Next week.
—
Sagita menghela napas sebelum akhirnya berjalan anggun ke tempat yang sudah dipesankan oleh Abimanyu. Ia meletakkan tas hitamnya di atas meja yang ditempati dengan satu orang pria.
“Bi,” panggilnya.
Abimanyu menengadah, menyunggingkan senyum tipis tapi mampu melelehkan wanita. “Mau pesen dulu?”
“Nggak, nggak usah. Kamu mau ngomong apa?” Tembaknya saat Abimanyu membuka buku menu dan memilah.
Sudah menghabiskan waktu hampir lima tahun bersama, Abimanyu tau dengan jelas kalau Sagita bukanlah gadis yang suka bertele-tele.
“Minum deh?” Tawarnya.
Sagita mengangguk pasrah. Setidaknya sebelum memulai perdebatan dengan Abimanyu ia harus menyiapkan air agar tenggorokannya tidak begitu kering.
“Mas,” Abimanyu mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat kepada pegawai cafe untuk menghampiri. “Americano satu sama Cappuccino—”
“Americano dua.” Potong Sagita dengan cepat sambil mengikat rambutnya, mempertontonkan leher jenjang di depan Abimanyu.
Pegawai itu mengulang pesanan tadi lalu izin ke belakang untuk membuat pesanan mereka. Sedangkan mata Abimayu tidak lepas dari wajah Sagita yang memang terlihat baik-baik aja tanpanya.
“How are you, Git?”
Sagita tertawa sumbang, “pertanyaannya nggak ada yang lain?”
Sadar. Abimanyu menyadari dengan jelas perubahan sikap Sagita dengan enam bulan lalu saat ia memutuskan hubungannya secara sepihak. Sagita bahkan tidak tau sampai sekarang mereka ini apa. Karena memang tidak ada pernyataan resmi kalau mereka selesai.
“Maaf.” Kata Abimanyu.
Sagita menaikkan sebelah alisnya. “Hum? Saya dateng ke sini bukan buat denger kata maaf.”
“Git, waktu itu aku takut banget disuruh tanggung jawab karena kita enggak pakai pengaman, kan?” Abimanyu menatap wanita itu tepat di matanya.
Sagita tertawa lagi. “See? Aku nggak hamil, kan?”
“Tapi waktu itu aku takut. Takut banget.” Katanya.
Sagita melempar tisu yang baru saja ia ambil ke arah Abimanyu. “Jerk!“
“I really am.” Katanya dengan nada sesal.
Sagita mendecih. “Kamu tau kalau kamu pengecut, Abimanyu?”
“I am!” Abimanyu meninggikan suaranya yang membuat beberapa pasang mata mengarah ke mereka. “Aku pengecut. Aku bodoh. Aku bego. Maafin aku..”
“Berani berbuat harusnya kamu berani tanggung jawab. Saya nggak yakin kalau kamu cinta sama saya dulu.” Sagita menaikkan sebelah bibirnya, jemarinya terangkat untuk menunjuk pria itu tepat di depan wajahnya. “Kamu. Brengsek.”
“Git, i'm so sorry..” Pintanya sambil memegang tangan Sagita. “Aku sayang sama kamu. Banget.”
Sagita diam. Jauh di lubuk hatinya memang masih sangat menyayangi pria ini— Abimanyu. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mereka hadapi sama-sama. Abimanyu yang selalu ada ketika Ayahnya selalu bertindak kasar.
Sagita mengalihkan pandangannya. “Saya udah enggak sayang sama kamu. Sama sekali enggak.”
“Lie.” Abimanyu menaikkan sebelah sudut bibirnya ketika ia membaca dengan jelas kalau kebohongan tergambar di sana.
Sagita menarik tangannya dari genggaman Abimanyu. “I'm not.“
“Give me a change.“
Sagita menghela napasnya ketika melihat wajah memohon milik Abimanyu. “Nggak.”
“Sagita..”
“No, Abi.“
Masih bertahan pada pendiriannya, Abimanyu kembali menarik tangan wanita itu. Dikecup lalu di simpan dalam saku jasnya. “Git, please?”
“Saya kasih jawabannya minggu depan.”