Menjauh untuk menjaga.
Seperti bumi yang mencintai langit dengan jaraknya.
Doyoung menggeram frustasi saat pesannya hanya dibaca saja oleh Ayla. Ia menatap daksa puteranya yang sedang berbaring dengan perban melingkar di kedua matanya. Langkah membawa Doyoung untuk menghampiri si putera.
“Pa..pa..” Jeno melayangkan tangannya di udara, ia tidak dapat melihat apapun selain kegelapan. “Papa... Jeno udah ikhlas... Papa jangan nangis...”
Mudah sekali untuk anak berhati lembut itu mengikhlaskan apa yang terjadi padanya. Jeno bahkan harus kehilangan indera penglihatannya karena insiden hari ini.
“Jeno...” Papanya mengambil tangan si putera yang masih saja mengapung di udara, padahal ia sendiri tidak tau apa yang mau ia raih. “Maafin papa...”
Si anak yang sebenarnya bermata indah itu berusaha untuk bangkit dari posisinya dan sekarang dibantu oleh sang papa. “Jeno mau telepon bunda, boleh?”
Doyoung mengangguk walau ia tau kalau sang putera tidak bisa melihat apa yang ia lakukan. Tangannya bergerak mencari kontak yang baru beberapa jam lalu ia ambil dan simpan dari ponsel lamanya Jeno.
Tut...
“Nggak diangkat ya, Pa?” bahu anak laki-laki itu merosot saat tau dering panjang itu masih saja terdengar. “Bunda udah tidur—”
“Halo, Doyoung? Kamu bisa nggak sih jangan ganggu aku? Ini udah malem—”
“Bunda...” Doyoung meletakkan ponselnya di telinga kanan Jeno yang langsung diambil dengan cepat oleh si putera. “Jeno ganggu bunda, ya?”
Di seberang sana Ayla menarik napasnya, ia merindukan suara ini. Suara putera tiri yang sudah ia anggap sebagai putera kandungnya. Ia tersenyum sebentar, untuk membawa suasana hatinya kembali seperti semula. “Nggak, Jeno. Kenapa belum bobo malam-malam gini?”
Jeno memegang perban yang menutupi area mata dengan tangannya yang bebas. “Bunda... Jeno nggak bisa lihat apa-apa...”
Di sana, Ayla menarik selimutnya. Berusaha menguatkan dirinya sendiri mendengar suara getir Jeno. Ia menahan air matanya mati-matian. “Nanti... bunda minta tolong Dokter Ten untuk cari bantuan donor, ya, Jeno? Bunda juga usaha nanti.”
Kedua sudut bibir Doyoung terangkat saat mendengar suara menenangkan Ayla. Matanya terpaku pada ponsel yang berada di genggaman Jeno. Bisakah Doyoung mendengar suara itu untuknya lagi?
“Bunda... Jeno mau Bunda...” Jeno menyandarkan tubuhnya pads ranjang, lalu menenggelamkan dirinya di balik selimut. Ia menangis, tapi tidak mau terlihat oleh Doyoung.
Jeno itu sebenarnya lemah, hanya saja ia berusaha tenang di depan Papanya.
“Jeno, besok bunda jemput Jeno ke rumah sakit ya, sayang? Bunda yang akan rawat Jeno...” Ayla tau, kalau hal ini pasti terjadi. Dan ia akan siap menerima keputusan apapun dari Jeno.
Jeno tersenyum manis, “bun.. Jeno nggak menuntut banyak dari Bunda. Semuanya terserah sama Bunda.. Bunda mau pisah sama Papa ya nggak apa-apa... Jeno nggak sampai hati kalau lihat Bunda terus-terusan kaya kemarin...”
Ayla terkekeh di seberang sana. Anak laki-laki yang sudah tinggal hampir empat tahun dengannya itu tumbuh dengan baik rupanya. “Iya, sayang. Kita nggak perlu buru-buru untuk mengambil keputusan, ya? Bunda juga nggak tau mau kaya gimana untuk ke depannya. Yang penting sekarang Jeno bobo, ya? Besok bunda jemput.”
Anak laki-laki penurut itu mengangguk, “have a sweetdream, Bun.” lalu mengembalikan ponsel pada sang Papa. Jeno tidak tau di mana Papanya berada, ia hanya melayangkan tangan yang menggenggam benda pipih itu saja.
“Have a sweetdream, sayang.” balas Ayla yang sayangnya ponsel sudah berpindah ke tangan Doyoung. Diam-diam pria itu kembali mengulum sebuah senyum manis.
“Bun,”
Di seberang sana Ayla mengerinyit saay suara Jeno tiba-tiba saja berubah. “Doyoung, ya?”
Ia mengangguk di tempatnya, dalam hati bersyukur karena Ayla ternyata tidak mematikan panggilan itu. “Ay, bisa kita ketemu?”
Terdengar hembusan napas wanita itu, “buat apalagi, Do? Jujur aku bingung gimana menghadapi kamu... Jangan bikin aku tambah bingung dengan perasaan aku, ya? Bahagiaku nggak muluk-muluk, Do. Aku cuma mau anak-anak aja, karena emang cuma mereka yang aku butuh.”
“Ayla, maaf... Aku tau aku bodoh. Aku tau aku terkesan mengkhianati kamu, kan? Aku tau, Ayla.” Doyoung menarik napasnya, ia menyandarkan tubuhnya di tembok lorong rumah sakit yang malam ini benar-benar sepi. “Tapi setelah ingatan aku kembali, aku lumpuh dan aku cacat. Aku sama terpukulnya kaya Jaemin waktu dulu. Dan satu-satunya orang yang ada di samping aku cuma Rea.”
“Iya, kamu bodoh, Do.” Ayla menguatkan dirinya sendiri agar tidak lagi terdengar menyedihkan. Ia ingin berkembang menjadi Ayla yang hidup dengan baik mulai sekarang. “Kenapa kamu nggak telepon aku? Mama kamu nggak izinin? Mama kamu... jahat ya, Do?”
Doyoung menghela napasnya, “aku sama mama ngelindungi kamu, Ay. Aksara... Aksara ancem bakalan bunuh kamu kalau mama mempertemukan aku sama kamu. Posisinya aku lumpuh, terus apa yang bisa mama lakuin? Lapor polisi? Aksara itu kerjasama dengan Shani yang sekarang tinggal di Singapore.”
“Aku... Aku nggak tau, Do. Aku takut. Aku trauma. Aku takut meletakkan harap pada satu hati.”