Selesai.

Mars terkekeh ketika matanya mendapati Sea yang sedang sibuk setengah tengkurap di kasur kamar. Hari ini jadwal Mars lumayan padat, memimpin meeting lewat video untuk perusahaan milik Mamanya Sea lalu kembali berlatih berjalan bersama Dokter yang sudah ia sewa selama beberapa bulan terakhir.

“Mau mandi atau makan dulu?” Sea menghampiri Mars, membantu suaminya itu untuk berjalan dengan perlahan menuju kasur.

Mars berdeham, mengelus puncak kepala Sea lembut. “Mandi dulu, deh

Sea mengangguk, menyiapkan air untuk suaminya mandi lalu kembali menuntunnya ke kamar mandi. Membantu Mars membuka pakaian lalu kembali menjaga si buah hati.

Setelah beberapa minggu pulang dari rumah sakit membuat Sea kembali disibukkan dengan kegiatan sehari-hari. Seperti hari ini, ia harus menyiapkan sarapan, membantu Mars mandi, memberi makan puterinya lalu menidurkannya.

Sea berasa punya dua anak.

Setelah merasa kalau puterinya sudah pulas, akhirnya Sea ikut merebahkan diri di atas kasur— barang istirahat dan memejamkan mata untuk beberapa menit. Daksanya terlalu lelah akhir-akhir ini. Mengingat kalau Arsi adalah puteri pertama, makannya Sea kadang merasa kalau ia berlebihan dalam memprotect puterinya.

Ah, sayang Mamanya sudah tidak ada. Mungkin kalau masih ada, ia sibuk membanggakan Arsi kepada teman-teman pekerjaannya.

drrt

Matanya kembali terbuka ketika mendengar getaran hebat pertanda panggilan masuk di ponselnya Mars yang tergeletak begitu saja di atas nakas. Dahinya mengerinyit ketika melihat nama asing di sana. Sea sudah mempercayai Mars sepenuhnya lagi, itu sebabnya ia mengangkat panggilan itu.

“Halo?”

Di seberang sana ada suara perempuan yang sedang menangis, memanggil nama Mars dengan suara seraknya. Lagi-lagi jantung Sea berdetak kencang, terlalu takut akan kejadian masa lalu yang bisa kapan saja terulang lagi.

“Halo?” ucapnya lagi.

“M-mars, kamu di mana?” balasan di seberang sana dan diiringi isak tangis yang memekakan telinga Sea.

Matanya mengarah ke pintu kamar mandi yang baru saja terbuka, dan menampilkan Mars tanpa pakaian atas yang sedang sibuk mengeringkan rambut dengan handuk. Ia mengerinyit ketika mendapati isterinya sedang menerima panggilan.

“Halo, Mars lagi di rumah. Ini saya isterinya, ada yang bisa dibantu?” Sea memejamkan matanya, berusaha memauki pikiran positif ke dalam otak juga hatinya yang terasa sedikit sesak.

Sekali lagi, ia tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.

Mars berjalan perlahan, sebisa mungkin mnahan sakit luar biasa di bagian kakinya. Ia menghampiri Sea dan menepuk pundak wanitanya sekali, mulutnya terbuka dan mengucapkan satu kalimat tanya tanpa suara. “Siapa?”

Wanita itu mengangkat bahu, “Adelia.”

Ia meraih benda pipih yang disodorkan oleh sang ister lalu menempelkannya di telinga. “Halo Adelia? Ini sudah malam dan waktunya tidur. Lagi pula, apa boleh seorang perempuan menelepon pria beristeri di malam hari?”

Diam-diam Sea mengangkat kedua sudut bibirnya. Tangannya segera ia lingkarkan pada pinggang Mars, menempelkan pipinya pada pundak tak berbusana itu. Menghirup wangi sabun bercampur wangi khas tubuh suaminya dalam-dalam.

“Besok-besok kalau ada panggilan di ponsel aku kalau di atas jam delapan jangan diangkat. Ini waktunya tidur.” Mars mengelus punggung tangan Sea yang masih setia di perutnya setelah mematikan panggilan dari Adelia.

Sea memejamkan mata, sekedar menikmati posisinya. “Maaf, aku nggak tau. Aku pikir penting.”

Pria itu memutar balikka tubuhnya dengan susah payah— masih menahan rasa sakit di bagian kakinya. Ia menuntun sang ateri untuk duduk di pinggir ranjang.

“Bagi aku nggak ada yang lebih penting dari kamu atau Arsi, sayang.” Katanya lalu mencuri satu kecupan di bibir merah muda sang ister.

Sea mengangguk, lalu berjalan ke arah lemari untuk mengambilkan kaus hitam yang akan membalut tubuh Mars. Lalu ia kembali menaiki ranjang, membawa puterinya untuk tidur di ranjang bayi.

“Kamu mau makan lagi, Mars?”

Suaminya menggeleng, “aku mau minta tolong ambilin laptop, ada beberapa berkas yang harus diperiksa sama aku.”

Dia berjalan ke arah lemari di mana Mars menyimpan semua perlengkapannya. Mengambil satu persatu map berwarna biru juga laptopnya. Setelah menyerahkan semuanya pada Mars, wanita itu ikut menyandarkan tubuhnya di kepala kasur. Matanya ikut mengoreksi beberapa berkas yang Mars kerjakan.

“Kamu kalau mau tidur, duluan aja. Aku kayanya masih mau lanjut.” Kata Mars ketika mendapati Sea sudah menguap untuk yang ketiga kalinya.

Sea menggeleng, sekedar menyadarkan dirinya kembali. Ia tidak mau meninggalkan Mars sendirian dengan berkas-berkas yang bisa saja membuat pria itu kalang kabut. “Kamu mau dibuatin kopi nggak?”

“Nggak deh, aku siang tadi udah minum kopi.” Katanya lalu meletakkan laptop yang layarnya masih menyala di atas nakas. Tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya juga sang isteri.

“Udahan?” Sea membuka kelopak matanya dan mendapati Mars yang sedang menarik selimut.

Mars tersenyum, merapatkan tubuhnya pada sang isteri. “Maaf, ya? Hari ini sibuk banget padahal kerja dari rumah. Apalagi tadi di tempat produksi ada sedikit masalah sama mesin.”

Tangannya langsung ia lingkarkan di pinggang sang suami. Menghirup udara dalam-dalam lalu memejamkan mata. “Makasih. Makasih buat semuanya, Mars.”

Mulai detik ini, Sea menyerahkan seluruh hidupnya pada keluarga kecilnya. Tidak lagi mau mengingat bagaimana menyakitkannya masa-masa dulu. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menghormati juga mempercayai Mars. Ia yakin dan benar-benar yakin kalau Mars akan setia.

Hari-hari setelahnya hanya diisi oleh hal yang menyenangkan. Sebenarnya, jalan ceritanya sederhana— tentang kekayaan yang memang hanya titipan sang Kuasa.

Coba saja dari awal Mars pilih untuk melepaskan ANTR dan beralih memegang Abigail's, mungkin ceritanya tidak sepanjang ini. Tapi tidak apa— ceritanya mengajarkan kita banyak hal; menikah muda bukanlah sesuatu yang menyenangkan saja.

Menyatukan dua pemikiran bukanlah hal yang mudah.

— END —