TetehnyaaJisung

Hai, ini Sekala.

Biasanya aku nulis pakai satu lembar editan aja. Tapi kali ini aku nulis pakai write.as— soalnya mau minta maaf. Untuk pembaca Mars dan Sea, maaf kalau mungkin endingnya nggak sesuai dengan ekspetasi dan kesannya memaksa.

Tapi apa, ya. Dari awal berpaling ke Mars dan Sea itu emang ngerasain adanya sedikit 'tekanan' sih akunya.. Mungkin ini lebay, tapi tekanan itu bikin aku— nggak nyaman dalam menuangkannya.

Jadi apa bisa aku sebut Merakit Perasaan adalah tulisanku yang GAGAL? Iya, bisa. :)

Maaf, maaf banget buat diriku sendiri yang udah berjuang untuk Mars dan Sea. Bahkan kemarin hampir nyerah dan nggak mau lanjut— cuma takut jadi kaya Samudera dan Bumi kembali.

Aduh, sekali lagi aku mau minta maaf banget sama kalian yang udah nunggu-nunggu Mars-Sea. Apalagi yang minta cerita ini dibawa ke Wattpad. Aaaaaa nggak bisa menjanjikan apa-apa, sebenernya. Karena work aku di wattpad juga banyak— banget.

Yaudah sih, itu aja kali ya?

Mungkin aku bakalan bikin short-au untuk deket-deket ini kaya biasa. Dan long AU lagi aku pikirin lagi biar mateng kaya KITA. Biar feelnya lebih dapet lagi.

Serius. Sebenernya ini aku lagi ngeyakinin diriku sendiri.

Ini serius endingnya kaya gini?

Ini udah sampe sini aja?

Ini bakalan ngecewain nggak sih? Iya, pasti.

Tapi aku pikir lagi, dari pada aku menggantung kalian— lebih baik aku menyelesaikannya walau ini salah banget. Cuma ya, yaudah... sampe di sini aja.

Oh iya, masih kenal Arnav nggak? Ceritanya lagi ditulis sama aku dan Teh Alaska di akun @ceritaalaskala cek aja pinnednya. Judulnya Kata Anyelir. Itu cerita kedua yang aku tulis berdarah-darah (setelah KITA). Tapi kali ini berdarahnya bareng Teh Alaska.

Coba sok dicek dulu. Semoga suka. Sampai ketemu lagi. :))))))

Mars terkekeh ketika matanya mendapati Sea yang sedang sibuk setengah tengkurap di kasur kamar. Hari ini jadwal Mars lumayan padat, memimpin meeting lewat video untuk perusahaan milik Mamanya Sea lalu kembali berlatih berjalan bersama Dokter yang sudah ia sewa selama beberapa bulan terakhir.

“Mau mandi atau makan dulu?” Sea menghampiri Mars, membantu suaminya itu untuk berjalan dengan perlahan menuju kasur.

Mars berdeham, mengelus puncak kepala Sea lembut. “Mandi dulu, deh

Sea mengangguk, menyiapkan air untuk suaminya mandi lalu kembali menuntunnya ke kamar mandi. Membantu Mars membuka pakaian lalu kembali menjaga si buah hati.

Setelah beberapa minggu pulang dari rumah sakit membuat Sea kembali disibukkan dengan kegiatan sehari-hari. Seperti hari ini, ia harus menyiapkan sarapan, membantu Mars mandi, memberi makan puterinya lalu menidurkannya.

Sea berasa punya dua anak.

Setelah merasa kalau puterinya sudah pulas, akhirnya Sea ikut merebahkan diri di atas kasur— barang istirahat dan memejamkan mata untuk beberapa menit. Daksanya terlalu lelah akhir-akhir ini. Mengingat kalau Arsi adalah puteri pertama, makannya Sea kadang merasa kalau ia berlebihan dalam memprotect puterinya.

Ah, sayang Mamanya sudah tidak ada. Mungkin kalau masih ada, ia sibuk membanggakan Arsi kepada teman-teman pekerjaannya.

drrt

Matanya kembali terbuka ketika mendengar getaran hebat pertanda panggilan masuk di ponselnya Mars yang tergeletak begitu saja di atas nakas. Dahinya mengerinyit ketika melihat nama asing di sana. Sea sudah mempercayai Mars sepenuhnya lagi, itu sebabnya ia mengangkat panggilan itu.

“Halo?”

Di seberang sana ada suara perempuan yang sedang menangis, memanggil nama Mars dengan suara seraknya. Lagi-lagi jantung Sea berdetak kencang, terlalu takut akan kejadian masa lalu yang bisa kapan saja terulang lagi.

“Halo?” ucapnya lagi.

“M-mars, kamu di mana?” balasan di seberang sana dan diiringi isak tangis yang memekakan telinga Sea.

Matanya mengarah ke pintu kamar mandi yang baru saja terbuka, dan menampilkan Mars tanpa pakaian atas yang sedang sibuk mengeringkan rambut dengan handuk. Ia mengerinyit ketika mendapati isterinya sedang menerima panggilan.

“Halo, Mars lagi di rumah. Ini saya isterinya, ada yang bisa dibantu?” Sea memejamkan matanya, berusaha memauki pikiran positif ke dalam otak juga hatinya yang terasa sedikit sesak.

Sekali lagi, ia tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.

Mars berjalan perlahan, sebisa mungkin mnahan sakit luar biasa di bagian kakinya. Ia menghampiri Sea dan menepuk pundak wanitanya sekali, mulutnya terbuka dan mengucapkan satu kalimat tanya tanpa suara. “Siapa?”

Wanita itu mengangkat bahu, “Adelia.”

Ia meraih benda pipih yang disodorkan oleh sang ister lalu menempelkannya di telinga. “Halo Adelia? Ini sudah malam dan waktunya tidur. Lagi pula, apa boleh seorang perempuan menelepon pria beristeri di malam hari?”

Diam-diam Sea mengangkat kedua sudut bibirnya. Tangannya segera ia lingkarkan pada pinggang Mars, menempelkan pipinya pada pundak tak berbusana itu. Menghirup wangi sabun bercampur wangi khas tubuh suaminya dalam-dalam.

“Besok-besok kalau ada panggilan di ponsel aku kalau di atas jam delapan jangan diangkat. Ini waktunya tidur.” Mars mengelus punggung tangan Sea yang masih setia di perutnya setelah mematikan panggilan dari Adelia.

Sea memejamkan mata, sekedar menikmati posisinya. “Maaf, aku nggak tau. Aku pikir penting.”

Pria itu memutar balikka tubuhnya dengan susah payah— masih menahan rasa sakit di bagian kakinya. Ia menuntun sang ateri untuk duduk di pinggir ranjang.

“Bagi aku nggak ada yang lebih penting dari kamu atau Arsi, sayang.” Katanya lalu mencuri satu kecupan di bibir merah muda sang ister.

Sea mengangguk, lalu berjalan ke arah lemari untuk mengambilkan kaus hitam yang akan membalut tubuh Mars. Lalu ia kembali menaiki ranjang, membawa puterinya untuk tidur di ranjang bayi.

“Kamu mau makan lagi, Mars?”

Suaminya menggeleng, “aku mau minta tolong ambilin laptop, ada beberapa berkas yang harus diperiksa sama aku.”

Dia berjalan ke arah lemari di mana Mars menyimpan semua perlengkapannya. Mengambil satu persatu map berwarna biru juga laptopnya. Setelah menyerahkan semuanya pada Mars, wanita itu ikut menyandarkan tubuhnya di kepala kasur. Matanya ikut mengoreksi beberapa berkas yang Mars kerjakan.

“Kamu kalau mau tidur, duluan aja. Aku kayanya masih mau lanjut.” Kata Mars ketika mendapati Sea sudah menguap untuk yang ketiga kalinya.

Sea menggeleng, sekedar menyadarkan dirinya kembali. Ia tidak mau meninggalkan Mars sendirian dengan berkas-berkas yang bisa saja membuat pria itu kalang kabut. “Kamu mau dibuatin kopi nggak?”

“Nggak deh, aku siang tadi udah minum kopi.” Katanya lalu meletakkan laptop yang layarnya masih menyala di atas nakas. Tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya juga sang isteri.

“Udahan?” Sea membuka kelopak matanya dan mendapati Mars yang sedang menarik selimut.

Mars tersenyum, merapatkan tubuhnya pada sang isteri. “Maaf, ya? Hari ini sibuk banget padahal kerja dari rumah. Apalagi tadi di tempat produksi ada sedikit masalah sama mesin.”

Tangannya langsung ia lingkarkan di pinggang sang suami. Menghirup udara dalam-dalam lalu memejamkan mata. “Makasih. Makasih buat semuanya, Mars.”

Mulai detik ini, Sea menyerahkan seluruh hidupnya pada keluarga kecilnya. Tidak lagi mau mengingat bagaimana menyakitkannya masa-masa dulu. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menghormati juga mempercayai Mars. Ia yakin dan benar-benar yakin kalau Mars akan setia.

Hari-hari setelahnya hanya diisi oleh hal yang menyenangkan. Sebenarnya, jalan ceritanya sederhana— tentang kekayaan yang memang hanya titipan sang Kuasa.

Coba saja dari awal Mars pilih untuk melepaskan ANTR dan beralih memegang Abigail's, mungkin ceritanya tidak sepanjang ini. Tapi tidak apa— ceritanya mengajarkan kita banyak hal; menikah muda bukanlah sesuatu yang menyenangkan saja.

Menyatukan dua pemikiran bukanlah hal yang mudah.

— END —

Sudah tiga bulan Sea mengurus Mars yang sampai detik ini belum bisa berjalan. Bahkan untuk menapakkan kakinya di lantaipun ia belum bisa. Kata dokter, butuh waktu setidaknya enam bulan untuk menyembuhkan pria itu agar bisa kembali berjalan seperti semula. Tidak apa-apa, Mars sudah menerima semuanya dengan lapang dada. Lagi pula, ia tau kenapa Tuhan memberikan kejadian mengerikan pada hari itu.

Sea-lah jawabannya. Kalau ia tidak kecelakaan mungkin detik ini ia tidak bisa menggegam jemari wanitanya. Mungkin ia juga tidak bisa melihat wajah Sea menahan sakit lalu berusaha melahirkan di hadapan Mars.

Arghhhh!” Air matanya tumpah yang membuat Mars terus menggam jemari wanitanya, mengecup lalu menghapus peluhnya dengan tangan yang bebas. Mengeluarkan kata-kata penyemangat atau penenang untuk Sea. “Mars... sakit...”

Mars menglum senyum tipis, mendekatkan kepalanya pada telinga wanitanya. “Aku di sini, tarik tangan aku kalau butuh tenaga, okay?”

Butuh waktu tigapuluh menit untuk Sea mengejan dan mengeluarkan si buah hati. Wajah yang dipenuhi peluh itu seketika berubah menjadi haru ketika telinga mendengar suara tangisan bayi. Ada rasa bangga dan haru sekaligus tersendiri yang dirasakan oleh Mars. Walau harus duduk di kursi roda, setidaknya Mars berada di samping Sea ketika wanita itu melahirkan.

“Bisa, kan? Aku bilang kalau kamu itu bisa, Ci.” katanya sambil mengecup puncak kepala wanitanya lalu memerhatikan satu dokter yang sibuk membersihkan anaknya.

Jenis kelaminnya perempuan, sesuai sama apa yang dicek dua bulan terakhir. Gadis manis dengan wajah yang tidak ada bedanya dengan Mars— hanya hidungnya saja yang mirip dengan Sea. Kalau kata Mars, “adil. Jenis kelaminnya sama kaya Sea, wajahnya sama kaya saya.” yang membuat Dokternya tertawa.

Setelah proses melahirkan yang menegangkan lalu diakhiri dengan suasana haru karena akhirnya Sea berhasil dalam mempertaruhkan nyawanya, di ruang rawatlah Sea sekarang. Dokter minta agar Sea tidak tertidur setelah melahirkan tadi— karena bisa menyebabkan hal yang tidak diinginkan nantinya.

Sementara tidak banyak hal yang dilakukan oleh Mars selain berada di sisi Sea. Walaupun Mars inginnya ia berjalan sendiri ke ruangan bayi untuk melihat gadis yang ia sayangi di sana. Tapi Mars tidak bisa— dan sedikit menyesal kenapa ia harus berakhir di kursi roda?

“Mars? Kamu nggak apa-apa?” Sea menepuk pundak Mars ketika melihat genangan air di mata suaminya yang sudah memerah.

Mars menggeleng, segera menghapus air mata dengan punggung tangan. Ia mengusahakan sebuah senyum untuk wanita hebat setelah Ibunya. “I'm okay, Ci. Makasih buat hari ini, ya? Makasih untuk perjuangan melahirkan anak kita. Makasih udah nggak pergi di saat hari pernikahan kita— yang padahal kalau kamu mau, kamu bisa. Makasih udah tetep milih aku walaupun aku udah nyakitin kamu. Makasih udah terima aku yang nggak punya apa-apa. Makasih buat segalanya, Ci.”

Kini gantian, Sea mengeluarkan air matanya. Ikut merasakan emosional dari kalimat yang baru saja diucapkan oleh prianya, pria kesayangannya, miliknya. “Sekarang gantian aku, ya?”

Pria itu terkekeh saat telinganya menangkap suara Sea yang begetar.

“Makasih karena udah menawarkan diri buat ngerubah sifat aku yang kekanakkan ke Mama. Makasih karena udah bikin aku ngerti kalau menikah itu bukan soal harta dan kekayaan yang diperlukan— tapi juga rasa cinta. Makasih udah jadi karakter kuat yang bikin aku mau pilih kamu terus. Entah hari ini, besok, lusa atau seribu tahun lagi aku hidup di dunia ini— aku bakalan tetep pilih kamu, Mars.” katanya sambil menggenggam erat jemari milik Mars yang sedari tadi tidak lepas dari miliknya.

Keduanya tersenyum, menatap atma satu sama lain dan membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya. Semesta memang tidak pernah berbohong tentang apapun yang terjadi pasti ada alasannya. Semua sudah tergambar dengan rapi dalam coretan indah yang dimiliki. Tinggal kita saja yang menjalani.

“Ci, kalau bisa menghilang dan datang ke kehidupan lain, kamu mau?” tanya Mars tiba-tiba.

Sea menggeleng, “nanti kalau ke kehidupan lain aku nggak bisa menemukan Mars Antarion.”

Prianya tertawa, mengecup punggung tangan sang isteri dengan lembut. Diam-diam ia berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakan wanita dengan hati selembut Sea— lalu menakdirkan wanita itu untuknya.

Memang, kalau seseorang ditakdirkan untuk kita, mau sekuat apapun badai yang menerpa pasti akan kembali lagi ke kita.

Ibaratnya barang, kalau Semesta menakdirkan itu milik kita— walau hilang sampai ke ujung duniapun pasti akan dikembalikan dengan cara yang tidak terduga.

“Permisi...”

Kedua pasang mata itu mengarah ke arah pintu ruang rawat Sea dan mendapati satu perawat yang sedang mendorong ranjang bayi dan menempatkannya di samping kasur Sea.

“Permisi, Ibu Sea Oceania, benar?” Perawat itu memberikan tanda di kertas pendataan pasien ketika Sea menganggukkan kepalanya. “Ibu, bayinya sudah mulai boleh disusui pakai ASI. Kalau misalnya anak pertama, dan belum tau bagaimana caranya menyusui— boleh saya panggilkan Dokternya nanti.”

Sea menggeleng, “nggak perlu, Sus. Saya paham kok.” katanya.

Sebelum melahirkan, selain harinya diisi oleh menonton serial drama kesukaanya, terkadang Sea juga mempelajari hal-hal tentang mengurus bayi. Mulai dari bagaimana caranya memberi ASI sampai bagaimana caranya mengganti popok.

Perawat itu mengangguk dan tersenyum tipis. “Nanti kalau ASInya memang tidak mau keluar, boleh dipompa ya, Bu. Atau kalau tidak mau keluar juga, kita bisa pakai terapi untuk selanjutnya.”

Sea pun Mars mengangguk lalu mengucap satu kalimat terima kasih kepada sang perawat sebelum ia meninggalkan Sea juga Mars bersama puterinya.

“Setelah Arsi lahir ke dunia, aku jadi kerasa lengkap.” Mars mengangkat kedua sudut bibirnya. Mengelus pipi puterinya yang masih di dalam ranjang dengan lembut. Beberapa kali sempat menggeliat kala tangan Mars berhasil menyentuh bibirnya.

Haus, mungkin.

Sedangkan Sea diam di tempatnya. Merasakan hangat luar biasa yang menyelimuti hatinya. Akhirnya, Mars di sini— kepunyaannya kembali untuk dia dan buah hatinya.

Sudah tiga bulan Sea mengurus Mars yang sampai detik ini belum bisa berjalan. Bahkan untuk menapakkan kakinya di lantaipun ia belum bisa. Kata dokter, butuh waktu setidaknya enam bulan untuk menyembuhkan pria itu agar bisa kembali berjalan seperti semula. Tidak apa-apa, Mars sudah menerima semuanya dengan lapang dada. Lagi pula, ia tau kenapa Tuhan memberikan kejadian mengerikan pada hari itu.

Sea-lah jawabannya. Kalau ia tidak kecelakaan mungkin detik ini ia tidak bisa menggegam jemari wanitanya. Mungkin ia juga tidak bisa melihat wajah Sea menahan sakit lalu berusaha melahirkan di hadapan Mars.

Arghhhh!” Air matanya tumpah yang membuat Mars terus menggam jemari wanitanya, mengecup lalu menghapus peluhnya dengan tangan yang bebas. Mengeluarkan kata-kata penyemangat atau penenang untuk Sea. “Mars... sakit...”

Mars menglum senyum tipis, mendekatkan kepalanya pada telinga wanitanya. “Aku di sini, tarik tangan aku kalau butuh tenaga, okay?”

Butuh waktu tigapuluh menit untuk Sea mengejan dan mengeluarkan si buah hati. Wajah yang dipenuhi peluh itu seketika berubah menjadi haru ketika telinga mendengar suara tangisan bayi. Ada rasa bangga dan haru sekaligus tersendiri yang dirasakan oleh Mars. Walau harus duduk di kursi roda, setidaknya Mars berada di samping Sea ketika wanita itu melahirkan.

“Bisa, kan? Aku bilang kalau kamu itu bisa, Ci.” katanya sambil mengecup puncak kepala wanitanya lalu memerhatikan satu dokter yang sibuk membersihkan anaknya.

Jenis kelaminnya perempuan, sesuai sama apa yang dicek dua bulan terakhir. Gadis manis dengan wajah yang tidak ada bedanya dengan Mars— hanya hidungnya saja yang mirip dengan Sea. Kalau kata Mars, “adil. Jenis kelaminnya sama kaya Sea, wajahnya sama kaya saya.” yang membuat Dokternya tertawa.

Setelah proses melahirkan yang menegangkan lalu diakhiri dengan suasana haru karena akhirnya Sea berhasil dalam mempertaruhkan nyawanya, di ruang rawatlah Sea sekarang. Dokter minta agar Sea tidak tertidur setelah melahirkan tadi— karena bisa menyebabkan hal yang tidak diinginkan nantinya.

Sementara tidak banyak hal yang dilakukan oleh Mars selain berada di sisi Sea. Walaupun Mars inginnya ia berjalan sendiri ke ruangan bayi untuk melihat gadis yang ia sayangi di sana. Tapi Mars tidak bisa— dan sedikit menyesal kenapa ia harus berakhir di kursi roda?

“Mars? Kamu nggak apa-apa?” Sea menepuk pundak Mars ketika melihat genangan air di mata suaminya yang sudah memerah.

Mars menggeleng, segera menghapus air mata dengan punggung tangan. Ia mengusahakan sebuah senyum untuk wanita hebat setelah Ibunya. “I'm okay, Ci. Makasih buat hari ini, ya? Makasih untuk perjuangan melahirkan anak kita. Makasih udah nggak pergi di saat hari pernikahan kita— yang padahal kalau kamu mau, kamu bisa. Makasih udah tetep milih aku walaupun aku udah nyakitin kamu. Makasih udah terima aku yang nggak punya apa-apa. Makasih buat segalanya, Ci.”

Kini gantian, Sea mengeluarkan air matanya. Ikut merasakan emosional dari kalimat yang baru saja diucapkan oleh prianya, pria kesayangannya, miliknya. “Sekarang gantian aku, ya?”

Pria itu terkekeh saat telinganya menangkap suara Sea yang begetar.

“Makasih karena udah menawarkan diri buat ngerubah sifat aku yang kekanakkan ke Mama. Makasih karena udah bikin aku ngerti kalau menikah itu bukan soal harta dan kekayaan yang diperlukan— tapi juga rasa cinta. Makasih udah jadi karakter kuat yang bikin aku mau pilih kamu terus. Entah hari ini, besok, lusa atau seribu tahun lagi aku hidup di dunia ini— aku bakalan tetep pilih kamu, Mars.” katanya sambil menggenggam erat jemari milik Mars yang sedari tadi tidak lepas dari miliknya.

Keduanya tersenyum, menatap atma satu sama lain dan membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya. Semesta memang tidak pernah berbohong tentang apapun yang terjadi pasti ada alasannya. Semua sudah tergambar dengan rapi dalam coretan indah yang dimiliki. Tinggal kita saja yang menjalani.

“Ci, kalau bisa menghilang dan datang ke kehidupan lain, kamu mau?” tanya Mars tiba-tiba.

Sea menggeleng, “nanti kalau ke kehidupan lain aku nggak bisa menemukan Mars Antarion.”

Prianya tertawa, mengecup punggung tangan sang isteri dengan lembut. Diam-diam ia berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakan wanita dengan hati selembut Sea— lalu menakdirkan wanita itu untuknya.

Memang, kalau seseorang ditakdirkan untuk kita, mau sekuat apapun badai yang menerpa pasti akan kembali lagi ke kita.

Ibaratnya barang, kalau Semesta menakdirkan itu milik kita— walau hilang sampai ke ujung duniapun pasti akan dikembalikan dengan cara yang tidak terduga.

“Permisi...”

Kedua pasang mata itu mengarah ke arah pintu ruang rawat Sea dan mendapati satu perawat yang sedang mendorong ranjang bayi dan menempatkannya di samping kasur Sea.

“Permisi, Ibu Sea Oceania, benar?” Perawat itu memberikan tanda di kertas pendataan pasien ketika Sea menganggukkan kepalanya. “Ibu, bayinya sudah mulai boleh disusui pakai Asi. Kalau misalnya anak pertama, dan belum tau bagaimana caranya menyusui— boleh saya panggilkan Dokternya nanti.”

Sea menggeleng, “nggak perlu, Sus. Saya paham kok.” katanya.

Sebelum melahirkan, selain harinya diisi oleh menonton serial drama kesukaanya, terkadang Sea juga mempelajari hal-hal tentang mengurus bayi. Mulai dari bagaimana caranya memberi Asi sampai bagaimana caranya mengganti popok.

Perawat itu mengangguk dan tersenyum tipis. “Nanti kalau ASInya memang tidak mau keluar, boleh dipompa ya, Bu. Atau kalau tidak mau keluar juga, kita bisa pakai terapi untuk selanjutnya.”

Sea pun Mars mengangguk lalu mengucap satu kalimat terima kasih kepada sang perawat sebelum ia meninggalkan Sea juga Mars bersama puterinya.

“Setelah Arsi lahir ke dunia, aku jadi kerasa lengkap.” Mars mengangkat kedua sudut bibirnya. Mengelus pipi puterinya yang masih di dalam ranjang dengan lembut. Beberapa kali sempat menggeliat kala tangan Mars berhasil menyentuh bibirnya.

Haus, mungkin.

Sedangkan Sea diam di tempatnya. Merasakan hangat luar biasa yang menyelimuti hatinya. Akhirnya, Mars di sini— kepunyaannya kembali untuk dia dan buah hatinya.

Sudah tiga bulan Sea mengurus Mars yang sampai detik ini belum bisa berjalan. Bahkan untuk menapakkan kakinya di lantaipun ia belum bisa. Kata dokter, butuh waktu setidaknya enam bulan untuk menyembuhkan pria itu agar bisa kembali berjalan seperti semula. Tidak apa-apa, Mars sudah menerima semuanya dengan lapang dada. Lagi pula, ia tau kenapa Tuhan memberikan kejadian mengerikan pada hari itu.

Sealah jawabannya. Kalau ia tidak kecelakaan mungkin detik ini ia tidak bisa menggegam jemari wanitanya. Mungkin ia juga tidak bisa melihat wajah Sea menahan sakit lalu berusaha melahirkan di hadapan Mars.

Arghhhh!” Air matanya tumpah yang membuat Mars terus menggam jemari wanitanya, mengecup lalu menghapus peluhnya dengan tangan yang bebas. Mengeluarkan kata-kata penyemangat atau penenang untuk Sea. “Mars... sakit...”

Mars menglum senyum tipis, mendekatkan kepalanya pada telinga wanitanya. “Aku di sini, tarik tangan aku kalau butuh tenaga, okay?”

Butuh waktu tigapuluh menit untuk Sea mengejan dan mengeluarkan si buah hati. Wajah yang dipenuhi peluh itu seketika berubah menjadi haru ketika telinga mendengar suara tangisan bayi. Ada rasa bangga dan haru sekaligus tersendiri yang dirasakan oleh Mars. Walah harus duduk di kursi roda, setidaknya Mars berada di samping Sea ketika wanita itu melahirkan.

“Bisa, kan? Aku bilang kalau kamu itu bisa, Ci.” katanya sambil mengecup puncak kepala wanitanya lalu memerhatikan satu dokter yang sibuk membersihkan anaknya.

Jenis kelaminnya perempuan, sesuai sama apa yang dicek dua bulan terakhir. Gadis manis dengan wajah yang tidak ada bedanya dengan Mars— hanya hidungnya saja yang mirip dengan Sea. Kalau kata Mars, “adil. Jenis kelaminnya sama kaya Sea, wajahnya sama kaya saya.” yang membuat Dokternya tertawa.

Setelah proses melahirkan yang menegangkan lalu diakhiri dengan suasana haru karena akhirnya Sea berhasil dalam mempertaruhkan nyawanya, di ruang rawatlah Sea sekarang. Dokter minta agar Sea tidak tertidur setelah melahirkan tadi— karena bisa menyebabkan hal yang tidak diinginkan nantinya.

Sementara tidak banyak hal yang dilakukan oleh Mars selain berada di sisi Sea. Walaupun Mars inginnya ia berjalan sendiri ke ruangan bayi untuk melihat gadis yang ia sayangi di sana. Tapi Mars tidak bisa— dan sedikit menyesal kenapa ia harus berakhir di kursi roda?

“Mars? Kamu nggak apa-apa?” Sea menepuk pundak Mars ketika melihat genangan air di mata suaminya yang sudah memerah.

Mars menggeleng, segera menghapus air mata dengan punggung tangan. Ia mengusahakan sebuah senyum untuk wanita hebat setelah Ibunya. “I'm okay, Ci. Makasih buat hari ini, ya? Makasih untuk perjuangan melahirkan anak kita. Makasih udah nggak pergi di saat hari pernikahan kita— yang padahal kalau kamu mau, kamu bisa. Makasih udah tetep milih aku walaupun aku udah nyakitin kamu. Makasih udah terima aku yang nggak punya apa-apa. Makasih buat segalanya, Ci.”

Kini gantian, Sea mengeluarkan air matanya. Ikut merasakan emosional dari kalimat yang baru saja diucapkan oleh prianya, pria kesayangannya, miliknya. “Sekarang gantian aku, ya?”

Pria itu terkekeh saat telinganya menangkap suara Sea yang begetar.

“Makasih karena udah menawarkan diri buat ngerubah sifat aku yang kekanakkan ke Mama. Makasih karena udah bikin aku ngerti kalau menikah itu bukan soal harta dan kekayaan yang diperlukan— tapi juga rasa cinta. Makasih udah jadi karakter kuat yang bikin aku mau pilih kamu terus. Entah hari ini, besok, lusa atau seribu tahun lagi aku hidup di dunia ini— aku bakalan tetep pilih kamu, Mars.” katanya sambil menggenggam erat jemari milik Mars yang sedari tadi tidak lepas dari miliknya.

Keduanya tersenyum, menatap atma satu sama lain dan membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya. Semesta memang tidak pernah berbohong tentang apapun yang terjadi pasti ada alasannya. Semua sudah tergambar dengan rapi dalam coretan indah yang dimiliki. Tinggal kita saja yang menjalani.

“Ci, kalau bisa menghilang dan datang ke kehidupan lain, kamu mau?” tanya Mars tiba-tiba.

Sea menggeleng, “nanti kalau ke kehidupan lain aku nggak bisa menemukan Mars Antarion.”

Prianya tertawa, mengecup punggung tangan sang isteri dengan lembut. Diam-diam ia berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakan wanita dengan hati selembut Sea— lalu menakdirkan wanita itu untuknya.

Memang, kalau seseorang ditakdirkan untuk kita, mau sekuat apapun badai yang menerpa pasti akan kembali lagi ke kita.

Ibaratnya barang, kalau Semesta menakdirkan itu milik kita— walau hilang sampai ke ujung duniapun pasti akan dikembalikan dengan cara yang tidak terduga.

“Permisi...”

Kedua pasang mata itu mengarah ke arah pintu ruang rawat Sea dan mendapati satu perawat yang sedang mendorong ranjang bayi dan menempatkannya di samping kasur Sea.

“Permisi, Ibu Sea Oceania, benar?” Perawat itu memberikan tanda di kertas pendataan pasien ketika Sea menganggukkan kepalanya. “Ibu, bayinya sudah mulai boleh disusui pakai Asi. Kalau misalnya anak pertama, dan belum tau bagaimana caranya menyusui— boleh saya panggilkan Dokternya nanti.”

Sea menggeleng, “nggak perlu, Sus. Saya paham kok.” katanya.

Sebelum melahirkan, selain harinya diisi oleh menonton serial drama kesukaanya, terkadang Sea juga mempelajari hal-hal tentang mengurus bayi. Mulai dari bagaimana caranya memberi Asi sampai bagaimana caranya mengganti popok.

Perawat itu mengangguk dan tersenyum tipis. “Nanti kalau ASInya memang tidak mau keluar, boleh dipompa ya, Bu. Atau kalau tidak mau keluar juga, kita bisa pakai terapi untuk selanjutnya.”

Sea pun Mars mengangguk lalu mengucap satu kalimat terima kasih kepada sang perawat sebelum ia meninggalkan Sea juga Mars bersama puterinya.

“Setelah Arsi lahir ke dunia, aku jadi kerasa lengkap.” Mars mengangkat kedua sudut bibirnya. Mengelus pipi puterinya yang masih di dalam ranjang dengan lembut. Beberapa kali sempat menggeliat kala tangan Mars berhasil menyentuh bibirnya.

Haus, mungkin.

Sedangkan Sea diam di tempatnya. Merasakan hangat luar biasa yang menyelimuti hatinya. Akhirnya, Mars di sini— kepunyaannya kembali untuk dia dan buah hatinya.

Bumi, Hai?

Rasanya canggung, ya?

Setelah empat tahun kepergianmu aku tidak lagi suka menuliskanmu, Bumi. Tapi kali ini aku kembali menuliskanmu, bercerita tentang kamu.

Tidak begitu peduli kalau mereka yang membaca nanti akan menyukaimu.

Bumi..

bagaimana Vancouver? Apa dia lebih baik dari Jakarta?

Waktu kita bertemu di Kalata, kamu bilang kalau kamu selalu menyukai Jakarta selama masih ada aku di dalamnya. Tidak peduli seberapa macet dan panasnya jalanan.

Hari ini aku sudah mewujudkan mimpimu, Bumi. Aku menjadi seorang Author yang walah ceritaku belum begitu terkenal tapi semoga membekas di relung hati sang pembaca.

Terima kasih, ya, Bumi. Karena kamu aku menjadi punya teman-teman pembaca yang hebat. Teman-teman pembaca yang selalu ikut kemanapun aku membawa alurnya.

Karena mewujudkan mimpimu untuk menjadi seorang Author, aku jadi punya satu tujuan dalam hidupku; membuat cerita yang selalu hidup agar mereka juga terhanyut di dalamnya.

Oh iya, Bumi. Soal Kalata, cafe yang kamu bangun atas namaku juga kota kesukaanmu; Jakarta, itu dijaga dengan baik oleh Arjuna. Aku sesekali datang mengunjungi untuk mengecek beberapa pemasukan.

Menunya tidak pernah diganti nama. Minuman utama masih sama namanya; Manis dan hangat seperti Kala (Hot Chocolate) yang menjadi menu kesukaanmu.

Bumi, Bumi..

kamu ingat tidak? toko bunga di depan Kalata? Sekarang Ibu si pemilik sudah tidak ada di dunia. Dan Toko Bunganya dijaga oleh puterinya bernama— Regita. Katanya ia mengenalmu, dan sejak saat itu aku cemburu. Pasalnya, ia cantik sekali. Pipinya semerah mawar, hidungnya sebagus itu dan bola matanya bersinar terang ketika membicarakanmu.

Bumi, sudah, sampai di sini saja, ya? aku pamit. Sekala pamit, Bumi. Sekala tidak akan lagi menganggu hidupmu juga Raina. Sekala mundur. Sekala yang selalu kamu banggakan merasa kalah.

Bumi, berbahagialah, selalu.

Jangan datang lagi, Bumi. Aku tidak suka menunggu dan aku tidak suka omong kosong..

— Sekala Bening. 8.46 PM

Sea tersenyum saat mendapati Mars yang sedang membaca buku yang sore tadi sengaja ia tinggal di ruangan pria itu. Ia melangkah untuk meletakkan satu tas berisi pakaian ganti suaminya juga makanan ringan di atas nakas.

“Udah enakan?” Tanyanya. Menarik kursi lalu duduk di sisi brangkar. Mengambil apel yang sudah di kupas lalu memberikannya pada sang pria. “Mars, kamu tau? Aku sempat takut untuk datang ke rumah sakit.”

Suaminya terkekeh, “Mama, ya?”

“Iya..” Lalu melahap potongan apel yang disodorkan oleh Mars. “Rumah sakit itu tempat yang menyenangkan sekaligus menakutkan, Mars.”

“Kok gitu?” Pria berpiyama itu mengerutkan dahinya.

Sea menarik napasnya, menatap aksa milik suaminya dalam. Bola mata kecokelatan kesukaannya. Hidung kecil yang selalu menghirup aroma rambutnya. Pipi tirus yang selalu ingin ia sentuh. Sampai, bibir tipis dan manis sebagai pelengkap.

“Di sini. Di tempat ini aku tau kalau ada satu nyawa yang dititipkan Tuhan sama aku, Mars.” Jawabnya. Sea tidak lagi bisa menahan air mata, ia menangis di hadapan suaminya.

Mars dengan susah payah menggeser daksanya, menepuk kasur bagian kiri yang sengaja ia sediakan untuk sang isteri. “Sini, aku kangen. Udah lama nggak peluk.”

Wanitanya tersenyum, lalu perlahan mengisi ruang kosong di sebelah kiri Mars. Bersamaan dengan itu, tangan Mars terangkat untuk mengelus perut isterinya yang membesar. Dan untuk kesekian kalinya, Sea lagi-lagi harus menangis.

Tapi tidak lagi menangis karena sedih yang melanda— melainkan rasa haru. Rasa yang membuatnya ikut senang kala Mars menyapa puterinya.

“Hai cantik, ini Ayah.”

Demi apapun, Sea bahkan harus menahan erangannya agar tidak membuat perawat atau beberapa orang lain memasuki kamar rawat suaminya.

“Ci, nanti kita namain Arsi, ya?”

Sea menghapus jejak air matanya sambil tersenyum kecil. “Terserah Ayah aja.”

Kedua sudut bibir Mars terangkat penuh lalu kembali memerhatikan dan mengelus perut Sea. “Maafin Ayah, ya? Ayah terlalu sering bikin Bunda nangis. Ayah terlalu sering jahat sama Bunda. Ayah bahkan hampir ninggalin Bunda.”

“Mars...” Sea menahan tangan suaminya, lalu memeluk daksa itu dengan erat.

Tangan pria itu beralih untuk merapikan rambut isterinya, lalu mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Dalam hati memanjatkan syukur kepada Tuhan karena telah dikembalikan pada rumah yang sebenarnya.

“Sayang, don't be sad. Aku di sini...”

Sea menangguk, menghapus sisa air matanya lalu mendongak. “Kalau seandainya kemarin kamu benar-benar pergi, kita gimana, Mars?”

Mars tertawa, “aku udah nitipin kamu sama Semesta, Ci. Aku percaya bakalan ada yang jagain kamu. Bakalan ada yang sayang sama kamu— bahkan melebihi caraku sayang sama kamu.”

“Tapi aku maunya kamu...”

Mars tersenyum, mengecup ranum kesukaanya sekilas. “You already got it.”

————————————————

“Keluarga pasien atas nama Mars Antarion?” Dokter berjas putih itu menatap Sea yang masih duduk di kursi tunggu. Bersandar pada bahu sebelah kiri milik Arnav dan memejamkan matanya.

“Iya, saya isterinya, Dok.” Sea berjalan dengan teresa menghampiri Dokter dengan tag Abhima itu.

“Saudara Mars Antarion berpulang ke rumah Tuhan. Waktu kematian pukul sepuluh malam lewat duabelas menit, ya.”

Sea menahan napasnya ketika mendapati brangkar rumah sakit yang di dorong oleh tiga perawat dengan satu daksa yang sudah ditutup oleh kain putih di atasnya. Kakinya lemas bukan main. Bahkan untuk menahan dirinya sendiripun ia tidak sanggup.

“Mars...”

Sea bukan sesorang yang menangis dengan suara yang cukup keras sehingga menganggi ketenangan rumah sakit. Ia hanya berjalan tertatih untuk menghampiri daksa suaminya. Tangan mungil itu terangkat untuk membuka kain putih yang menutupi wajah Mars. Disusul dengan jatuhnya tubuh sendiri di atas lantai saat tau kalau itu benar-benar Mars.

“Sea, bangun.” Arnav mengeluarkan seluruh tenaganya untuk membantu Sea bangkit dari tempatnya.

“Mars, kita belum bahagia...” katanya sambil mengusap wajah Mars yang sudah benar-benar pucat. Ia mendekatkan mulutnya e telinga kanan sang suami. “Bangun... ini waktu terakhir aku untuk bangunin kamu, Mars. Ayo mulai semuanya dari awal....”

Sea marah. Sea marah pada dirinya sendiri karena lima bulan belakangan ia selalu menghindari Mars. Jika waktu bisa diputar, Sea hanya ingin di samping Mars.

Kalau perlu datang ke pernikahan pria itu dengan Anne. Tidak apa. Sea mencoba untuk menyanggupi segalanya.

“Payah! Kamu payah, Mars!” Sea menepuk pipi Mars berkali-kali cukup keras seolah sedang mengambil alih takdir yang sedang ia jalani. “Ayo bangun!”

“Mars!”

“Malu sama anak kamu!”

“Mars! Ayo mulai semuanya dari awal sesuai sama apa yang pernah kita jalanin.”

Sea menumpukkan seluruh badannya pada brangkar yang masih dikelilingi perawat. Ia menangis sejadi-jadinya di sana. Tidak lagi mau pedulu seberapa banyak manusia yang terganggu karena suaranya.

“Mars, semua perasaanku udah terakit sempuna untuk kamu...” katanya sambil menahan isak tangis.

Sea percaya kalau Tuhan tidak tidur dan mungkin sedang mengabulkan do'anya yang lain. Walau sampai detik ini ia masih belum bisa percaya tentang apa yang terjadi, tapi ia berusaha untuk menerima walau sulit.

“Jangan nangis...”

Jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat kala suara itu memenuhi indera pendengarannya. Suara itu. Suara yang sangat ia kenali berbisik di telinga kirinya. Dengan perlahan wanita itu menengadahlan wajah, menatap Mars yang sedang susah payah mengatur napasnya.

“Bawa, bawa masuk!!” Dokter yang sedari tadi diam menyaksikan di depan pintu ICU akhirnya mengeluarkan suara paniknya. Membuat ketiga perawat itu dengan cepat kembali mendorong brangkar masuk ke dalam ruangan.

Sedangkan Sea di sini masih diam. Berdiri tidak percaya dengan keajaiban tuhan yang baru saja terjadi untuknya.

Ada banyak do'a yang tidak dikabulkan oleh Tuhan karena mungkin itu tidak baik untuk Sea dan orang-orang di sekitarnya.

Tapi Sea percaya,

ketika Tuhan tidak mengabulkan salah satu do'a kita, Tuhan pasti sedang mengabulkan do'a kita yang lainnya.

“Oci... Mars selamat.”

————————————————

“Ma, please?” Jeffrian menatap Mamanya dengan tatapam memohon.

Dari tadi ia sudah meminta sang Mama untuk mendengarkan semua penjelasannya ada apa ia datang ke sini. Tapi yang dilakukan oleh Avaline hanya fokus pada layar iPadnya. Seolah tidak peduli dengan kehadiran puteranya yang bahkan sudah tidak tinggal di rumah mewah bak istana ini.

Avaline meneguk secangkir teh hangat yang baru saja diletakkan oleh salah satu pelayannya. Kemudian jemari lentik yang kukunya dicat menjadi berwarna merah itu kembali sibuk menari di atas layar benda pipih yang kian lama membuat Jeffrian muak.

“Ma...” pintanya yang kali ini berasil membuat Avaline meletakkan iPadnya di meja makan lalu kembali meneguk teh hangatnya.

“Ada apa, Jeff?” Avaline tertawa meremehkan puteranya. “Uangmu habis? Bukannya itu yang kamu mau, Jeff? Tinggal di apartment yang kumuh dan membuka toko bunga?”

Apartment kumuh katanya? Apa Avaline tidak tau kalau biaya Apartment Jeffrian bahkan lebih mahal dari pada tas yang hari ini dibawa oleh Mamanya itu. Ya, menyentuh tiga ratus juta perbulan— kira-kira.

Mampukah Jeffrian untuk membayarnya? Lihat, berdiri di rumahnya tanpa meminta sepeserpun kekayaan Mama atau Papa tirinya menandakan bahwa Jeffrian memang mampu membiayai dirinya sendiri. Karena toko bunga Jeffrianpun sudah memiliki sekitar duapuluh lima cabang di seluruh negeri. Ah, bahkan pria itu berencana untuk membuka cabang selanjutnya di Berlin.

“Jeff nggak pernah butuh uang Mama ataupun Dimas—”

“Papa.” koreksi Avaline sambil menatap puteranya itu tajam.

Jeffrian bukanlah putera kandung, itu sebabnya Avaline akan merasa biasa saja kalau puteranya itu pergi meninggalkannya.

Dulu, jauh sebelum Avaline mengenal Dimas ia sudah menikah oleh Ayahnya Jeffrian yang ternyata memiliki selingkuhan; Ibunya Jeffrian. Dan yang membuat Avaline kesal adalah Adigtha—suaminya— memilih untuk merawat Jeffrian bersamanya. Sedangkan Anne adalah puteri yang ia dapatnya dari Adigtha.

Jadi Jeffrian dan Anne terlahir dari rahim yang berbeda. Dan tentu saja fakta ini tidak ada yang tau— walau iti Jeffrian sekalipun. Pria yang sekarang sudah tumbuh menjadi pria dewasa itu hanya tau kalau Avaline adalah Ibu kandungnya dan Adigtha adalah Ayahnya.

“Ma, bantu Jeff...” Jeffrian menyentuh punggung tangan Mamanya seolah meminta betul-betul. “Bantu Jeff buat mengubah sifatnya Dim—Papa...”

Avaline mengembuskan napasnya, “apa yang harus diubah, Jeff? Papamu itu pekerja keras.”

Jeffrian marah. Marah sekali pada Mamanya. Karena wanita itu terlalu sibuk mementingkan karirnya sehingga tidak lagi mau peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya— termasuk Anne.

“Ma, dulu waktu Mama masih sama Papa Adi nggak kaya gini. Mama nggak terlalu push diri Mama sendiri untuk bekerja keras.” Ungkapnya. Jeffrian sudah lelah dengan sandiwara keluarga yang tidak ada habisnya ini. Demi apapun, ia benar-benar geram dengan Anne tapi ia tidak bisa menumpahkan pada Mamanya.

Avaline menatap Jeffrian, tangannya terangkat untuk mengintrupsi agar Hanin—bawahannya— yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya untuk pergi meninggalkan.

“Kamu tau kenapa Mama jadi seover ini, Jeffrian?” Avaline menggeser tas hitam pekat yang harganya melebihi mobilnya sendiri. “Itu karena Papamu, Adigtha yang pergi meninggalkan saya untuk Mama kamu.”

“Mamanya Jeff?” Jeffrian menautkan alisnya seolah mencari jawaban. “Mama jangan ngaco. Mamanya Jeffrian ya cuma Mama Ava.”

Sayangnya Avaline menggeleng, ia mengelus bahu puteranya yang sudah naik turun menahan emosi. “Mama itu Mama sambung kamu, Jeff.”

Puteranya menegang, menatap Mamanya tidak percaya. Menerima fakta baru mengejutkan itu membuat Jeffrian kehabisan kalimatnya.

“Papa Adi menikah sama Mama. Tapi karena rahim Mama terlalu kering, itu membuat Mama sulit untuk memiliki anak.” Avaline membuat seutas senyum di hadapan sang putera untuk yang pertama kalinya. “Sulit bukan berarti tidak bisa, Jeff. Tapi Papa Adi menggebu ingin memiliki anak.sampai akhirnya ia selingkuh dengan Mamamu— teman kantornya.”

“Adysti namanya. Adysti Panggalera.” Avaline meremas jemari Jeffrian. Menceritakan hal yang pernah terjadi semasa hidupnya sama saja membuka luka yang baru saja mengering. “Adysti meninggal satu hari setelah melahirkan kamu, Jeff. Dan kamu... resmi menjadi putera Mama sejak hari itu.”

“Ma...” Jeffrian menahan tangan Avaline saat wanita itu meraih ponselnya yang baru saka berdering— menandakan ada panggilan masuk.

Avaline hanya tersenyum lalu mengangkat teleponnya. “Halo, Nin. Ada apa?” Matanya melirik Jeffrian yang juga sedang menatapnya dengan tatapan memohong— agar menetap. “Batalin semua pertemuan dengan client hari ini. Saya lanjut besok ya, Nin. Saya ada perlu yang lebih penting.”

Kedua sudut bibir Jeffrian terangkat dengan sempurna ketika pendengarannya berhasil menangkap jawaban sang Mama.

“Adysti pekerja keras, Jeffrian. Itu sebabnya kenapa Mama menjadi pekerja keras seperti ini— agar Papa Adi tetap menyayangi Mama.” Avaline meneguk tehnya lagi untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. “Dulu mama pikir, kalau tidak bisa memberi anak ke Papa Adi setidaknya Mama bisa mencari kebahagiaan sendiri.”

“Terus Mama buka butik dengan design yang Mama buat sendiri?” Jeffrian menatap Mamanya dalam.

Terkadang memang ada beberapa alasan yang tidak bisa dimengerti orang lain kecuali diri kita sendiri.

Seperti Avaline. Masa lampau yang membuatnya menjadi seperti ini.

“Sekarang kamu mau Mama bantu apa, Jeff?” tanyanya lembut. Bahkan Jeffrian sama sekali tidak pernah mendengar nada bicara Mamanya yang selembut ini.

“Mars. Mama pasti tau Mars, kan?” Jeffrian menggebu waktu mengingat tujuannya datang ke rumah sialan ini adalah menyelamatkan Sea— juga Mars.

Sebegitu cintanya pada Sea, Jeffrian bahkan mengorbankan dirinya sendiri. Tidak apa. Sebagai bonus; Mama tirinya melunak sore ini.

“Gimana bisa Mama lupa sama menantu Mama sendiri, Jeff? Kamu kenapa nggak datang ke pernikahan Anne kemarin?” Tanyanya fokus menatap Jeffrian.

Jeffrian menggeleng karena ini bukan waktunya membahas hal konyol seperti itu. Iya, Jeffrian menganggap pernikahan Anne adalah hal terkonyol di muka bumi.

Bayangkan— ah tidak, jangan dibayangkan karena itu akan membuat muak.

Bagian mana yang tidak pantas disebut konyol di saat menikah dengan pria yang bahkan sudah memiliki isteri— tengah mengandung, lalu disebar luaskan melalui media?

“Mars dijebak sama Papa Dimas, Ma.” lanjut Jeffrian yang kemudian disusul oleh penjelasan secara rinci.

Tentu saja hal itu membuat Avaline membulat tidak percaya. “Gosh... Terus Sea gimana, Jeff?”

“Mars di rumah sakit, Ma. Sea juga pasti di sana. Jeff nggak tau kabar selanjutnya gimana...”

Avaline mengangguk, “kalau sampai terjadi sesuatu sama Mars— kamu harus menjadi penggantinya, Jeff. Jangan biarin anaknya Sea terlahir tanpa seorang Ayah.”

Kemudian disusul anggukan oleh Jeffrian.

“Tapi kalau Mars selamat, kita harus susun rencana untuk menghancurkan Dimas.” Avaline mengepalkan tangannya membuat Jeffrian diam-diam berterimakasih pada semesta karena kali ini ia berhasil mengambil hati juga atensi Mamanya.

Setidaknya Jeffrian mendapat bala bantuan untuk memerangi Dimas dan Hary untuk ke depannya.

“Anyway, isteri pertama Om Dimas— masih ada, Ma?”

Avaline menggeleng, “Mbak Lia udah meninggal bulan kemarin saat pengobatan kankernya di Singapore. Mama ngerasa bersalah karena udah merebut Dimas.”

“Jangan terlalu dipikirin hal yang udah berlalu, Ma.” balas Jeffrian sambil tersenyum kecil. “Karena buat apa kita menyesali hal yang udah terjadi? Bukankah sebagai gantinya kita harus jadi pribadi yang lebih baik?”

Avaline tertawa, mengulurkan tangan untuk mengacak surai legam sang putera. “Anak Mama sudah besar. Sudah tau mana yang baik dan buruk.”

fam—i('m not)ly.

————————————————

“Ma, please?” Jeffrian menatap Mamanya dengan tatapam memohon.

Dari tadi ia sudah meminta sang Mama untuk mendengarkan semua penjelasannya ada apa ia datang ke sini. Tapi yang dilakukan oleh Avaline hanya fokus pada layar iPadnya. Seolah tidak peduli dengan kehadiran puteranya yang bahkan sudah tidak tinggal di rumah mewah bak istana ini.

Avaline meneguk secangkir teh hangat yang baru saja diletakkan oleh salah satu pelayannya. Kemudian jemari lentik yang kukunya dicat menjadi berwarna merah itu kembali sibuk menari di atas layar benda pipih yang kian lama membuat Jeffrian muak.

“Ma...” pintanya yang kali ini berasil membual Avaline meletakkan iPadnya di meja makan lalu kembali meneguk teh hangatnya.

“Ada apa, Jeff?” Avaline tertawa meremehkan puteranya. “Uangmu habis? Bukannya itu yang kamu mau, Jeff? Tinggal di apartment yang kumuh dan membuka toko bunga?”

Apartment kumuh katanya? Apa Avaline tidak tau kalau biaya Apartment Jeffrian bahkan lebih mahal dari pada tas yang hari ini dibawa oleh Mamanya itu. Ya, menyentuh tiga ratus juta perbulan— kira-kira.

Mampukah Jeffrian untuk membayarnya? Lihat, berdiri di rumahnya tanpa meminta sepeserpun kekayaan Mama atau Papa tirinya menandakan bahwa Jeffrian memang mampu membiayai dirinya sendiri. Karena toko bunga Jeffrianpun sudah memiliki sekitar duapuluh lima cabang di seluruh negeri. Ah, bahkan pria itu berencana untuk membuka cabang selanjutnya di Berlin.

“Jeff nggak pernah butuh uang Mama ataupun Dimas—”

“Papa.” koreksi Avaline sambil menatap puteranya itu tajam.

Jeffrian bukanlah putera kandung, itu sebabnya Avaline akan merasa biasa saja kalau puteranya itu pergi meninggalkannya.

Dulu, jauh sebelum Avaline mengenal Dimas ia sudah menikah oleh Ayahnya Jeffrian yang ternyata memiliki selingkuhan; Ibunya Jeffrian. Dan yang membuat Avaline kesal adalah Adigtha—suaminya— memilih untuk merawat Jeffrian bersamanya. Sedangkan Anne adalah puteri yang ia dapatnya dari Adigtha.

Jadi Jeffrian dan Anne terlahir dari rahim yang berbeda. Dan tentu saja fakta ini tidak ada yang tau— walau iti Jeffrian sekalipun. Pria yang sekarang sudah tumbuh menjadi pria dewasa itu hanya tau kalau Avaline adalah Ibu kandungnya dan Adigtha adalah Ayahnya.

“Ma, bantu Jeff...” Jeffrian menyentuh punggung tangan Mamanya seolah meminta betul-betul. “Bantu Jeff buat mengubah sifatnya Dim—Papa...”

Avaline mengembuskan napasnya, “apa yang harus diubah, Jeff? Papamu itu pekerja keras.”

Jeffrian marah. Marah sekali pada Mamanya. Karena wanita itu terlalu sibuk mementingkan karirnya sehingga tidak lagi mau peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya— termasuk Anne.

“Ma, dulu waktu Mama masih sama Papa Adi nggak kaya gini. Mama nggak terlalu push diri Mama sendiri untuk bekerja keras.” Ungkapnya. Jeffrian sudah lelah dengan sandiwara keluarga yang tidak ada habisnya ini. Demi apapun, ia benar-benar geram dengan Anne tapi ia tidak bisa menumpahkan pada Mamanya.

Avaline menatap Jeffrian, tangannya terangkat untuk mengintrupsi agar Hanin—bawahannya— yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya untuk pergi meninggalkan.

“Kamu tau kenapa Mama jadi seover ini, Jeffrian?” Avaline menggeser tas hitam pekat yang harganya melebihi mobilnya sendiri. “Itu karena Papamu, Adigtha yang pergi meninggalkan saya untuk Mama kamu.”

“Mamanya Jeff?” Jeffrian menautkan alisnya seolah mencari jawaban. “Mama jangan ngaco. Mamanya Jeffrian ya cuma Mama Ava.”

Sayangnya Avaline menggeleng, ia mengelus bahu puteranya yang sudah naik turun menahan emosi. “Mama itu Mama sambung kamu, Jeff.”

Puteranya menegang, menatap Mamanya tidak percaya. Menerima fakta baru mengejutkan itu membuat Jeffrian kehabisan kalimatnya.

“Papa Adi menikah sama Mama. Tapi karena rahim Mama terlalu kering, itu membuat Mama sulit untuk memiliki anak.” Avaline membuat seutas senyum di hadapan sang putera untuk yang pertama kalinya. “Sulit bukan berarti tidak bisa, Jeff. Tapi Papa Adi menggebu ingin memiliki anak.sampai akhirnya ia selingkuh dengan Mamamu— teman kantornya.”

“Adysti namanya. Adysti Panggalera.” Avaline meremas jemari Jeffrian. Menceritakan hal yang pernah terjadi semasa hidupnya sama saja membuka luka yang baru saja mengering. “Adysti meninggal satu hari setelah melahirkan kamu, Jeff. Dan kamu... resmi menjadi putera Mama sejak hari itu.”

“Ma...” Jeffrian menahan tangan Avaline saat wanita itu meraih ponselnya yang baru saka berdering— menandakan ada panggilan masuk.

Avaline hanya tersenyum lalu mengangkat teleponnya. “Halo, Nin. Ada apa?” Matanya melirik Jeffrian yang juga sedang menatapnya dengan tatapan memohong— agar menetap. “Batalin semua pertemuan dengan client hari ini. Saya lanjut besok ya, Nin. Saya ada perlu yang lebih penting.”

Kedua sudut bibir Jeffrian terangkat dengan sempurna ketika pendengarannya berhasil menangkap jawaban sang Mama.

“Adysti pekerja keras, Jeffrian. Itu sebabnya kenapa Mama menjadi pekerja keras seperti ini— agar Papa Adi tetap menyayangi Mama.” Avaline meneguk tehnya lagi untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. “Dulu mama pikir, kalau tidak bisa memberi anak ke Papa Adi setidaknya Mama bisa mencari kebahagiaan sendiri.”

“Terus Mama buka butik dengan design yang Mama buat sendiri?” Jeffrian menatap Mamanya dalam.

Terkadang memang ada beberapa alasan yang tidak bisa dimengerti orang lain kecuali diri kita sendiri.

Seperti Avaline. Masa lampau yang membuatnya menjadi seperti ini.

“Sekarang kamu mau Mama bantu apa, Jeff?” tanyanya lembut. Bahkan Jeffrian sama sekali tidak pernah mendengar nada bicara Mamanya yang selembut ini.

“Mars. Mama pasti tau Mars, kan?” Jeffrian menggebu waktu mengingat tujuannya datang ke rumah sialan ini adalah menyelamatkan Sea— juga Mars.

Sebegitu cintanya pada Sea, Jeffrian bahkan mengorbankan dirinya sendiri. Tidak apa. Sebagai bonus; Mama tirinya melunak sore ini.

“Gimana bisa Mama lupa sama menantu Mama sendiri, Jeff? Kamu kenapa nggak datang ke pernikahan Anne kemarin?” Tanyanya fokus menatap Jeffrian.

Jeffrian menggeleng karena ini bukan waktunya membahas hal konyol seperti itu. Iya, Jeffrian menganggap pernikahan Anne adalah hal terkonyol di muka bumi.

Bayangkan— ah tidak, jangan dibayangkan karena itu akan membuat muak.

Bagian mana yang tidak pantas disebut konyol di saat menikah dengan pria yang bahkan sudah memiliki isteri— tengah mengandung, lalu disebar luaskan melalui media?

“Mars dijebak sama Papa Dimas, Ma.” lanjut Jeffrian yang kemudian disusul oleh penjelasan secara rinci.

Tentu saja hal itu membuat Avaline membulat tidak percaya. “Gosh... Terus Sea gimana, Jeff?”

“Mars di rumah sakit, Ma. Sea juga pasti di sana. Jeff nggak tau kabar selanjutnya gimana...”

Avaline mengangguk, “kalau sampai terjadi sesuatu sama Mars— kamu harus menjadi penggantinya, Jeff. Jangan biarin anaknya Sea terlahir tanpa seorang Ayah.”

Kemudian disusul anggukan oleh Jeffrian.

“Tapi kalau Mars selamat, kita harus susun rencana untuk menghancurkan Dimas.” Avaline mengepalkan tangannya membuat Jeffrian diam-diam berterimakasih pada semesta karena kali ini ia berhasil mengambil hati juga atensi Mamanya.

Setidaknya Jeffrian mendapat bala bantuan untuk memerangi Dimas dan Hary untuk ke depannya.

“Anyway, isteri pertama Om Dimas— masih ada, Ma?”

Avaline menggeleng, “Mbak Lia udah meninggal bulan kemarin saat pengobatan kankernya di Singapore. Mama ngerasa bersalah karena udah merebut Dimas.”

“Jangan terlalu dipikirin hal yang udah berlalu, Ma.” balas Jeffrian sambil tersenyum kecil. “Karena buat apa kita menyesali hal yang udah terjadi? Bukankah sebagai gantinya kita harus jadi pribadi yang lebih baik?”

Avaline tertawa, mengulurkan tangan untuk mengacak surai legam sang putera. “Anak Mama sudah besar. Sudah tau mana yang baik dan buruk.”