Aku nggak mau naik metro mini lagi!
Pelangi menghela napasnya, membiarkan angin malam menyapu wajah guna menangkat semua beban di pikirannya akhir-akhir ini. Mulai dari Bumi yang tidak pernah membalas pesannya sampai dengan Samudera yang kian lama membingungkan.
Omong-omong soal Samudera, pria itu sudah kembali ke Bandung dari dua hari yang lalu. Hidup Pelangi kembali sepi, tidak ada lagi yang mengantar dan menjemputnya sepulang kerja. Tidak ada lagi makan gelato ataupun pecel ayam di pinggir jalan. Tidak ada lagi yang mengirimin sekotak makan siang dengan sejumlah lauk-pauk di dalamnya setiap makan siang.
Terakhir Pelangi mengantar Samudera di Stasiun Kota. Katanya, “jaga diri selama saya nggak ada di Jakarta.“
Di sana gadis itu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Semuanya terlalu cepat, dan Samudera membuat semuanya menjadi tambah membingungkan. Perlakuannya selalu manis, dan mudah saja untuk Pelangi meletakkan rasa kepadanya. Tapi untuk saat ini ia tidak mau terlalu cepat untuk meletakkan sebuah harap.
Ia tidak mau hidup bergantung dengan harapanku pada seseorang.
“Pelangi?”
Gadis itu menyipitkan mata guna melihat dengan jelas siapa yang baru saja memanggilnya. Dua orang pria yang masih memakai jas semi formal itu tersenyum.
“Kamu belum pulang?” Kali ini aku tau, itu suara Pak Naka.
Aku menggeleng, “eh? Belum, Pak.”
Disebelah Pak Naka ada Pemilik Perusahaan yang katanya hari ini akan pulang ke rumahnya yang berada di luar Kota.
“Pelangi?” Langit Biru namanya. Dia menggerak-kan tangannya di depan wajah si gadis.
“eh? I-iya, Pak?”
Dia tersenyum tipis yang Pelangi akui siapa saja bisa jatuh kedalam pesona-nya. Sungguh.
“Kamu pulang bareng Naka aja, ya?” tanyanya yang dijawab dengan gelengan kepala secepat kilat.
“Nggak perlu repot-repot, Pak. Nanti saya naik metro mini aja.” jawabnya.
Sekarang Naka yang bergerak, ia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. “Sudah pukul sebelas malam, saya nggak mau karyawan saya kenapa-napa.”
“Nggak akan kenapa-napa, Pak. Saya juga biasa pulang sendiri, kok.” katanya berusaha meyakinkan. Setelah meyakinkan atasannya, Pelangi segera pergi dari area kantor. Berjalan pelan ke arah halte yang memang sudah sepi.
Biasanya ia akan pulang pukul tiga atau paling lambat empat sore. Tapi tadi ada lemburan yang mengharuskannya pulang pukul sepuluh waktu setempat. Pelqngi memilih menunggu di halte dan beberapa orang sudah mulai berdatangan juga. Ada dua orang laki-laki yang berdiri juga duduk di samping kirinya.
“Neng, mau kemana sih malem-malem begini? Bar 'ya?”
Ia mengalihkan pandangan ke satu laki-laki yang sekarang memposisikan dirinya tepat di samping kiri, bergeser terus menerus sampai Pelangi dihadang oleh pria lain di belakangnya.
Ini gimana? Aku takut...
“Udah, ikut kita aja yuk, Neng. Dari pada ke bar. Isinya laki-laki idung belang semua.”
Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dipunya. Tapi semakin ia berteriak, semakin sepi pula keadaan halte. Kakinya sudah lemas, tidak kuasa barang menahan diri sendiri saja. Sekarang tiga orang laki-laki sialan itu mengepung dan membuat Pelangi makin ketakutan.
“Sam... Samudera, tolong...” katanya pelan.
Salah satu dari mereka kini sudah berani menyentuh bagian kaki Pelangi yang hanya tertutup rok sebatas lutut. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Seharusnya tadi ia menerima tawaran Pak Langit untuk diantar bersama Pak Naka. Seharusnya tadi ia tidak menolak dan langsung masuk ke mobil Pak Naka. Seharusnya. Seharusnya. Seharusnya.
“Brengsek!“
Setelah ia mendengar kata itu, pria yang menyentuhnya tadi itu tersungkur hampir satu meter. Pelan-pelan Pelangi membuka mata. Di sana ada Langit sedang memberi pelajaran pada tiga orang laki-laki yang siap menghajarnya kapan saja. Tiga lawan satu, tidak imbang.
Dengan segera Pelangi meraih ponsel, menghubungi Samudera.
“S-samudera...” panggilnya gemetar saat panggilan-nya menyambung.
“Pelangi? Kenapa? Kok nangis? Saya baru sampai di rumah tante Mel, tapi kamu belum pulang kerja— hey? Kenapa?“
“J-jemput aku di halte dekat kantor, buruan.” kataku masih dengan isakan.
Sambungan diputus sepihak oleh Samudera. Pelangi bangun dari posisinya yang sudah duduk di aspal, menghampiri Langit yang juga sudah berbaring di aspal. Tiga laki-laki tadi sudah hilang entah kemana.
“Pak...” Panggilnya sambil menepuk pipi Pak Langit berkali-kali. Pria itu hampir tidak sadarkan dirinya.
“Are you okay, Pelangi?” katanya sambil tersenyum.
Pelangi takut kalau Langit kehilangan nyawa hanya karena menyelamatkanya. Dia masih muda, masih banyak hal yang harus ia lakukan. “Pak, Bapak masih dengar suara saya?”
Dia mengangguk lemah, dan Pelangi semakin takut. “Pak, tolong ucapkan sesuatu. Jangan diam aja!” Pelangi sedikit menyentak, saking takutnya.
“Tetap bernapas, Pak.” Pelangi kembali menepuk pipi Langit berkali-kali.
Menit berikutnya Samudera sampai di halte dengan mobilnya yang sepertinya ia bawa dari Bandung— sebab Pelangi tidak pernah melihat merk mobil itu di rumah Pak Sonny.
“Pelangi? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya.
“Aku nggak apa-apa. Tapi kita harus bawa Pak Langit ke rumah sakit secepatnya, Sam!” balasnya agak panik karena Langit mulai kembali menutup mata tipisnya.
Samudra mengrinyit, “Langit?”