Her past.
—
“Aws.. Pelan-pelan.” Rintihan itu keluar dari bibir si gadis ketika Samudera menempelkan kapas yang sudah dilumuri alkohol.
Atmanya menatap gadis di hadapan lalu terkekeh kecil setelahnya. Kembali memokuskan diri pada luka di sudut bibir si gadis, tanpa menghiraukan ocehan yang tidak terlalu jelas.
“Sam!” Pelangi menghempaskan tangan besar itu, menjauhkan dari sudut bibirnya. Ia memicingkan mata, seolah minta penjelasan dari Samudera kenapa pria itu dengan sengaja menekan lukanya.
“Apa?” Samudera mengerinyit seolah-olah kebingungan. “Sakit?”
“Iya!” Balasnya sengit.
Samudera menarik sebelah sudut bibinya yang sumpah demi apapun membuat Pelangi seribu kali lebih kesal melihatnya. “Kalau udah tau sakit, besok-besok ya dilawan.”
“Nggak bisa, Sam.” Katanya. Bahu gadis itu merosot, lalu daksanya bersandra ke tembok.
Ada banyak hal yang sebenarnya ingin sekali diceritakan oleh Pelangi. Tapi ya, gimana?
Samudera itu masih orang asing yang tiba-tiba memaksa untul masuk ke dunianya.
“Kenapa nggak bisa?” Tangannya kembali menempelkan kapas di bagian kening Pelangi— sambil ditiup pelan agar mengering.
Si gadis menghela napas, “resto yang Mama handle itu nggak sepenuhnya punya Mama.”
“Jadi ada sebagian hak Chandi di sana?” tanyanya.
Ia mengangguk, “iya. Kalau resto ditutup karena hubungan mereka retak nanti Mama nggak ada pemasukan untuk biayain adik-adikku.”
“Papamu?”
Pelangi mendecih. “Papa mana pernah ngasih uang? Nikah sama Mama juga kayanya cuma buat kesenangan sesaat.”
Sebenarnya Samudera tidak mengerti apa makna dari kesenangan sesaat yang dimaksud oleh Pelangi. Tapi ia mengangguk saja seolah ia paham.
“Dari dulu, dari aku kecil. Emang yang biayain aku sekolah siapa? Mama. Mama banting tulang, kepala jadi kaki begitupun sebaliknya.” Ia menghela napas, mnatap lurus ke depan seolah sedang menerawang kejadian di masa lalunya.
“Dulu Papamu kerja, kan? Uangnya ke mana?” Okay. Samudera bertanya terlalu jauh dan ia menyadarinya setelah kalimat itu dengan tanpa sengaja keluar begitu saja dari mulut. “Ah, sorry, so—“
“Isterinya yang sekarang.”
Samudera mengerinyit, “jadi Papamu.. selingkuh?”
“Iya.” Pelangi tertawa kecil. Menertawakan dirinya sendiri yang memiliki nasib semalang itu. “Tujuh wanita.”
Matanya membulat, menatap Pelangi tidak percaya.
“Papa itu pembisnis sukses, Sam.” Pelangi mengangkat tangannya, menunjuk salah satu gedung pencakar langit di hadapan. “Hotel itu bintang lima, kan?”
Samudera mengangguk.
“Punya Papa.” Pelangi lagi-lagi mengembuskan napasnya. “Papa itu seolah melampiaskan nafsunya ke Mama— tapi Papa benci punya anak.”
Samudera diam, tidak begitu mengira kalau masa lalu dari gadis di hadapannya ternyata semenyakitkan itu. Jelas saja kenapa Pelangi menjadi gadis yang lebih tertutup dari pada yang lain. Itu karena dia memiliki trauma ketika berhadapan dengan orang. Entah yang sudah ia kenal pun yang belum.
Pelangi menatap Samudera, “kamu tau, Sam? Pas Mama hamil aku dan Papa tau. Papa langsung kasih uang Mama lima juta untuk gugurin aku.”
Samudera diam, tapi mendengarkan. Ia tidak mau memotong, membiarkan Pelangi mengeluarkan apapun yang mengganjal di hatinya. Entah apa alasannya, tapi Samudera tidak ingin Pelangi merasa kesepian.
“Kata orang-orang cinta pertamanya anak perempuan itu Ayahnya, kan? Tapi aku enggak.” Pelangi membenarkan posisinya menjadi di samping Samudera. Melihat pemandangan kota dari lantai dua ternyata memang membuat tenang.
“Aku bahkan takut sama kata cinta, Sam.” Pelangi menunduk, memerhatikan sendal biru yang ia pakai. Sebisa mungkin gadis itu tersenyum walau tipis.
Lagi pula untuk menangispun ia sudah tidak bisa.
“Jangan takut, kamu punya saya.” katanya. Tangan Samudera terangkat untuk merangkul gadis di sampingnya. “Ada banyak cara untuk jatuh cinta tanpa mengingat Papa kamu.”
Ia menggeleng, “aku.. takut, Sam. Cinta itu omong kosong.”
“Pasti bisa, Pelangi.”
Lagi-lagi ia mengulum senyum tipisnya. “Cinta itu tentang kepergian, Samudera. Papa pergi dari Mama, dan orang yang pernah bikin aku jatuh cintapun pergi tanpa izin. Aku udah tau ujung-ujungnya kaya gimana.”
“Siapa?”
Pelangi mengerinyit, “apa?”
“Orang yang bikin kamu jatuh cinta.”
Kedua sudut bibirnya terangkat lagi. “Mahesa Bumi.”