Bismillah, Jingga terima.

“Jingga ....” Ibu menekan knop pintu kamar Jingga lalu mendapati sang putri yang sedang duduk di dpan meja rias sedang membenahi kerudungnya. “Jingga yakin sama Mas Banyu?”

Jingga menatap netra Ibunya dalam, lalu beralih untuk memeluk daksa wanita paruh baya itu. “Ibu .... Jingga harus melepas Mas Biru kaya apa yang udah dilakuin Mas Biru, kan?”

Melihat sorot pilu dari sang putri membuat Ibu semakin tidak tega dengan keputusan yang dibuat oleh Ayah. Ibu menyesali kenapa dua minggu lalu membiarkan Jingga menerima pertemuan hari ini, padahal itu sangat menyakitkan.

“Lihat profil Banyu dulu, ya? Kalau Jingga merasa cocok, kita lanjutkan.” Ibu menyodorkan satu kertas yang ditulis tangan dengan rapi, beberapa kebiasaan dan data diri dari seorang pria yang memiliki niat untuk mendekatkan diri pada putrinya.

Jingga mengambil kertas putih itu, membaca setiap kalimat dengan hati yang tersayat. “Bu, kenapa di saat kaya gini Jingga masih mengharapkan Allah untuk mendatangkan Mas Biru?”

“Allah nggak merestui Jingga sama Mas Biru ya, Bu?” Dia mengambil gelas yang terletak di samping tangannya, lalu meneguk untuk sekedar melepaskan dahaga.

“Bukan nggak—”

“Ibu, Kakak diminta keluar sama Ayah.” Renan tiba-tiba membuka knop pintu dengan wajah cemasnya yang membuat Jingga pun Ibu langsung bangun dari posisinya.

Ibu berjalan mendekat, “buat apa, Ren? Bukannya Kakak nggak boleh ketemu Mas Banyu?”

“Bukan Mas Banyu, Bu. Di depan ada yang mau ketemu sama Kakak juga Ibu.” Balasnya.

Jingga meletakkan kertas data diri Banyu di meja riasnya, berjalan mendekati Renan yang mulai menenangkan diri. “Pelan-pelan, Ren. Tenang .... ini ada apa sebenernya?”

“Yang di depan bukan keluarga Mas Banyu, tapi Mas Biru.”

Kalimat barusan membuat Jingga mundur beberapa langkah, memastikan bahwa kakinya masih bisa untuk sekedar menopang diri sendiri. Allah mengabulkan harapannya dengan cara yang bahkan tidak pernah bisa ditebak.

“Dan .... nggak ada yang akan menjalankan ta'aruf kata Ayah, Bu. Sebab Mas Biru dan keluarga datang untuk langsung melamar Kak Jingga.”

Ibu menoleh ke arah Jingga yang sudah menangis dalam diamnya. Air mata bahagia dan perasaan yang bercampur aduk membuat Jingga harus berpegangan pada meja rias.

“Jingga, ayo! Keluarga Biru sudah menunggu jawabannya.” Ayah datang dengan senyum lebarnya, merentangkan tangan untuk daksa putri pertamanya.