Maafin Ayah.

Sea tersenyum saat mendapati Mars yang sedang membaca buku yang sore tadi sengaja ia tinggal di ruangan pria itu. Ia melangkah untuk meletakkan satu tas berisi pakaian ganti suaminya juga makanan ringan di atas nakas.

“Udah enakan?” Tanyanya. Menarik kursi lalu duduk di sisi brangkar. Mengambil apel yang sudah di kupas lalu memberikannya pada sang pria. “Mars, kamu tau? Aku sempat takut untuk datang ke rumah sakit.”

Suaminya terkekeh, “Mama, ya?”

“Iya..” Lalu melahap potongan apel yang disodorkan oleh Mars. “Rumah sakit itu tempat yang menyenangkan sekaligus menakutkan, Mars.”

“Kok gitu?” Pria berpiyama itu mengerutkan dahinya.

Sea menarik napasnya, menatap aksa milik suaminya dalam. Bola mata kecokelatan kesukaannya. Hidung kecil yang selalu menghirup aroma rambutnya. Pipi tirus yang selalu ingin ia sentuh. Sampai, bibir tipis dan manis sebagai pelengkap.

“Di sini. Di tempat ini aku tau kalau ada satu nyawa yang dititipkan Tuhan sama aku, Mars.” Jawabnya. Sea tidak lagi bisa menahan air mata, ia menangis di hadapan suaminya.

Mars dengan susah payah menggeser daksanya, menepuk kasur bagian kiri yang sengaja ia sediakan untuk sang isteri. “Sini, aku kangen. Udah lama nggak peluk.”

Wanitanya tersenyum, lalu perlahan mengisi ruang kosong di sebelah kiri Mars. Bersamaan dengan itu, tangan Mars terangkat untuk mengelus perut isterinya yang membesar. Dan untuk kesekian kalinya, Sea lagi-lagi harus menangis.

Tapi tidak lagi menangis karena sedih yang melanda— melainkan rasa haru. Rasa yang membuatnya ikut senang kala Mars menyapa puterinya.

“Hai cantik, ini Ayah.”

Demi apapun, Sea bahkan harus menahan erangannya agar tidak membuat perawat atau beberapa orang lain memasuki kamar rawat suaminya.

“Ci, nanti kita namain Arsi, ya?”

Sea menghapus jejak air matanya sambil tersenyum kecil. “Terserah Ayah aja.”

Kedua sudut bibir Mars terangkat penuh lalu kembali memerhatikan dan mengelus perut Sea. “Maafin Ayah, ya? Ayah terlalu sering bikin Bunda nangis. Ayah terlalu sering jahat sama Bunda. Ayah bahkan hampir ninggalin Bunda.”

“Mars...” Sea menahan tangan suaminya, lalu memeluk daksa itu dengan erat.

Tangan pria itu beralih untuk merapikan rambut isterinya, lalu mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Dalam hati memanjatkan syukur kepada Tuhan karena telah dikembalikan pada rumah yang sebenarnya.

“Sayang, don't be sad. Aku di sini...”

Sea menangguk, menghapus sisa air matanya lalu mendongak. “Kalau seandainya kemarin kamu benar-benar pergi, kita gimana, Mars?”

Mars tertawa, “aku udah nitipin kamu sama Semesta, Ci. Aku percaya bakalan ada yang jagain kamu. Bakalan ada yang sayang sama kamu— bahkan melebihi caraku sayang sama kamu.”

“Tapi aku maunya kamu...”

Mars tersenyum, mengecup ranum kesukaanya sekilas. “You already got it.”