Halo, dunia.
Sudah tiga bulan Sea mengurus Mars yang sampai detik ini belum bisa berjalan. Bahkan untuk menapakkan kakinya di lantaipun ia belum bisa. Kata dokter, butuh waktu setidaknya enam bulan untuk menyembuhkan pria itu agar bisa kembali berjalan seperti semula. Tidak apa-apa, Mars sudah menerima semuanya dengan lapang dada. Lagi pula, ia tau kenapa Tuhan memberikan kejadian mengerikan pada hari itu.
Sea-lah jawabannya. Kalau ia tidak kecelakaan mungkin detik ini ia tidak bisa menggegam jemari wanitanya. Mungkin ia juga tidak bisa melihat wajah Sea menahan sakit lalu berusaha melahirkan di hadapan Mars.
“Arghhhh!” Air matanya tumpah yang membuat Mars terus menggam jemari wanitanya, mengecup lalu menghapus peluhnya dengan tangan yang bebas. Mengeluarkan kata-kata penyemangat atau penenang untuk Sea. “Mars... sakit...”
Mars menglum senyum tipis, mendekatkan kepalanya pada telinga wanitanya. “Aku di sini, tarik tangan aku kalau butuh tenaga, okay?”
Butuh waktu tigapuluh menit untuk Sea mengejan dan mengeluarkan si buah hati. Wajah yang dipenuhi peluh itu seketika berubah menjadi haru ketika telinga mendengar suara tangisan bayi. Ada rasa bangga dan haru sekaligus tersendiri yang dirasakan oleh Mars. Walau harus duduk di kursi roda, setidaknya Mars berada di samping Sea ketika wanita itu melahirkan.
“Bisa, kan? Aku bilang kalau kamu itu bisa, Ci.” katanya sambil mengecup puncak kepala wanitanya lalu memerhatikan satu dokter yang sibuk membersihkan anaknya.
Jenis kelaminnya perempuan, sesuai sama apa yang dicek dua bulan terakhir. Gadis manis dengan wajah yang tidak ada bedanya dengan Mars— hanya hidungnya saja yang mirip dengan Sea. Kalau kata Mars, “adil. Jenis kelaminnya sama kaya Sea, wajahnya sama kaya saya.” yang membuat Dokternya tertawa.
Setelah proses melahirkan yang menegangkan lalu diakhiri dengan suasana haru karena akhirnya Sea berhasil dalam mempertaruhkan nyawanya, di ruang rawatlah Sea sekarang. Dokter minta agar Sea tidak tertidur setelah melahirkan tadi— karena bisa menyebabkan hal yang tidak diinginkan nantinya.
Sementara tidak banyak hal yang dilakukan oleh Mars selain berada di sisi Sea. Walaupun Mars inginnya ia berjalan sendiri ke ruangan bayi untuk melihat gadis yang ia sayangi di sana. Tapi Mars tidak bisa— dan sedikit menyesal kenapa ia harus berakhir di kursi roda?
“Mars? Kamu nggak apa-apa?” Sea menepuk pundak Mars ketika melihat genangan air di mata suaminya yang sudah memerah.
Mars menggeleng, segera menghapus air mata dengan punggung tangan. Ia mengusahakan sebuah senyum untuk wanita hebat setelah Ibunya. “I'm okay, Ci. Makasih buat hari ini, ya? Makasih untuk perjuangan melahirkan anak kita. Makasih udah nggak pergi di saat hari pernikahan kita— yang padahal kalau kamu mau, kamu bisa. Makasih udah tetep milih aku walaupun aku udah nyakitin kamu. Makasih udah terima aku yang nggak punya apa-apa. Makasih buat segalanya, Ci.”
Kini gantian, Sea mengeluarkan air matanya. Ikut merasakan emosional dari kalimat yang baru saja diucapkan oleh prianya, pria kesayangannya, miliknya. “Sekarang gantian aku, ya?”
Pria itu terkekeh saat telinganya menangkap suara Sea yang begetar.
“Makasih karena udah menawarkan diri buat ngerubah sifat aku yang kekanakkan ke Mama. Makasih karena udah bikin aku ngerti kalau menikah itu bukan soal harta dan kekayaan yang diperlukan— tapi juga rasa cinta. Makasih udah jadi karakter kuat yang bikin aku mau pilih kamu terus. Entah hari ini, besok, lusa atau seribu tahun lagi aku hidup di dunia ini— aku bakalan tetep pilih kamu, Mars.” katanya sambil menggenggam erat jemari milik Mars yang sedari tadi tidak lepas dari miliknya.
Keduanya tersenyum, menatap atma satu sama lain dan membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya. Semesta memang tidak pernah berbohong tentang apapun yang terjadi pasti ada alasannya. Semua sudah tergambar dengan rapi dalam coretan indah yang dimiliki. Tinggal kita saja yang menjalani.
“Ci, kalau bisa menghilang dan datang ke kehidupan lain, kamu mau?” tanya Mars tiba-tiba.
Sea menggeleng, “nanti kalau ke kehidupan lain aku nggak bisa menemukan Mars Antarion.”
Prianya tertawa, mengecup punggung tangan sang isteri dengan lembut. Diam-diam ia berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakan wanita dengan hati selembut Sea— lalu menakdirkan wanita itu untuknya.
Memang, kalau seseorang ditakdirkan untuk kita, mau sekuat apapun badai yang menerpa pasti akan kembali lagi ke kita.
Ibaratnya barang, kalau Semesta menakdirkan itu milik kita— walau hilang sampai ke ujung duniapun pasti akan dikembalikan dengan cara yang tidak terduga.
“Permisi...”
Kedua pasang mata itu mengarah ke arah pintu ruang rawat Sea dan mendapati satu perawat yang sedang mendorong ranjang bayi dan menempatkannya di samping kasur Sea.
“Permisi, Ibu Sea Oceania, benar?” Perawat itu memberikan tanda di kertas pendataan pasien ketika Sea menganggukkan kepalanya. “Ibu, bayinya sudah mulai boleh disusui pakai ASI. Kalau misalnya anak pertama, dan belum tau bagaimana caranya menyusui— boleh saya panggilkan Dokternya nanti.”
Sea menggeleng, “nggak perlu, Sus. Saya paham kok.” katanya.
Sebelum melahirkan, selain harinya diisi oleh menonton serial drama kesukaanya, terkadang Sea juga mempelajari hal-hal tentang mengurus bayi. Mulai dari bagaimana caranya memberi ASI sampai bagaimana caranya mengganti popok.
Perawat itu mengangguk dan tersenyum tipis. “Nanti kalau ASInya memang tidak mau keluar, boleh dipompa ya, Bu. Atau kalau tidak mau keluar juga, kita bisa pakai terapi untuk selanjutnya.”
Sea pun Mars mengangguk lalu mengucap satu kalimat terima kasih kepada sang perawat sebelum ia meninggalkan Sea juga Mars bersama puterinya.
“Setelah Arsi lahir ke dunia, aku jadi kerasa lengkap.” Mars mengangkat kedua sudut bibirnya. Mengelus pipi puterinya yang masih di dalam ranjang dengan lembut. Beberapa kali sempat menggeliat kala tangan Mars berhasil menyentuh bibirnya.
Haus, mungkin.
Sedangkan Sea diam di tempatnya. Merasakan hangat luar biasa yang menyelimuti hatinya. Akhirnya, Mars di sini— kepunyaannya kembali untuk dia dan buah hatinya.