Us.
Sagita meletakkan tasnya di atas meja, lalu berjalan ke arah kulkas untuk meneguk jus jeruk kesukaan. Tangannya mengambil satu buah apel berwarna merah lalu kembali duduk di meja makan.
“Udah pulang?”
Wanita itu menoleh dan mendapati Arkana yang sedang berjalan ke arahnya dengan handuk yang menggantung di leher pria itu. “Kamu tau dari mana password apartment saya?”
“111015.” Arkana menarik salah satu kursi, lalu meneguk jus jeruk dari gelas Sagita. Alisnya terangkat sebelah, “passwordnya sama kaya ruang kerja kamu.”
Sagita mendelik, menatap Arkana tidak suka. “Eyang nggak ngomong apa-apa lagi, kan?”
“Enggak. Saya bilang kamu sakit— and you know what?”
Ia menaikkan sebelah alisnya, merasa ingin tau kelanjutan dari kalimat Arkana. “What?”
“Eyang kamu kira kalau kita habis making love.” Dia tertawa, lalu kembali meneguk jus jeruk milik Sagita. “Saya nggak iya-in sih, cuma diem aja.”
Mata Sagita memicing lalu melempar apel yang sisa separuh itu ke arah Arkana yang langsung mendarat dengan sempurna di wajah tampan itu. “Eyang itu penganut diam adalah iya. Bodoh.”
Sagita tidak tau apa yang membuat Eyangnya punya obsesi yang tinggi tentangnya yang harus buru-buru memiliki suami. Padahal, sampai kapanpun Sagita tidak lagi mau mempercayai apa itu cinta. Terakhir hanya Abimanyu yang membuatnya kembali tidak percaya dengan kata cinta.
Singkatnya, Sagita tidak mau menikah. Biar saja orang-orang mengatakan apapun tentang dirinya. Toh dia juga tidak akan peduli. Dia bahkan bisa membeli mulut orang-orang yang mengatakan hal buruk tentangnya itu.
“Terus kamu ngapain di sini?”
Arkana menaikkan sebelah alisnya, “numpang mandi.”
Wanita itu mendecih lalu memalingkan wajah. “Emang di tempat kamu nggak ada kamar mandi?”
“Ada, tapi nggak sebesar di sini.” Katanya cukup santai yang membuat Sagita berjalan ke arah lemari penyimpanan makanan instan.
Tangan kecilnya beralih mengambil panci dan berniat untuk merebus mie instant. Sedangkan Arkana yang dari tadi hanya memperhatikan pergerakan Sagita ikut bangkit dari kursinya.
“Jangan makan makanan instan terus.” Arkana mengambil alih mie instan di tangan wanita itu. Lalu beralih mengembalikan panci pada tempatnya semula. “Mau makan apa? Saya yang buatin.”
Sagita tertawa remeh, “emang bisa?”
“Jangan lupa kalau siang tadi kamu makan soup buatan saya.” Balasnya meledek— bahkan menjulurkan lidahnya. “Kamu setiap hari makan mie instan?”
Sagita mengangguk, lalu kembali berjalan ke kitchen bar untuk menyaksikan Arkana yang sedang memasang apronnya.
“Git, sini.” Tangan Arkana terangkat untuk memanggil wanita itu.
“Ngapain?”
Arkana tertawa kecil, “saya ajarin masak. Terus besok kamu ajarin saya handle perusahaan.”
“Apa?” Sagita tertawa keras. “Kebalik banget ya kita?”
Arkana menghentikan pergerakannya. Menatap Sagita tepat pada mata. “Saya dan kamu udah jadi Kita nih?”
Wanita itu menoleh, menyadari kalimatnya barusan. “Bercanda.”
“Saya anggap langkah awal ya, Git.”