Mereka yang memisahkan.

Sea menyunggingkan senyumnya kala wajah Mars mulai tampak di layar laptopnya. Sepertinya pria itu baru saja mandi, terlihat dari handuk putih yang bertengger di pundaknya.

Sudah dua minggu Mars menetap di negara orang itu, dan Sea mulai merindukannya dengan sangat. Ini adalah kali kedua mereka bertatap wajah lewat panggilan video. Namun tetap, setiap ingin tidur Sea selalu mendapat pesan suara dari Mars. Katanya, “biar kamu tidurnya nyenyak.”

Tidak bisa dibantah, karena sebenarnya Mars terlahir sebagai seseorang yang memiliki perlakuan manis untuk orang yang ia sayang. Tapi sejauh ini, yang bisa merasakan perlakuan manis itu hanya Mamanya dan Sea.

“How was your day?” Mars tersenyum di seberang sana. Matanya menatap fokus ke layar ipad yang sengaja ia letakkan di atas kasur, sedangkan kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.

“Biasa aja, Mars.” Sea menangkat kedua sudut bibirnya penuh, lalu sedikit mengerinyit saat merasakan kepalanya sedikit pening.

Sudah satu minggu ini ia merasakan mual dan pening secara tiba-tiba. Kemarin lusa Arnav sempat mengantarnya ke rumah sakit. Tapi karena pada dasarnya Sea tidak suka menunggu, itu sebabnya mereka kembali pulang karena hari itu nomor antrian yang terbilang cukup lama.

“Kamu di sana gimana? Kok nggak kerja? Masih siang kan?” Sea menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Menikmati setiap pergerakan Mars di seberang sana.

Sekarang pria itu terlihat sedang meletakkan posisi iPadnya agar bersandar dan memperlihatkan seluruh pergerakannya. Setelah itu ia menghilang dari jangkauan kamera dan kembali selama satu menit.

“Aku di sini baik. Di sini masih minggu, Sea. Jadinya ini hariku istirahat, makannya bisa video call kamu.” Mars memangku gitar kayunya, lalu memetik dengan asal tanpa nada yang membuat Sea terkekeh di tempatnya.

“Emang bisa main gitar?”

Mark mengangkat sebelah alisnya, “nantangin aku? Coba sebut mau lagu apa? Aku juga bisa nyanyi tau!”

Lagi dan lagi Sea tertawa karena Mars mempoutkan bibirnya lucu seolah tidak terima atas kalimat Sea yang tidak mempercayainya. “Love yourself-nya Justin dong!”

Prianya mengangguk, mulai mencari nada dari petikan gitarnya sendiri. Mars menatap layar iPadnya lalu melantunkan satu lagu dari penyanyi kesukaannya tanpa ada kata sulit. Sedangkan Sea di sini sudah membaringkan tubuhnya dengan layar laptop yang dibuat serendah mungkin.

“Matiin aja lampunya, kamu kalau mau tidur, ya tidur aja. Aku temenin.” kata Mars sambil menatap layar iPadnya yang sudah menghitam karena Sea mulai mematikan lampu kamar. “Tidurnya agak ke tengah ranjang, Sea. Nanti jatuh.”

Sea terkekeh pelan, lalu bergeser ke tengah ranjang sesuai perkataan Mars. Matanya mulai meredup waktu Mars kembali menyanyikan satu tidur untuk penghantar tidurnya. Tapi beberapa menit setelah itu, ia kambali merasakan mual luar biasa yang membuatnya tiba-tiba saja berlari ke arah toilet— meninggalkan Mars yang masih berteriak memanggil namanya di seberang sana dengan rasa khawatir.

Sea memuntahkan seluruh cairan bening yang berasal dari tubuhnya ke closet. Ia bahkan sudah duduk di lantai kamar mandi yang mengering saking lemasnya. Matanya memejam menahan rasa sakit di bagian perut juga kepala.

Kalimat Jeffrian siang tadi kembali memutar di otaknya. “Jangan-jangan lo hamil, Ci. Gila aja. Anak bayi punya bayi, ya Oci doang!”

Beberapa kali memang Sea merasakan pening dan mual di toko bunga sehingga membuat Jeffrian memberikan perhatian lebih kepada 'pegawai' nya itu.

Sea menggelengkan kepalanya dengan segera kala kalimat Jeffian terus terulang di telinga. “Nggak. Gue nggak boleh hamil. Dan ya, terakhir gue ngelakuin itu juga belom masa subur— kayanya? Eh! nggak tauuuuuu!” Tangannya terangkat untuk menjambak rambut sendiri.

“Ih tapi kenapa emang kalo gue hamil? Seneng dong harusnya?” tanyanya lagi.

Ia bangkit dari posisinya lalu berjalan untuk membasuh wajah agar lebih segar. Dan setelahnya kembali naik ke atas ranjang untuk mengambil laptop— memastikan panggilannya masih tersambung dengan suaminya atau tidak.

“Sea, kamu kenapa?! Sakit? Udah periksa ke dokter? Udah makan, kan? Minum obat? ACnya jangan besar-besar. Aku lihat cuaca di Jakarta lagi nggak membaik.” Mars memborbardir Sea dengan kalimat penuh kekhawatirannya dari sana kala mendapati wajah Sea di layar iPadnya yang sangat pucat.

Isterinya menggeleng, “udah dua mingguan perut sama kepala aku nggak enak banget, Mars. Kemarin lusa dianter sama Arnav ke rumah sakit tapi karna antri aku jadi males. Aku udah minum obat pereda nyeri beli di swalayan juga kok.”

Di seberang sana Mars menghela napasnya, meletakkan gitar di tempatnya semula lalu memokuskan atensi kepada isterinya. Khawatir, tentu saja. “Makan kamu teratur, kan?”

Sea mengangguk sembari tersenyum kecil.

“Pola tidur kamu?”

Gadisnya menggeleng samar, “beberapa hari aku namatin serial drama.” Lalu terkekeh sendiri.

Mars menggeleng, “besok-besok jangan tidur lebih dari jam sepuluh malam, ya? Kesehatan kamu harus dijaga. Besok jangan kerja dulu, nanti aku yang bilangin Kak Jeffrian.”

Sea mengangkat tangannya guna memberi sebuah hormat kepada Mars. “Siap!”

“Mau aku bawain apa dari sini?” Mars membuat posisinya menjadi tengkurap, sesekali pria itu berantian menatap layar ponsel juga iPadnya.

Sea menggeleng, “apa aja deh, Mars. Selama itu kamu yang bawa pasti aku terima, kan?”

Mars terkekeh, tangannya terangkat untuk mengelus layar iPad yang sepenuhnya menunjukkan wajah Sea. “Aku kangen banget sama kamu. Banyak hal yang mau aku ceritain...”

Pria itu terlihat menelungkupkan tubuhnya di atas kasur sambil terus menggenggam iPadnya. Matanya sedikit memerah karena menahan hal yang menurutnya perlu ia ceritakan. Mulai dari pekerjaannya yang ternyata adalah menyenangkan Anne sampai dengan ancaman Dimas— papanya Anne.

“Mars, kamu nggak nangis, kan?”

Dia menggeleng yang kemudian disusul satu tawa yang terpaksa. “Apapun yang terjadi, kamu harus percaya sama aku ya, Sea?”

“Apapun yang terjadi, aku berusaha untuk percaya sama kamu, Mars. Tapi tolong, aku masih terlalu muda buat mengerti semuanya— jadi tolong jelasin hal yang sekiranya perlu, ya?”

Mars tau, Sea masih muda bahkan dibilang kecil— walaupun iapun masih terbilang muda. Tapi pikiran Mars mungkin saja lebih dewasa ketimbang gadis kesayangannya itu.

“Mars, aku ngantuk banget. Aku bobo dulu, ya?” katanya parau setelah beberapa kali menguap.

Si pria mengangguk, “mau dinyanyiin?”

“Boleh!”

Mars kembali mengubah posisinya lalu mengambil gitar dan menyanyikan beberapa lagu sampai deruan napas Sea terdengar teratur. Mars suka dengan gadis itu yang mudah sekali untuk terlelap, jadi ia tidak perlu terlalu lama menunggunya.

“Selamat malam, kesayangannya Mars. Maaf ya kalau aku bohong, dua minggu lagi, aku janji, Sea. Jangan marah... karena aku juga nggak tau kalau kejadiannya kaya gini, Sea...”