Kissing you.
Sagita mengabaikan tatapan intimidasi Papanya yang sedang berdiri tegak di depan pintu apartment. Dalam hati wanita itu terus-terusan berharap agar Arkana dengan cepat membuka pintunya.
“Git—”
Kalimat Arkana terpotong ketika Sagita dengan tiba-tiba menempelkan bibirnya dengan milik Arkana. Matanya seketika membulat, tapi saat ia mendapati Papanya Sagita yang sedang berdiri tidak jauh dari sana— ia mulai mengikuti permainan yang dimulai oleh Sagita. Tangannya memegang pinggul gadis itu, membuka mulut guna memperdalam ciumannya.
Sagita membuka mata ketika tangan kanan Arkana mulai menahan tengkuknya, ia mendapati Arkana yang juga sedang menutup mata di sela-sela kegiatan mereka.
“Kana,” Sagita mendorong tubuh pria yang berbalut kaus putih itu. Tujuh menit ia melakukan ciuman dengan Arkana bermodalkan nekat karena melakukan hal itu di lorong apartment. “Papa saya udah pergi sejak tiga menit yang lalu.”
“Kok enggak ngomong?” Arkana mengusap bibir bagian bawah Sagita untuk menghilangkan bekas salivanya. “My first kiss.”
Sagita tertawa sumbang sambil membenarkan tali dress merahnya. “Such a bad kisser.“
“I am.” Arkana menahan pergelangan tangan Sagita ketika wanita itu ingin pergi dari hadapannya. “Wanna teach me?”
“Apa?”
“Kissing.” Balasnya sambil menaik turunkan alis.
Sagita terkekeh, mengeluarkan ponselnya dari tas hitamnya. Kemudian jemarinya menari di atas layar ponsel seolah tidak menghiraukan pria yang masih kebingungan di hadapannya. “Udah saya transfer.”
“Apa?” Arkana mengerutkan alis, meminta jawaban atas kalimat barusan.
“Maaf soal cium kamu tiba-tiba. Saya cuma mau ngalihin atensi Papa saya biar enggak terus-terusan cari surat penting Perusahaan.” Sagita menjatuhkan kepalanya di tembok, lalu memejamkan mata.
Hari ini benar-benar hari yang membuat wanita itu sungguh ingin menenggelamkan diri di palung terdalam. Mulai dari Abimanyu yang mengajaknya untuk kembali menyusun hubungan. Lalu disusul oleh Sania— adik kandung Abimanyu, yang mengatakan kalau pria itu ingin menikah besok lusa. Dan berakhir ke Papanya yang selalu mengganggu ketenangan.
“Jadi kamu bayar saya untuk ciuman itu?” Tanya Arkana. Tangannya ia arahkan ke dahi Sagita agar wanita itu tidak terlalu merasakan sakit saat menghantam kepalanya sendiri dengan tembok.
Sagita mengangguk, mengiyakan pertanyaan Arkana.
“Tigapuluh juta saya transfer balik. Sebagai gantinya, kamu jangan ke club.” Lanjutnya sambil membawa Sagita masuk ke dalam unitnya. Lalu mengantar wanita itu untuk duduk di ruang tamunya yang bersih nan wangi.
Arkana benci ruangan kotor pun bau.
“Katanya punya minuman? Mana sini, buka.” Sagita membuka heelsnya perlahan, lalu menaikkan kakinya ke atas sofa putih milik Arkana.
Pria itu datang dari arah dapur dengan satu botol alkohol dan dua sloki. Lalu diletakkan di atas meja yang membuat Sagita menatapnya kagum.
“Saya boleh ngerokok di sini?” Tanyanya. Ia mengikat rambutnya asal membuat Arkana buru-buru mengalihkan pandang dari leher jenjang itu.
Arkana menggeleng, “saya nggak suka bau asap.”
“Kamu nggak ngerokok?”
Lagi, ia menggeleng. “Enggak.”
Sagita tertawa kecil, menuangkan minuman beralkohol ke sloki yang disiapkan Arkana. Lalu meneguknya habis dalam sekali tarikan napas.
“Gimana sama Abimanyu tadi?”
Pertanyaan Arkana sukses membuat bola mata Sagita memicing. Seolah mengatakan, “bisa jangan bahas Abimanyu dulu, nggak?“
Pria itu tertawa sambil menuang minuman ke sloki milik Sagita. “Alright, alright. Saya ngerti.”
Sagita menyandarkan tubuhnya, lalu menatap langit-langit ruang tamu apartment Arkana sebentar. Minum dua sloki tidak membuatnya mabuk sama sekali. Biasanya perlu lima sampai tujuh botol untuk membuatnya tidak berdaya.
“Soal tadi saya serius.” Arkana menatap gadis itu tepat di matanya.
Sagita membenarkan posisi duduknya, lalu menurunkan gaun merahnya yang sedikit tersingkap karena ia banyak bergerak. “Apa?”
“You are my first kiss.” Balasnya sambil meneguk sedikit minuman di slokinya.
Sagita mengangguk-angguk saja. Pantas, Arkana tidak begitu lihai menguasainya tadi. Malah pria itu terkesan kaku— ah, bahkan sangat kaku.
“Begini rasanya ciuman, ya?” Tanyanya yang membuat Sagita tertawa.
Gadis itu berjalan untuk menggeser pintu kaca lalu duduk di kursi putih yang berada di balkon. Selanjutnya ia mengeluarkan rokok dari dalam tasnya. Menyalakan pematik lalu menghisap batang rokok itu.
“Kenapa suka banget sama rokok, sih?” Arkana datang mengikuti Sagita, lalu memilih untuk duduk di samping wanita itu.
Sagita mengangkat sebelah sudut bibirnya. Menyemburkan asap rokok ke udara lalu membuang abunya ke sembarang arah. “Emang apalagi yang harus saya sukai selain rokok? Bertumpuk-tumpuk berkas di kantor? Saya bahkan udah jatuh cinta sama hal itu.”
Matanya menatap Arkana yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada. “Arkana, don't need to be worry. Cuma karena alkohol dan rokok, besok saya bisa kembali kerja.”
“Saya bukan khawatir soal kerjaan, Gita.” Arkana menarik batang rokok dari jemari Sagita, lalu membuangnya ke udara setelah ia matikan apinya. Mata pria itu menatap dalam manik milik Sagita.
Arkana memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya, menghimpit Sagita di antara pintu kaca yang ada di balkon. “Saya khawatirin kamu.”