TetehnyaaJisung

Life must go on.

————————————————

Sea melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah brangkar. Air matanya tidak lagi membasahi seluruh area wajah. Bukan karena ia lelah menangis, tapi karena ia tidak ingin terlihat lemah di depan Mars.

Tangan mungilnya terangkat untuk menggenggam jemari kiri suaminya yang belum juga sadarkan diri dari siang tadi. Tidak. Sea tidak lagi berhasil menahan air matanya.

Tadi pukul tiga sore Mars berhasil diselamatkan oleh tim, dan langsung ditangai oleh tim medis juga. Kaki kiri pria itu bersimbah darah karena terlalu lama terjepit antara truk dan mobilnya sendiri.

Sea tidak lagi dapat bicara waktu netranya mendapati wajah Mars yang terlihat selalu damai ketika sedang tertidur. Wanita itu merindukan suaminya dengan sangat. Setelah lima bulan tidak bertemu, ini pertama kalinya mereka bertatap muka.

Bukan. Bukan ini yang Sea inginkan. Ia hanya ingin suaminya kembali bersamanya. Saling memeluk di atas ranjang yang empuk dan berlomba membuat puisi dengan kata cinta. Mengukur rasa siapa yang paling dalam atau bahkan memilih nama untuk puteri pertama mereka.

“Mars, aku di sini...” Katanya sambil menahan isak. Demi apapun ini lebih menyakitkan dari pada waktu Sea menyaksikan pernikahan kedua suaminya di televisi kemarin. “Maafin aku, Mars...”

Tidak ada jawaban. Yang ada hanya bunyi monitor di seberang sana dan mengintrupsi detak jantung suaminya.

“Mars, kemarin waktu kamu mengungkapkan janji suci di depan penghulu juga media... aku ngerasain kalau anakmu nendang seolah nggak terima sama keputusan Semesta...” Tangan Sea terangkat untuk mengelus surai Mars lembut.

Seolah mendengarkan apa yang diucapkan oleh sang isteri, Mars menitikkan air matanya dengan mata yang terpejam. Sedangkan Sea sudah memeluk daksa yang lemah itu dengan hangat.

“Nanti kalau kamu udah sembuh, kita jalan-jalan, ya, Mars?” Wanita itu menahan erangannya saat merasakan sesak luar biasa di bagian dada.

Sesekali ia mengecup dahi suaminya seolah memberi kekuatan agar bisa kembali lagi ke dunia yang nyata— dan tidak lagi berkelana di dunia fana.

“Mars...” Sea menjatuhkan wajahnya di samping telinga kiri sang suami. Ia mendekatkan bibirnya di sana, “jangan pergi karena aku akan selalu percaya sama kamu...”

“Kita nggak akan saling kehilangan lagi, Mars.”

“Aku nggak peduli seberapa banyak yang menginginkan aku. Karena aku maunya cuma kamu.”

“Karena aku butuhnya kamu, Mars...”

Sea memejamkan matanya, air mata itu bahkan sampai mengalir di kedua pipi suaminya yang masih saja memejamkan mata seolah tidur panjangnya tidak ingin diganggu.

“Aku nggak peduli seberapa akurat prediksi Dokter tentang kamu, Mars..”

“Aku nggak peduli seberapa banyak harta kamu kaya dulu sebelum kita nikah.”

“Aku juga nggak lagi peduli tentang Anne, Om Dimas ataupun Om Hary.”

Sea menepuk pipi Mars berkali-kali, “ayo bangun, Mars!”

Tidak kuat— bahkan untuk menopang daksanya sendiri. Sea memilih untuk mentauhkan kepalanya di dada bidang suaminya, mendengarkan alunan jantung yang kian lama kian melemah.

— TIIIIIIIT

Suara monitor itu mengintrupsi Sea untuk menatap dan mendapati satu garis panjang bersamaan dengan suaranya yang mengeras. Sea menahan napasnya sebelum akhirnya ia menekan tombol darurat di bagian atas.

“DOKTER!!!!” Teriaknya agak melemah, terlebih saat mendapati air mata Mars yang lagi-lagi menetes— mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Tim medis datang dengan beberapa alatnya di tangan masing-masing. Kali ini ada satu dokter dan tiga perawat yang mendampingi.

“Dok, suami saya...” Sea menarik jas Dokter paruh baya itu kasar.

“Iya, Ibu. Kita akan berusaha untuk menyalamatkan pasien. Bisa tunggu di luar?”

Sea menggeleng, enggan untuk melepas genggaman tangannya pada jemari kiri Mars yang kian lama mendingin.

“Sea jangan egois. Lo nggak mau Mars kenapa-napa, kan? Ayo biarin Tim Medis fokus untuk Mars.” Arnav yang tiba-tiba datang itu langsung merengkuh dan membawa Sea untuk menjauh dari brangkar.

Langkah kaki membawa Sea untuk duduk di kursi tunggu. Kepalanya menggeleng saat Arnav menyodorkan satu botol mineral yang baru saja ia beli.

“Gimana kalau Mars—”

Arnav meletakkan telunjuknya di depan bibir pink milik wanita itu. “Mars nggak akan kenapa-napa, Sea.”

“Kita bicara tentang kemungkinan terbesar, Nav. Kalau Mars pergi, gimana saya gue dan anaknya?”

Arnav membawa kepala Sea untuk bersandar di bahunya, lalu menelus pangkal tangan wanita itu lembut. “Lo harus berjalan maju, Ci— dengan atau tanpa Mars. Lo nggak mungkin mau ngeliat anak lo kekurangan kasih sayang, kan?”

“Maksud gue, kalau Mars sampai kenapa-napa dan berujung nggak bisa diselamatkan, setidaknya lo harus kuat untuk calon anak lo.” Arnav menyelipkan surai Sea ke daun telinga agar tidak menutupi paras indahnya.

Sea memejamkan mata, “kenapa semua orang dituntut untuk kuat, Nav?”

“Nggak, Ci.” Arnav menggelengkan kepala lalu meneguk air mineral di tangannya. “Jadi kuat itu bukan tuntutan, tapi sebuah keharusan. Lo jadi kuat untuk anak lo, dan Mars di dalam sana jadi kuat untuk kalian berdua. Gue? gue jadi kuat untuk diri sendiri.”

Sea menoleh dan membuat Arnav tersenyum tulus. “Life must go on, Sea. With or without him. Lo kuat dan gue percaya.”

Dia, yang pergi.

————————————————

“Om, kontrak kita cuma satu tahun.” Mars melempar map hitam di tangannya ke arah Dimas yang sedang memijat pangkal hidungnya.

Melihat Mars yang sedang menggebu, Dimas hanya menarik sebelah sudut bibirnya. “Kamu nggak mau isteri pertama kamu nggak kenapa-napa, kan?”

“Tentu! Dan itu sebabnya kenapa saya accept perjanjian yang kita— oh salah, perjanjian yang Om buat lima bulan lalu.” Pria berkemeja hitam itu berjalan mendekat membuat Dimas menurunkan kakinya dari atas meja.

Si Pria paruh baya itu tertawa keras. Ia berdiri kemudiam berjalan untuk menepuk bahu Mars dua kali. “Kamu nggak pandai memainkan peran, Mars.”

Apa ini?

Mata kecokelatan milik Mars menatap tajam ke arah Dimas yang sedang bersandar di mejanya dengan kedua tangan terlipat di atas dada. Alisnya menukik tajam— memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi karna bagaimanapun Dimas dan adiknya— Hary adalah manusia yang licik.

“Kamu pikir saya akan diam saja ketika ANTR mengalami penurunan saham sampai limapuluh persen?” Dimas tertawa seperti orang kehilangan akal. Matanya menatap Mars seolah merendahkan.

“Jangan bilang—”

“Iya, semua perjanjian kita adalah palsu!” Potong Dimas dengan cepat yang membuat Mars mundur beberapa langkah.

Semua perjanjian yang dibuat lima bulan lalu adalah palsu. Jadi tidak ada pernikahan kontrak dengan Anne? Itu tandanya ia bisa menceraikan gadis kecil itu kapanpun ia mau. Tapi satu,

bagaimana nasib Sea?

Sekali lagi, Dimas dan Hary adalah manusia yang paling berbahaya di hidupnya Mars. Dia bahkan mengancam akan memastikan kalau anak yang dikandung Sea tidak akan pernah bisa melihat indahnya dunia.

Gila.

“Saya akan segera ceraikan Anne!” Tegasnya yang membuat Dimas membola. Ia berjalan mendekat ke arah Mars tangannya terangkat untuk menampar pria muda itu.

“Papa!” Gadis kecil pembohong itu berlari dari arah pintu ruangan Dimas kala melihat Papanya ingin melukai sang suami. “Pa! Anne mohon jangan lukai Mas Mars...”

Mas?

Mars mendengus geli setiap Anne menyebutnya dengan kata seperti itu— karena yang ia harapkan dari dulu kalimat itu keluar dari mulut Sea.

“Mas,” Anne beralih ke arah Mars yang masih diam mematung di tempatnya. “Nggak apa-apa?”

Mars segera menepis tangan Anne yang pelan, “saya talak kamu.”

Jantung gadis kecil itu seolah mati. Ini baru hari kedua setelah pernikahannya dengan Mars. Tapi kenapa ia mendapat kalimat yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya?

“Mars!” Diam mengeluarkan suaranya kala melihat Mars yang sudah berlari meninggalkan ia dan Anne di ruangannya.

Anne menatap tajam Papanya, “semua karena Papa, kan?!”

Sedangkan di luar sana Mars berlari tergesa untuk masuk ke dalam mobilnya. Ia ingin pergi ke apartment Arnav untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Muai dari kehamilan Anne yang ternyata adalah tipuan agar Sea membenci dan melepaskan Mars sampai dengan kontrak pernikahan yang palsu agar Dimas juga Hary tidak lagi berbuat semena-mena kepada Sea.

Ia melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata dengan isi kepala yang masih panas. Matanya menyipit sesekali karena sinar matahari terlalu menusuk pagi ini.

Tidak peduli membahayakan, Mars hanya ingin Sea— dan menjelaskan semuanya. Kembali mengambil kepercayaan wanitanya, miliknya dan untuknya seorang.

Dia, yang pergi.

————————————————

“Om, kontrak kita cuma satu tahun.” Mars melempar map hitam di tangannya ke arah Dimas yang sedang memijat pangkal hidungnya.

Melihat Mars yang sedang menggebu, Dimas hanya menarik sebelah sudut bibirnya. “Kamu nggak mau isteri pertama kamu nggak kenapa-napa, kan?”

“Tentu! Dan itu sebabnya kenapa saya accept perjanjian yang kita— oh salah, perjanjian yang Om buat lima bulan lalu.” Pria berkemeja hitam itu berjalan mendekat membuat Dimas menurunkan kakinya dari atas meja.

Si Pria paruh baya itu tertawa keras. Ia berdiri kemudiam berjalan untuk menepuk bahu Mars dua kali. “Kamu nggak pandai memainkan peran, Mars.”

Apa ini?

Mata kecokelatan milik Mars menatap tajam ke arah Dimas yang sedang bersandar di mejanya dengan kedua tangan terlipat di atas dada. Alisnya menukik tajam— memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi karna bagaimanapun Dimas dan adiknya— Hary adalah manusia yang licik.

“Kamu pikir saya akan diam saja ketika ANTR mengalami penurunan saham sampai limapuluh persen?” Dimas tertawa seperti orang kehilangan akal. Matanya menatap Mars seolah merendahkan.

“Jangan bilang—”

“Iya, semua perjanjian kita adalah palsu!” Potong Dimas dengan cepat yang membuat Mars mundur beberapa langkah.

Semua perjanjian yang dibuat lima bulan lalu adalah palsu. Jadi tidak ada pernikahan kontrak dengan Anne? Itu tandanya ia bisa menceraikan gadis kecil itu kapanpun ia mau. Tapi satu,

bagaimana nasib Sea?

Sekali lagi, Dimas dan Hary adalah manusia yang paling berbahaya di hidupnya Mars. Dia bahkan mengancam akan memastikan kalau anak yang dikandung Sea tidak akan pernah bisa melihat indahnya dunia.

Gila.

“Saya akan segera ceraikan Anne!” Tegasnya yang membuat Dimas membola. Ia berjalan mendekat ke arah Mars tangannya terangkat untuk menampar pria muda itu.

“Papa!” Gadis kecil pembohong itu berlari dari arah pintu ruangan Dimas kala melihat Papanya ingin melukai sang suami. “Pa! Anne mohon jangan lukai Mas Mars...”

Mas?

Mars mendengus geli setiap Anne menyebutnya dengan kata seperti itu— karena yang ia harapkan dari dulu kalimat itu keluar dari mulut Sea.

“Mas,” Anne beralih ke arah Mars yang masih diam mematung di tempatnya. “Nggak apa-apa?”

Mars segera menepis tangan Anne yang pelan, “saya talak kamu.”

Jantung gadis kecil itu seolah mati. Ini baru hari kedua setelah pernikahannya dengan Mars. Tapi kenapa ia mendapat kalimat yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya?

“Mars!” Diam mengeluarkan suaranya kala melihat Mars yang sudah berlari meninggalkan ia dan Anne di ruangannya.

Anne menatap tajam Papanya, “semua karena Papa, kan?!”

Sedangkan di luar sana Mars berlari tergesa untuk masuk ke dalam mobilnya. Ia ingin pergi ke apartment Arnav untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Muai dari kehamilan Anne yang ternyata adalah tipuan agar Sea membenci dan melepaskan Mars sampai dengan kontrak pernikahan yang palsu agar Dimas juga Hary tidak lagi berbuat semena-mena kepada Sea.

Ia melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata dengan isi kepala yang masih panas. Matanya menyipit sesekali karena sinar matahari terlalu menusuk pagi ini.

Jangan bandingkan diri kamu.

————————————————

Lima bulan sudah berlalu. Itu artinya kandungan Sea memasuki bulan ke enam. Ia duduk di ruang tamu Apartment Arnav yang selama ini dijadikan tempat tinggalnya. Matanya memejam, menahan sakit di bagian perut yang sudah mulai membesar kala ia ingin mengambil ponselnya.

Tidak ada kegiatan lain yang Sea lakukan selain menonton televisi atau bahkan bermain ponsel. Sesekali ia menunggu kepulanan Arnav yang katanya akhir-akhir ini sedang sibuk di cafenya.

Dua minggu lalu Sea sudah bertemu dengan notaris mendiang Mamanya juga keperayaan sang Mama yang sekarang mengurus perusahaan. Dan Sea memutuskan akan mengurus perusahaan Abigail's dengan tangannya sendiri setelah a resmi bercerai dengan Mars di masa depan.

Ah, soal pria itu,

Sea bahkan tidak tau di mana Mars sekarang. Bagaimana bentuk keadaannya atau paling tidak bentuk tubuh pria itu. Sea memutuskan untuk memutus semua komunikasinya dengan Mars.

Statusnya masih isteri Sah Mars di mata negara, namun di mata agama— Sea juga tidak tau karena ia tidak begitu mengerti tentang hal itu.

Ia kembali meletakkan ponsel di atas meja, lalu beralih mengambil remote untuk menyalakan televisi.

Mata Sea memanas kala ad satu media yang sedang meliput satu pernikahan dari puteri seorang perusahaan besar. Awalnya Sea tidak peduli siapa dia— tapi tentu setelah nama Mars terdengar sangat jelas di telinga, jantungnya terasa mati.

Air mata sialan itu kembali turun dari pelupuknya setelah sekian lama. Hari ini resmi Mars Antarion mempersunting Anne— isteri keduanya.

Kenapa?

Kenapa juga harus banyak media yang meliput? Apa karena Anne adalah puteri dari seorang pengusaha kaya raya? Sea juga tidak kalah.

Atau karena Anne memiliki wajah yang menarik?

Atau karena memang sengaja?

Parahnya,

kenapa juga Sea menyalakan televisi saat ia bahkan malas untuk menonton beberapa siaran.

Kenapa rasa bosannya melanda?

“Ah!” Sea melempar remote di tangannya sampai mengenai layar televisi lalu kembali menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan.

Menangis sejadi-jadinya sore ini bukanlah masalah karena Arnav tidak lagi di kediaman.

Bohong. Bohong kalau Sea bisa melupaka begitu saja. Bohong kalau Sea mengikhlaskan apa yang terjadi ke depannya. Dan parahnya, Bohong kalau Sea menerima jika dimadu.

Sea menginginkan Mars. Sea menjadikan pria itu satu-satunya. Sea mau pria itu kembali.

Semesta, bagaimana?

“Oci!” Jeffrian yang baru saja masuk dengan dua tas karton besar— berisi makanan dan pakaian bayi — itu langsung meninggalkan tas kartonnya di belakang pintu.

Pria itu berlari kecil terlebih saat netranya mendapati televisi yang sudah hancur di depan sana. “Lo liat televisi?”

Sea menggeleng, air mata kebodohannya lagi-lagi turun tanpa mau dihentikan. “Ini keputusan lo, Ci...”

Wanita itu mengangguk, menghapus jejak air matanya lalu menatap Jeffrian dalam. Ia tidak tau apa yang ingin ia lakukan. Ia hanya ingin berlabuh di tempat yang lebih hangat dan menenangkan.

“Kak Jeff,” panggilnya.

Jeffrian berdeham sambil tersenyum tulus. “Ada perlu apa? Mau makan? Mau minum? Perutnya sakit? Dedeknya nendang?”

“Mau... peluk, boleh?”

Kadang, Sea tidak butuh ditanya kenapa dan apa yang ia inginkan di saat seperti ini. Karena jelas jawabannya cuma satu— Mars.

Tanpa aba Jeffrian langsung membawa daksa itu ke dalam pelukan hangatnya. Ia tersenyum di atas kepala Sea, matanya dipejamkan sebentar.

“Kak... apa Anne lebih cantik dari gue?”

Jeffrian menggeleng.

“Apa Anne lebih baik dari gue?”

Ia menggeleng lagi. “Kalo dia lebih segalanya dari lo, dia nggak akan ambil apa yang lo punya. Lo itu terbaik, Ci.”

Wanita itu mengangguk, menatap wajah Jeffrian dari bawah. “Kak...”

“Hm?”

Sea menjauhkan tubuhnya, “itu... gue gantiin televisinya Arnav gimana?”

Demi apapun, ini yang disukai oleh Jeffrian. Sea itu pandai menutupi luka— sungguh.

“Nanti gue yang bilang Arnav dan beliin yang baru, okay?”

Sea tertawa, “tadi lo bawa makanan, kan? Ayo makan!”

“Gue juga beliin baju bayi tadi, mau liat?”

Aku menyerah, Mars.

————————————————

Sea meringis, dahinya ia kerutkan untuk menahan pening luar biasa yang menjalar di kepalanya. Perlahan namun pasti wanita itu membuka kelopak matanya, mendapati ruang persegi yang didominasi oleh warna cokelat muda kesukaannya.

Setelah menyadari ada di mana ia sekarang, wanita itu langsung menghadap ke sebelah kanan dan disambut oleh wajah tenang suaminya ketika sedang memejamkan mata. Napasnya terdengar teratur membuat Sea tersenyum kecil— menyadari betapa tampan Mars walaupun dengan mata terpejam dan di bawah penerangan yang minim.

“Ssh— Sea jangan pergi...” Mars meringis bersamaan dengan kedua alis yang ia satukan.

Sea tau kalau Mars memikirkan tentangnya, tentang mereka dan calon anaknya. Tapi kesalahan Mars adalah hal fatal yang mungkin tidak bisa Sea maafkan. Kalau ada seseorang yang bilang, “tuhan aja maha pemaaf, masa kamu hambanya tidak?”

maka Sea akan membalas, “kita cuma hamba, kan? Kita bukan Tuhan. Marah kepada orang-orang yang melakukan kesalahan adalah manusiawi, dan Tuhan bukan manusia.”

Sea tau ia tidak akan sendiri kalau ia menuntut perceraian kepada Mars. Ada Arnav, Rendy, Dery yang dengan suka rela menampung dirinya, atau bahkan Jeffrian yang detik itu juga bisa menghalalkan Sea untuk dimiliki.

Tapi tetap, kenyataan tidak lagi semudah teori. Semuanya butuh proses dan pemikiran yang matang.

Sea itu rapuh, sebenarnya.

Sea itu jiwa kesepian yang selalu bersembunyi di balik keramaian yang diciptakan Semesta.

Ia jiwa yang hidup tapi memiliki hati yang bisa saja mati.

Sea adalah yang paling terluka tanpa orang-orang sekitarnya tau karena ia selalu menunjukkan senyum terbaiknya.

Dan kejamnya,

Sea adalah jiwa yang dipatahkan oleh ketidak adilan yang dibuat oleh Semestanya.

“Mars, hey—” Tangannya terangkat untuk mengelus pipi suaminya, menyalurkan ketenangan yang sebenarnya untuk diri sendiripun tidak ia miliki.

Sea bingung. Usianya yang masih dini menjadikan wanita itu labil. Ia menginginkan Mars dengan sangat, tapi kenapa Semesta seolah tidak suka melihat kebahagiaannya?

Sea terus mengurut pelipis Mars sampai pria itu tidak lagi mengerutkan keningnya karena— mungkin, mimpi buruk yang sedang datang.

Lihat, sebenarnya yang paling tertekan adalah Mars. Semesta hanya belum sempat menceritakan apa yang terjadi pada pria itu saja— sehingga membuatnya merasa selalu bersalah.

“Aku janji akan urus dia, Mars. Kamu nggak perlu khawatir. Aku di sini dan nggak akan pergi buat anak kita karena cuma dia yang aku punya...”

Sea berusaha bangun dari posisinya lalu mengecup dahi, kedua pipi dan bibir suaminya lama. Air matanya mengalir sampai membasahi wajah Mars. Sekali lagi, Sea menjatuhkan tubuhnya di dada bidang milik sang suami.

Karena ini bisa jadi yang terakhir.

Katakan saja kalau Sea munafik. Karena ketika Mars sadar ia hanya mencaci maki pria itu, tapi di saat Mars terlelap seperti ini— jiwa perasa Sea akan tiba-tiba saja hadir.

Mars sudah mengambil hatinya, jiwanya, raganya dan bahkan dunianya. “Kalau kamu nggak mau pergi, aku yang akan pergi, Mars. Karena bagaimanapun aku nggak akan rela membagi suamiku sendiri sama orang lain.”

Wanita itu menapakkan kakinya di lantai yang dingin itu. Lalu berjalan perlahan ke arah kamar kecil di dalam kamarnya. Matanya menatap pantulan diri di cermin itu. Ia menangis, lagi.

Sudah siapkah?

Sudah bulatkah?

Sudah mampukah?

Lagi-lagi ketiga pertanyaan singkat itu mencekat tenggorokannya. Ia memukul tembok di samping dengan tangannya sendiri lalu kembali menatap wajahnya di pantulan cermin.

Pucat— mengingat ia yang memang belum makan sedari sore. Ia menatap jam dinding yang berada di kamarnya sebentar. Pukul tiga lewat duabelas pagi.

“Ci?”

Sea kembali menatap cermin, mendapati Mars dengan kaus putihnya berdiri di belakangnya. Seketika pria itu melingkarkan tangannya di pinggang ramping sang isteri. Ia meletakkan dagunya di bahu kanan Sea.

“Inget apa yang aku bilang pas terakhir kali kita video call, kan?” Mars menyampirkan seluruh rambut isterinya ke bahu sebelah kiri, lalu ia mengecup leher jenjang itu dua kali. “Apapun yang terjadi, tolong percaya sama aku...”

Sea menggeliat saat embusan napas Mars menyapu lehernya. “Termasuk anak yang dikandung sama Anne?” tanyanya dengan nada biasa. Sea terlalu lelah untuk memaki Mars lagi. “Toronto adalah omong kosong, Mars. Aku benci kota itu.”

Mars mengangkat kepalanya dari bahu Sea, membalikkan tubuh sang isteri agar menghadapnya. Lalu tangannya terangkat untuk mengangkat si wanita untuk duduk di atas washtafel marmernya.

“Bisa kita ulang semuanya, Sea? Aku janji—”

Mars menghentikan kalimatnya kala Sea mengalungkan tangan di leher pria itu. Kemudian meraup bibir sang suami untuk dilumat perlahan.

Dua detik setelah tersadar, tangan kiri Mars menahan pinggang isterinya untuk tetap pada posisi. Sedangkan tangannya yang bebas menahan tengkuk Sea guna memperdalam lumatan lembut yang dimulai oleh si wanita.

“Marssh—” Sea menahan tangan suaminya kala pria itu baru saja ingin membuat tanda di leher dengan bibirnya. “Kita... selesai sampai di sini. Aku nggak lagi kuat, Mars. Aku nyerah sama keadaan. Aku nyerah untuk mempertahankan. Ini yang terakhir dan setelahnya nggak ada lagi kita.

Yang ada cuma aku dan kamu. “ Sea membawa tangan kanan Mars untuk mengelus perutnya yang masih rata. “Aku janji bakalan jaga dia untuk kamu. Aku janji nggak akan misahin kamu sama Anne lagi. Aku...

aku akan pergi sejauh yang aku bisa. Semoga aku sama kamu bisa ketemu lagi di tahun atau bahkan kehidupan selanjutnya.”

Sea menahan napasnya, menatap Mars yang bahkan sudah meloloskan air mata. Tidak pernah sekalipun pria itu menangis kecuali di hadapan wanita yang saat ini masih memiliki status sebagai isterinya.

“Sampai sini, aku izin buat ngelepasin kamu. Di sini, aku menyerah buat sayang sama kamu.

Karena sebenarnya mempercayai kamu sama aja bikin aku terluka. Makasih atas waktunya, Mars.”

Sea mengecup bibir suaminya sekali lagi. Lalu turun dari washtafel marmer hitam itu— meninggalkan Mars yang sampai detik ini masih mencerna apa yang menjadi maksud kalimat isterinya.

Dua malaikat kecil yang bertentangan.

————————————————

Sore tadi Jeffrian meminta Sea untuk datang ke toko bunga dengan alasan akan mengajak wanita itu untuk membeli sim card juga makan malam bersama. Tapi dua menit setelah Sea menunggu di depan toko— yang tentu saja diantar oleh Arnav, ia mendapati Mars yang berjalan ke arahnya. Tangan pria itu membawa satu buket bunga mawar dengan senyum tipis yang mengembang.

Kalau saja Arnav masih di sana, mungkin Sea tidak akan berada di kamar apartment Mars sekarang. Dan mungkin juga Sea tidak akan bertemu dengan Mars lagi.

“Jadi, lo mau ngejelasin apa?”

Mars berjalan mendekat ke arah Sea. Tangannya terangkat untuk mengelus surai legam isterinya.

Tidak menolak, Sea memejamkan matanya— merasakan kelembutan yang selalu disalurkan oleh sang suami lewat kuasanya. Wanita itu merindukan Mars dengan sangat. Apapun yang terjadi, rasanya seperti mimpi dan Sea memutuskan untuk mendengar penjelasan Mars dulu.

Memutuskan untuk berpisah dengan pria di sampingnya adalah hal sangat sulit untuk ia lakukan.

— drrrt.

Wanita itu membuka kelopaknya saat mendengar getaran dari atas nakas. Matanya mengintrupsi Mars untuk segera mengangkat panggilannya. Namun kemudian dianggap gelengan kepala oleh pria itu. Ia malah membawa isterinya ke dalam pelukan.

“Maaf. Kamu bisa hukum aku kalau kamu mau, Sea.” katanya. Mars memejamkan matanya di atas kepala wanita itu.

Menghirup wangi shampoo wanitanya memang sangat menenangkan bagi Mars. Entah kesalahan apa di masa lalu yang membuat Mars mendapat balasan seperti ini oleh Semesta.

“Aku mau relain ANTR dan lebih milih bekerja buat Abiail's. Besok aku bakalan temuin notaris Mama kamu— Pak Yudha.” Lanjut Mars sambil berkali-kali mengecup puncak kepala isterinya.

Sea menatap Mars dalam, tidak ada kebohongan yang tersirat di sana. Justru sebaliknya, hanya ada ketulusan dan rasa sedikit frustasi di netra kecokelatan itu.

“Aku telepon Om Dimas sekarang ya, Sea?”

Tidak mendapat jawaban, Mars langsung mengambil ponselnya. Kemudian menghubungi nomor yang beberapa menit lalu memanggilnya.

“Halo, Om?” katanya saat panggilan tersambung.

Baru saja Mars ingin membuka mulutnya lagi, di seberang sana sudah ada keributan lagi antara Dimas dan isterinya. Juga, ada suara Anne yang menangis dengan jelas memenuhi indera pendengaran Sea juga Mars— karena panggilannya dispeaker.

“Mars,” Sea menahan pegelangan suaminya kala Mars bangun dengan tergesa hendak mengambil jaket hitamnya. Wanita itu menggeleng— pertanda ia tidak memberi izin suaminya untuk berangkat ke sana.

Panggilan masih tersambung membuat Sea kembali mengalihkan atensi saat Dimas memanggil Mars dengan bentakan.

“ANNE HAMIL DAN ITU KARENA KAMU, MARS! SAYA TIDAK MAU TAU, KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB!”

Mars langsung mengakhiri panggilan, netranya langsung menangkap Sea yang sedang mengatupkan bibirnya rapat. Tangan gadis itu menggenggam erat kausnya sendiri, menahan gejolak emosi di dalam dada.

“Lo mau ketemu gue cuma buat ngasih tau fakta ini, Mars? Lo tau, lo cuma bikin gue tambah takut buat ngelanjutin hidup.” Sea bangun dari posisinya, berjalan ke arah Mars dengan pelan. Tangannya terangkat untuk menampar wajah di hadapannya dengan pelan— sangat pelan. Karena seluh tenaganya sudah habis setelah mendengar bentakan Dimas tadi.

Demi apapun, ia tidak pernah merasakan perasaan aneh ini selama di hidupnya. Sea belum pernah merasa ketergantungan kepada seseorang bahkan orangtuanya sekalipun. Tapi dengan Mars beda, Sea merasa prianya itu harus bersamanya.

Tapi takdir berkata lain malam ini.

“Sea!” Mars menangkap daksa Sea yang jatuh menimpanya, ia menahan wanitanya dengan perasaan khawatir.

Mars bersumpah kalau ada apa-apa dengan Sea juga calon anaknya, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.

Late.

————————————————

Mars membuka pintu apartmentnya. Ia menghempaskan kopernya dengan kasar. Matanya menatap seluruh penjuru ruangan. Ia melangkah ke dalam kamar untuk mencari kesayangannya. Demi apapun, Mars berjanji untuk menceritakan semuanya tanpa kecuali.

Tentang tidur bersama Anne. Mars tidak tau pasti apa yang ia lakukan malam itu. Setelah pulang dari merayakan pertemuannya bersama teman kecilnya di sebuah cafe Mars lebih memilih tertidur di atas sofa. Tapi entah kenapa pagi itu ia berpindah menjadi di atas ranjang kamar hotelnya. Kepalanya mengalami pening luar biasa karena ia meneguk hampir dua belas sloki malam itu— yang tentu saja dipaksa dengan temannya.

Mars ingat betul kalau ia hanya menggunakan celana pendek sebatas dengkul tanpa atasan apapun pagi itu. Dan matanya mendapati Anne yang baru saja selesai membersihkan diri di kamar mandi. Gadis kecil itu bahkan memakai hoodie kebesaran milik Mars.

“Kak Mars!” pekiknya. Ia berlari menghampiri Mars yang bahkan masih mencerna segalanya yang terjadi. Ia tidak merasa melakukan apapun— apalagi dengan gadis kecilnya ini. “Papa ada di kamar sebelah sama Om Henry, Kak.”

Demi apapun, Mars masih merasa bodoh di sini. Sangat bodoh. “Kamu ngapain di sini, Anne?”

“Loh, Kak Mars yang minta Anne masuk ke sini malam tadi?”

Jantungnya berdetak tidak karuan kala mendapati Anne yang sedang menahan senyum malunya saat mata gadis itu mendapati tubuh bagian atas Mars tanpa sehelai benang. “Fuck.” Desis Mars.

“Kita udah ngelakuinnya, Kak.”

Damn.

Mars menggelengkan kepalanya. Ia tidak lagi mau mengingat hal bodoh yang masih abu dan pernah terjadi dalam hidupnya itu. Atensinya mengalih pada kenyataan, ia kembali mencari isterinya di dalam bilik kamar mandi yang kosong.

“Shit!” Mars mendapati satu buah testpack dengan satu scan gambar yang sebelumnya tidak pernah ia lihat. Tangannya yang gemeter mengambil alih keras itu. Lembarannya balik,

“Hello, Daddy!”

Ia menjatuhkan daksanya pada ranjang yang mungkin sebelum pergi sudah dirapikan oleh Sea. Di sana bahkan ada satu baju bayi yang menggemaskan. “Sea... kenapa nggak kasih tau aku?”

Pria itu mengesampingkan lembaran di tangannya dan berganti menggengam ponsel. Bersiap menghubungi isterinya yang pergi itu. Mars tidak tau perasaan ini. Di satu sisi ia merasa bahagia karena hasil dari testpack juga scan yang dari tadi ia lihat. Tapi di sisi lain ia takut— sangat, karena di saat Sea bilang kalau ia akan pergi,

ia benar-benar pergi.

“Please...” Mars mendesah frustasi saat terus-terusan mendapati suara operator ketika ia menghubungi nomor Sea. Ia tidak lagi bisa mengirim pesan lewat aplikasi karena Sea sudah memblokir seluruh aksesnya.

Pria itu berjalan ke arah nakas dan mendapati satu kartu ATM berwarna emas yang tiga minggu lalu ia berikan kepada isterinya untuk biaya hidup sehari-hari. Di samping kartu ATM ada sim card yang Mars sangat yakin kalau itu adalah milik isterinya. “I'm going crazy.”

“Lo apaansih Mars?! Isteri lo lagi siapin semua surprise buat lo, tapi lo malah nggak waras gini. I will kill you, Mars Antarion!” Pria itu melempar vas bunga di atas nakas sampai mengenai cermin besar di samping pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon.

Napasnya memburu. Mars berjanji tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau Sea pun calon anaknya mengalami hal yang tidak ia inginkan. Ia juga berjanji tidak akan memaafkan dirinya kalau Sea benar-benar menginginkan perceraian.

“I'm so sorry...”

Tangan Mars kembali mengotak-atik ponsel. Memeriksa rekening yang ternyata jumlahnya masih utuh saat pertama kali ia memberikan ATM itu pada Sea. Ternyata wanitanya tidak menggunakan sepeserpun uang darinya untuk biaya hidup.

“Penyesalan emang datengnya terakhir, Mars. Tapi lo tenang, ini semua belom berakhir.” Tangannya mengambil alih bingkai foto dari dalam laci nakas. Foto pernikahannya dengan Sea beberapa bulan lalu.

“Apa aku masih pantes, Sea?”

Setidaknya untuk Bunda.

————————————————

Sea menggengam ponselnya erat saat mendapat pesan jawaban terakhir dari Mars. Ia membenturkan kepalanya ke tembok dua kali. Seketika matanya memanas menyesali semua yang terjadi.

Harusnya Sea langsung pergi saat Mamanya bilang kalau ia dijodohkan dengan Mars— pria yang bahkan sama sekali tidak ia kenal.

Harusnya Sea tidak meletakkan perasaannya pada Mars secepat itu.

Harusnya Sea tidak mempercayai Mars dengan mudahnya.

Atau yang paling parah,

harusnya Sea tidak mengizinkan Mars melakukan nya malam itu— malam di mana pria itu belum melakukan perjalanannya ke Kanada sana.

“Argh!” Sea melempar pot bunga di balkon dengan kasar sampai membuat salah satu kaca pembatas retak. Ia mengerang, menjambak rambutnya sendiri dengan kasar.

Dan yang paling parah, ia memukul perutnya berkali-kali sambil menangis. “Kenapa lo hadir di saat ayah lo bahkan seneng-seneng sama orang lain di sana?!”

Bukan. Sea bukan orang yang kuat kalau masalah hati dan perasaan. Sea itu orang yang lembut walau pembawaannya berbeda. Ia memiliki wajah dingin dan sifatnyapun terlihat cuek— tapi sebenarnya ia adalah orang yang hangat.

Bohong.

Bohong kalau semisalnya Sea siap untuk berpisah dengan Mars. Karena bagaimanapun juga ia masih memikirkan nasihat dari Mamanya. “Sehebat apapun kamu bertengkar sama Mars, jangan sekali-kali bikin Mars capek.”

Baru kali ini Sea merasa kalau ucapan Mamanya salah. Karena pada semua yang sudah terjadi, yang paling lelah bukan lagi Mars— melainkan Sea.

“Harusnya ini hari yang bahagia buat gue, Mars...” Sea menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan lalu kembali menangis di bawah dinginnya angin malam.

Biar. Biar malam ini yang menjadi saksi seberapa menyedihkannya menjadi Sea Oceania. Dia bukan wanita yang terlahir kuat, tapi Sea adalah wanita yang berusaha untuk kuat. Tidak mempedulikan bagaimana Semesta memperlakukannya secara tidak adil. Toh, mau ia ikut andil dalam hidupnya itu tidak akan berpengaruh banyak.

Karena Semesta pasti punya jalannya sendiri.

“Apa gue gugurin aja?” Tangannya kembali meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja lalu mengetik beberapa kalimat yang ada di otaknya. Mencari bagaimana caranya meluruhkan kandungan dalam waktu yang cepat, atau bahkan tidak ada rasa sakitnya— mungkin?

Karena sudah cukup untuknya merasakan sakit luar biasa.

“Nggak! Gue nggak boleh kaya gini.” Sea melempar ponsel lalu menggelengkan kepalanya, dan lagi membenturkannya ke pintu balkon. Tangannya kembali terangkat untuk mengelus perutnya yang masih rata. “Maafin gu— bunda, ya?”

Kedua sudut bibir Sea terangkat dengan sempurna, matanya memejam sampai membuat sisa air di pelupuknya kembali turun membasahi pipi. “Bunda?” ia terkikik geli sendiri sekaligus ada rasa bahagia yang menjalar di dalam tubuhnya.

“Bunda janji akan rawat kamu walaupun sedirian. Asal kamu janji sama Bunda kalau bisa bertahan juga, ya? Kita sama-sama berjuang.” Katanya sambil menyandarkan daksanya yang terasa lelah itu ke pintu.

Matanya menatap jumantara yang entah kenapa malam ini lebih indah dari pada sebelumnya. Rembulan terlihat lebih menerangi bumi dengan senyum ikhlasnya. Bintang berhamburan seolah menemani Sea dalam kegelapan dan sepi.

“Everything happen for a reason, Sea.” Lagi-lagi ia berusaha menguatkan dirinya sendiri. Mengangkat tangannya untuk mengelus perut ratanya. “Terimakasih sudah hadir walau setidaknya untuk Bunda, ya?”

Sea mengambil ponselnya yang sempat ia lempar untuk memberitau semua yang terjadi pada sahabatnya— Arnav. Keputusannya untuk pergi dari Mars sudah bulat. Sea tidak lagi mau menunggu sampai pagi, a hars pergi malam ini juga. Karena kalau tidak, bisa saja Mars datang lebih cepat.

Tangannya yang masih bergetar itu mengetikkan satu persatu kata menjadi sebuah kalimat di ponsel lalu mengirimkannya kpada Arnav.

Setelah beberapa menit, kedua sudut bibrnya terangkat atas balasan yang ditulis oleh Arnav.

Berbeda dengan Anne, Sea punya banyak orang yang menyayanginya di sekitar. Jeffrian, Arnav, Rendy, Dion, Lucky, Dery dan mungkin masih banyak lagi. Semua karena Sea juga orang baik, itu sebabnya ia dikelilingi oleh banyak orang baik.

Semesta tidak sebercanda itu— sebenarnya. Hanya saja, terkadang kejam di saat waktu yang tidak menentu. Benar apa kata Sea.

Semua datang karena ada alasan di baliknya. Tentang hari ini. Tentang semua apa yang terjadi, mengajarkan Sea menjadi sosok yang kuat walau belum sepenuhnya. Nanti, besok, atau lusa mungkin ia akan menjadi sosok itu— independent woman. Membesarkan anaknya sendirian seperti sang Mama.

Terimakasih, Sea karena sudah mengajarkan satu hal hari ini. Menjadi kuat bukan lagi keinginan, tapi memang kita yang harus mewujudkannya tanpa dipinta.

Mereka yang memisahkan.

Sea menyunggingkan senyumnya kala wajah Mars mulai tampak di layar laptopnya. Sepertinya pria itu baru saja mandi, terlihat dari handuk putih yang bertengger di pundaknya.

Sudah dua minggu Mars menetap di negara orang itu, dan Sea mulai merindukannya dengan sangat. Ini adalah kali kedua mereka bertatap wajah lewat panggilan video. Namun tetap, setiap ingin tidur Sea selalu mendapat pesan suara dari Mars. Katanya, “biar kamu tidurnya nyenyak.”

Tidak bisa dibantah, karena sebenarnya Mars terlahir sebagai seseorang yang memiliki perlakuan manis untuk orang yang ia sayang. Tapi sejauh ini, yang bisa merasakan perlakuan manis itu hanya Mamanya dan Sea.

“How was your day?” Mars tersenyum di seberang sana. Matanya menatap fokus ke layar ipad yang sengaja ia letakkan di atas kasur, sedangkan kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.

“Biasa aja, Mars.” Sea menangkat kedua sudut bibirnya penuh, lalu sedikit mengerinyit saat merasakan kepalanya sedikit pening.

Sudah satu minggu ini ia merasakan mual dan pening secara tiba-tiba. Kemarin lusa Arnav sempat mengantarnya ke rumah sakit. Tapi karena pada dasarnya Sea tidak suka menunggu, itu sebabnya mereka kembali pulang karena hari itu nomor antrian yang terbilang cukup lama.

“Kamu di sana gimana? Kok nggak kerja? Masih siang kan?” Sea menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Menikmati setiap pergerakan Mars di seberang sana.

Sekarang pria itu terlihat sedang meletakkan posisi iPadnya agar bersandar dan memperlihatkan seluruh pergerakannya. Setelah itu ia menghilang dari jangkauan kamera dan kembali selama satu menit.

“Aku di sini baik. Di sini masih minggu, Sea. Jadinya ini hariku istirahat, makannya bisa video call kamu.” Mars memangku gitar kayunya, lalu memetik dengan asal tanpa nada yang membuat Sea terkekeh di tempatnya.

“Emang bisa main gitar?”

Mark mengangkat sebelah alisnya, “nantangin aku? Coba sebut mau lagu apa? Aku juga bisa nyanyi tau!”

Lagi dan lagi Sea tertawa karena Mars mempoutkan bibirnya lucu seolah tidak terima atas kalimat Sea yang tidak mempercayainya. “Love yourself-nya Justin dong!”

Prianya mengangguk, mulai mencari nada dari petikan gitarnya sendiri. Mars menatap layar iPadnya lalu melantunkan satu lagu dari penyanyi kesukaannya tanpa ada kata sulit. Sedangkan Sea di sini sudah membaringkan tubuhnya dengan layar laptop yang dibuat serendah mungkin.

“Matiin aja lampunya, kamu kalau mau tidur, ya tidur aja. Aku temenin.” kata Mars sambil menatap layar iPadnya yang sudah menghitam karena Sea mulai mematikan lampu kamar. “Tidurnya agak ke tengah ranjang, Sea. Nanti jatuh.”

Sea terkekeh pelan, lalu bergeser ke tengah ranjang sesuai perkataan Mars. Matanya mulai meredup waktu Mars kembali menyanyikan satu tidur untuk penghantar tidurnya. Tapi beberapa menit setelah itu, ia kambali merasakan mual luar biasa yang membuatnya tiba-tiba saja berlari ke arah toilet— meninggalkan Mars yang masih berteriak memanggil namanya di seberang sana dengan rasa khawatir.

Sea memuntahkan seluruh cairan bening yang berasal dari tubuhnya ke closet. Ia bahkan sudah duduk di lantai kamar mandi yang mengering saking lemasnya. Matanya memejam menahan rasa sakit di bagian perut juga kepala.

Kalimat Jeffrian siang tadi kembali memutar di otaknya. “Jangan-jangan lo hamil, Ci. Gila aja. Anak bayi punya bayi, ya Oci doang!”

Beberapa kali memang Sea merasakan pening dan mual di toko bunga sehingga membuat Jeffrian memberikan perhatian lebih kepada 'pegawai' nya itu.

Sea menggelengkan kepalanya dengan segera kala kalimat Jeffian terus terulang di telinga. “Nggak. Gue nggak boleh hamil. Dan ya, terakhir gue ngelakuin itu juga belom masa subur— kayanya? Eh! nggak tauuuuuu!” Tangannya terangkat untuk menjambak rambut sendiri.

“Ih tapi kenapa emang kalo gue hamil? Seneng dong harusnya?” tanyanya lagi.

Ia bangkit dari posisinya lalu berjalan untuk membasuh wajah agar lebih segar. Dan setelahnya kembali naik ke atas ranjang untuk mengambil laptop— memastikan panggilannya masih tersambung dengan suaminya atau tidak.

“Sea, kamu kenapa?! Sakit? Udah periksa ke dokter? Udah makan, kan? Minum obat? ACnya jangan besar-besar. Aku lihat cuaca di Jakarta lagi nggak membaik.” Mars memborbardir Sea dengan kalimat penuh kekhawatirannya dari sana kala mendapati wajah Sea di layar iPadnya yang sangat pucat.

Isterinya menggeleng, “udah dua mingguan perut sama kepala aku nggak enak banget, Mars. Kemarin lusa dianter sama Arnav ke rumah sakit tapi karna antri aku jadi males. Aku udah minum obat pereda nyeri beli di swalayan juga kok.”

Di seberang sana Mars menghela napasnya, meletakkan gitar di tempatnya semula lalu memokuskan atensi kepada isterinya. Khawatir, tentu saja. “Makan kamu teratur, kan?”

Sea mengangguk sembari tersenyum kecil.

“Pola tidur kamu?”

Gadisnya menggeleng samar, “beberapa hari aku namatin serial drama.” Lalu terkekeh sendiri.

Mars menggeleng, “besok-besok jangan tidur lebih dari jam sepuluh malam, ya? Kesehatan kamu harus dijaga. Besok jangan kerja dulu, nanti aku yang bilangin Kak Jeffrian.”

Sea mengangkat tangannya guna memberi sebuah hormat kepada Mars. “Siap!”

“Mau aku bawain apa dari sini?” Mars membuat posisinya menjadi tengkurap, sesekali pria itu berantian menatap layar ponsel juga iPadnya.

Sea menggeleng, “apa aja deh, Mars. Selama itu kamu yang bawa pasti aku terima, kan?”

Mars terkekeh, tangannya terangkat untuk mengelus layar iPad yang sepenuhnya menunjukkan wajah Sea. “Aku kangen banget sama kamu. Banyak hal yang mau aku ceritain...”

Pria itu terlihat menelungkupkan tubuhnya di atas kasur sambil terus menggenggam iPadnya. Matanya sedikit memerah karena menahan hal yang menurutnya perlu ia ceritakan. Mulai dari pekerjaannya yang ternyata adalah menyenangkan Anne sampai dengan ancaman Dimas— papanya Anne.

“Mars, kamu nggak nangis, kan?”

Dia menggeleng yang kemudian disusul satu tawa yang terpaksa. “Apapun yang terjadi, kamu harus percaya sama aku ya, Sea?”

“Apapun yang terjadi, aku berusaha untuk percaya sama kamu, Mars. Tapi tolong, aku masih terlalu muda buat mengerti semuanya— jadi tolong jelasin hal yang sekiranya perlu, ya?”

Mars tau, Sea masih muda bahkan dibilang kecil— walaupun iapun masih terbilang muda. Tapi pikiran Mars mungkin saja lebih dewasa ketimbang gadis kesayangannya itu.

“Mars, aku ngantuk banget. Aku bobo dulu, ya?” katanya parau setelah beberapa kali menguap.

Si pria mengangguk, “mau dinyanyiin?”

“Boleh!”

Mars kembali mengubah posisinya lalu mengambil gitar dan menyanyikan beberapa lagu sampai deruan napas Sea terdengar teratur. Mars suka dengan gadis itu yang mudah sekali untuk terlelap, jadi ia tidak perlu terlalu lama menunggunya.

“Selamat malam, kesayangannya Mars. Maaf ya kalau aku bohong, dua minggu lagi, aku janji, Sea. Jangan marah... karena aku juga nggak tau kalau kejadiannya kaya gini, Sea...”

Dia, Anne.

Si gadis tersenyum kala ayahnya memberikan satu lembar tiket ke negara impiannya sejak kecil. Matanya memancar ke sekitar ruang tamu mewah di rumahnya. Namun seketika senyumnya luntur saat mendapati sang Mama sedang sibuk dengan iPadnya dan berjalan dengan cepat ke pintu utama.

“Mau ke mana, Anne?” Papanya menahan pergerakan Anne, membuat si gadis tidak lagi ingin beranjak lalu kembali duduk— memandangi tiket kepergiannya besok pagi.

“Anne dengar Papa,” Dimas menahan bahu puteri semata wayangnya. Mengunci pergerakan gadis iti agar tidak lagi menatap Mamanya yang bahkan sekarang sudah pergi meninggalkan rumah karena urusan bisnisnya.

Anne mengangguk, lalu membenarkan posisi duduknya.

“Anne nggak cuma liburan, ya? Papa kasih waktu Anne berdua sama Kak Mars sekalian berobat di Toronto ya, sayang? Bisa janji sama Papa kalau kalian pulang ke Indo bawa kabar yang baik?” kata pria paruh baya berjas hitam itu. Di pergelangan tangannya melingkar jam mewah dari brand ternama.

Anne mendengus kecil, “pa, kenapa nggak Papa yang nemenin Anne untuk berobat? Uang masih di atas segalanya dari pada anak, iya?”

Tatapan lembut Dimas berubah menjadi tajam. Pria itu dengan segera memalingkan wajahnya dari sang puteri. Tangannya terkepal kuat— menyalurkan emosinya di dalam dada.

“Papa tidak boleh diam aja sedangkan Mamamu bekerja dan maju dengan bisnisnya. Kita harus sama-sama menguntungkan.” Dimas menghela napasnya, ia menyandarkan tubuhnya di sofa. Tangannya terangkat untuk melepaskan kacamata yang selalu bertengger di pangkal hidungnya.

Anne berdiri, menatap Papanya nanar dan penuh permohonan. “Kalau gitu kenapa nggak Mama aja yang berhenti kerja dan temani Anne di rumah?”

Dimas ikut berdiri, menatap puterinya tajam— padahal gadis itu tengah menahan isak tangisnya mati-matian. Anne tidak pernah merasakan punya teman. Anne yang malang, tidak pernah tau apa itu bahagia. Anne juga tidak pernah menemukan apa itu definisi keluarga.

Untuk sebagian orang, harta yang paling berharga bukan lagi keluarga— melainkan diri sendiri.

Anne sendiri. Itu sebabnya ia lebih memilih ketergantungan kepada Mars— orang satu-satunya yang menyelamatkan gadis itu setiap ingin mengakhiri hidup.

“Anne, tetap hidup. Nikmati semua perjalanan yang diberikan oleh Semesta. Karena semuanya terjadi bukan tanpa alasan. Kalau kamu nggak mau hidup untuk Papa atau Mama, setidaknya hidup untuk diri sendiri. Hidup untuk hal-hal yang Anne sukai. Hidup untuk memakan sate padang— misalnya?” Itu kata Mars dua tahun lalu ketika Anne dengan nekat ingin terjun dari rooftop hotel saat menemani Dimas bertemu dengan koleganya.

Mama dan Papanya akan berhubungan baik kalau di depan kolega juga kamera. Mereka hanya berpura-pura atau tepatnya membohongi Semesta tanpa mempedulikan gadis malang yang diberikan oleh Tuhan.

“Mama-mu itu workaholic, Anne! Mana bisa Papa menghentikannya?! Karena dengan cara apapun, ia akan tetap bekerja!” Dimas membanting ponselnya ke belakang Anne. Ia masih menatap puterinya tajam.

“Terus kenapa Papa sama Mama minta Anne untuk lahir ke dunia?!” Ia sudah tidak lagi kuat menahan genangan air di pelupuknya. Matanya berkedip untuk mengalirkan airnya.

“Kamu itu kesalahan, Anne! Kamu terbuat karena kecelakaan! Papa sama Mama bahkan sedang mabuk waktu itu!” Dengan teganya Dimas mengucapkan kalimat menusuk puteri satu-satunya itu.

Terkadang yang paling menyakitkan adalah kalimat orangtua sendiri.

“Jadi.... Anne adalah anak yang nggak diinginkan?” Suaranya bergetar di akhir kalimat. Matanya menatap sang Papa tidak percaya. Ia bahkn mengangkat tangan untuk menutupi mulutnya, agar erangan dari dalam diri tidak terdengar begitu mengenaskan.

“Papa... makasih... makasih karena Anne jadi tau kenapa dunia nggak pernah berpihak sama Anne. Kenapa semua orang benci sama Anne... kenapa semua orang menyalahkan Anne dalam ceritanya...” Anne berjalan mundur perlahan, kakinya tidak lagi kuat bahkan hanya untuk menahan diri sendiri.

“Anne!” Suara Dimas kembali menggema, “maafin Papa...”

Gadis itu berjalan pelan untuk menaiki tangga, berusaha mencapai kamar dengan segera. Lalu kembali menenggelamkan diri di bawah tebalnya selimut abunya. “Kak Mars.... Anne takut...”