fam—i('m not)ly.
————————————————
“Ma, please?” Jeffrian menatap Mamanya dengan tatapam memohon.
Dari tadi ia sudah meminta sang Mama untuk mendengarkan semua penjelasannya ada apa ia datang ke sini. Tapi yang dilakukan oleh Avaline hanya fokus pada layar iPadnya. Seolah tidak peduli dengan kehadiran puteranya yang bahkan sudah tidak tinggal di rumah mewah bak istana ini.
Avaline meneguk secangkir teh hangat yang baru saja diletakkan oleh salah satu pelayannya. Kemudian jemari lentik yang kukunya dicat menjadi berwarna merah itu kembali sibuk menari di atas layar benda pipih yang kian lama membuat Jeffrian muak.
“Ma...” pintanya yang kali ini berasil membual Avaline meletakkan iPadnya di meja makan lalu kembali meneguk teh hangatnya.
“Ada apa, Jeff?” Avaline tertawa meremehkan puteranya. “Uangmu habis? Bukannya itu yang kamu mau, Jeff? Tinggal di apartment yang kumuh dan membuka toko bunga?”
Apartment kumuh katanya? Apa Avaline tidak tau kalau biaya Apartment Jeffrian bahkan lebih mahal dari pada tas yang hari ini dibawa oleh Mamanya itu. Ya, menyentuh tiga ratus juta perbulan— kira-kira.
Mampukah Jeffrian untuk membayarnya? Lihat, berdiri di rumahnya tanpa meminta sepeserpun kekayaan Mama atau Papa tirinya menandakan bahwa Jeffrian memang mampu membiayai dirinya sendiri. Karena toko bunga Jeffrianpun sudah memiliki sekitar duapuluh lima cabang di seluruh negeri. Ah, bahkan pria itu berencana untuk membuka cabang selanjutnya di Berlin.
“Jeff nggak pernah butuh uang Mama ataupun Dimas—”
“Papa.” koreksi Avaline sambil menatap puteranya itu tajam.
Jeffrian bukanlah putera kandung, itu sebabnya Avaline akan merasa biasa saja kalau puteranya itu pergi meninggalkannya.
Dulu, jauh sebelum Avaline mengenal Dimas ia sudah menikah oleh Ayahnya Jeffrian yang ternyata memiliki selingkuhan; Ibunya Jeffrian. Dan yang membuat Avaline kesal adalah Adigtha—suaminya— memilih untuk merawat Jeffrian bersamanya. Sedangkan Anne adalah puteri yang ia dapatnya dari Adigtha.
Jadi Jeffrian dan Anne terlahir dari rahim yang berbeda. Dan tentu saja fakta ini tidak ada yang tau— walau iti Jeffrian sekalipun. Pria yang sekarang sudah tumbuh menjadi pria dewasa itu hanya tau kalau Avaline adalah Ibu kandungnya dan Adigtha adalah Ayahnya.
“Ma, bantu Jeff...” Jeffrian menyentuh punggung tangan Mamanya seolah meminta betul-betul. “Bantu Jeff buat mengubah sifatnya Dim—Papa...”
Avaline mengembuskan napasnya, “apa yang harus diubah, Jeff? Papamu itu pekerja keras.”
Jeffrian marah. Marah sekali pada Mamanya. Karena wanita itu terlalu sibuk mementingkan karirnya sehingga tidak lagi mau peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya— termasuk Anne.
“Ma, dulu waktu Mama masih sama Papa Adi nggak kaya gini. Mama nggak terlalu push diri Mama sendiri untuk bekerja keras.” Ungkapnya. Jeffrian sudah lelah dengan sandiwara keluarga yang tidak ada habisnya ini. Demi apapun, ia benar-benar geram dengan Anne tapi ia tidak bisa menumpahkan pada Mamanya.
Avaline menatap Jeffrian, tangannya terangkat untuk mengintrupsi agar Hanin—bawahannya— yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya untuk pergi meninggalkan.
“Kamu tau kenapa Mama jadi seover ini, Jeffrian?” Avaline menggeser tas hitam pekat yang harganya melebihi mobilnya sendiri. “Itu karena Papamu, Adigtha yang pergi meninggalkan saya untuk Mama kamu.”
“Mamanya Jeff?” Jeffrian menautkan alisnya seolah mencari jawaban. “Mama jangan ngaco. Mamanya Jeffrian ya cuma Mama Ava.”
Sayangnya Avaline menggeleng, ia mengelus bahu puteranya yang sudah naik turun menahan emosi. “Mama itu Mama sambung kamu, Jeff.”
Puteranya menegang, menatap Mamanya tidak percaya. Menerima fakta baru mengejutkan itu membuat Jeffrian kehabisan kalimatnya.
“Papa Adi menikah sama Mama. Tapi karena rahim Mama terlalu kering, itu membuat Mama sulit untuk memiliki anak.” Avaline membuat seutas senyum di hadapan sang putera untuk yang pertama kalinya. “Sulit bukan berarti tidak bisa, Jeff. Tapi Papa Adi menggebu ingin memiliki anak.sampai akhirnya ia selingkuh dengan Mamamu— teman kantornya.”
“Adysti namanya. Adysti Panggalera.” Avaline meremas jemari Jeffrian. Menceritakan hal yang pernah terjadi semasa hidupnya sama saja membuka luka yang baru saja mengering. “Adysti meninggal satu hari setelah melahirkan kamu, Jeff. Dan kamu... resmi menjadi putera Mama sejak hari itu.”
“Ma...” Jeffrian menahan tangan Avaline saat wanita itu meraih ponselnya yang baru saka berdering— menandakan ada panggilan masuk.
Avaline hanya tersenyum lalu mengangkat teleponnya. “Halo, Nin. Ada apa?” Matanya melirik Jeffrian yang juga sedang menatapnya dengan tatapan memohong— agar menetap. “Batalin semua pertemuan dengan client hari ini. Saya lanjut besok ya, Nin. Saya ada perlu yang lebih penting.”
Kedua sudut bibir Jeffrian terangkat dengan sempurna ketika pendengarannya berhasil menangkap jawaban sang Mama.
“Adysti pekerja keras, Jeffrian. Itu sebabnya kenapa Mama menjadi pekerja keras seperti ini— agar Papa Adi tetap menyayangi Mama.” Avaline meneguk tehnya lagi untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. “Dulu mama pikir, kalau tidak bisa memberi anak ke Papa Adi setidaknya Mama bisa mencari kebahagiaan sendiri.”
“Terus Mama buka butik dengan design yang Mama buat sendiri?” Jeffrian menatap Mamanya dalam.
Terkadang memang ada beberapa alasan yang tidak bisa dimengerti orang lain kecuali diri kita sendiri.
Seperti Avaline. Masa lampau yang membuatnya menjadi seperti ini.
“Sekarang kamu mau Mama bantu apa, Jeff?” tanyanya lembut. Bahkan Jeffrian sama sekali tidak pernah mendengar nada bicara Mamanya yang selembut ini.
“Mars. Mama pasti tau Mars, kan?” Jeffrian menggebu waktu mengingat tujuannya datang ke rumah sialan ini adalah menyelamatkan Sea— juga Mars.
Sebegitu cintanya pada Sea, Jeffrian bahkan mengorbankan dirinya sendiri. Tidak apa. Sebagai bonus; Mama tirinya melunak sore ini.
“Gimana bisa Mama lupa sama menantu Mama sendiri, Jeff? Kamu kenapa nggak datang ke pernikahan Anne kemarin?” Tanyanya fokus menatap Jeffrian.
Jeffrian menggeleng karena ini bukan waktunya membahas hal konyol seperti itu. Iya, Jeffrian menganggap pernikahan Anne adalah hal terkonyol di muka bumi.
Bayangkan— ah tidak, jangan dibayangkan karena itu akan membuat muak.
Bagian mana yang tidak pantas disebut konyol di saat menikah dengan pria yang bahkan sudah memiliki isteri— tengah mengandung, lalu disebar luaskan melalui media?
“Mars dijebak sama Papa Dimas, Ma.” lanjut Jeffrian yang kemudian disusul oleh penjelasan secara rinci.
Tentu saja hal itu membuat Avaline membulat tidak percaya. “Gosh... Terus Sea gimana, Jeff?”
“Mars di rumah sakit, Ma. Sea juga pasti di sana. Jeff nggak tau kabar selanjutnya gimana...”
Avaline mengangguk, “kalau sampai terjadi sesuatu sama Mars— kamu harus menjadi penggantinya, Jeff. Jangan biarin anaknya Sea terlahir tanpa seorang Ayah.”
Kemudian disusul anggukan oleh Jeffrian.
“Tapi kalau Mars selamat, kita harus susun rencana untuk menghancurkan Dimas.” Avaline mengepalkan tangannya membuat Jeffrian diam-diam berterimakasih pada semesta karena kali ini ia berhasil mengambil hati juga atensi Mamanya.
Setidaknya Jeffrian mendapat bala bantuan untuk memerangi Dimas dan Hary untuk ke depannya.
“Anyway, isteri pertama Om Dimas— masih ada, Ma?”
Avaline menggeleng, “Mbak Lia udah meninggal bulan kemarin saat pengobatan kankernya di Singapore. Mama ngerasa bersalah karena udah merebut Dimas.”
“Jangan terlalu dipikirin hal yang udah berlalu, Ma.” balas Jeffrian sambil tersenyum kecil. “Karena buat apa kita menyesali hal yang udah terjadi? Bukankah sebagai gantinya kita harus jadi pribadi yang lebih baik?”
Avaline tertawa, mengulurkan tangan untuk mengacak surai legam sang putera. “Anak Mama sudah besar. Sudah tau mana yang baik dan buruk.”