Aku menyerah, Mars.
————————————————
Sea meringis, dahinya ia kerutkan untuk menahan pening luar biasa yang menjalar di kepalanya. Perlahan namun pasti wanita itu membuka kelopak matanya, mendapati ruang persegi yang didominasi oleh warna cokelat muda kesukaannya.
Setelah menyadari ada di mana ia sekarang, wanita itu langsung menghadap ke sebelah kanan dan disambut oleh wajah tenang suaminya ketika sedang memejamkan mata. Napasnya terdengar teratur membuat Sea tersenyum kecil— menyadari betapa tampan Mars walaupun dengan mata terpejam dan di bawah penerangan yang minim.
“Ssh— Sea jangan pergi...” Mars meringis bersamaan dengan kedua alis yang ia satukan.
Sea tau kalau Mars memikirkan tentangnya, tentang mereka dan calon anaknya. Tapi kesalahan Mars adalah hal fatal yang mungkin tidak bisa Sea maafkan. Kalau ada seseorang yang bilang, “tuhan aja maha pemaaf, masa kamu hambanya tidak?”
maka Sea akan membalas, “kita cuma hamba, kan? Kita bukan Tuhan. Marah kepada orang-orang yang melakukan kesalahan adalah manusiawi, dan Tuhan bukan manusia.”
Sea tau ia tidak akan sendiri kalau ia menuntut perceraian kepada Mars. Ada Arnav, Rendy, Dery yang dengan suka rela menampung dirinya, atau bahkan Jeffrian yang detik itu juga bisa menghalalkan Sea untuk dimiliki.
Tapi tetap, kenyataan tidak lagi semudah teori. Semuanya butuh proses dan pemikiran yang matang.
Sea itu rapuh, sebenarnya.
Sea itu jiwa kesepian yang selalu bersembunyi di balik keramaian yang diciptakan Semesta.
Ia jiwa yang hidup tapi memiliki hati yang bisa saja mati.
Sea adalah yang paling terluka tanpa orang-orang sekitarnya tau karena ia selalu menunjukkan senyum terbaiknya.
Dan kejamnya,
Sea adalah jiwa yang dipatahkan oleh ketidak adilan yang dibuat oleh Semestanya.
“Mars, hey—” Tangannya terangkat untuk mengelus pipi suaminya, menyalurkan ketenangan yang sebenarnya untuk diri sendiripun tidak ia miliki.
Sea bingung. Usianya yang masih dini menjadikan wanita itu labil. Ia menginginkan Mars dengan sangat, tapi kenapa Semesta seolah tidak suka melihat kebahagiaannya?
Sea terus mengurut pelipis Mars sampai pria itu tidak lagi mengerutkan keningnya karena— mungkin, mimpi buruk yang sedang datang.
Lihat, sebenarnya yang paling tertekan adalah Mars. Semesta hanya belum sempat menceritakan apa yang terjadi pada pria itu saja— sehingga membuatnya merasa selalu bersalah.
“Aku janji akan urus dia, Mars. Kamu nggak perlu khawatir. Aku di sini dan nggak akan pergi buat anak kita karena cuma dia yang aku punya...”
Sea berusaha bangun dari posisinya lalu mengecup dahi, kedua pipi dan bibir suaminya lama. Air matanya mengalir sampai membasahi wajah Mars. Sekali lagi, Sea menjatuhkan tubuhnya di dada bidang milik sang suami.
Karena ini bisa jadi yang terakhir.
Katakan saja kalau Sea munafik. Karena ketika Mars sadar ia hanya mencaci maki pria itu, tapi di saat Mars terlelap seperti ini— jiwa perasa Sea akan tiba-tiba saja hadir.
Mars sudah mengambil hatinya, jiwanya, raganya dan bahkan dunianya. “Kalau kamu nggak mau pergi, aku yang akan pergi, Mars. Karena bagaimanapun aku nggak akan rela membagi suamiku sendiri sama orang lain.”
Wanita itu menapakkan kakinya di lantai yang dingin itu. Lalu berjalan perlahan ke arah kamar kecil di dalam kamarnya. Matanya menatap pantulan diri di cermin itu. Ia menangis, lagi.
Sudah siapkah?
Sudah bulatkah?
Sudah mampukah?
Lagi-lagi ketiga pertanyaan singkat itu mencekat tenggorokannya. Ia memukul tembok di samping dengan tangannya sendiri lalu kembali menatap wajahnya di pantulan cermin.
Pucat— mengingat ia yang memang belum makan sedari sore. Ia menatap jam dinding yang berada di kamarnya sebentar. Pukul tiga lewat duabelas pagi.
“Ci?”
Sea kembali menatap cermin, mendapati Mars dengan kaus putihnya berdiri di belakangnya. Seketika pria itu melingkarkan tangannya di pinggang ramping sang isteri. Ia meletakkan dagunya di bahu kanan Sea.
“Inget apa yang aku bilang pas terakhir kali kita video call, kan?” Mars menyampirkan seluruh rambut isterinya ke bahu sebelah kiri, lalu ia mengecup leher jenjang itu dua kali. “Apapun yang terjadi, tolong percaya sama aku...”
Sea menggeliat saat embusan napas Mars menyapu lehernya. “Termasuk anak yang dikandung sama Anne?” tanyanya dengan nada biasa. Sea terlalu lelah untuk memaki Mars lagi. “Toronto adalah omong kosong, Mars. Aku benci kota itu.”
Mars mengangkat kepalanya dari bahu Sea, membalikkan tubuh sang isteri agar menghadapnya. Lalu tangannya terangkat untuk mengangkat si wanita untuk duduk di atas washtafel marmernya.
“Bisa kita ulang semuanya, Sea? Aku janji—”
Mars menghentikan kalimatnya kala Sea mengalungkan tangan di leher pria itu. Kemudian meraup bibir sang suami untuk dilumat perlahan.
Dua detik setelah tersadar, tangan kiri Mars menahan pinggang isterinya untuk tetap pada posisi. Sedangkan tangannya yang bebas menahan tengkuk Sea guna memperdalam lumatan lembut yang dimulai oleh si wanita.
“Marssh—” Sea menahan tangan suaminya kala pria itu baru saja ingin membuat tanda di leher dengan bibirnya. “Kita... selesai sampai di sini. Aku nggak lagi kuat, Mars. Aku nyerah sama keadaan. Aku nyerah untuk mempertahankan. Ini yang terakhir dan setelahnya nggak ada lagi kita.
Yang ada cuma aku dan kamu. “ Sea membawa tangan kanan Mars untuk mengelus perutnya yang masih rata. “Aku janji bakalan jaga dia untuk kamu. Aku janji nggak akan misahin kamu sama Anne lagi. Aku...
aku akan pergi sejauh yang aku bisa. Semoga aku sama kamu bisa ketemu lagi di tahun atau bahkan kehidupan selanjutnya.”
Sea menahan napasnya, menatap Mars yang bahkan sudah meloloskan air mata. Tidak pernah sekalipun pria itu menangis kecuali di hadapan wanita yang saat ini masih memiliki status sebagai isterinya.
“Sampai sini, aku izin buat ngelepasin kamu. Di sini, aku menyerah buat sayang sama kamu.
Karena sebenarnya mempercayai kamu sama aja bikin aku terluka. Makasih atas waktunya, Mars.”
Sea mengecup bibir suaminya sekali lagi. Lalu turun dari washtafel marmer hitam itu— meninggalkan Mars yang sampai detik ini masih mencerna apa yang menjadi maksud kalimat isterinya.