Semoga bahagia, ya?
————————————————
“Keluarga pasien atas nama Mars Antarion?” Dokter berjas putih itu menatap Sea yang masih duduk di kursi tunggu. Bersandar pada bahu sebelah kiri milik Arnav dan memejamkan matanya.
“Iya, saya isterinya, Dok.” Sea berjalan dengan teresa menghampiri Dokter dengan tag Abhima itu.
“Saudara Mars Antarion berpulang ke rumah Tuhan. Waktu kematian pukul sepuluh malam lewat duabelas menit, ya.”
Sea menahan napasnya ketika mendapati brangkar rumah sakit yang di dorong oleh tiga perawat dengan satu daksa yang sudah ditutup oleh kain putih di atasnya. Kakinya lemas bukan main. Bahkan untuk menahan dirinya sendiripun ia tidak sanggup.
“Mars...”
Sea bukan sesorang yang menangis dengan suara yang cukup keras sehingga menganggi ketenangan rumah sakit. Ia hanya berjalan tertatih untuk menghampiri daksa suaminya. Tangan mungil itu terangkat untuk membuka kain putih yang menutupi wajah Mars. Disusul dengan jatuhnya tubuh sendiri di atas lantai saat tau kalau itu benar-benar Mars.
“Sea, bangun.” Arnav mengeluarkan seluruh tenaganya untuk membantu Sea bangkit dari tempatnya.
“Mars, kita belum bahagia...” katanya sambil mengusap wajah Mars yang sudah benar-benar pucat. Ia mendekatkan mulutnya e telinga kanan sang suami. “Bangun... ini waktu terakhir aku untuk bangunin kamu, Mars. Ayo mulai semuanya dari awal....”
Sea marah. Sea marah pada dirinya sendiri karena lima bulan belakangan ia selalu menghindari Mars. Jika waktu bisa diputar, Sea hanya ingin di samping Mars.
Kalau perlu datang ke pernikahan pria itu dengan Anne. Tidak apa. Sea mencoba untuk menyanggupi segalanya.
“Payah! Kamu payah, Mars!” Sea menepuk pipi Mars berkali-kali cukup keras seolah sedang mengambil alih takdir yang sedang ia jalani. “Ayo bangun!”
“Mars!”
“Malu sama anak kamu!”
“Mars! Ayo mulai semuanya dari awal sesuai sama apa yang pernah kita jalanin.”
Sea menumpukkan seluruh badannya pada brangkar yang masih dikelilingi perawat. Ia menangis sejadi-jadinya di sana. Tidak lagi mau pedulu seberapa banyak manusia yang terganggu karena suaranya.
“Mars, semua perasaanku udah terakit sempuna untuk kamu...” katanya sambil menahan isak tangis.
Sea percaya kalau Tuhan tidak tidur dan mungkin sedang mengabulkan do'anya yang lain. Walau sampai detik ini ia masih belum bisa percaya tentang apa yang terjadi, tapi ia berusaha untuk menerima walau sulit.
“Jangan nangis...”
Jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat kala suara itu memenuhi indera pendengarannya. Suara itu. Suara yang sangat ia kenali berbisik di telinga kirinya. Dengan perlahan wanita itu menengadahlan wajah, menatap Mars yang sedang susah payah mengatur napasnya.
“Bawa, bawa masuk!!” Dokter yang sedari tadi diam menyaksikan di depan pintu ICU akhirnya mengeluarkan suara paniknya. Membuat ketiga perawat itu dengan cepat kembali mendorong brangkar masuk ke dalam ruangan.
Sedangkan Sea di sini masih diam. Berdiri tidak percaya dengan keajaiban tuhan yang baru saja terjadi untuknya.
Ada banyak do'a yang tidak dikabulkan oleh Tuhan karena mungkin itu tidak baik untuk Sea dan orang-orang di sekitarnya.
Tapi Sea percaya,
ketika Tuhan tidak mengabulkan salah satu do'a kita, Tuhan pasti sedang mengabulkan do'a kita yang lainnya.
“Oci... Mars selamat.”