TetehnyaaJisung

“Jingga ....” Ibu menekan knop pintu kamar Jingga lalu mendapati sang putri yang sedang duduk di dpan meja rias sedang membenahi kerudungnya. “Jingga yakin sama Mas Banyu?”

Jingga menatap netra Ibunya dalam, lalu beralih untuk memeluk daksa wanita paruh baya itu. “Ibu .... Jingga harus melepas Mas Biru kaya apa yang udah dilakuin Mas Biru, kan?”

Melihat sorot pilu dari sang putri membuat Ibu semakin tidak tega dengan keputusan yang dibuat oleh Ayah. Ibu menyesali kenapa dua minggu lalu membiarkan Jingga menerima pertemuan hari ini, padahal itu sangat menyakitkan.

“Lihat profil Banyu dulu, ya? Kalau Jingga merasa cocok, kita lanjutkan.” Ibu menyodorkan satu kertas yang ditulis tangan dengan rapi, beberapa kebiasaan dan data diri dari seorang pria yang memiliki niat untuk mendekatkan diri pada putrinya.

Jingga mengambil kertas putih itu, membaca setiap kalimat dengan hati yang tersayat. “Bu, kenapa di saat kaya gini Jingga masih mengharapkan Allah untuk mendatangkan Mas Biru?”

“Allah nggak merestui Jingga sama Mas Biru ya, Bu?” Dia mengambil gelas yang terletak di samping tangannya, lalu meneguk untuk sekedar melepaskan dahaga.

“Bukan nggak—”

“Ibu, Kakak diminta keluar sama Ayah.” Renan tiba-tiba membuka knop pintu dengan wajah cemasnya yang membuat Jingga pun Ibu langsung bangun dari posisinya.

Ibu berjalan mendekat, “buat apa, Ren? Bukannya Kakak nggak boleh ketemu Mas Banyu?”

“Bukan Mas Banyu, Bu. Di depan ada yang mau ketemu sama Kakak juga Ibu.” Balasnya.

Jingga meletakkan kertas data diri Banyu di meja riasnya, berjalan mendekati Renan yang mulai menenangkan diri. “Pelan-pelan, Ren. Tenang .... ini ada apa sebenernya?”

“Yang di depan bukan keluarga Mas Banyu, tapi Mas Biru.”

Kalimat barusan membuat Jingga mundur beberapa langkah, memastikan bahwa kakinya masih bisa untuk sekedar menopang diri sendiri. Allah mengabulkan harapannya dengan cara yang bahkan tidak pernah bisa ditebak.

“Dan .... nggak ada yang akan menjalankan ta'aruf kata Ayah, Bu. Sebab Mas Biru dan keluarga datang untuk langsung melamar Kak Jingga.”

Ibu menoleh ke arah Jingga yang sudah menangis dalam diamnya. Air mata bahagia dan perasaan yang bercampur aduk membuat Jingga harus berpegangan pada meja rias.

“Jingga, ayo! Keluarga Biru sudah menunggu jawabannya.” Ayah datang dengan senyum lebarnya, merentangkan tangan untuk daksa putri pertamanya.

Keempat pasang kaki itu berjalan ke ruang tamu yang langsung disambut senyum bahagia oleh keluarga lain yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari mereka. Jingga segera menundukkan pandangannya kala ia mendapati Biru yang sedang tersenyum dibalutan jas abunya.

“Jadi bagaimana? Bisa dimulai obrolan seriusnya?”

“Sebentar, Yah.” Biru mengeluarkan suaranya membuat beberapa orang di sana menghentikan kalimat. “Jingga, saya mencintai kamu karena Allah. Kamu mau menikah sama saya? Menyusun masa depan yang lebih indah dan memperbaiki segalanya di masa lalu?”

Dia menatap Ayah dan Ibunya secara bergantian untuk mendapati persetujuan. Terakhir, pandangannya jatuh pada Biru. “Bismillahirrahmanirrahim, Jingga terima Mas Biru untuk menjadi Imam Jingga, untuk memimpin kehidupan Jingga ke depannya.”

“Jingga ....” Ibu menekan knop pintu kamar Jingga lalu mendapati sang putri yang sedang duduk di dpan meja rias sedang membenahi kerudungnya. “Jingga yakin sama Mas Banyu?”

Jingga menatap netra Ibunya dalam, lalu beralih untuk memeluk daksa wanita paruh baya itu. “Ibu .... Jingga harus melepas Mas Biru kaya apa yang udah dilakuin Mas Biru, kan?”

Melihat sorot pilu dari sang putri membuat Ibu semakin tidak tega dengan keputusan yang dibuat oleh Ayah. Ibu menyesali kenapa dua minggu lalu membiarkan Jingga menerima pertemuan hari ini, padahal itu sangat menyakitkan.

“Lihat profil Banyu dulu, ya? Kalau Jingga merasa cocok, kita lanjutkan.” Ibu menyodorkan satu kertas yang ditulis tangan dengan rapi, beberapa kebiasaan dan data diri dari seorang pria yang memiliki niat untuk mendekatkan diri pada putrinya.

Jingga mengambil kertas putih itu, membaca setiap kalimat dengan hati yang tersayat. “Bu, kenapa di saat kaya gini Jingga masih mengharapkan Allah untuk mendatangkan Mas Biru?”

“Allah nggak merestui Jingga sama Mas Biru ya, Bu?” Dia mengambil gelas yang terletak di samping tangannya, lalu meneguk untuk sekedar melepaskan dahaga.

“Bukan nggak—”

“Ibu, Kakak diminta keluar sama Ayah.” Renan tiba-tiba membuka knop pintu dengan wajah cemasnya yang membuat Jingga pun Ibu langsung bangun dari posisinya.

Ibu berjalan mendekat, “buat apa, Ren? Bukannya Kakak nggak boleh ketemu Mas Banyu?”

“Bukan Mas Banyu, Bu. Di depan ada yang mau ketemu sama Kakak juga Ibu.” Balasnya.

Jingga meletakkan kertas data diri Banyu di meja riasnya, berjalan mendekati Renan yang mulai menenangkan diri. “Pelan-pelan, Ren. Tenang .... ini ada apa sebenernya?”

“Yang di depan bukan keluarga Mas Banyu, tapi Mas Biru.”

Kalimat barusan membuat Jingga mundur beberapa langkah, memastikan bahwa kakinya masih bisa untuk sekedar menopang diri sendiri. Allah mengabulkan harapannya dengan cara yang bahkan tidak pernah bisa ditebak.

“Dan .... nggak ada yang akan menjalankan ta'aruf kata Ayah, Bu. Sebab Mas Biru dan keluarga datang untuk langsung melamar Kak Jingga.”

Ibu menoleh ke arah Jingga yang sudah menangis dalam diamnya. Air mata bahagia dan perasaan yang bercampur aduk membuat Jingga harus berpegangan pada meja rias.

“Jingga, ayo! Keluarga Biru sudah menunggu jawabannya.” Ayah datang dengan senyum lebarnya, merentangkan tangan untuk daksa putri pertamanya.

Limabelas menit menunggu, akhirnya pria bersurai pekat itu sampai juga di hadapan Jingga— bersama dengan gadis lain yang memiliku status sebagai adiknya. Biru, pria itu langsung menyunggingkan senyum manis saat tenggelam dalam tatapan hangat milik Jingga.

“Mas,” Putri menyenggol lengan kanan Kakaknya agar tersadar dan terselamatkan dari panasnya api neraka. “Tatap-tatapannya nanti, kalau udah sah.”

Biru segera membuang pandangannya ke sembarang arah, asal tidak lagi ke netra yang empat tahun belakangan selalu ia rindukan. “Astaghfirullah.”

Di tempatnya, Jingga terkekeh sambil kembali menundukkan kepalanya. Rasa malu masih menghantuinya karena sudah berburuk sangka pada gadis bernama Putri itu.

“Assalamualaikum, Jingga.”

Jingga tersenyum, “waalaikumsalam, Mbak Putri.”

“Jangan panggil Mbak, aku lebih muda satu tahun ketimbang kamu.” balas Putri sambil tertawa kecil karena menyadari posisi kalau mereka masih di dalam toko buku.

Gadis berhijab cokelat itu mengangguk seraya tersenyum, mengalihkan atensi pada pria bersurai hitam di belakang Putri yang sedang tersenyum manis. Senyum yang empat tahun lalu Jingga lihat setelah sholat bersama di masjid yang kebetulan Biru menjadi Imam waktu itu.

“Assalamualaikum, Jingga.”

Lalu dibalas senyum tipis malu-malu oleh gadis itu. “Waalaikumsalam, Mas Biru.”

Setelahnya, ketiga anak Adam itu memilih kembali ke angkringan untuk sekedar bercerita hal apa saja yang mereka lewati di sini. Biru, pria itu hanya bagian mendengarkan saja di antara Putri dan Jingga yang sesekali menggunakan bahasa Jawa halus untuk berbicara. Maklum, keduanya sama-sama tinggal lama di Jogjakarta.

“Oh kamu bakalan koas di rumah sakit itu? Bagus sih, Mbak .... soalnya kata temenku Dokternya ramah gitu.” Putri menyeruput wedangnya, tidak sedikitpun mengalihkan netra dari Jingga yang sedang bercerita.

“Ga,”

Panggilan dari Biru membuat Jingga maupun Putri menghentikan kalimatnya, lalu beralih pada pria itu.

“Kenapa, Mas?”

Sudut bibirnya terangkat satu, “kalau saya tiba-tiba datang melamar kamu, gimana?”

Waktu terasa terhenti bagi Jingga, pertanyaan yang bahkan sampai detik ini belum ada jawabannya itupun akhirnya keluar juga. Jingga juga tidak tau apa yang harus ia lakukan, jawaban seperti apa yang harus ia berikan.

Sebenarnya mudah saja bagi Jingga untuk memberikan jawaban pada Biru di detik ini juga. Tapi Jingga masih belum mau terikat pada siapa-siapa untuk saat ini. Jingga masih ingin melanjutkan pendidikannya dua tahun lagi.

“Jingga?”

Sadar akan lamunanya, Jingga akhirnya terkekeh lalu meneguk minumannya yang membuat Biru tersenyum kecil. Kembali memikirkan segala kemungkinan dan resiko yang harus ia ambil ke depannya. Tapi jujur, Birupun tidak mau kalau Jingga jatuh ke tangan orang lain.

Enam tahun memendam perasaan pada gadis itu membuatnya tersiksa.

“Mas datang aja ke rumah kalau mau tau jawabannya.” Senyum tipisnya membuat Biru langsung mengangguk mantap.

“Kamu kapan mau pulang ke Jakarta? Biar saya langsung ngomong ke Bunda akan hal ini.” Katanya yang membuat Putri— sang adik, tersenyum manis juga.

Menurut Putri, kakaknya yang ini memang tidak suka bertele-tele apalagi tentang mengungkapkan segalanya yang ia rasa. Putri ingat, dulu waktu kecil Biru pernah mengungkapkan rasa tidak nyamannya dengan seseorang dengan bahasa halus.

“Jingga .... belum tau, Mas. Mungkin dua atau tiga bulan ke depan.” Balasnya.

Putri yang sedari tadi diam mengambil alih, “nggak bisa deket-deket ini, Mbak? Kalau Mas Biru udah lamar kamu, kan, tinggal dihalalin terus kalian sama-sama tinggal di Kairo.”

Seharusnya Jingga merasa lebih senang akan hal itu, tapi entah kenapa malah ada perasaan yang sedikit mengganjal karena kalimat Putri barusan. Jingga masih mau mewujudkan mimpinya jadi seorang Dokter. Jingga juga masih mau memberi kebahagiaan pada keluarganya.

“Nggak apa-apa kalau belum siap, Ga. Saya nggak akan maksa apalagi minta kamu buat cepet-cepet kasih jawaban.” Biru mengulas sebuah senyum tulusnya, lalu menyodorkan sesuatu yang ia ambil dari dalam tasnya.

Jingga mengerinyit di tempatnya. Tape recorder?

“Buat apa, Mas?”

Dia kembali mengulas senyum, “ada beberapa surat yang saya bacakan, didengerin, ya? Perhatikan tajwidnya juga. Saya nggak bisa bimbing kamu secara langsung untuk saat ini karena kamupun belum siap untuk saya bawa ke Kairo.”

Hatinya menghangat mendengar kalimat itu. Jingga bingung, ia dihadapkan dengan dua pilihan yang benar-benar berat. “Dua tahun lagi ya, Mas?”

Biru menganggukkan kepala, “iya, Jingga. Dua tahun lagi, Insya Allah milik.”

“Insya Allah milik.” Jingga menyunggingkan senyum, menatap jumantara yang sore ini menjadi saksi di antara keduanya. Membiarkan Allah mendengarkan segala do'a yang diam-diam terpanjat di dalam hati meminta segera dikabulkan.

Mereka bisa dan yakin, dua tahun bukan waktu yang lama.

Limabelas menit menunggu, akhirnya pria bersurai pekat itu sampai juga di hadapan Jingga— bersama dengan gadis lain yang memiliku status sebagai adiknya. Biru, pria itu langsung menyunggingkan senyum manis saat tenggelam dalam tatapan hangat milik Jingga.

“Mas,” Putri menyenggol lengan kanan Kakaknya agar tersadar dan terselamatkan dari panasnya api neraka. “Tatap-tatapannya nanti, kalau udah sah.”

Biru segera membuang pandangannya ke sembarang arah, asal tidak lagi ke netra yang empat tahun belakangan selalu ia rindukan. “Astaghfirullah.”

Di tempatnya, Jingga terkekeh sambil kembali menundukkan kepalanya. Rasa malu masih menghantuinya karena sudah berburuk sangka pada gadis bernama Putri itu.

“Assalamualaikum, Jingga.”

Jingga tersenyum, “waalaikumsalam, Mbak Putri.”

“Jangan panggil Mbak, aku lebih muda satu tahun ketimbang kamu.” balas Putri sambil tertawa kecil karena menyadari posisi kalau mereka masih di dalam toko buku.

Gadis berhijab cokelat itu mengangguk seraya tersenyum, mengalihkan atensi pada pria bersurai hitam di belakang Putri yang sedang tersenyum manis. Senyum yang empat tahun lalu Jingga lihat setelah sholat bersama di masjid yang kebetulan Biru menjadi Imam waktu itu.

“Assalamualaikum, Jingga.”

Lalu dibalas senyum tipis malu-malu oleh gadis itu. “Waalaikumsalam, Mas Biru.”

Setelahnya, ketiga anak Adam itu memilih kembali ke angkringan untuk sekedar bercerita hal apa saja yang mereka lewati di sini. Biru, pria itu hanya bagian mendengarkan saja di antara Putri dan Jingga yang sesekali menggunakan bahasa Jawa halus untuk berbicara. Maklum, keduanya sama-sama tinggal lama di Jogjakarta.

“Oh kamu bakalan koas di rumah sakit itu? Bagus sih, Mbak .... soalnya kata temenku Dokternya ramah gitu.” Putri menyeruput wedangnya, tidak sedikitpun mengalihkan netra dari Jingga yang sedang bercerita.

“Ga,”

Panggilan dari Biru membuat Jingga maupun Putri menghentikan kalimatnya, lalu beralih pada pria itu.

“Kenapa, Mas?”

Sudut bibirnya terangkat satu, “kalau saya tiba-tiba datang melamar kamu, gimana?”

Waktu terasa terhenti bagi Jingga, pertanyaan yang bahkan sampai detik ini belum ada jawabannya itupun akhirnya keluar juga. Jingga juga tidak tau apa yang harus ia lakukan, jawaban seperti apa yang harus ia berikan.

Sebenarnya mudah saja bagi Jingga untuk memberikan jawaban pada Biru di detik ini juga. Tapi Jingga masih belum mau terikat pada siapa-siapa untuk saat ini. Jingga masih ingin melanjutkan pendidikannya dua tahun lagi.

“Jingga?”

Sadar akan lamunanya, Jingga akhirnya terkekeh lalu meneguk minumannya yang membuat Biru tersenyum kecil. Kembali memikirkan segala kemungkinan dan resiko yang harus ia ambil ke depannya. Tapi jujur, Birupun tidak mau kalau Jingga jatuh ke tangan orang lain.

Enam tahun memendam perasaan pada gadis itu membuatnya tersiksa.

“Mas datang aja ke rumah kalau mau tau jawabannya.” Senyum tipisnya membuat Biru langsung mengangguk mantap.

“Kamu kapan mau pulang ke Jakarta? Biar saya langsung ngomong ke Bunda akan hal ini.” Katanya yang membuat Putri— sang adik, tersenyum manis juga.

Menurut Putri, kakaknya yang ini memang tidak suka bertele-tele apalagi tentang mengungkapkan segalanya yang ia rasa. Putri ingat, dulu waktu kecil Biru pernah mengungkapkan rasa tidak nyamannya dengan seseorang dengan bahasa halus.

“Jingga .... belum tau, Mas. Mungkin dua atau tiga bulan ke depan.” Balasnya.

Putri yang sedari tadi diam mengambil alih, “nggak bisa deket-deket ini, Mbak? Kalau Mas Biru udah lamar kamu, kan, tinggal dihalalin terus kalian sama-sama tinggal di Kairo.”

Seharusnya Jingga merasa lebih senang akan hal itu, tapi entah kenapa malah ada perasaan yang sedikit mengganjal karena kalimat Putri barusan. Jingga masih mau mewujudkan mimpinya jadi seorang Dokter. Jingga juga masih mau memberi kebahagiaan pada keluarganya.

“Nggak apa-apa kalau belum siap, Ga. Saya nggak akan maksa apalagi minta kamu buat cepet-cepet kasih jawaban.” Biru mengulas sebuah senyum tulusnya, lalu menyodorkan sesuatu yang ia ambil dari dalam tasnya.

Jingga mengerinyit di tempatnya. Tape recorder?

“Buat apa, Mas?”

Dia kembali mengulas senyum, “ada beberapa surat yang saya bacakan, didengerin, ya? Perhatikan tajwidnya juga. Saya nggak bisa bimbing kamu secara langsung untuk saat ini karena kamupun belum siap untuk saya bawa ke Kairo.”

Hatinya menghangat mendengar kalimat itu. Jingga bingung, ia dihadapkan dengan dua pilihan yang benar-benar berat. “Dua tahun lagi ya, Mas?”

Biru menganggukkan kepala, “iya, Jingga. Dua tahun lagi, Insya Allah milik.”

“Insya Allah milik.” Jingga menyunggingkan senyum, menatap jumantara yang sore ini menjadi saksi di antara keduanya. Membiarkan Allah mendengarkan segala do'a yang diam-diam terpanjat di dalam hati meminta segera dikabulkan.

Mereka bisa dan yakin, dua tahun bukan waktu yang lama.

Jingga mengangkat kedua sudut bibir sambil menyambut dan mengucapkan kalimat salam kepada Afnan yang baru saja datang menghampiri. Ia sendiri tidak pernah mengira kalau Semesta akan mempertemukan mereka lagi di sini, Jogjakarta, belahan bumi yang lain dari sebelumnya.

“Apa kabar, Ga?” Afnan menaikkan sudut bibirnya, berusaha mengatur detak yang berada di jantungnya.

Satu hari lalu Afnan sudah bicara pada Bundanya kalau ia akan segera meminta persetujuan kepada keluarga Jingga untuk memulai ta'aruf— yang tentu saja tanpa sepengetahuan gadis di hadapannya.

“Alhamdulillah, baik, Afnan. Kamu gimana?”

Dia mengangguk, menatap kepala gadis yang masih menundukkan pandangannya. “Alhamdulillah, baik juga. Gimana, Ga?”

Jingga menengadah, “apanya?”

“Ada hal sulit apa dalam mempelajari ilmu agama?” tanyanya.

Gadis itu terkekeh, lalu menyeruput teh hangat yang lima menit lalu baru saja dipesan olehnya kepada salah satu pemilik angkringan. “Banyak, Nan. Yang paling susah itu mengubah kebiasaan dalam berbicara dan bersikap. Kamu tau dulu aku kaya apa, kan?”

Afnan menganggukkan kepala, memutar memori waktu ia pertama kali bertemu dengan gadis di depannya ini. Dulu Afnan salah satu anggota osis dan Jingga adalah salah satu murid yang menjadi langganan kena hukum. Dari sana, ceritanya dimulai.

“Saya bangga lihat kamu yang sekarang, Ga.” Katanya.

Jingga tersenyum, masih merasakan sedikit getaran berbeda setiap Afnan mengeluarkan kalimat untuknya— terlebih kalimat puji seperti barusan. “Belum, Nan. Aku masih proses.”

“Nggak apa-apa. Manusia emang gitu kan, Ga? Hidup untuk terus berproses.” Balasnya sambil menyeruput kopi hitam yang baru saja ditaruh sama bapak si pemilik angkringan.

Tidak terasa keduanya mengobrol sampai adzan Isya. Membicarakan masa kecil mereka, mengulang kembali memori ingatan tentang apa saja yang pernah dilakukan bersama. Tentang rasa satu sama lain yang sampai pada akhirnya hanya mampu saling mengutarakan,

bukan saling mewujudkan.

“Nanti saya tunggu di sini, ya?” Afnan tersenyum, meminta izin kepada Jingga untuk masuk ke tempat wudhu khusus pria.

Jingga tersenyum kecil, rasanya masih hampir sama. Jantungnya masih berdetak dua kali lebih cepat seperti dulu kala matanya mendapati Afnan yang sedang tersenyum manis. Hari ini Jingga kembali menyadari kalau Allah bisa memungkinkan segala hal— termasuk yang tidak mungkin.

Setelah beberapa menit menjalankan sholat isya, Jingga mengambil ponsel dari dalam tasnya— memberitau Afnan kalau ia akan mengaji dulu sebentar.

Nan, kalau mau pulang duluan, silahkan. Aku mau ngaji sebentar.

Diletakkannya kembali benda pipih itu di dalam tas, lalu beralih mengambil Al-Qur'an yang ukurannya tidak begitu besar— salah satu benda yang selalu ia bawa kemanapun selain ponsel tentu saja. Lalu perlahan Jingga mulai melantunkan kalimat Tuhannya dengan suara pelan sambil mengingat-ingat tajwid yang minggu lalu diberitau oleh Ummi Aisyah— guru mengajinya.

Tidak lama, Jingga hanya menghabiskan tigapuluh menit untuk membacanya. Lalu kembali mengambil ponsel karena bergetar dan menandakan ada pesan masuk. Bibirnya terangkat penuh, lalu kembali mengetikkan beberapa kalimat sebagai balasan untuk seseorang yang sangat ia rindukan,

Mas Biru.

Ia masih memegang ponselnya, berdiri di dekat pagar Masjid lalu mendapati pria berkemeja dan tas hitam yang membelakanginya. Jingga tau betul siapa dia, mulai dari bentuk tubuhnya, warna rambutnya juga suaranya yang sedang mengobrol tidak akan pernah berubah.

Tengok ke belakang, Mas.

Jingga segera memasukkan ponselnya ke dalam saku rok hitam yang ia kenakan. Bibirnya terangkat penuh kala pria berkemeja di depannya menghadap ke belakang. Keduanya dengan cepat menundukkan kepala masing-masing untuk menghindari pandangan satu sama lain.

“Assalamualaikum, Mas Biru.”

Di sana, Biru mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba tidak beraturan kala telinganya mendapati suara Jingga yang sedikit berubah menjadi lebih lembut. Walau sebenarnya tadi ia sudah mendengar ketika gadis itu melantunkan beberapa ayat Al-Qur'an di dalam sana, tapi rasanya beda ketika Jingga menyapanya.

“Waalaikumsalam, Jingga.”

Jingga berjalan mendekat, “apa kabar, Mas?”

“Seperti apa yang kamu lihat, saya baik, Jingga.” Balasnya.

“Mas Biru!” Dari dalam Masjid terlihat gadis yang kelihatannya lebih muda dari pada Jingga berjalan menghampiri keduanya.

Jingga menatap gadis itu sambil tersenyum manis. Seperti pernah melihat, tapi Jinggapun tidak tau siapa dia. Mungkin di masa lalu mereka pernah bertemu.

“Kamu lama banget, sih?” Biru mengelus puncak kepala gadis yang dilapisi hijab cokelat itu yang membuat Jingga merasa sedikit getaran yang aneh.

Gadis berhijab cokelat itu tersenyum lalu mengambil tangan Biru untuk disalimi. “Iya, tadi ada Ibu-ibu yang ajak bicara. Kita mau ke mana lagi, Mas?”

Jingga tau persis kalau Biru bukanlan pria yang mau disentuh selain dengan mahramnya. Banyak kemungkinan yang detik ini bergantungan di pikiran Jingga. Tapi yang pasti, gadis itu adalah mahram Biru.

Tapi siapa?

Biru hanya punya keponakan perempuan satu dan itu Kania, setau Jingga. Apa ini Kania? Jingga sendiri tidak yakin, Kania bertumbuh secepat ini?

Dan kemungkinan lainnya,

gadis tadi adalah isterinya Biru.

“Assalamualaikum.”

Ketiganya menoleh, mendapati Afnan dengan satu kopi di tangannya. “Waalaikumsalam.”

Pria itu membenarkan letak kacamatanya, lalu berjalan mendekat. “Tadi saya beli kopi sebentar. Kamu udah selesai, Jingga?”

Jingga mengangguk, kemudian mengusahakan sebuah senyum untuk Afnan. “Udah, Nan. Mau langsung?”

Afnan mengambil alih tas karton yang ada di genggaman Jingga untuk ia bawakan. Sudut bibirnya terangkat penuh, “mau ke kost atau ke rumah Bule Nuning?”

“Kamu mau ketemu Ibu, kan?” Jingga menahan pergerakannya lalu menundukkan kepala. “Yaudah, berarti ke rumah Bule Nuning.”

“Yaudah ayo, keburu malam.” Balasnya.

Jingga mengalihkan atensi, seluruhnya ke arah Biru dan gadis di sampingnya bergantian. Jingga ingin menangis sebenarnya, tapi mati-matian gadis itu menahan air matanya.

“Mas Biru, Jingga pulang dulu.” Katanya, lalu beralih pamit pada gadis manis di sebelah Biru. “Aku duluan, ya. Assalamualaikum.”

Biru mengerinyit, tidak memahami perubahan sikap Jingga kepadanya.

“Mas Biru, ayo pulang.”

Jingga mengangkat kedua sudut bibir sambil menyambut dan mengucapkan kalimat salam kepada Afnan yang baru saja datang menghampiri. Ia sendiri tidak pernah mengira kalau Semesta akan mempertemukan mereka lagi di sini, Jogjakarta, belahan bumi yang lain dari sebelumnya.

“Apa kabar, Ga?” Afnan menaikkan sudut bibirnya, berusaha mengatur detak yang berada di jantungnya.

Satu hari lalu Afnan sudah bicara pada Bundanya kalau ia akan segera meminta persetujuan kepada keluarga Jingga untuk memulai ta'aruf— yang tentu saja tanpa sepengetahuan gadis di hadapannya.

“Alhamdulillah, baik, Afnan. Kamu gimana?”

Dia mengangguk, menatap kepala gadis yang masih menundukkan pandangannya. “Alhamdulillah, baik juga. Gimana, Ga?”

Jingga menengadah, “apanya?”

“Ada hal sulit apa dalam mempelajari ilmu agama?” tanyanya.

Gadis itu terkekeh, lalu menyeruput teh hangat yang lima menit lalu baru saja dipesan olehnya kepada salah satu pemilik angkringan. “Banyak, Nan. Yang paling susah itu mengubah kebiasaan dalam berbicara dan bersikap. Kamu tau dulu aku kaya apa, kan?”

Afnan menganggukkan kepala, memutar memori waktu ia pertama kali bertemu dengan gadis di depannya ini. Dulu Afnan salah satu anggota osis dan Jingga adalah salah satu murid yang menjadi langganan kena hukuman. Dari sana, ceritanya dimulai.

“Saya bangga lihat kamu yang sekarang, Ga.” Katanya.

Jingga tersenyum, masih merasakan sedikit getaran berbeda setiap Afnan mengeluarkan kalimat untuknya— terlebih kalimat puji seperti barusan. “Belum, Nan. Aku masih proses.”

“Nggak apa-apa. Manusia emang gitu kan, Ga? Hidup untuk terus berproses.” Balasnya sambil menyeruput kopi hitam yang baru saja ditaruh sama bapak si pemilik angkringan.

Tidak terasa keduanya mengobrol sampai adzan Isya. Membicarakab masa kecil mereka, mengulang kembali memori ingatan tentang apa saja yang pernah dilakukan bersama. Tentang rasa satu sama lain yang sampai pada akhirnya hanya mampu saling mengutarakan,

bukan saling mewujudkan.

“Nanti saya tunggu di sini, ya?” Afnan tersenyum, meminta izin kepada Jingga untuk masuk ke tempat wudhu khusus pria.

Jingga tersenyum kecil, rasanya masih hampir sama. Jantungnya masih berdetak dua kali lebih cepat seperti dulu kala matanya mendapati Afnan yang sedang tersenyum manis. Hari ini Jingga kembali menyadari kalau Allah bisa memungkinkan segala hal— termasuk yang tidak mungkin.

Setelah beberapa menit menjalankan sholat isya, Jingga mengambil ponsel dari dalam tasnya— memberitau Afnan kalau ia akan mengaji dulu sebentar.

Nan, kalau mau pulang duluan, silahkan. Aku mau ngaji sebentar.

Diletakkannya kembali benda pipih itu di dalam tas, lalu beralih mengambil Al-Qur'an yang ukurannya tidak begitu besar— salah satu benda yang selalu ia bawa kemanapun selain ponsel tentu saja. Lalu perlahan Jingga mulai melantunkan kalimat Tuhannya dengan suara pelan sambil mengingat-ingat tajwid yang minggu lalu diberitau oleh Ummi Aisyah— guru mengajinya.

Tidak lama, Jingga hanya menghabiskan tigapuluh menit untuk membacanya. Lalu kembali mengambil ponsel karena bergetar dan menandakan ada pesan masuk. Bibirnya terangkat penuh, lalu kembali mengetikkan beberapa kalimat sebagai balasan untuk seseorang yang sangat ia rindukan,

Mas Biru.

Ia masih memegang ponselnya, berdiri di dekat pagar Masjid lalu mendapati pria berkemeja dan tas hitam yang membelakanginya. Jingga tau betul siapa dia, mulai dari bentuk tubuhnya, warna rambutnya juga suaranya yang sedang mengobrol tidak akan pernah berubah.

Tengok ke belakang, Mas.

Jingga segera memasukkan ponselnya ke dalam saku rok hitam yang ia kenakan. Bibirnya terangkat penuh kala pria berkemeja di depannya menghadap ke belakang. Keduanya dengan cepat menundukkan kepala masing-masing untuk menghindari pandangan satu sama lain.

“Assalamualaikum, Mas Biru.”

Di sana, Biru mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba tidak beraturan kala telinganya mendapai suara Jingga yang sedikit berubah menjadi lebih lembut. Walau sebenarnya tadi ia sudah mendengar ketika gadis itu melantunkan beberapa ayat Al-Qur'an di dalam sana, tapi rasanya beda ketika Jingga menyapanya.

“Waalaikumsalam, Jingga.”

Jingga berjalan mendekat, “apa kabar, Mas?”

“Seperti apa yang kamu lihat, saya baik, Jingga.” Balasnya.

“Mas Biru!” Dari dalam Masjid terlihat gadis yang kelihatannya lebih muda dari pada Jingga berjalan menghampiri Jingga dan keduanya.

Jingga menatap gadis itu sambil tersenyum manis. Seperti pernah melihat, tapi Jinggapun tidak tau siapa dia. Mungkin di masa lalu mereka pernah bertemu.

“Kamu lama banget, sih?” Biru mengelus puncak kepala gadis yang dilapisi hijab cokelat itu yang membuat Jingga merasa sedikit getaran yang aneh.

Gadis berhijab cokelat itu tersenyum lalu mengambil tangan Biru untuk disalimi. “Iya, tadi ada Ibu-ibu yang ajak bicara. Kita mau ke mana lagi, Mas?”

Jingga tau persis kalau Biru bukanlan pria yang mau disentuh selain dengan mahramnya. Banyak kemungkinan yang detik ini bergantungan di pikiran Jingga. Tapi yang pasti, gadis itu adalah mahram Biru.

Tapi siapa?

Biru hanya punya keponakan perempuan satu dan itu Kania, setau Jingga. Apa ini Kania? Jingga sendiri tidak yakin, Kania bertumbuh secepat ini?

Dan kemungkinan terburuknya,

gadis tadi adalah isterinya Biru.

Pelangi tidak bisa berhenti untuk menyunggingkan senyum manisnya. Dia hadir. Mahesa Bumi benar-benar hadir di hadapannya hari ini. Hari yang sepertinya akan ditulis dalam memori ingatannya untuk berpuluh-puluh tahun ke depan.

Dulu, tepatnya dua tahun lalu. Pelangi pernah bilang, “kalau Bumi kembali, aku akan memeluknya dan terus mencintainya.” Tapi kali ini tidak, kali ini justru pria itu yang menawarkan tangannya, memeluk si gadis kesukaannya dengan erat.

“Kamu masih suka Americano?” Mahesa terkekeh sambil menyisir rambut legamnya dengan jemari. Kaus hitam polos yang ia gunakan menambah kadar ketampanan yang sebenarnya tidak pernah berkurang.

Pelangi mengangguk, netranya tidak berhenti menatap ciptaan Tuhan di hadapannya. “Iya.”

“Jun,” Mahesa memutar balik tubuh guna melihat wajah si lawan bicara— barista yang sedang membuatkan minuman untuk gadis di hadapan. “Ini.. kalau dia nanti ke sini setiap hari, jangan boleh bayar. Pemilik soalnya.”

Pria yang dipanggil 'Jun' itu menoleh lalu mengangguk mantap. “Siap, bos!”

Pelangi terkekeh, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Karena demi apapun, Bumi bukan lagi ilusi yang menyamar menjadi sebuah kenyataan. “Apasih, Bu— sebentar, aku manggil kamu apa?”

“Biasanya apa?” Mahesa mengangkat sebelah alisnya.

“Bumi?”

Pria itu tertawa, tangannya terangkat untuk mengusak rambut sebahu milik si gadis. Hal yang dulu menjadi kesukaan Pelangi, kini ia lakukan lagi. Hal yang akhir-akhir ini selalu diharapkan oleh Pelangi, kini terwujud.

“Yaudah. Bumi aja. Nggak usah diganti.” Katanya.

Dia mengangguk paham, matanya berjalan ke sana-kemari untuk memperhatikan setiap sudut ruangan. Interior sederhana berwarna cokelat muda membuatnya merasa aman di sini.

“Kalau aku panggil kamu nggak pakai 'kak' lagi, nggak apa-apa, ya?”

Pelangi menoleh, menyunggingkan sebuah senyum tipis yang sampai detik ini selalu menjadi kesukaan Mahesa. Seketika ia menyeruput cokelat hangat yang beberapa detik lalu diantarkan oleh pria bernama 'Jun' tadi.

Gadis itu mengangguk, menuruti. Kali ini, apapun yang akan menjadi permintaan Mahesa akan selalu ia turuti— kecuali kepergian. Hanya untuk Buminya.

“Omong-omong, tadi kamu bilang ke 'Jun' kalau aku ini pemilik cafe, apa maksudnya?”

“Kamu belum sadar?” Dia tersenyum sampai matanya membentuk sabit yang sempurna.

Pelangi mengerinyit, bingung. Sebenarnya Mahesa ini orang yang berbelit, karena kadang ia sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin ia ungkap. Sebab itu biasanya ia memilih untuk tertawa saja. Dia orang yang ramah, dan rasanya bohong kalau ada orang yang tidak menyukainya.

“Kalata itu apa?”

“Dua yang ditinggalkan, tapi selalu aku suka.”

Pelangi mendecak, “Bumi, jangan berbelit.”

“Kamu masih nggak suka menunggu ya, Kala?”

Sekarang Pelangi tertawa karena mendengar tanya dari lawan bicaranya. “Kamu masih ingat?”

“Apapun tentang kamu nggak pernah aku lupain.” Balasnya.

Mahesa berjalan ke arah counter yang sedang dijaga oleh seorang pria, lalu meminta selembar menu yang baru saja dibuat tiga hari lalu. Setelah memberikan kertas cokelat yang sudah dilaminating itu, pria yang berbincang dengan Mahesa menyunggingkan senyum tipis.

“Kalata. Sekala dan Jakarta.” Setelah itu, Bumi kembali duduk di hadapan Pelangi dengan kertas yang masih berada di tangannya. Di bagian bawah kertas itu, ada nama pemilik yang dia tulis sebagai,

Bumi dan Kala.

“Jadi, kamu ngapain ke Jakarta?” Pelangi mengambil kertas yang disodorkan oleh Mahesa, membaca nama-nama menu yang dibuat aneh namun sederhana. Dia terkekeh, “siapa yang kasih nama?”

“Aku,dong! Dibangu Arjun.”

Pelangi melihat ke arah Arjun yang masih sibuk dengan beberapa kertas, lalu kembali menatap Mahesa. “Bumi, aku nggak mau naik metro mini lagi!”

Lalu gadis itu menceritakan hal yang terjadi di hari sebelumnya dengan detail, tanpa ada yang tersisa. Dan hal itu tentu membuah Mahesa gemas karena gadis di hadapannya masih sama, Sekala yang ia kenal. Sekala yang suka bercerita dan Sekala yang selalu menjadi kesukaannya.

“Aku tau, Kala.”

Pelangi menerinyit, “kamu tau?”

“Pas aku bilang kalau aku ada di Jakarta sejak tiga minggu yang lalu, itu bener adanya.”

“Kamu nggak cari aku?”

Mahesa mulai membuka mulutnya, menceritakan apapun yang terjadi selama ia di Jakarta. Karena awalnya pekerjaanlah yang membawanya kemari— kota kelahirannya.

“Kamu nggak cari aku waktu kerjaanmu udah selesai?”

Dia menyunggingkan senyum tipis yang sumpah demi apapun akan selalu menenangkan. “Apapun aku lakuin buat ketemu sama kamu, Kala.”

“Kenapa baru mau muncul.di hadapanku?”

Dia menunduk, memainkan jemarinya pelan. “Kamu.. nyaman sama Kak Samudera, kan?”

Pelangi benar-benar menyukai suara Mahesa yang sekarang. Dalam dan menenangkan siapapun yang mendengar. Wajahnya kian lama terlihat makin dewasa. Rambutnya ia biarkan legam, berbeda dengan empat tahun lalu— cokelat tua.

Dulu katanya, “*Warna kesukaan Kak Sekala itu cokelat, jadi aku mau semua yang ada di hidupku juga disukai sama Kak Kala.”

“Aku pergi ke rumahmu waktu itu, bawa makanan kesukaanmu yang aku beli di depan sekolah kita dulu. Tapi katanya, kamu udah nggak tinggal di rumah. Aku bingung, Pelangi.. kamu hilang di saat aku mau kembali menemui.” Katanya.

Pelangi diam di tempatnya. Masih berusaha menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut pria itu.

“Setiap hari aku pergi ke tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi.” Mahesa menatap netra milik gadis di depannya dalam. Bibinya terangkat tipis, “tapi kamu udah menghilangkan tempat itu dari hidupmu.”

Lagi-lagi Pelangi diam, membenarkan seluruh kalimat Mahesa kalau ia memang sudah menghilangkan tempat-tempat yang sering mereka kunjungi dulu. Gadis itu terlalu takut kalau Mahesa tidak akan kembali lagi, dan ia hanya dihantui oleh bayang-bayangnya saja.

“Aku.. takut kalau kamu nggak akan kembali lagi, Bumi.”

Pelangi menghela napasnya, membiarkan angin malam menyapu wajah guna menangkat semua beban di pikirannya akhir-akhir ini. Mulai dari Bumi yang tidak pernah membalas pesannya sampai dengan Samudera yang kian lama membingungkan.

Omong-omong soal Samudera, pria itu sudah kembali ke Bandung dari dua hari yang lalu. Hidup Pelangi kembali sepi, tidak ada lagi yang mengantar dan menjemputnya sepulang kerja. Tidak ada lagi makan gelato ataupun pecel ayam di pinggir jalan. Tidak ada lagi yang mengirimin sekotak makan siang dengan sejumlah lauk-pauk di dalamnya setiap makan siang.

Terakhir Pelangi mengantar Samudera di Stasiun Kota. Katanya, “jaga diri selama saya nggak ada di Jakarta.

Di sana gadis itu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Semuanya terlalu cepat, dan Samudera membuat semuanya menjadi tambah membingungkan. Perlakuannya selalu manis, dan mudah saja untuk Pelangi meletakkan rasa kepadanya. Tapi untuk saat ini ia tidak mau terlalu cepat untuk meletakkan sebuah harap.

Ia tidak mau hidup bergantung dengan harapannya pada seseorang.

“Pelangi?”

Gadis itu menyipitkan mata guna melihat dengan jelas siapa yang baru saja memanggilnya. Dua orang pria yang masih memakai jas semi formal itu tersenyum.

“Kamu belum pulang?” Itu suara Naka— manager di divisinya.

Gadis itu menggeleng, “eh? Belum, Pak.”

Disebelah Naka ada Pemilik Perusahaan yang katanya hari ini akan pulang ke rumahnya yang berada di luar Kota.

“Pelangi?” Langit Biru namanya. Dia menggerak-kan tangannya di depan wajah si gadis.

eh? I-iya, Pak?”

Langit tersenyum tipis yang Pelangi akui siapa saja bisa jatuh kedalam pesonanya. Sungguh.

“Kamu pulang bareng Naka aja, ya?” tanyanya yang dijawab dengan gelengan kepala secepat kilat.

“Nggak perlu repot-repot, Pak. Nanti saya naik metro mini aja.” jawabnya.

Sekarang Naka yang bergerak, ia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Sudah pukul sebelas malam, saya nggak mau karyawan saya kenapa-napa.”

“Nggak akan kenapa-napa, Pak. Saya juga biasa pulang sendiri, kok.” katanya berusaha meyakinkan. Setelah meyakinkan atasannya, Pelangi segera pergi dari area kantor. Berjalan pelan ke arah halte yang memang sudah sepi.

Biasanya ia akan pulang pukul tiga atau paling lambat empat sore. Tapi tadi ada lemburan yang mengharuskannya pulang pukul sepuluh waktu setempat. Pelqngi memilih menunggu di halte dan beberapa orang sudah mulai berdatangan juga. Ada dua orang laki-laki yang berdiri juga duduk di samping kirinya.

“Neng, mau kemana sih malem-malem begini? Bar 'ya?”

Ia mengalihkan pandangan ke satu laki-laki yang sekarang memposisikan dirinya tepat di samping kiri, bergeser terus menerus sampai Pelangi dihadang oleh pria lain di belakangnya.

Ini gimana? Aku takut...

“Udah, ikut kita aja yuk, Neng. Dari pada ke bar. Isinya laki-laki idung belang semua.”

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dipunya. Tapi semakin ia berteriak, semakin sepi pula keadaan halte. Kakinya sudah lemas, tidak kuasa barang menahan diri sendiri saja. Sekarang tiga orang laki-laki sialan itu mengepung dan membuat Pelangi makin ketakutan.

“Sam... Samudera, tolong...” katanya pelan.

Salah satu dari mereka kini sudah berani menyentuh bagian kaki Pelangi yang hanya tertutup rok sebatas lutut. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Seharusnya tadi ia menerima tawaran Pak Langit untuk diantar bersama Pak Naka. Seharusnya tadi ia tidak menolak dan langsung masuk ke mobil Pak Naka. Seharusnya. Seharusnya. Seharusnya.

Brengsek!

Setelah ia mendengar kata itu, pria yang menyentuhnya tadi itu tersungkur hampir satu meter. Pelan-pelan Pelangi membuka mata. Di sana ada Langit sedang memberi pelajaran pada tiga orang laki-laki yang siap menghajarnya kapan saja. Tiga lawan satu, tidak imbang.

Dengan segera Pelangi meraih ponsel, menghubungi Samudera.

“S-samudera...” panggilnya gemetar saat panggilan-nya menyambung.

Pelangi? Kenapa? Kok nangis? Saya baru sampai di rumah tante Mel, tapi kamu belum pulang kerja— hey? Kenapa?

“J-jemput aku di halte dekat kantor, buruan.” kataku masih dengan isakan.

Sambungan diputus sepihak oleh Samudera. Pelangi bangun dari posisinya yang sudah duduk di aspal, menghampiri Langit yang juga sudah berbaring di aspal. Tiga laki-laki tadi sudah hilang entah kemana.

“Pak...” Panggilnya sambil menepuk pipi Pak Langit berkali-kali. Pria itu hampir tidak sadarkan dirinya.

Are you okay, Pelangi?” katanya sambil tersenyum.

Pelangi takut kalau Langit kehilangan nyawa hanya karena menyelamatkanya. Dia masih muda, masih banyak hal yang harus ia lakukan. “Pak, Bapak masih dengar suara saya?”

Dia mengangguk lemah, dan Pelangi semakin takut. “Pak, tolong ucapkan sesuatu. Jangan diam aja!” Pelangi sedikit menyentak, saking takutnya.

“Tetap bernapas, Pak.” Pelangi kembali menepuk pipi Langit berkali-kali.

Menit berikutnya Samudera sampai di halte dengan mobilnya yang sepertinya ia bawa dari Bandung— sebab Pelangi tidak pernah melihat merk mobil itu di rumah Pak Sonny.

“Pelangi? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya.

“Aku nggak apa-apa. Tapi kita harus bawa Pak Langit ke rumah sakit secepatnya, Sam!” balasnya agak panik karena Langit mulai kembali menutup mata tipisnya.

Samudera mengrinyit, “Langit?”

Pelangi menghela napasnya, membiarkan angin malam menyapu wajah guna menangkat semua beban di pikirannya akhir-akhir ini. Mulai dari Bumi yang tidak pernah membalas pesannya sampai dengan Samudera yang kian lama membingungkan.

Omong-omong soal Samudera, pria itu sudah kembali ke Bandung dari dua hari yang lalu. Hidup Pelangi kembali sepi, tidak ada lagi yang mengantar dan menjemputnya sepulang kerja. Tidak ada lagi makan gelato ataupun pecel ayam di pinggir jalan. Tidak ada lagi yang mengirimin sekotak makan siang dengan sejumlah lauk-pauk di dalamnya setiap makan siang.

Terakhir Pelangi mengantar Samudera di Stasiun Kota. Katanya, “jaga diri selama saya nggak ada di Jakarta.

Di sana gadis itu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Semuanya terlalu cepat, dan Samudera membuat semuanya menjadi tambah membingungkan. Perlakuannya selalu manis, dan mudah saja untuk Pelangi meletakkan rasa kepadanya. Tapi untuk saat ini ia tidak mau terlalu cepat untuk meletakkan sebuah harap.

Ia tidak mau hidup bergantung dengan harapanku pada seseorang.

“Pelangi?”

Gadis itu menyipitkan mata guna melihat dengan jelas siapa yang baru saja memanggilnya. Dua orang pria yang masih memakai jas semi formal itu tersenyum.

“Kamu belum pulang?” Kali ini aku tau, itu suara Pak Naka.

Aku menggeleng, “eh? Belum, Pak.”

Disebelah Pak Naka ada Pemilik Perusahaan yang katanya hari ini akan pulang ke rumahnya yang berada di luar Kota.

“Pelangi?” Langit Biru namanya. Dia menggerak-kan tangannya di depan wajah si gadis.

eh? I-iya, Pak?”

Dia tersenyum tipis yang Pelangi akui siapa saja bisa jatuh kedalam pesona-nya. Sungguh.

“Kamu pulang bareng Naka aja, ya?” tanyanya yang dijawab dengan gelengan kepala secepat kilat.

“Nggak perlu repot-repot, Pak. Nanti saya naik metro mini aja.” jawabnya.

Sekarang Naka yang bergerak, ia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Sudah pukul sebelas malam, saya nggak mau karyawan saya kenapa-napa.”

“Nggak akan kenapa-napa, Pak. Saya juga biasa pulang sendiri, kok.” katanya berusaha meyakinkan. Setelah meyakinkan atasannya, Pelangi segera pergi dari area kantor. Berjalan pelan ke arah halte yang memang sudah sepi.

Biasanya ia akan pulang pukul tiga atau paling lambat empat sore. Tapi tadi ada lemburan yang mengharuskannya pulang pukul sepuluh waktu setempat. Pelqngi memilih menunggu di halte dan beberapa orang sudah mulai berdatangan juga. Ada dua orang laki-laki yang berdiri juga duduk di samping kirinya.

“Neng, mau kemana sih malem-malem begini? Bar 'ya?”

Ia mengalihkan pandangan ke satu laki-laki yang sekarang memposisikan dirinya tepat di samping kiri, bergeser terus menerus sampai Pelangi dihadang oleh pria lain di belakangnya.

Ini gimana? Aku takut...

“Udah, ikut kita aja yuk, Neng. Dari pada ke bar. Isinya laki-laki idung belang semua.”

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dipunya. Tapi semakin ia berteriak, semakin sepi pula keadaan halte. Kakinya sudah lemas, tidak kuasa barang menahan diri sendiri saja. Sekarang tiga orang laki-laki sialan itu mengepung dan membuat Pelangi makin ketakutan.

“Sam... Samudera, tolong...” katanya pelan.

Salah satu dari mereka kini sudah berani menyentuh bagian kaki Pelangi yang hanya tertutup rok sebatas lutut. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Seharusnya tadi ia menerima tawaran Pak Langit untuk diantar bersama Pak Naka. Seharusnya tadi ia tidak menolak dan langsung masuk ke mobil Pak Naka. Seharusnya. Seharusnya. Seharusnya.

Brengsek!

Setelah ia mendengar kata itu, pria yang menyentuhnya tadi itu tersungkur hampir satu meter. Pelan-pelan Pelangi membuka mata. Di sana ada Langit sedang memberi pelajaran pada tiga orang laki-laki yang siap menghajarnya kapan saja. Tiga lawan satu, tidak imbang.

Dengan segera Pelangi meraih ponsel, menghubungi Samudera.

“S-samudera...” panggilnya gemetar saat panggilan-nya menyambung.

Pelangi? Kenapa? Kok nangis? Saya baru sampai di rumah tante Mel, tapi kamu belum pulang kerja— hey? Kenapa?

“J-jemput aku di halte dekat kantor, buruan.” kataku masih dengan isakan.

Sambungan diputus sepihak oleh Samudera. Pelangi bangun dari posisinya yang sudah duduk di aspal, menghampiri Langit yang juga sudah berbaring di aspal. Tiga laki-laki tadi sudah hilang entah kemana.

“Pak...” Panggilnya sambil menepuk pipi Pak Langit berkali-kali. Pria itu hampir tidak sadarkan dirinya.

Are you okay, Pelangi?” katanya sambil tersenyum.

Pelangi takut kalau Langit kehilangan nyawa hanya karena menyelamatkanya. Dia masih muda, masih banyak hal yang harus ia lakukan. “Pak, Bapak masih dengar suara saya?”

Dia mengangguk lemah, dan Pelangi semakin takut. “Pak, tolong ucapkan sesuatu. Jangan diam aja!” Pelangi sedikit menyentak, saking takutnya.

“Tetap bernapas, Pak.” Pelangi kembali menepuk pipi Langit berkali-kali.

Menit berikutnya Samudera sampai di halte dengan mobilnya yang sepertinya ia bawa dari Bandung— sebab Pelangi tidak pernah melihat merk mobil itu di rumah Pak Sonny.

“Pelangi? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya.

“Aku nggak apa-apa. Tapi kita harus bawa Pak Langit ke rumah sakit secepatnya, Sam!” balasnya agak panik karena Langit mulai kembali menutup mata tipisnya.

Samudera mengrinyit, “Langit?”

Pelangi menghela napasnya, membiarkan angin malam menyapu wajah guna menangkat semua beban di pikirannya akhir-akhir ini. Mulai dari Bumi yang tidak pernah membalas pesannya sampai dengan Samudera yang kian lama membingungkan.

Omong-omong soal Samudera, pria itu sudah kembali ke Bandung dari dua hari yang lalu. Hidup Pelangi kembali sepi, tidak ada lagi yang mengantar dan menjemputnya sepulang kerja. Tidak ada lagi makan gelato ataupun pecel ayam di pinggir jalan. Tidak ada lagi yang mengirimin sekotak makan siang dengan sejumlah lauk-pauk di dalamnya setiap makan siang.

Terakhir Pelangi mengantar Samudera di Stasiun Kota. Katanya, “jaga diri selama saya nggak ada di Jakarta.

Di sana gadis itu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Semuanya terlalu cepat, dan Samudera membuat semuanya menjadi tambah membingungkan. Perlakuannya selalu manis, dan mudah saja untuk Pelangi meletakkan rasa kepadanya. Tapi untuk saat ini ia tidak mau terlalu cepat untuk meletakkan sebuah harap.

Ia tidak mau hidup bergantung dengan harapanku pada seseorang.

“Pelangi?”

Gadis itu menyipitkan mata guna melihat dengan jelas siapa yang baru saja memanggilnya. Dua orang pria yang masih memakai jas semi formal itu tersenyum.

“Kamu belum pulang?” Kali ini aku tau, itu suara Pak Naka.

Aku menggeleng, “eh? Belum, Pak.”

Disebelah Pak Naka ada Pemilik Perusahaan yang katanya hari ini akan pulang ke rumahnya yang berada di luar Kota.

“Pelangi?” Langit Biru namanya. Dia menggerak-kan tangannya di depan wajah si gadis.

eh? I-iya, Pak?”

Dia tersenyum tipis yang Pelangi akui siapa saja bisa jatuh kedalam pesona-nya. Sungguh.

“Kamu pulang bareng Naka aja, ya?” tanyanya yang dijawab dengan gelengan kepala secepat kilat.

“Nggak perlu repot-repot, Pak. Nanti saya naik metro mini aja.” jawabnya.

Sekarang Naka yang bergerak, ia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Sudah pukul sebelas malam, saya nggak mau karyawan saya kenapa-napa.”

“Nggak akan kenapa-napa, Pak. Saya juga biasa pulang sendiri, kok.” katanya berusaha meyakinkan. Setelah meyakinkan atasannya, Pelangi segera pergi dari area kantor. Berjalan pelan ke arah halte yang memang sudah sepi.

Biasanya ia akan pulang pukul tiga atau paling lambat empat sore. Tapi tadi ada lemburan yang mengharuskannya pulang pukul sepuluh waktu setempat. Pelqngi memilih menunggu di halte dan beberapa orang sudah mulai berdatangan juga. Ada dua orang laki-laki yang berdiri juga duduk di samping kirinya.

“Neng, mau kemana sih malem-malem begini? Bar 'ya?”

Ia mengalihkan pandangan ke satu laki-laki yang sekarang memposisikan dirinya tepat di samping kiri, bergeser terus menerus sampai Pelangi dihadang oleh pria lain di belakangnya.

Ini gimana? Aku takut...

“Udah, ikut kita aja yuk, Neng. Dari pada ke bar. Isinya laki-laki idung belang semua.”

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dipunya. Tapi semakin ia berteriak, semakin sepi pula keadaan halte. Kakinya sudah lemas, tidak kuasa barang menahan diri sendiri saja. Sekarang tiga orang laki-laki sialan itu mengepung dan membuat Pelangi makin ketakutan.

“Sam... Samudera, tolong...” katanya pelan.

Salah satu dari mereka kini sudah berani menyentuh bagian kaki Pelangi yang hanya tertutup rok sebatas lutut. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Seharusnya tadi ia menerima tawaran Pak Langit untuk diantar bersama Pak Naka. Seharusnya tadi ia tidak menolak dan langsung masuk ke mobil Pak Naka. Seharusnya. Seharusnya. Seharusnya.

Brengsek!

Setelah ia mendengar kata itu, pria yang menyentuhnya tadi itu tersungkur hampir satu meter. Pelan-pelan Pelangi membuka mata. Di sana ada Langit sedang memberi pelajaran pada tiga orang laki-laki yang siap menghajarnya kapan saja. Tiga lawan satu, tidak imbang.

Dengan segera Pelangi meraih ponsel, menghubungi Samudera.

“S-samudera...” panggilnya gemetar saat panggilan-nya menyambung.

Pelangi? Kenapa? Kok nangis? Saya baru sampai di rumah tante Mel, tapi kamu belum pulang kerja— hey? Kenapa?

“J-jemput aku di halte dekat kantor, buruan.” kataku masih dengan isakan.

Sambungan diputus sepihak oleh Samudera. Pelangi bangun dari posisinya yang sudah duduk di aspal, menghampiri Langit yang juga sudah berbaring di aspal. Tiga laki-laki tadi sudah hilang entah kemana.

“Pak...” Panggilnya sambil menepuk pipi Pak Langit berkali-kali. Pria itu hampir tidak sadarkan dirinya.

Are you okay, Pelangi?” katanya sambil tersenyum.

Pelangi takut kalau Langit kehilangan nyawa hanya karena menyelamatkanya. Dia masih muda, masih banyak hal yang harus ia lakukan. “Pak, Bapak masih dengar suara saya?”

Dia mengangguk lemah, dan Pelangi semakin takut. “Pak, tolong ucapkan sesuatu. Jangan diam aja!” Pelangi sedikit menyentak, saking takutnya.

“Tetap bernapas, Pak.” Pelangi kembali menepuk pipi Langit berkali-kali.

Menit berikutnya Samudera sampai di halte dengan mobilnya yang sepertinya ia bawa dari Bandung— sebab Pelangi tidak pernah melihat merk mobil itu di rumah Pak Sonny.

“Pelangi? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya.

“Aku nggak apa-apa. Tapi kita harus bawa Pak Langit ke rumah sakit secepatnya, Sam!” balasnya agak panik karena Langit mulai kembali menutup mata tipisnya.

Samudra mengrinyit, “Langit?”