Tapi Recorder.

Limabelas menit menunggu, akhirnya pria bersurai pekat itu sampai juga di hadapan Jingga— bersama dengan gadis lain yang memiliku status sebagai adiknya. Biru, pria itu langsung menyunggingkan senyum manis saat tenggelam dalam tatapan hangat milik Jingga.

“Mas,” Putri menyenggol lengan kanan Kakaknya agar tersadar dan terselamatkan dari panasnya api neraka. “Tatap-tatapannya nanti, kalau udah sah.”

Biru segera membuang pandangannya ke sembarang arah, asal tidak lagi ke netra yang empat tahun belakangan selalu ia rindukan. “Astaghfirullah.”

Di tempatnya, Jingga terkekeh sambil kembali menundukkan kepalanya. Rasa malu masih menghantuinya karena sudah berburuk sangka pada gadis bernama Putri itu.

“Assalamualaikum, Jingga.”

Jingga tersenyum, “waalaikumsalam, Mbak Putri.”

“Jangan panggil Mbak, aku lebih muda satu tahun ketimbang kamu.” balas Putri sambil tertawa kecil karena menyadari posisi kalau mereka masih di dalam toko buku.

Gadis berhijab cokelat itu mengangguk seraya tersenyum, mengalihkan atensi pada pria bersurai hitam di belakang Putri yang sedang tersenyum manis. Senyum yang empat tahun lalu Jingga lihat setelah sholat bersama di masjid yang kebetulan Biru menjadi Imam waktu itu.

“Assalamualaikum, Jingga.”

Lalu dibalas senyum tipis malu-malu oleh gadis itu. “Waalaikumsalam, Mas Biru.”

Setelahnya, ketiga anak Adam itu memilih kembali ke angkringan untuk sekedar bercerita hal apa saja yang mereka lewati di sini. Biru, pria itu hanya bagian mendengarkan saja di antara Putri dan Jingga yang sesekali menggunakan bahasa Jawa halus untuk berbicara. Maklum, keduanya sama-sama tinggal lama di Jogjakarta.

“Oh kamu bakalan koas di rumah sakit itu? Bagus sih, Mbak .... soalnya kata temenku Dokternya ramah gitu.” Putri menyeruput wedangnya, tidak sedikitpun mengalihkan netra dari Jingga yang sedang bercerita.

“Ga,”

Panggilan dari Biru membuat Jingga maupun Putri menghentikan kalimatnya, lalu beralih pada pria itu.

“Kenapa, Mas?”

Sudut bibirnya terangkat satu, “kalau saya tiba-tiba datang melamar kamu, gimana?”

Waktu terasa terhenti bagi Jingga, pertanyaan yang bahkan sampai detik ini belum ada jawabannya itupun akhirnya keluar juga. Jingga juga tidak tau apa yang harus ia lakukan, jawaban seperti apa yang harus ia berikan.

Sebenarnya mudah saja bagi Jingga untuk memberikan jawaban pada Biru di detik ini juga. Tapi Jingga masih belum mau terikat pada siapa-siapa untuk saat ini. Jingga masih ingin melanjutkan pendidikannya dua tahun lagi.

“Jingga?”

Sadar akan lamunanya, Jingga akhirnya terkekeh lalu meneguk minumannya yang membuat Biru tersenyum kecil. Kembali memikirkan segala kemungkinan dan resiko yang harus ia ambil ke depannya. Tapi jujur, Birupun tidak mau kalau Jingga jatuh ke tangan orang lain.

Enam tahun memendam perasaan pada gadis itu membuatnya tersiksa.

“Mas datang aja ke rumah kalau mau tau jawabannya.” Senyum tipisnya membuat Biru langsung mengangguk mantap.

“Kamu kapan mau pulang ke Jakarta? Biar saya langsung ngomong ke Bunda akan hal ini.” Katanya yang membuat Putri— sang adik, tersenyum manis juga.

Menurut Putri, kakaknya yang ini memang tidak suka bertele-tele apalagi tentang mengungkapkan segalanya yang ia rasa. Putri ingat, dulu waktu kecil Biru pernah mengungkapkan rasa tidak nyamannya dengan seseorang dengan bahasa halus.

“Jingga .... belum tau, Mas. Mungkin dua atau tiga bulan ke depan.” Balasnya.

Putri yang sedari tadi diam mengambil alih, “nggak bisa deket-deket ini, Mbak? Kalau Mas Biru udah lamar kamu, kan, tinggal dihalalin terus kalian sama-sama tinggal di Kairo.”

Seharusnya Jingga merasa lebih senang akan hal itu, tapi entah kenapa malah ada perasaan yang sedikit mengganjal karena kalimat Putri barusan. Jingga masih mau mewujudkan mimpinya jadi seorang Dokter. Jingga juga masih mau memberi kebahagiaan pada keluarganya.

“Nggak apa-apa kalau belum siap, Ga. Saya nggak akan maksa apalagi minta kamu buat cepet-cepet kasih jawaban.” Biru mengulas sebuah senyum tulusnya, lalu menyodorkan sesuatu yang ia ambil dari dalam tasnya.

Jingga mengerinyit di tempatnya. Tape recorder?

“Buat apa, Mas?”

Dia kembali mengulas senyum, “ada beberapa surat yang saya bacakan, didengerin, ya? Perhatikan tajwidnya juga. Saya nggak bisa bimbing kamu secara langsung untuk saat ini karena kamupun belum siap untuk saya bawa ke Kairo.”

Hatinya menghangat mendengar kalimat itu. Jingga bingung, ia dihadapkan dengan dua pilihan yang benar-benar berat. “Dua tahun lagi ya, Mas?”

Biru menganggukkan kepala, “iya, Jingga. Dua tahun lagi, Insya Allah milik.”

“Insya Allah milik.” Jingga menyunggingkan senyum, menatap jumantara yang sore ini menjadi saksi di antara keduanya. Membiarkan Allah mendengarkan segala do'a yang diam-diam terpanjat di dalam hati meminta segera dikabulkan.

Mereka bisa dan yakin, dua tahun bukan waktu yang lama.