok bahkan ia tidak lagi ada kelas. Dengan gerakan perlahan, ia menyandarkan tubuhnya pada kursi.
Doyoung juga bingung. Harus ia mulai dari mana perbincangan ini? Meminta maaf? Tidak. Jaemin tidak mungkin memaafkannya begitu saja— mengingat pembahasan di ruang chat tadi.
Atau,
menjelaskan semuanya? Tentang rencana jahat Aksara juga Rea terhadap Ayla?
Doyoung rasa opsi kedua adalah pilihan yang tepat.
“Jadi nggak, sih? Diem aja kaya orang cepirit.” Katanya ketus.
Nyaris aja Doyoung tertawa kalau tidak mengingat begitu banyak kesalahannya kepada si puteranya. “Om Papa ngelakuin ini ada alasannya, Jaemin.”
“Apa? Karena Dokter Rea lebih cantik dari Bunda? Karena Dokter Rea lebih menjaga kebersihan dari Bunda? Atau paling parah, apa Dokter Rea lagi mengandung anak Om Papa?” Jaemin tertawa sarkas setelahnya. Pertanyaan terakhir agak mencubit hatinya— mengingat alasan kenapa Bunda dan Ayahnya bercerai dulu.
Sial. Kesal-kesal begini tetap saja Jaemin tidak mengharapkan perceraian merenggut kehidupan Bundanya lagi. Memang, terkadang ada aja yang membuat Jaemin meminta Bunda untuk tinggal bersamanya, berdua, pergi jauh dari orang-orang yang membuat masalah.
Tapi tetap, Jaemin tidak sepengecut itu. Masalah untuk dihadapi, bukan untuk dihindari.
“Bukan. Bukan semua, Jaemin. Tapi Om Papa cuma... cuma mau jaga Bunda dari kejauhan.” Doyoung mengatur napasnya yang memburu. Meredam segala emosi yang bergejolak di dalam dada. Bukan. Doyoung bukan lagi emosi pada Jaemin, tapi pada dirinya sendiri.
“Klasik.” Jaemin beranjak, membuka kunci yang sebenarnya ada di samping Doyoung. Saat menekan tombol kunci yang tentu saja melewati Doyoung, ia bahkan tidak mau menatap wajah Ayah tirinya itu. “Jaga Bunda ya kembali— bukan memilih yang lain. Menikah itu sakral, Om. Jadi tolong hargai wanita yang Om Papa pinang.”
Doyoung menghantamkan kepalanya di atas stir mobil cukup kuat setelah Jaemin memilih keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah dengan kuncinya sendiri. Tidak lupa, anak laki-laki itu juga menutup pintunya dengan sedikit dibanting.
“Bunda!” Samar namun dapat di dengar oleh Doyoung. Itu teriakan Jaemin yang berasal dari kamar Doyoung juga Ayla yang kebetulan jendelanya terbuka sedikit di atas sana.
Tanpa menunggu lagi, Doyoung berlari masuk ke dalam rumah. Jantungnya berdetak kencang saat mendapati Ayla di pojok ruangan dan menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan tangan. Piyama cokelatnya sudah dipenuhi oleh darah yang berasal dari lengan kiri wanita itu.
“Ay, Ayla..” Doyoung menyingkirkan cutter di samping wanita itu. Lalu beralih membawa daksanya dalam dekap. “Jaemin, tolong ambilin kotak P3K.”
Anak laki-laki itu menurut, berjalan tergesa ke ruang tengah di mana Papanya menyimpan segala kebutuhan kesehatan untuk keluarga.
“Aku takut...” rintihnya dalam dekapan Doyoung. Ia menyembunyikan wajahnya makin dalam di dada bidang sang suami seolah ada beberapa binatang buas yang akan memangsanya. “Aku takut...”
“Aku di sini. Aku di sini. Jangan takut. Ada aku, Ayla.” Doyoung mengelus surai pekat itu lalu diciumnya beberapa kali.
Wanita itu melingkarkan tangannya di pinggang sang suami. Meminta perlindungan lebih seolah-olah binatang buas yang berjalan tadi makin mendekat. Ia juga terdengar menahan jeritannya beberapa kali. “Ibu... Ayla ikut Ibu...”
Doyoung tidak tau kenapa Ayla bisa seperti ini, bahkan ia tidak meninggalkan wanita itu sendirian barang satu jam. Dan ya, dari kejadian itu Doyoung kembali berpikir, “ditinggal nggak sampai satu jam aja sebegini ketakutannya. Apalagi dua tahun? Jadi ini sebabnya Jaemin marah banget sama saya, ya?”
“Om Papa, ini!” Jaemin menyodorkan kotak putih itu ke hadapan Doyoung yang langsung diterima.
Tangannya bergerak dengan lembut saat membersihkan luka-luka itu. Dan itu membuat Jaemin merasa lebih aman ketika Bundanya bersama sang Papa. Karena selama bersama Dokter Ten atau Jaehyun, Ayla tidak pernah langsung setenang ini.
Setahun lalu, setelah melukai dirinya sendiri, Ayla pernah membanting laptop miliknya sendiri karena saking ketakutannya. Padahal di sana ada Dokter Ten juga Jaehyun. Tapi bersama Doyoung? Dipeluk saja wanita itu sudah merasa agak baikan.
“Ketenangan Bunda emang cuma ada di Om Papa, ya?” tanya Jaemin tiba-tiba yang membuat Doyoung tersenyum tipis.