Maaf, Ayla.
Pada dasarnya, kita lagi-lagi terjebak dalam kata asing.
Ayla menempatkan dirinya di samping kursi kemudi, matanya menatap Ten dari atas ke bawah. Rapi dan bersih. Iya, setiap harinya Ten akan dan selalu begitu. Omong-omong soal pakaian, warna dress milik Ayla ternyata hampir mirip dengan kemeja punya Ten.
“Acaranya semi-formal, that's why saya cuma pakai kemeja. Nggak jas-jas gitu, gerah. Lagipula, masa saya harus pakai jas lab, kan nggak lucu.” Kata Ten tiba-tiba seolah tau apa isi pikiran Ayla. Setelahnya pria itu terkekeh karena mendapati wajah Ayla yang kebingungan. Dia menginjak pedal untuk melajukan kendaraannya.
Banyak hal yang berkecamuk di pikiran Ayla kalau sudah diam seperti ini. Dari hal-hal yang penting sampai dengan hal yang tidak penting. Contohnya, “kenapa di dunia ini ada listrik?” ya.. Semacam itulah.
Kalau menurut Ten itu wajar. Manusia spesial yang memiliki cidera pada jiwanya kadang berpikir terlalu keras sampai ia bisa saja melukai dirinya sendiri kalau tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya.
“Calon suaminya Dokter Rea orang mana, Dok?” tanya Ayla sambil memainkan jemarinya.
Keduanya tampak asik mengobrol sampai lupa kalau ternyata mereka sudah sampai di depan gedung besar yang sepertinya tidak memiliki ujung. Tapi anehnya, di sini hanya ada beberapa orang saja yang datang— tidak terlalu penuh, malah terkesan kosong
“Ini ijabnya udah dimulai?” tanya Jaemin yang sekarang berdiri di samping Ten. Matanya bergerak ke sana-sini untuk memastikan jawaban atas tanyanya.
Ten tampak melihat jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Matanya menatap sekitar gelisah. Dengan segera ia menarik Ayla untuk berdiri di tengah-tengah gedung yang mana orang-orang fokus pada kegiatan di depan sana.
“Dok?” Netra Ayla bergerak ke sana-sini saat tangan Ten tidak lagi menggandengnya. Dan bahkam Jaeminpun tidak ada di sini. Ia benar-benar sendiri di antara keramaian. Ia takut, sungguh.
“Ini termasuk ke dalam treatment Dokter Ten?” tanyanya pada diri sendiri. Mungkin iya atau mungkin juga tidak, pikirnya. Ia berusaha untuk tenang padahal jantungnya sudah berdetak tiga kali lebih cepat.
“Tenang, Ayla. Tenang.. Nggak ada yang jahat di sini. Selama kamu masih di bumi, kamu bisa selamat.” katanya berusaha menenangkan diri sendiri.
Ayla memikirkan tatapan-tatapan orang di sekitarnya. Wanita itu berpikir kalau beberapa orang tidak menyukainya, ia merasa terpojoki. Padahal, semua orang terlihat biasa saja.
“Saya terima nikah dan kawin—”
Ayla tau suara siapa itu. Kakinya melemas, ia meletakkan telapak tangannya di dada bagian kiri— sekedar meredam rasa sakit di sana. “Aws...”
“Reanabila binti—”
“BUNDA AWAS!”
Wanita itu merasakan ada seseorang yang mendorong daksanya dengan keras. Sehingga ia terpental ke arah meja besi di ujung ruangan, cukup jauh. Bersamaan dengan itu, lampu utama di tengah gedungpun terjatuh— menghantam daksa anak laki-laki dengan jas hitam di sana.
“J-jeno...” Ayla memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Barusan Jeno yang menyelamatkannya.
Atensi seluruh manusia di ruang persegi itu ke arah Jeno. Ijab yang awalnya dimulai dengan senyum manispun tidak dapat diselesaikan dengan sempurna. Si mempelai pria berjalan mendekati keramaian. Matanya membulat dengan sempurna. “JENO!”
Di sana, Ayla tidak kalah membulatnya. Itu.. Doyoung. Itu benar-benar Doyoung. Ia berani bersumpah kalau ia bisa membedakan mana kenyataan dan mana mimpi hari ini.
Tidak lagi Skizofrenia— seperti apa yang didiagnosa oleh Ten. Walau sebelumnya Ayla kesulitan membedakan antara kenyataan dan mimpi, tapi kali ini ia yakin dua puluh juta persen kalau ini nyata.
“Do..” Matanya memerah, tangannya menutup mulut tidak percaya. Ayla tidak tau kalimat apa yang harus dia ucapkan saat mata Doyoung menatapnya dalam. Tersirat sebuah kerinduan di sana.
— Plak!
Wanita itu merasakan perih luar biasa di bagian pipi kirinya. Jantungnya bergetar hebat saat menatap siapa wanita paruh baya di hadapannya. “Mama... ini apa?”
“Kamu yang apa?!” Mamanya Doyoung mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Ayla. “Kalau sampai cucu saya kenapa-napa, saya nggak segan-segan untuk membunuh kam—”
“Mama!” Doyoung menarik mamanya. Ia berdiri di depan Ayla sekarang. Matanya menatap dalam manik pekat milik Ayla. Demi apapun, ini bukan kejadian yang diinginkan tapi juga tidak pernah disesali.
“Tanpa Mama mintapun... Ayla bakalan mati karena tekanan.” Katanya.
Sedangkan Doyoung hanya berdiri manis di sana, “apa kabar?”
Ayla merasa pertahanannya runtuh saat suara lembut itu kembali menyapu indera pendengarannya. Yang semakin membuat ia runtuh adalah pakaian Doyoung saat ini— ia bersiap untuk meminang wanita lain.
“Do...”
“Maaf, Ayla.”