TetehnyaaJisung

Sambungan panggilan video call yang dilakukan oleh Arnav akhirnya disambut oleh si gadis, Gerhana.

Terlihat wajah lelah Arnav, dan wajah mengantuk Gerhana. Arnav tersenyum, memandangi wajah gadisnya yang ia rindukan beberapa hari ini.

“Ngantuk, ya? Kenapa ga bilang? Hm?” senyum Arnav merekah, masih dengan seksama memandangi wajah gadisnya. Matanya tak berpaling barang sedetik. Seolah, jika berpaling sedetik saja— ia akan kehilangan gadisnya itu.

“Ha? Engga kok, cuma sedikit. Kamu kenapa belum bobo? Muka mu kelihatan capek banget, Nav.” Mata gerhana ikut memandangi wajah pria yang menyandang status sebagai pacarnya itu, ikut tersenyum mengamati secara seksama sebagai penebus rindu.

“Iya, tapi capekku hilang pas liat kamu. Han, aku rindu.” Suara pria itu terdengar lagi, dan menghadiahkan semburat merah di kedua pipi gadisnya.

“Aku juga rindu kamu, Arnav.”

Mereka saling berpandangan, seolah mencurahkan semua rasa rindu melalui panggilan video tersebut.

“Kamu bobo, ya? Aku nyanyiin. Jangan nolak, mukamu udah kelihatan banget nunjukkin kalo kamu capek sama ngantuk banget.”

“Bobo, ya? Dengerin aku nyanyi aja.”

Gadis itu mengangguk, dan setelahnya terdengar alunan musik dan suara merdu dari prianya. Tidak butuh waktu lama, seperkian detik setelah suara merdu itu menusuk ke telinganya, mata gadis itupun ikut tertutup— terbawa oleh alunan suara dan nada-nada yang indah.

Arnav menyanyikan lagu tersebut dengan sangat lembut, seolah benar-benar menghantarkan gadisnya menuju ke tempat paling aman dan tentram yang ada di alam semesta ini.

Hingga di akhir penutupan lagu, Pria itu tertawa kecil. Ketika menyadari jika ponsel gadisnya terjatuh, dan gadis nya mampu benar-benar tertidur lelap malam ini.

“Selamat tidur, Hanaku. Malam ini aku titipkan lagi kamu dengan semesta dan seisinya. Besok-besok, dan semoga secepatnya semesta mau merestukan aku untuk menemani tidur dan menjaga malammu secara langsung.”

I love you, Hana.”

Sagita meletakkan tasnya di atas meja, lalu berjalan ke arah kulkas untuk meneguk jus jeruk kesukaan. Tangannya mengambil satu buah apel berwarna merah lalu kembali duduk di meja makan.

“Udah pulang?”

Wanita itu menoleh dan mendapati Arkana yang sedang berjalan ke arahnya dengan handuk yang menggantung di leher pria itu. “Kamu tau dari mana password apartment saya?”

“111015.” Arkana menarik salah satu kursi, lalu meneguk jus jeruk dari gelas Sagita. Alisnya terangkat sebelah, “passwordnya sama kaya ruang kerja kamu.”

Sagita mendelik, menatap Arkana tidak suka. “Eyang nggak ngomong apa-apa lagi, kan?”

“Enggak. Saya bilang kamu sakit— and you know what?”

Ia menaikkan sebelah alisnya, merasa ingin tau kelanjutan dari kalimat Arkana. “What?”

“Eyang kamu kira kalau kita habis making love.” Dia tertawa, lalu kembali meneguk jus jeruk milik Sagita. “Saya nggak iya-in sih, cuma diem aja.”

Mata Sagita memicing lalu melempar apel yang sisa separuh itu ke arah Arkana yang langsung mendarat dengan sempurna di wajah tampan itu. “Eyang itu penganut diam adalah iya. Bodoh.”

Sagita tidak tau apa yang membuat Eyangnya punya obsesi yang tinggi tentangnya yang harus buru-buru memiliki suami. Padahal, sampai kapanpun Sagita tidak lagi mau mempercayai apa itu cinta. Terakhir hanya Abimanyu yang membuatnya kembali tidak percaya dengan kata cinta.

Singkatnya, Sagita tidak mau menikah. Biar saja orang-orang mengatakan apapun tentang dirinya. Toh dia juga tidak akan peduli. Dia bahkan bisa membeli mulut orang-orang yang mengatakan hal buruk tentangnya itu.

“Terus kamu ngapain di sini?”

Arkana menaikkan sebelah alisnya, “numpang mandi.”

Wanita itu mendecih lalu memalingkan wajah. “Emang di tempat kamu nggak ada kamar mandi?”

“Ada, tapi nggak sebesar di sini.” Katanya cukup santai yang membuat Sagita berjalan ke arah lemari penyimpanan makanan instan.

Tangan kecilnya beralih mengambil panci dan berniat untuk merebus mie instant. Sedangkan Arkana yang dari tadi hanya memperhatikan pergerakan Sagita ikut bangkit dari kursinya.

“Jangan makan makanan instan terus.” Arkana mengambil alih mie instan di tangan wanita itu. Lalu beralih mengembalikan panci pada tempatnya semula. “Mau makan apa? Saya yang buatin.”

Sagita tertawa remeh, “emang bisa?”

“Jangan lupa kalau siang tadi kamu makan soup buatan saya.” Balasnya meledek— bahkan menjulurkan lidahnya. “Kamu setiap hari makan mie instan?”

Sagita mengangguk, lalu kembali berjalan ke kitchen bar untuk menyaksikan Arkana yang sedang memasang apronnya.

“Git, sini.” Tangan Arkana terangkat untuk memanggil wanita itu.

“Ngapain?”

Arkana tertawa kecil, “saya ajarin masak. Terus besok kamu ajarin saya handle perusahaan.”

“Apa?” Sagita tertawa keras. “Kebalik banget ya kita?”

Arkana menghentikan pergerakannya. Menatap Sagita tepat pada mata. “Saya dan kamu udah jadi Kita nih?”

Wanita itu menoleh, menyadari kalimatnya barusan. “Bercanda.”

“Saya anggap langkah awal ya, Git.”

Sagita mengabaikan tatapan intimidasi Papanya yang sedang berdiri tegak di depan pintu apartment. Dalam hati wanita itu terus-terusan berharap agar Arkana dengan cepat membuka pintunya.

“Git—”

Kalimat Arkana terpotong ketika Sagita dengan tiba-tiba menempelkan bibirnya dengan milik Arkana. Matanya seketika membulat, tapi saat ia mendapati Papanya Sagita yang sedang berdiri tidak jauh dari sana— ia mulai mengikuti permainan yang dimulai oleh Sagita. Tangannya memegang pinggul gadis itu, membuka mulut guna memperdalam ciumannya.

Sagita membuka mata ketika tangan kanan Arkana mulai menahan tengkuknya, ia mendapati Arkana yang juga sedang menutup mata di sela-sela kegiatan mereka.

“Kana,” Sagita mendorong tubuh pria yang berbalut kaus putih itu. Tujuh menit ia melakukan ciuman dengan Arkana bermodalkan nekat karena melakukan hal itu di lorong apartment. “Papa saya udah pergi sejak tiga menit yang lalu.”

“Kok enggak ngomong?” Arkana mengusap bibir bagian bawah Sagita untuk menghilangkan bekas salivanya. “My first kiss.”

Sagita tertawa sumbang sambil membenarkan tali dress merahnya. “Such a bad kisser.

I am.” Arkana menahan pergelangan tangan Sagita ketika wanita itu ingin pergi dari hadapannya. “Wanna teach me?”

“Apa?”

Kissing.” Balasnya sambil menaik turunkan alis.

Sagita terkekeh, mengeluarkan ponselnya dari tas hitamnya. Kemudian jemarinya menari di atas layar ponsel seolah tidak menghiraukan pria yang masih kebingungan di hadapannya. “Udah saya transfer.”

“Apa?” Arkana mengerutkan alis, meminta jawaban atas kalimat barusan.

“Maaf soal cium kamu tiba-tiba. Saya cuma mau ngalihin atensi Papa saya biar enggak terus-terusan cari surat penting Perusahaan.” Sagita menjatuhkan kepalanya di tembok, lalu memejamkan mata.

Hari ini benar-benar hari yang membuat wanita itu sungguh ingin menenggelamkan diri di palung terdalam. Mulai dari Abimanyu yang mengajaknya untuk kembali menyusun hubungan. Lalu disusul oleh Sania— adik kandung Abimanyu, yang mengatakan kalau pria itu ingin menikah besok lusa. Dan berakhir ke Papanya yang selalu mengganggu ketenangan.

“Jadi kamu bayar saya untuk ciuman itu?” Tanya Arkana. Tangannya ia arahkan ke dahi Sagita agar wanita itu tidak terlalu merasakan sakit saat menghantam kepalanya sendiri dengan tembok.

Sagita mengangguk, mengiyakan pertanyaan Arkana.

“Tigapuluh juta saya transfer balik. Sebagai gantinya, kamu jangan ke club.” Lanjutnya sambil membawa Sagita masuk ke dalam unitnya. Lalu mengantar wanita itu untuk duduk di ruang tamunya yang bersih nan wangi.

Arkana benci ruangan kotor pun bau.

“Katanya punya minuman? Mana sini, buka.” Sagita membuka heelsnya perlahan, lalu menaikkan kakinya ke atas sofa putih milik Arkana.

Pria itu datang dari arah dapur dengan satu botol alkohol dan dua sloki. Lalu diletakkan di atas meja yang membuat Sagita menatapnya kagum.

“Saya boleh ngerokok di sini?” Tanyanya. Ia mengikat rambutnya asal membuat Arkana buru-buru mengalihkan pandang dari leher jenjang itu.

Arkana menggeleng, “saya nggak suka bau asap.”

“Kamu nggak ngerokok?”

Lagi, ia menggeleng. “Enggak.”

Sagita tertawa kecil, menuangkan minuman beralkohol ke sloki yang disiapkan Arkana. Lalu meneguknya habis dalam sekali tarikan napas.

“Gimana sama Abimanyu tadi?”

Pertanyaan Arkana sukses membuat bola mata Sagita memicing. Seolah mengatakan, “bisa jangan bahas Abimanyu dulu, nggak?

Pria itu tertawa sambil menuang minuman ke sloki milik Sagita. “Alright, alright. Saya ngerti.”

Sagita menyandarkan tubuhnya, lalu menatap langit-langit ruang tamu apartment Arkana sebentar. Minum dua sloki tidak membuatnya mabuk sama sekali. Biasanya perlu lima sampai tujuh botol untuk membuatnya tidak berdaya.

“Soal tadi saya serius.” Arkana menatap gadis itu tepat di matanya.

Sagita membenarkan posisi duduknya, lalu menurunkan gaun merahnya yang sedikit tersingkap karena ia banyak bergerak. “Apa?”

You are my first kiss.” Balasnya sambil meneguk sedikit minuman di slokinya.

Sagita mengangguk-angguk saja. Pantas, Arkana tidak begitu lihai menguasainya tadi. Malah pria itu terkesan kaku— ah, bahkan sangat kaku.

“Begini rasanya ciuman, ya?” Tanyanya yang membuat Sagita tertawa.

Gadis itu berjalan untuk menggeser pintu kaca lalu duduk di kursi putih yang berada di balkon. Selanjutnya ia mengeluarkan rokok dari dalam tasnya. Menyalakan pematik lalu menghisap batang rokok itu.

“Kenapa suka banget sama rokok, sih?” Arkana datang mengikuti Sagita, lalu memilih untuk duduk di samping wanita itu.

Sagita mengangkat sebelah sudut bibirnya. Menyemburkan asap rokok ke udara lalu membuang abunya ke sembarang arah. “Emang apalagi yang harus saya sukai selain rokok? Bertumpuk-tumpuk berkas di kantor? Saya bahkan udah jatuh cinta sama hal itu.”

Matanya menatap Arkana yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada. “Arkana, don't need to be worry. Cuma karena alkohol dan rokok, besok saya bisa kembali kerja.”

“Saya bukan khawatir soal kerjaan, Gita.” Arkana menarik batang rokok dari jemari Sagita, lalu membuangnya ke udara setelah ia matikan apinya. Mata pria itu menatap dalam manik milik Sagita.

Arkana memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya, menghimpit Sagita di antara pintu kaca yang ada di balkon. “Saya khawatirin kamu.”

Sagita menghela napas sebelum akhirnya berjalan anggun ke tempat yang sudah dipesankan oleh Abimanyu. Ia meletakkan tas hitamnya di atas meja yang ditempati dengan satu orang pria.

“Bi,” panggilnya.

Abimanyu menengadah, menyunggingkan senyum tipis tapi mampu melelehkan wanita. “Mau pesen dulu?”

“Nggak, nggak usah. Kamu mau ngomong apa?” Tembaknya saat Abimanyu membuka buku menu dan memilah.

Sudah menghabiskan waktu hampir lima tahun bersama, Abimanyu tau dengan jelas kalau Sagita bukanlah gadis yang suka bertele-tele.

“Minum deh?” Tawarnya.

Sagita mengangguk pasrah. Setidaknya sebelum memulai perdebatan dengan Abimanyu ia harus menyiapkan air agar tenggorokannya tidak begitu kering.

“Mas,” Abimanyu mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat kepada pegawai cafe untuk menghampiri. “Americano satu sama Cappuccino—”

“Americano dua.” Potong Sagita dengan cepat sambil mengikat rambutnya, mempertontonkan leher jenjang di depan Abimanyu.

Pegawai itu mengulang pesanan tadi lalu izin ke belakang untuk membuat pesanan mereka. Sedangkan mata Abimayu tidak lepas dari wajah Sagita yang memang terlihat baik-baik aja tanpanya.

“How are you, Git?”

Sagita tertawa sumbang, “pertanyaannya nggak ada yang lain?”

Sadar. Abimanyu menyadari dengan jelas perubahan sikap Sagita dengan enam bulan lalu saat ia memutuskan hubungannya secara sepihak. Sagita bahkan tidak tau sampai sekarang mereka ini apa. Karena memang tidak ada pernyataan resmi kalau mereka selesai.

“Maaf.” Kata Abimanyu.

Sagita menaikkan sebelah alisnya. “Hum? Saya dateng ke sini bukan buat denger kata maaf.”

“Git, waktu itu aku takut banget disuruh tanggung jawab karena kita enggak pakai pengaman, kan?” Abimanyu menatap wanita itu tepat di matanya.

Sagita tertawa lagi. “See? Aku nggak hamil, kan?”

“Tapi waktu itu aku takut. Takut banget.” Katanya.

Sagita melempar tisu yang baru saja ia ambil ke arah Abimanyu. “Jerk!

I really am.” Katanya dengan nada sesal.

Sagita mendecih. “Kamu tau kalau kamu pengecut, Abimanyu?”

I am!” Abimanyu meninggikan suaranya yang membuat beberapa pasang mata mengarah ke mereka. “Aku pengecut. Aku bodoh. Aku bego. Maafin aku..”

“Berani berbuat harusnya kamu berani tanggung jawab. Saya nggak yakin kalau kamu cinta sama saya dulu.” Sagita menaikkan sebelah bibirnya, jemarinya terangkat untuk menunjuk pria itu tepat di depan wajahnya. “Kamu. Brengsek.”

Git, i'm so sorry..” Pintanya sambil memegang tangan Sagita. “Aku sayang sama kamu. Banget.”

Sagita diam. Jauh di lubuk hatinya memang masih sangat menyayangi pria ini— Abimanyu. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mereka hadapi sama-sama. Abimanyu yang selalu ada ketika Ayahnya selalu bertindak kasar.

Sagita mengalihkan pandangannya. “Saya udah enggak sayang sama kamu. Sama sekali enggak.”

Lie.” Abimanyu menaikkan sebelah sudut bibirnya ketika ia membaca dengan jelas kalau kebohongan tergambar di sana.

Sagita menarik tangannya dari genggaman Abimanyu. “I'm not.

Give me a change.

Sagita menghela napasnya ketika melihat wajah memohon milik Abimanyu. “Nggak.”

“Sagita..”

No, Abi.

Masih bertahan pada pendiriannya, Abimanyu kembali menarik tangan wanita itu. Dikecup lalu di simpan dalam saku jasnya. “Git, please?”

“Saya kasih jawabannya minggu depan.”

Aws.. Pelan-pelan.” Rintihan itu keluar dari bibir si gadis ketika Samudera menempelkan kapas yang sudah dilumuri alkohol.

Atmanya menatap gadis di hadapan lalu terkekeh kecil setelahnya. Kembali memokuskan diri pada luka di sudut bibir si gadis, tanpa menghiraukan ocehan yang tidak terlalu jelas.

“Sam!” Pelangi menghempaskan tangan besar itu, menjauhkan dari sudut bibirnya. Ia memicingkan mata, seolah minta penjelasan dari Samudera kenapa pria itu dengan sengaja menekan lukanya.

“Apa?” Samudera mengerinyit seolah-olah kebingungan. “Sakit?”

“Iya!” Balasnya sengit.

Samudera menarik sebelah sudut bibinya yang sumpah demi apapun membuat Pelangi seribu kali lebih kesal melihatnya. “Kalau udah tau sakit, besok-besok ya dilawan.”

“Nggak bisa, Sam.” Katanya. Bahu gadis itu merosot, lalu daksanya bersandra ke tembok.

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin sekali diceritakan oleh Pelangi. Tapi ya, gimana?

Samudera itu masih orang asing yang tiba-tiba memaksa untul masuk ke dunianya.

“Kenapa nggak bisa?” Tangannya kembali menempelkan kapas di bagian kening Pelangi— sambil ditiup pelan agar mengering.

Si gadis menghela napas, “resto yang Mama handle itu nggak sepenuhnya punya Mama.”

“Jadi ada sebagian hak Chandi di sana?” tanyanya.

Ia mengangguk, “iya. Kalau resto ditutup karena hubungan mereka retak nanti Mama nggak ada pemasukan untuk biayain adik-adikku.”

“Papamu?”

Pelangi mendecih. “Papa mana pernah ngasih uang? Nikah sama Mama juga kayanya cuma buat kesenangan sesaat.”

Sebenarnya Samudera tidak mengerti apa makna dari kesenangan sesaat yang dimaksud oleh Pelangi. Tapi ia mengangguk saja seolah ia paham.

“Dari dulu, dari aku kecil. Emang yang biayain aku sekolah siapa? Mama. Mama banting tulang, kepala jadi kaki begitupun sebaliknya.” Ia menghela napas, mnatap lurus ke depan seolah sedang menerawang kejadian di masa lalunya.

“Dulu Papamu kerja, kan? Uangnya ke mana?” Okay. Samudera bertanya terlalu jauh dan ia menyadarinya setelah kalimat itu dengan tanpa sengaja keluar begitu saja dari mulut. “Ah, sorry, so—

“Isterinya yang sekarang.”

Samudera mengerinyit, “jadi Papamu.. selingkuh?”

“Iya.” Pelangi tertawa kecil. Menertawakan dirinya sendiri yang memiliki nasib semalang itu. “Tujuh wanita.”

Matanya membulat, menatap Pelangi tidak percaya.

“Papa itu pembisnis sukses, Sam.” Pelangi mengangkat tangannya, menunjuk salah satu gedung pencakar langit di hadapan. “Hotel itu bintang lima, kan?”

Samudera mengangguk.

“Punya Papa.” Pelangi lagi-lagi mengembuskan napasnya. “Papa itu seolah melampiaskan nafsunya ke Mama— tapi Papa benci punya anak.”

Samudera diam, tidak begitu mengira kalau masa lalu dari gadis di hadapannya ternyata semenyakitkan itu. Jelas saja kenapa Pelangi menjadi gadis yang lebih tertutup dari pada yang lain. Itu karena dia memiliki trauma ketika berhadapan dengan orang. Entah yang sudah ia kenal pun yang belum.

Pelangi menatap Samudera, “kamu tau, Sam? Pas Mama hamil aku dan Papa tau. Papa langsung kasih uang Mama lima juta untuk gugurin aku.”

Samudera diam, tapi mendengarkan. Ia tidak mau memotong, membiarkan Pelangi mengeluarkan apapun yang mengganjal di hatinya. Entah apa alasannya, tapi Samudera tidak ingin Pelangi merasa kesepian.

“Kata orang-orang cinta pertamanya anak perempuan itu Ayahnya, kan? Tapi aku enggak.” Pelangi membenarkan posisinya menjadi di samping Samudera. Melihat pemandangan kota dari lantai dua ternyata memang membuat tenang.

“Aku bahkan takut sama kata cinta, Sam.” Pelangi menunduk, memerhatikan sendal biru yang ia pakai. Sebisa mungkin gadis itu tersenyum walau tipis.

Lagi pula untuk menangispun ia sudah tidak bisa.

“Jangan takut, kamu punya saya.” katanya. Tangan Samudera terangkat untuk merangkul gadis di sampingnya. “Ada banyak cara untuk jatuh cinta tanpa mengingat Papa kamu.”

Ia menggeleng, “aku.. takut, Sam. Cinta itu omong kosong.”

“Pasti bisa, Pelangi.”

Lagi-lagi ia mengulum senyum tipisnya. “Cinta itu tentang kepergian, Samudera. Papa pergi dari Mama, dan orang yang pernah bikin aku jatuh cintapun pergi tanpa izin. Aku udah tau ujung-ujungnya kaya gimana.”

“Siapa?”

Pelangi mengerinyit, “apa?”

“Orang yang bikin kamu jatuh cinta.”

Kedua sudut bibirnya terangkat lagi. “Mahesa Bumi.”

“Tadi gimana? Lancar?” Samudera duduk di hadapan Pelangi. Tangannya meletakkan dua cup besar gelato.

Pelangi mengangguk, “tapi capek.”

“Namanya juga kerja, enggak ada yang nggak capek.” Katanya memperingati. Pemuda Adinata itu menyodorkan satu botol air mineral yang tadi dibelinya dari seorang Bapak tua di depan kedai.

“Bukan itu doang, sih.” Pelangi menerima botol mineral yang disodorkan oleh Samudera, meminum isinya separuh. “Ruangan bosku ada di lantai enam, sedangkan divisiku ada di lantai satu. Aku harus bolak-balik ke ruangannya untuk menujukkan beberapa design yang harus dipilih.”

Samudera memakan gelatonya, menyisir surai cokelat tuanya ke belakang. Poninya ia biarkan agak memanjang, tapi Pelangi jelas tau kalau si pria risih dengan itu.

“Tapi kamu naik lift, kan?”

Pelangi menggeleng dan membuat Samudera menghentikan pergelangan tangannya. “Jangan bilang kamu naik tangga?!”

Kaget.

Keduanya sama-sama kaget. Berbeda dengan Samudera yang kaget karena Pelangi memilih tangga sebagai jalurnya, gadis itu justru kaget karena suara Samudera yang tiba-tiba saja melengking.

“Pelangi, kenapa ada-ada aja, sih?” tanya Samudera sembari memerhatikan kaki jenjang milik Pelangi yang terbalut celana hitam panjang bergaris putih. Samudera menghela napasnya sedikit frustasi, “kalau ada yang mudah kenapa harus yang susah sih, Pelangi?”

Gadis yang sibuk dengan gelatonya terkekeh, “kalau ada yang susah kenapa harus yang mudah?”

“Pelangi?”

“Iya?”

“Besok naik lift, ya?”

Gadis yang hendak memasukkan gelato ke dalam mulutnya jadi urung, “aku takut, Sam.”

“Kenapa?” Pria itu menjeda kalimatnya, “kamu.. trauma?”

Anggukan Pelangi membuat Samudera sukses mendecak kesal, “kenapa pilih kantor itu?”

“Perusahaan itu buka lowongan yang sesuai dengan jobdeskku.” jawab Pelangi ringan sambil sibuk menghabiskan santapan di depannya.

“Ada perusahaan lain yang mau terima kamu, pasti.” Ucap Samudera mantap. “Nanti kalau usaha saya udah berjalan lancar, kamu kerja di kantor saya saja. Kamu yang handle semuanya— kebetulan saya harus kuliah di Bandung, jadi nggak ada yang urus di Jakarta.”

Si gadis hanya diam, sedikit meringis. Ia adalah tipikal manusia yang tidak suka diatur oleh siapapun. Apapun yang ingin ia lakukan, harus ia lakukan. Kata Bumi dulu, “lebih baik menyesal karena pernah mencoba, daripada menyesal karena tidak pernah mencoba.”

“Kenapa diam?” Samudera memecah keheningan yang terjadi.

Sedangkan Pelangi menatapnya sengit, “aku.nggak.suka.diatur!” katanya penuh penekanan.

Samudera mengacak rambutnya sendiri sambil berdecak. Kadang pria itu marah-marah sendiri, dari tadi mulutnya mendumal ocehan-ocehan yang seharusnya tidak perlu didengarkan.

“Kalau kamu pingsan setelah mondar-mandir dari lantai satu ke lantai enam, gimana?” Dia menghentikan pergerakannya, memberi waktu Pelangi untuk menjawab.

“Nggak tau.”

Pria itu mendecak, lagi. “Saya tau persis perusahaan besar kaya itu nggak ada yang lewat tangga kecuali office boy atau girl. Dan mereka hanya lewat tangga sekitar dua atau tiga jam sekali, Pelangi.”

“Tapi itu perusahaan impianku sejak sekolah, Sam. Aku nggak mungkin ngundurin diri di saat aku baru banget diterima. Nggak lucu, sumpah.” balas Pelangi tidak kalah kesal oleh Samudera.

“Yaudah terserah kamu maunya gimana. Saya nggak ada hak.” katanya lalu bangkit untuk membayar gelato lalu berjalan ke parkiran. Meninggalkan Pelangi yang masih sibuk mengaduk gelatonya yang sudah mencair.

“Sam!” Pelangi menepuk bahu pria yang sedang duduk di atas motor pamannya itu cukup keras. “Kamu kenapasih hari ini? Nggak jelas banget!”

Tatapan dinginnya berubah menghangat. Netra kecokelatan itu menatap gadis yang berdiri di depannya dalam. “Saya mau minta izin sama kamu.”

“Apalagi? Izin apa? Apapun yang mau kamu lakuin, yaudah lakuin. Ngapain minta izin sama aku?” balas si gadis masih terbakar emosi.

Samudera menghela napasnya, “izin menjadikan kamu sebagai tanggung jawab saya.”

“Kok cuma ditaruh di depan rumah?”

Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah pria di sampingnya yang sedang menatap sekantung bakso di knop pintu rumah putih di hadapan. “Iya, memang biasanya aku taruh di depan rumah.”

“Kamu nggak mau masuk?” Tanya Samudera sambil mengerinyit kebingungan.

Pelangi menghela napas, tersenyum tanpa mengalihkan atensi. “Aku nggak tinggal di sana.”

“Kenapa?”

Gadis itu diam, tidak tau apa yang harus ia katakan. Memang benar Pelangi tidak tinggal di sana sejak beberapa tahun lalu dan harusnya ia biasa saja mengatakan hal itu kepada Samudera, tapi rasanya ini aneh. Pria itu terlalu banyak tau tentang Pelangi hari ini, tapi si gadis tidak tau siapa dia, dari mana dia, untuk apa dia di Stasiun Jakarta Kota dan mau apa dia ke Jakarta?

Terlalu banyak pertanyaan di otaknya, tapi Samudera sama sekali tidak memberi Pelangi kesempatan untuk bertanya kepadanya. Dia membuat gadis itu penasaran. Dan biasanyapun Pelangi akan masa bodo dengan kehidupan siapapun, kecuali Samudera.

“Kalau terlalu sensitif jangan dijawab.” Ucap Samudera sambil berjalan mengikuti gadis yang baru ia kenal beberapa jam lalu ke arah halte.

“Kamu nggak akan pulang, Samudera?” Pelangi melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.

Si Adam terkekeh, “ini juga mau pulang.”

Samudera nama panggilan-nya, yang diketahui lahir di bulan dua, bertepatan dengan hari mencintai. Tidak heran kenapa wajahnya sangat manis ketika tersenyum, karena mungkin sebelum melahirkan Ibunya sedang makan cokelat yang dibelikan oleh sang Ayah.

“Kenapa?” Samudera mengarahkan punggung tangan-nya ke arah kening Pelangi, lalu beralih menyentuh pipi si gadis. “Kamu sakit?”

Pelangi menggeleng walau ia merasa pening sejak masuk ke dalam metro mini. “Enggak, ini cuma pusing biasa kok.”

“Perlu saya antar sampai rumah?” Tanya pria itu. Ia membuka jaketnya lalu memakaikan pada si gadis.

Lagi lagi Pelangi menggeleng, “Enggak perlu, Samudera. Ini udah hampir gelap, nanti kamu kemaleman pulangnya.”

Ia diam, tidak menolak dan juga tidak menerima. Sedangkan Pelangi juga diam, menyandarkan kepala pada kaca metro mini dan perlahan memejamkan mata— berharap peningnya sedikit hilang. Tidak boleh sampai sakit, karena besok gadis itu harus mulai bekerja di tempat baru.

Tiba-tiba tangan dingin milik Samudera menyentuh kepala Pelangi untuk diletakkan pada bahunya. Pelangi menatap Samudera sebentar— hendak menolak karena tidak enak kalau terlalu merepotkan.

“Untuk hari ini biarin kamu jadi tanggung jawab saya, Pelangi.” Tangan kanannya ia selipkan di antara tubuh si gadis juga kursi metro mini. Setengah memeluk sambil mengusap kepalanya lembut.

Jangan tanya kenapa seberani itu untuk ukuran orang asing yang baru ia kenal hari ini, sebab Pelangi juga tidak tau jawabannya. Tapi bodohnya gadis itu percaya saja kalau Samudera memang orang baik dan tidak ada niat yang macam-macam. Ia meyakinkan diri untuk tidak boleh mudah percaya, pada siapapun— entah Samudera atau orang lain.

“Kamu tinggal di kostan milik Pak Sonny?” tanyanya saat si gadis membuka pintu kostan.

Tadi di jalan Pelangi menyetujui untuk Samudera yang akan mampir sebentar ke kost. Ia bilang tidak apa kalau harus pulang malam, hitung-hitung olahraga. Samudera juga membeli dua bungkus nasi goreng yang katanya akan dimakan di kost bersama si gadis.

“Iya, sudah hampir enam bulan aku tinggal di sini.” jawabnya lalu mempersilahkan Samudera memasuki halaman kost yang sengaja dibuat luas oleh pemilik karena sekaligus untuk parkiran.

“Pelangi sudah pulang?” Ibu Melati— istri sang pemilik kost datang menghampiri. Kemudian ia mengerinyit, “Loh? Sam?”

Samudera menyalimi tangan Ibu Melati, lalu wanita itu mengelus puncak kepala Samudera dua kali seperti sudah akrab.

“Pelangi, ini Samudera. Keponakan Ibu yang berkuliah di Bandung.” kata Ibu Melati menepuk pelan namun berkali-kali punggung Samudra.

Dunia sangat sempit. Sempit sekali. Sampai gadis itu bisa kenal dengan seseorang yang ternyata adalah keponakan dari pemilik kost. Sebelumnya Pelangi tidak pernah percaya pada takdir, tapi hari ini ia percaya ini adalah takdir bukan sebuah kebetulan yang menyamar.

“Kok kalian bisa ketemu?” Ibu Melati menjeda kalimatnya, “kalian.. pacaran?”

Samudera hanya diam dan tersenyum sedangkan Pelangi mati-matian harus meyakinkan Ibu Melati bahwa mereka baru aja bertemu hari ini di Stasiun Kota tapi justru wanita yang sudah seperti Ibunya sendiri itu tertawa tanpa henti— entah karena apa.

“Ibu..” katanya sambil memegang tangan Ibu Melati, kembali meyakinkan-nya. “Pelangi emang nggak ada apa-apa sama Samudera, beneran baru ketemu tadi di Stasiun.”

Lagi, Ibu Melati tertawa— kali ini diikuti oleh Samudera. “Lagian emang kenapa? Kalau pacaran juga tidak apa-apa.”

“Ibu, astaga. Berapa kali Pelangi harus——”

Drrrt Drrrt.

Ponsel Pelangi bergetar berkali-kali, menandakan ada panggilan masuk.

Pak Naka.

“Aku izin angkat telepon dulu. Sam, kamu langsung ke kamarku aja kalau mau makan— sendoknya ambil saja sendiri.”

Gadis itu menghela napas sesaat setelah menjauh dari Ibu Melati juga Samudera. Bersiap mengangkat panggilan dari Bos barunya.

“Halo, Pak Naka.” “Sekala Bening Pelangi?”

Ia mengangguk, “iya saya. Ada apa ya Pak?”

“Saya cuma mau mengingatkan besok pukul delapan harus sudah sampai di kantor. Langsung ke ruangan saya, soalnya pemilik perusahaan mau bertemu langsung sama kamu.” katanya.

“Iya, Pak. Besok saya langsung menemui Bapak.”

“Perlu saya jemput besok?” katanya sambil tertawa kecil. Pak Naka ini masih muda setau Pelangi, tapi dia sudah dipilih sebagai kepala pusat oleh pemilik perusahaan, tidak tau apa alasan-nya. Kalau diterka-terka pun umurnya tidak terlalu jauh dengan umur gadis itu.

“Eng.. nggak perlu, Pak. Besok...” si gadis terkejut saat seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba. Itu Samudera.

“Halo Pelangi? Besok kamu apa?”

Samudera terkekeh melihatnya, “besok saya bisa berangkat sendiri, Pak.”

Lagi, Samudera memegang tangan Pelangi dan ia menunjuk dirinya sendiri. Mulutnya bergerak tanpa suara, menganggu orang lagi telepon saja. Seperti anak kecil, gadis itu tidak yakin—tapi sepertinya Samudera mengucapkan— besok saya yang antar.

“Yasudah, Pelangi. Sampai ketemu besok.”

Setelah sambungan terputus Pelangi menepuk perut Samudera pakai ponsel. “Lain kali jangan ganggu orang kalau lagi telepon, nggak sopan.”

“Abisnya kamu lama banget, saya udah lapar.”

Ia terkekeh melihat ekspresi kekanakan yang dibuat oleh Pria itu. “Yaudah, yaudah. Ayo makan— eh, Ibu Melati mana?”

“Udah pulang barusan. Tante cuma mau cek keadaan kamar nomor dua, kerannya bocor.”

Si gadis mengangguk mengerti, “oh..”

Pria itu berjalan duluan ke arah kamar kost Pelangi yang mungkin sudah diberi tau oleh Ibu Melati. Mereka sama-sama berhenti di kamar nomor lima, lantai satu karena Pelangi takut ketinggian— juga kedalaman.

Drrt.

Bergetar hanya sekali, itu tandanya bukan panggilan. Mungkin saja pesan, atau mungkin juga notifikasi dari beberapa aplikasi.

Matanya membulat, langkahnya juga terhenti membuat Samudera mengerinyit kebingungan. “Pelangi?”

Si gadis masih menatap layar ponselnya, satu pesan singkat dari seseorang yang sudah lama sekali ingin ia temui. Mahesa Bumi.

“Kok cuma ditaruh di depan rumah?”

Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah pria di sampingnya yang sedang menatap sekantung bakso di knop pintu rumah putih di hadapan. “Iya, memang biasanya aku taruh di depan rumah.”

“Kamu nggak mau masuk?” Tanya Samudera sambil mengerinyit kebingungan.

Pelangi menghela napas, tersenyum tanpa mengalihkan atensi. “Aku nggak tinggal di sana.”

“Kenapa?”

Gadis itu diam, tidak tau apa yang harus ia katakan. Memang benar Pelangi tidak tinggal di sana sejak beberapa tahun lalu dan harusnya ia biasa saja mengatakan hal itu kepada Samudra, tapi rasanya ini aneh. Pria itu terlalu banyak tau tentang Pelangi hari ini, tapi si gadis tidak tau siapa dia, dari mana dia, untuk apa dia di Stasiun Jakarta Kota dan mau apa dia ke Jakarta?

Terlalu banyak pertanyaan di otaknya, tapi Samudera sama sekali tidak memberi Pelangi kesempatan untuk bertanya kepadanya. Dia membuat gadis itu penasaran. Dan biasanyapun Pelangi akan masa bodo dengan kehidupan siapapun, kecuali Samudra.

“Kalau terlalu sensitif jangan dijawab.” Ucap Samudera sambil berjalan mengikuti gadis yang baru ia kenal beberapa jam lalu ke arah halte.

“Kamu nggak akan pulang, Samudera?” Pelangi melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.

Si Adam terkekeh, “ini juga mau pulang.”

Samudra nama panggilan-nya, yang diketahui lahir di bulan dua, bertepatan dengan hari mencintai. Tidak heran kenapa wajahnya sangat manis ketika tersenyum, karena mungkin sebelum melahirkan Ibunya sedang makan cokelat yang dibelikan oleh sang Ayah.

“Kenapa?” Samudera mengarahkan punggung tangan-nya ke arah kening Pelangi, lalu beralih menyentuh pipi si gadis. “Kamu sakit?”

Pelangi menggeleng walau ia merasa pening sejak masuk ke dalam metro mini. “Enggak, ini cuma pusing biasa kok.”

“Perlu saya antar sampai rumah?” Tanya pria itu. Ia membuka jaketnya lalu memakaikan pada si gadis.

Lagi lagi Pelangi menggeleng, “Enggak perlu, Samudera. Ini udah hampir gelap, nanti kamu kemaleman pulangnya.”

Ia diam, tidak menolak dan juga tidak menerima. Sedangkan Pelangi juga diam, menyandarkan kepala pada kaca metro mini dan perlahan memejamkan mata— berharap peningnya sedikit hilang. Tidak boleh sampai sakit, karena besok gadis itu harus mulai bekerja di tempat baru.

Tiba-tiba tangan dingin milik Samudera menyentuh kepala Pelangi untuk diletakkan pada bahunya. Pelangi menatap Samudera sebentar— hendak menolak karena tidak enak kalau terlalu merepotkan.

“Untuk hari ini biarin kamu jadi tanggung jawab saya, Pelangi.” Tangan kanannya ia selipkan di antara tubuh si gadis juga kursi metro mini. Setengah memeluk sambil mengusap kepalanya lembut.

Jangan tanya kenapa seberani itu untuk ukuran orang asing yang baru ia kenal hari ini, sebab Pelangi juga tidak tau jawabannya. Tapi bodohnya gadis itu percaya saja kalau Samudera memang orang baik dan tidak ada niat yang macam-macam. Ia meyakinkan diri untuk tidak boleh mudah percaya, pada siapapun— entah Samudera atau orang lain.

“Kamu tinggal di kostan milik Pak Sonny?” tanyanya saat si gadis membuka pintu kostan.

Tadi di jalan Pelangi menyetujui untuk Samudera yang akan mampir sebentar ke kost. Ia bilang tidak apa kalau harus pulang malam, hitung-hitung olahraga. Samudera juga membeli dua bungkus nasi goreng yang katanya akan dimakan di kost bersama si gadis.

“Iya, sudah hampir enam bulan aku tinggal di sini.” jawabnya lalu mempersilahkan Samudera memasuki halaman kost yang sengaja dibuat luas oleh pemilik karena sekaligus untuk parkiran.

“Pelangi sudah pulang?” Ibu Melati— istri sang pemilik kost datang menghampiri. Kemudian ia mengerinyit, “Loh? Sam?”

Samudera menyalimi tangan Ibu Melati, lalu wanita itu mengelus puncak kepala Samudera dua kali seperti sudah akrab.

“Pelangi, ini Samudera. Keponakan Ibu yang berkuliah di Bandung.” kata Ibu Melati menepuk pelan namun berkali-kali punggung Samudra.

Dunia sangat sempit. Sempit sekali. Sampai gadis itu bisa kenal dengan seseorang yang ternyata adalah keponakan dari pemilik kost. Sebelumnya Pelangi tidak pernah percaya pada takdir, tapi hari ini ia percaya ini adalah takdir bukan sebuah kebetulan yang menyamar.

“Kok kalian bisa ketemu?” Ibu Melati menjeda kalimatnya, “kalian.. pacaran?”

Samudera hanya diam dan tersenyum sedangkan Pelangi mati-matian harus meyakinkan Ibu Melati bahwa mereka baru aja bertemu hari ini di Stasiun Kota tapi justru wanita yang sudah seperti Ibunya sendiri itu tertawa tanpa henti— entah karena apa.

“Ibu..” katanya sambil memegang tangan Ibu Melati, kembali meyakinkan-nya. “Pelangi emang nggak ada apa-apa sama Samudera, beneran baru ketemu tadi di Stasiun.”

Lagi, Ibu Melati tertawa— kali ini diikuti oleh Samudera. “Lagian emang kenapa? Kalau pacaran juga tidak apa-apa.”

“Ibu, astaga. Berapa kali Pelangi harus——”

Drrrt Drrrt.

Ponsel Pelangi bergetar berkali-kali, menandakan ada panggilan masuk.

Pak Naka.

“Aku izin angkat telepon dulu. Sam, kamu langsung ke kamarku aja kalau mau makan— sendoknya ambil saja sendiri.”

Gadis itu menghela napas sesaat setelah menjauh dari Ibu Melati juga Samudera. Bersiap mengangkat panggilan dari Bos barunya.

“Halo, Pak Naka.” “Sekala Bening Pelangi?”

Ia mengangguk, “iya saya. Ada apa ya Pak?”

“Saya cuma mau mengingatkan besok pukul delapan harus sudah sampai di kantor. Langsung ke ruangan saya, soalnya pemilik perusahaan mau bertemu langsung sama kamu.” katanya.

“Iya, Pak. Besok saya langsung menemui Bapak.”

“Perlu saya jemput besok?” katanya sambil tertawa kecil. Pak Naka ini masih muda setau Pelangi, tapi dia sudah dipilih sebagai kepala pusat oleh pemilik perusahaan, tidak tau apa alasan-nya. Kalau diterka-terka pun umurnya tidak terlalu jauh dengan umur gadis itu.

“Eng.. nggak perlu, Pak. Besok...” si gadis terkejut saat seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba. Itu Samudera.

“Halo Pelangi? Besok kamu apa?”

Samudera terkekeh melihatnya, “besok saya bisa berangkat sendiri, Pak.”

Lagi, Samudera memegang tangan Pelangi dan ia menunjuk dirinya sendiri. Mulutnya bergerak tanpa suara, menganggu orang lagi telepon saja. Seperti anak kecil, gadis itu tidak yakin—tapi sepertinya Samudera mengucapkan— besok saya yang antar.

“Yasudah, Pelangi. Sampai ketemu besok.”

Setelah sambungan terputus Pelangi menepuk perut Samudera pakai ponsel. “Lain kali jangan ganggu orang kalau lagi telepon, nggak sopan.”

“Abisnya kamu lama banget, saya udah lapar.”

Ia terkekeh melihat ekspresi kekanakan yang dibuat oleh Pria itu. “Yaudah, yaudah. Ayo makan— eh, Ibu Melati mana?”

“Udah pulang barusan. Tante cuma mau cek keadaan kamar nomor dua, kerannya bocor.”

Si gadis mengangguk mengerti, “oh..”

Pria itu berjalan duluan ke arah kamar kost Pelangi yang mungkin sudah diberi tau oleh Ibu Melati. Mereka sama-sama berhenti di kamar nomor lima, lantai satu karena Pelangi takut ketinggian— juga kedalaman.

Drrt.

Bergetar hanya sekali, itu tandanya bukan panggilan. Mungkin saja pesan, atau mungkin juga notifikasi dari beberapa aplikasi.

Matanya membulat, langkahnya juga terhenti membuat Samudera mengerinyit kebingungan. “Pelangi?”

Si gadis masih menatap layar ponselnya, satu pesan singkat dari seseorang yang sudah lama sekali ingin ia temui. Mahesa Bumi.

“Kok cuma ditaruh di depan rumah?”

Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah pria di sampingnya yang sedang menatap sekantung bakso di knop pintu rumah putih di hadapan. “Iya, memang biasanya aku taruh di depan rumah.”

“Kamu nggak mau masuk?” Tanya Samudera sambil mengerinyit kebingungan.

Pelangi mengela napas, tersenyum tanpa mengalihkan atensi. “Aku nggak tinggal di sana.”

“Kenapa?”

Gadis itu diam, tidak tau apa yang harus ia katakan. Memang benar Pelangi tidak tinggal di sana sejak beberapa tahun lalu dan harusnya ia biasa saja mengatakan hal itu kepada Samudra, tapi rasanya ini aneh. Pria itu terlalu banyak tau tentang Pelangi hari ini, tapi si gadis tidak tau siapa dia, dari mana dia, untuk apa dia di Stasiun Jakarta Kota dan mau apa dia ke Jakarta?

Terlalu banyak pertanyaan di otaknya, tapi Samudera sama sekali tidak memberi Pelangi kesempatan untuk bertanya kepadanya. Dia membuat gadis itu penasaran. Dan biasanyapun Pelangi akan masa bodo dengan kehidupan siapapun, kecuali Samudra.

“Kalau terlalu sensitif jangan dijawab.” Ucap Samudera sambil berjalan mengikuti gadis yang baru ia kenal beberapa jam lalu ke arah halte.

“Kamu nggak akan pulang, Samudera?” Pelangi melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.

Si Adam terkekeh, “ini juga mau pulang.”

Samudra nama panggilan-nya, yang diketahui lahir di bulan dua, bertepatan dengan hari mencintai. Tidak heran kenapa wajahnya sangat manis ketika tersenyum, karena mungkin sebelum melahirkan Ibunya sedang makan cokelat yang dibelikan oleh sang Ayah.

“Kenapa?” Samudera mengarahkan punggung tangan-nya ke arah kening Pelangi, lalu beralih menyentuh pipi si gadis. “Kamu sakit?”

Pelangi menggeleng walau ia merasa pening sejak masuk ke dalam metro mini. “Enggak, ini cuma pusing biasa kok.”

“Perlu saya antar sampai rumah?” Tanya pria itu. Ia membuka jaketnya lalu memakaikan pada si gadis.

Lagi lagi Pelangi menggeleng, “Enggak perlu, Samudera. Ini udah hampir gelap, nanti kamu kemaleman pulangnya.”

Ia diam, tidak menolak dan juga tidak menerima. Sedangkan Pelangi juga diam, menyandarkan kepala pada kaca metro mini dan perlahan memejamkan mata— berharap peningnya sedikit hilang. Tidak boleh sampai sakit, karena besok gadis itu harus mulai bekerja di tempat baru.

Tiba-tiba tangan dingin milik Samudera menyentuh kepala Pelangi untuk diletakkan pada bahunya. Pelangi menatap Samudera sebentar— hendak menolak karena tidak enak kalau terlalu merepotkan.

“Untuk hari ini biarin kamu jadi tanggung jawab saya, Pelangi.” Tangan kanannya ia selipkan di antara tubuh si gadis juga kursi metro mini. Setengah memeluk sambil mengusap kepalanya lembut.

Jangan tanya kenapa seberani itu untuk ukuran orang asing yang baru ia kenal hari ini, sebab Pelangi juga tidak tau jawabannya. Tapi bodohnya gadis itu percaya saja kalau Samudera memang orang baik dan tidak ada niat yang macam-macam. Ia meyakinkan diri untuk tidak boleh mudah percaya, pada siapapun— entah Samudera atau orang lain.

“Kamu tinggal di kostan milik Pak Sonny?” tanyanya saat si gadis membuka pintu kostan.

Tadi di jalan Pelangi menyetujui untuk Samudera yang akan mampir sebentar ke kost. Ia bilang tidak apa kalau harus pulang malam, hitung-hitung olahraga. Samudera juga membeli dua bungkus nasi goreng yang katanya akan dimakan di kost bersama si gadis.

“Iya, sudah hampir enam bulan aku tinggal di sini.” jawabnya lalu mempersilahkan Samudera memasuki halaman kost yang sengaja dibuat luas oleh pemilik karena sekaligus untuk parkiran.

“Pelangi sudah pulang?” Ibu Melati— istri sang pemilik kost datang menghampiri. Kemudian ia mengerinyit, “Loh? Sam?”

Samudera menyalimi tangan Ibu Melati, lalu wanita itu mengelus puncak kepala Samudera dua kali seperti sudah akrab.

“Pelangi, ini Samudera. Keponakan Ibu yang berkuliah di Bandung.” kata Ibu Melati menepuk pelan namun berkali-kali punggung Samudra.

Dunia sangat sempit. Sempit sekali. Sampai gadis itu bisa kenal dengan seseorang yang ternyata adalah keponakan dari pemilik kost. Sebelumnya Pelangi tidak pernah percaya pada takdir, tapi hari ini ia percaya ini adalah takdir bukan sebuah kebetulan yang menyamar.

“Kok kalian bisa ketemu?” Ibu Melati menjeda kalimatnya, “kalian.. pacaran?”

Samudera hanya diam dan tersenyum sedangkan Pelangi mati-matian harus meyakinkan Ibu Melati bahwa mereka baru aja bertemu hari ini di Stasiun Kota tapi justru wanita yang sudah seperti Ibunya sendiri itu tertawa tanpa henti— entah karena apa.

“Ibu..” katanya sambil memegang tangan Ibu Melati, kembali meyakinkan-nya. “Pelangi emang nggak ada apa-apa sama Samudera, beneran baru ketemu tadi di Stasiun.”

Lagi, Ibu Melati tertawa— kali ini diikuti oleh Samudera. “Lagian emang kenapa? Kalau pacaran juga tidak apa-apa.”

“Ibu, astaga. Berapa kali Pelangi harus——”

Drrrt Drrrt.

Ponsel Pelangi bergetar berkali-kali, menandakan ada panggilan masuk.

Pak Naka.

“Aku izin angkat telepon dulu. Sam, kamu langsung ke kamarku aja kalau mau makan— sendoknya ambil saja sendiri.”

Gadis itu menghela napas sesaat setelah menjauh dari Ibu Melati juga Samudera. Bersiap mengangkat panggilan dari Bos barunya.

“Halo, Pak Naka.” “Sekala Bening Pelangi?”

Ia mengangguk, “iya saya. Ada apa ya Pak?”

“Saya cuma mau mengingatkan besok pukul delapan harus sudah sampai di kantor. Langsung ke ruangan saya, soalnya pemilik perusahaan mau bertemu langsung sama kamu.” katanya.

“Iya, Pak. Besok saya langsung menemui Bapak.”

“Perlu saya jemput besok?” katanya sambil tertawa kecil. Pak Naka ini masih muda setau Pelangi, tapi dia sudah dipilih sebagai kepala pusat oleh pemilik perusahaan, tidak tau apa alasan-nya. Kalau diterka-terka pun umurnya tidak terlalu jauh dengan umur gadis itu.

“Eng.. nggak perlu, Pak. Besok...” si gadis terkejut saat seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba. Itu Samudera.

“Halo Pelangi? Besok kamu apa?”

Samudera terkekeh melihatnya, “besok saya bisa berangkat sendiri, Pak.”

Lagi, Samudera memegang tangan Pelangi dan ia menunjuk dirinya sendiri. Mulutnya bergerak tanpa suara, menganggu orang lagi telepon saja. Seperti anak kecil, gadis itu tidak yakin—tapi sepertinya Samudera mengucapkan— besok saya yang antar.

“Yasudah, Pelangi. Sampai ketemu besok.”

Setelah sambungan terputus Pelangi menepuk perut Samudera pakai ponsel. “Lain kali jangan ganggu orang kalau lagi telepon, nggak sopan.”

“Abisnya kamu lama banget, saya udah lapar.”

Ia terkekeh melihat ekspresi kekanakan yang dibuat oleh Pria itu. “Yaudah, yaudah. Ayo makan— eh, Ibu Melati mana?”

“Udah pulang barusan. Tante cuma mau cek keadaan kamar nomor dua, kerannya bocor.”

Si gadis mengangguk mengerti, “oh..”

Pria itu berjalan duluan ke arah kamar kost Pelangi yang mungkin sudah diberi tau oleh Ibu Melati. Mereka sama-sama berhenti di kamar nomor lima, lantai satu karena Pelangi takut ketinggian— juga kedalaman.

Drrt.

Bergetar hanya sekali, itu tandanya bukan panggilan. Mungkin saja pesan, atau mungkin juga notifikasi dari beberapa aplikasi.

Matanya membulat, langkahnya juga terhenti membuat Samudera mengerinyit kebingungan. “Pelangi?”

Si gadis masih menatap layar ponselnya, satu pesan singkat dari seseorang yang sudah lama sekali ingin ia temui. Mahesa Bumi.

Matanya memperhatikan selembar kertas di tangan— kertas yang selama ini ia perjuangkan mati-matian di depan Papanya. Tanpa disadari, kedua sudut bibir gadis itu terangkat hampir sempurna.

Beberapa tahun lalu, tepatnya Desember. Kedua orangtuanya menyerah dan berakhir pisah. Ekonomilah yang menjadi alasan utamanya. Miris. Tapi itu benar-benar terjadi.

Semua berkas dibawa oleh sang Papa ke rumah orangtuanya di Surabaya. Seminggu lalu ia sampai di sana— Surabaya, hanya untuk mengambil akta kelahiran yang akan ia gunakan sebagai identitas yang tentu saja selain Kartu Tanda Penduduk.

Aws, Shit!” Kata kasar itu lolos begitu saja saat seorang pria dengan ransel hitam besarnya menabrak tubuh si gadis cukup keras. “Gila kali itu orang, ya?”

Masih dengan posisi duduk di atas lantai. Ia membenahi dirinya sendiri juga kertas di depan yang sepertinya bukan hanya miliknya. Dan ternyata bukan hanya ia yang jatuh, tapi pria yang menabrak juga.

“Maaf, mbak. Saya buru-buru, mau ke minimarket, lagi kepedesan soalnya.” katanya yang lalu berdiri.

Si gadis berdecak tidak peduli dan memilih kembali membenahi dirinya sendiri. Jatuh di keramaian itu bukan tentang rasa sakitnya, tapi rasa malunya. Mata si gadis menyapu sekitar, ramai. Dan setelahnya ia menghela napas malas. “Lain kali hati-hati. Kalau bukan saya yang ditabrak pasti udah marah-marah, Mas.”

Ia mengangguk, “iya, Mbak. Saya duluan, ya.” Selanjutnya melenggang pergi, masuk ke dalam minimarket di samping pintu keluar.

Sudah setengah jam gadis itu di sini, menunggu ketidakpastian yang tidak kunjung datang. Adiknya, daritadi tidak juga menunjukkan batang hidung. Terakhir ia meminta untuk bertemu di peron sembilan. Ia kembali membuka ponsel, membaca kembali pesan dari adiknya yang dikirim duapuluh menit yang lalu. Helaan napas terdengar setelahnya.

“Sekala Pelangi Bening?”

Gadis itu menoleh cepat saat seorang pria di depan minimarket meneriaki namanya. Kepalanya menoleh ke sana kemari seperti sedang mencari seseorang. Tidak tau apa yang membuatnya langsung melihat kertas di tangan, kemudian ia membola saat membaca tulisan,

Investasi Saham Milik Samudera Adinata.

“LAH KETUKER?!” Ia histeris sendiri. Untuk kedua kalinya ia menjadi pusat perhatian hari ini karena satu orang yang sama. Si pria aneh dengan ransel besar yang menabraknya di tengah hari begini. Sial.

Tidak peduli dengan adiknya yang mungkin akan mencari di peron sembilan, ia berlari ke minimarket untuk menemui pria yang kemungkinan besar memiliki nama Samudera.

“Mbak Sekala?” tanyanya sembari tersenyum sampai satu lubang di pipinya tercetak dengan sempurna.

Si gadis tidak menjawab, ia hanya mengangguk sambil menyodorkan selembar kertas putih di tangan. “Ketuker, nih. Aku nggak pernah investasi atau apalah itu.”

Dia terkekeh, “iya. Ini juga bukan akta kelahiran saya. Nama saya bukan Sekala tapi Samudera— barang kali mau berkenalan.”

Si pemilik nama Sekala Pelangi Bening itu mengangguk. “Pelangi aja, jangan Sekala apalagi Mbak. Agak aneh.” katanya. Ia mengambil Akta Kelahiran miliknya di tangan Samudera. “Thank's ya. Untung kamu nggak buang Akta Kelahiranku. Kalau itu terjadi kayanya aku bisa gila.”

Tidak ada yang lucu, tapi si pria tertawa— bahkan matanya hampir menyerupai sabit yang sempurna. “Apalagi saya. Kalau misalnya kamu buang surat itu, bisa nggak makan selama dua tahun.”

Getaran ponsel Pelangi menghentikan tawa Samudera. Lalu dia mengangguk saat Pelangi menatapnya seolah meminta izin untuk membalas pesan.

Nama si adik tertera di sana.

Nanti sorean aja lo ke rumah, Mbak. Gue ada kelas dadakan.

Walaupun agak malas, ia tetap membalas pesan lalu kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana setelahnya. “Yaudah. Aku duluan ya, Mas.”

Langkahnya baru tiga, tapi sudah bertenti lagi kala si pria bertanya, “Pelangi, mau makan bakso di depan Kota Tua?”