TetehnyaaJisung

Biru meletakkan ponsel milik Jingga ke tempatnya semula. Tatapannya berhenti pada gadis bersurai cokelat yang sedang tidur membelakanginya. Biru tau pasti kalau Jingga belum benar-benar terlelap, itu sebabnya ia memilih untuk ikut tiduran di samping Jingga—sedikit menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Mas—”

“Mas tau kalau kamu belum bener-bener bobo. Mas mau cerita dulu, nih. Mau didengerin nggak?” Katanya. Diakhiri dengan beberapa kecupan di puncak kepala sang istri.

Gadis itu menghela napasnya, “nggak ah, Jingga ngantuk. Besok aja, kalau sempet.”

“Aduh ngambek ....” Biru terus-terusan menghujani kecupan ringan di atas kepala Jingga sampai pada pipi kanannya.

Sebenarnya Jingga senang-senang saja dan tidak risih sama sekali, tapi emang sepertinya ada beberapa hal yang menganggu pikiran hari ini. Mulai dari kalimat Bunda pagi tadi sampai dengan gadis bernama Amel.

“*Kasih cucu buat Ayah sama Bunda jangan lama-lama ya, Ga. Kamu kalau bisa resign jadi Dokter aja. Kan sudah ada Biru yang menanggung semuanya.*”

Itu kata Bunda pagi tadi yang membuat pikiran Jingga malayang ke mana-mana. Bukannya tidak mau segera memberi cucu, Jingga juga mau kok—nanti. Tapi bukan itu point kalimat Bunda yang menjadi pikiran Jingga. Tentang pekerjaannya. Jingga sudah berjalan sejauh ini, lalu harus berhenti di tengah jalan hanya karena ia diharapkan sebagai Ibu rumah tangga?

“Dek, bobo beneran nih?” Biru tidak lagi menumpu tubuhnya dengan satu tangan, sekarang ia sudah berbaring sepenuhnya di atas kasur—menghirup aroma dari surai hitam isterinya.

Hening. Mereka membiarkan kamarnya terasa damai sebelum akhirnya Jingga memutar-balik posisi untuk sepenuhnya menghadap Biru. “Mas,”

Pria berkaus putih itu membuka matanya perlahan, padahal ia baru saja ingin benar-benar terlelap. Hari ini termasuk hari yang melelahkan untuk pikirannya. Mulai dari Ayah yang mengajak bemain catur, Renan yang minta dibantu mengerjakan tugas sampai Amel yang tiba-tiba mengirim pesan ke nomor Jingga.

Tapi walau ngantuk-ngantuk begitu, Biru tetap membuka mata dan tersenyum lebar ke arah Jingga. Ditatapnya bolamata yang tetap bersinar walau di bawah pencahayaan yang minim itu dalam. “Kenapa, istriku?”

“Apaandeh!” Jingga menenggelamkan wajahnya yang ia sendiri yakin sudah berubah warna merah padam itu ke atas bantal. “Mas, ih, serius!”

“Loh? Mas juga serius. Kan kamu istrinya Mas?”

Iya, benar juga. Jingga segera merutuki dirinya dalam hati. Ya tapi tetap saja, statusnya memang sudah resmi menjadi istri dari seorang Biru Putra Danu—tapi kalau sudah seperti ini bagaimana bisa jantung Jingga bekerja dengan baik?

“Ada apa, sayangku? Bidadariku? Kekasih surgaku?” Biru megangkat tangannya untuk merapikan surai legam istrinya dengan lembut.

“Jingga ada beberapa pertanyaan, jawab jujur, ya?” Gadis itu mengangkat jari kelingkingnya yang seketika membuat Biru tertawa namun tetap menautkan jemarinya dengan sang istri.

Biru mengangguk penuh keyakinan, “insya Allah Mas jawab jujur.”

Keduanya langsung melepaskan jemari yang bertaut ketika Jingga tersenyum manis. “Amel itu siapa, Mas?”

“Mau jawaban jujur atau jujur banget?” katanya diakhiri tawa yang membuat Jingga kembali melipat bibirnya malas. “Eits—jangan ngambek dulu. Mas jawab, insya Allah nggak ada yang ditutupi, ya?”

Gadisnya mengangguk, lalu mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh—bersiap mendengar cerita dari pria yang sudah memiliki status sebagai suaminya.

“Amel itu adik tingkat Mas di Kairo. Karena sama sama orang Indonesia, jadi kita kenal—kalau kamu nggak tau, di sana ada komunitas khusus orang Indo gitu.”

“Mas juga nggak tau awalnya gimana, tapi waktu itu Tendra ajak Amel ke rumah makan punya Mas. Katanya lagi cari kerja paruh waktu dan di sana kita saling kenal satu sama lain dan mulai akrab. Udah sih, gitu aja.”

Selama pria itu bercerita, selama itu pula Jingga menatap bolamata kecokelatannya dalam. Tidak ada setitik kebohongan di sana, tapi tetap saja, Jingga masih penasaran dengan Amel.

“Amel .... suka sama Mas Biru?” Jingga menggigit bibir bawahnya, bertanya dengan hati-hati takut kalau Biru merasa terganggu walau seharunya ia tidak. Karena bagaimanapun, Jingga adalah istri sahnya, dan segalanya harus saling tau tentang satu sama lain walau sekecil beras sekalipun.

Pria itu mengangkat bahunya sekali, “nggak tau. Tapi Mas Biru pernah dapat kabar dari Tendra sih gitu.”

“Kalau Mas Biru, pernah suka sama Amel?”

Biru tersenyum tipis, “nggak ada alasan untuk nggak menyukai Amel, Ga. Amel sama halnya kaya kamu, tanpa celah. Bunda suka sama Amel, Ayah juga—tapi Mas nggak terlalu menyukai Amel.”

Kalimat itu ditelan habis oleh Jingga walau rasana sedikit menyakitkan. Di sisi lain ia begitu haru karena tidak ada kebohongan yang ditutupi oleh Biru kepadanya. Selama bersama Biru, ia benar-benar merasa sempurna karena pria itu selalu melengkapi harinya.

“Kenapa Mas nggak suka Amel?” Walau sakit, Jingga akan tetap bertanya karena tadi Biru sendiri yang bilang kalau tidak ada alasan untuk tidak menyukai Amel, kan?

Biru mengangkat kedua sudut bibirnya tipis. “Di Kairo, nggak ada hari yang Mas lewati tanpa menyebut nama kamu. Nggak ada hari yang Mas lewati tanpa mikirin kamu. Apa Mas punya waktu untuk menyukai Amel, Ga? Nggak. Sama sekali enggak.”

Jingga mengangkat kedua tangannya, lalu menenggelamkan diri di dada bidang suaminya itu. Diam-diam kedua sudut bibirnya terangkat penuh, merasa lebih-lebih diistimewakan oleh suaminya.

“Udah. Sekarang bobo, ya?” Biru mengangkat tangannya untuk mematikan lampu tidur di atas nakas, namun buru-buru berhenti karena Jingga menariknya. “Kenapa?”

“Ada .... satu pertanyaan lagi ....”

Biru diam, menyimak pertanyaan yang akan segera keluar dari bibir manis istrinya.

“Kalau Jingga tetap kerja di rumah sakit, Mas Biru nggak keberatan, kan?”

“Jingga.”

Gadis itu menyunggingkan senyum manis saat melihat pantulan wajahnya di cermin, dan sekarang ada Ayah di belakang—menggantikan posisi si penata rias. Kedua sudut bibir Ayah terangkat dan membuat Jingga berdiri dari kursinya.

“Nak, terima kasih udah mau jadi anak Ayah. Terima kasih udah nggak pernah marah sama Ayah walau lebih sering mendahulukan Renan. Terima kasih.” Seketika Ayah membawa Jingga ke dalam peluknya yang menghangatkan, membuat air mata turun begitu saja dari pelupuknya.

Hari ini, hari terakhir Jingga menjadi anak gadisnya. Hari ini, hari terakhir Ayah menjadi peran penting di hidup Jingga. Sebentar lagi semuanya akan berganti dan diambil alih oleh seseorang yang sepenuhnya sudah dipercaya oleh Ayah. Keduanya diam, membiarkan keheningan yang menyampaikan pesan masing-masing.

“Ayah, makasih juga udah mau ngerawat Jingga. Dari kecil—dari sebelum Jingga ngerti apa-apa. Tapi Ayah sama Ibu nggak pernah lelah untuk Jingga. Sampai sebesar ini, sampai Jingga jadi Dokterpun Ayah sama Ibu masiu memperlakukan Jingga spesial. Jingga ....” Gadis itu menenggelamkan dirinya di pelukan sang Ayah. “Jingga .... sayang Ayah.”

Diam-diam ia tergelak sendiri karena pada akhirnya kalimat yang sudah lama sekali tidak keluar dari bibirnya lolos begitu saja hari ini. Semua beban di pundak dan hati rasanya terangkat begitu saja membuat ia kembali memejamkan mata.

“Loh kok pada nangis? Ntar aja nangis-nangisannya, acara udah mau dimulai.” Ibu datang dengan satu nampan berisi dua gelas jus jeruk untuknya dan Jingga.

Pelan-pelan Ayah melepaskan pelukannya untuk putri yang akan selalu kecil di matanya itu. Jemari kekarnya menghapus jejak air mata Jingga dengan lembut. “Udah. Ayah mau ke depan dulu, ya. Biar Biru ijab dulu terus Ayah jemput kamu ke sini.”

Jingga mengangguk, lalu berjalan pelan ke arah Ibu setelah Ayah menutup pintu ruangan. Dipeluknya Ibu seperti anak kecil yang sedang mengadu kalau ia baru saja akan mengalami hal luar biasa yang tidak pernah terduga. Senyum cantik itu masih terlukis di antara keduanya. Namun hening, membiarkan udara di ruangan yang menyampaikan pesan dari hati masing-masing.

Ibu bukan orang seperti Ayah yang mampu mengutarakan isi hatinya dengan lantang. Namun Ibu adalah tipikal wanita yang lebih senang menunjukkan perasaan lewat sebuah perlakuan hangat. Itu sebabnya Ayah menyukai Ibu, dari dulu hingga menua.

“Ga, apapun yang Biru ucapkan, tolong dituruti semampu kamu, ya? Kamu itu istri. Tau tugasmu apa, kan?” Ibu mengelus punggung Jingga penuh kasih seolah ia akan kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupnya.

Gadis itu mengangguk, kemudian melepaskan pelukan Ibu pelan-pelan. “Menuruti semua ucapan suami kan, Bu? Insya Allah Jingga turuti semua apa yang menjadi kemauan Mas Biru.”

“Apapun yang menjadi kemauan Biru, kecuali terluka, ya?”

Jingga menggeleng, “Mas Biru nggak akan melukai Jingga, Bu.”

Ibu mengangguk, percaya sepenuhnya pada sang putri. Keduanya larut dalam orbolan ringan yang menenangkan, bahkan sesekali tertawa ketika mengingat hal-hal sederhana yang sering dilakukan oleh putrinya itu di masa lalu. Sampai akhirnya Ayah datang untuk membawa Jingga karena Biru sudah selesai mengucapkan janji suci yang ia mulai dengan Basmalah.

Pelan-pelan Ayah menuntun Jingga untuk turun ke inti gedung. Matanya bertemu pada pria yang sudah berdiri di pintu utama gedung lengkap dengan pakaian putihnya. Dia—Biru Putra terlihat dua kali lebih tampan dari pada biasanya dengan balutan pakaian berwarna putih dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Untuk sesaat Jingga terpaku, jantungnya berdebar kecang seolah tidak ingin dihentikan. Dia sendiri masih tidak pernah menyangka kalau orang yang dulu hanya sekedar putra dari teman Ayah dan menjadi guru les kini berdiri di hadapannya, meminangnya di hari yang sudah mereka tentukan.

Perlahan Biru yang didampingi oleh Ayah juga Bundanya berjalan pelan menghampiri Ayah juga Jingga. Seluruh sudut bibir di ruangan itu terangkat penuh, bersumpah atas apapun kalau mereka adalah pasangan yang sangat cocok.

Selanjutnya, terdengar kalimat-kalimat instruksi dari pembawa acara yang menuntun hal-hal adat yang sudah ditentukan.

Hari ini, resmi keduanya menjadi pasangan yang sah di mata hukum dan agama. Tidak ada yang bisa memisahkan, kecuali sang kuasa.

Malam itu rasanya sangat berbeda dari biasanya, jantungpun berdetak cepat seolah tidak mau dihentikan. Terlebih Renan—pria itu tidak mengerti apa-apa karena memang tujuannya datang ke rumah sakit hanya untuk menunggu Kakaknya saja. Dia bahkan hanya menganggukkan kepala ketika Jingga menarik tangannya dengan cepat untuk menjauh dari Afnan yang sedang membicarakan beberapa hal mengenai penyakit Vega.

Sedangkan di samping Renan yang sibuk dengan kemudi, Jingga justru sibuk dengan pikirannya sendiri. Menurutnya, tidak ada yang perlu dipilih karena ini sama sekali bukan pilihan. Dan yang ia lakukan ini adalah hal yang paling benar.

Ia memang pernah begitu menyukai Afnan, tapi itu dulu—di saat rasanya masih harus dipertimbangkan. Tapi Jingga berani bersumpah kalau saat ini hanya nama Biru di ruang hatinya, tidak ada sedikit celah untuk siapapun.

“Karena Vega tau .... Mas Afnan begitu mencintai Mbak Jingga. Itu sebabnya, Vega minta Mbak untuk menggantikan posisi Vega ya, Mbak? Vega mohon .... nikah sama Mas Afnan sebelum Allah panggil Vega untuk pergi ke sisinya.”

Kalimat itu kembali terngiang di kepala Jingga saat matanya bahkan sibuk memperhatikan keluar jendela. Jingga tidak pernah bimbang akan perasaannya kepada Biru. Ia juga tidak mungkin merelakan apa yang ia sudah perjuangkan dan hampir ia dapatkan. Jingga tidak mungkin membiarkan perasaannya hanya untuk membahagiakan orang lain yang bahkan ia tidak punya hak atas bahagianya.

“Kak, makan dulu, ya?”

Pernikahannya sudah di depan mata. Lagi pula Jingga juga tidak habis pikir dengan Vega, kenapa gadis yang bahkan lebih muda itu memintanya untuk menggantikan posisi?

Bahkan setelah merasa yakin atas perasaannya untuk Biru, tidak ada satu detikpun Jingga menghabiskan waktu untuk tidak mencintai pria itu. Semua yang ada di dalam diri Biru hampir sempurna—walau Jingga belum tau pasti bagaimana rasanya tinggal satu atap dengan Biru dan mengetahui segala kebiasaan buruknya.

“Kak?” Renan menepuk pelan bahu kanan Jingga, tapi masih dengan pandangan ke jalan.

“Hah?”

Pria di balik stir itu terkekeh, “mikirin apa sih, Kak? Mau cerita sama Renan nggak?”

Jingga mengubah posisinya, menjadi duduk dengan sempurna dan tidak lagi bersandar di pintu mobil. Dia menggeleng kecil, “nggak. Nggak ada apa-apa. Tadi kamu nanya apa? Mau makan dulu nggak? Kakak laper, nih.”

Helaan napas terdengar begitu saja dari mulut Renan, lalu ia memutar balik arah ke rumah sakit yang membuat Jingga mengerinyit kebingungan.

“Ren, kok balik?”

“Renan mau nanya ke Kak Vega, sebenernya ada apa? Renan nggak pernah liat Kakak jadi diem kaya gini.” Katanya sambil melihat ke sekeliling karena lampu lalu lintas tiba-tiba saja berubah warna menjadi merah.

“Vega .... minta kakak buat gantiin dia jalani aaruf sama Afnan.”

Tidak habis pikir. Renan langsung menatap Jingga penuh tanya. “Kakak mau?”

“Nan, ini bukan pilihan. Nggak ada yang harus dipilih antara Mas Biru dan Afnan. Kamu pikir buat apa Kakak nunggu Mas Biru selama enam tahun? Buat bikin Mas Biru lihat Kakak nikah sama Afnan? Engggak, Ren.” Jingga menarik napasnya, merasa lega setelah mengeluarkan kalimat itu kepada Renan.

Sedangkan di sebelahnya Renan tertawa kecil, “Renan juga tim Biru dan Jingga till Jannah.”

Baru saja Sagita memejamkan mata barang tiga menit, tapi suara pintu kamarnya yang dibuka dari luar itu membuatnya kembali menarik napas. Di hadapannya sekarang sudah berdiri Arkana yang masih menggunakan wardrobe dengan surai yang acak-acakan.

“Beneran mau tidur?”

Suara berat itu mengintrupsi Sagita untuk bangun dari posisinya, menatap Arkana dengan malas. “Kamu ngapain ke sini?”

“Nemenin kamu.”

Sagita mengerinyit, “aku bukan anak kecil.”

Mendengar helaan napas panjang dari mulut Sagita membuat pria berwardrobe itu berjalan lalu naik ke atas kasur—masuk ke dalam selimut yang sama dengan Sagita. “Come.”

Entah kenapa, Sagita langsung menuruti perintah pria itu dan menidurkan dirinya di atas lengan Arkana.

Hows your day, baby?” Jemari Arkana bergerak untuk merapikan rambut wanita di pelukannya. “Mau ada yang kamu ceritain? Tadi ngapain aja di Butik?”

Sagita menengadahkan wajahnya, “di Butik cobain gaun aja. Tapi tadi .... tentang anak kecil itu, Ka.”

“Kenapa anak kecil itu?”

Jemari lentiknya memainkan tali wardrobe yang digunakan oleh Arkana. Ia memejamkan matanya sebentar. “Jadi Kakak itu berat ya, Ka?”

”.... Tapi mereka yang punya adik mungkin nggak tau gimana rasanya jadi anak tunggal. Satu-satunya harapan keluarga dan bertanggung jawab atas kesuksesan.” Air mata itu berhasil tumpah dari pelupuknya, membasahi pipi bagian kanan Sagita.

Mungkin Sagita terlihat tidak peduli dengan apa yang terjadi pada sekitarnya, tapi kalau apa yang terjadi pada keluarga dan dirinya—ia akan menjadi wanita yang lemah.

“Begini,” Arkana sedikit menjauhkan tubuh Sagita darinya lalu menatap netra kecokelatan yang terlihat sangat cantik walau di bawah cahaya yang minim. “Mau kamu anak pertama, kedua, ketiga, bontot ataupun tunggal—semuanya pasti punya beban. Semuanya punya pikiran, semuanya pasti mikirin apa yang menjadi masa depannya, Git.”

“Tapi aku sendiri, Ka. Dari kecil sampai sebesar ini aku sendiri.” Sagita bangun dari tempat, lalu duduk membelakangi Arkana yang masih setia pada posisinya. “Kamu bahkan nggak tau kalau Mama ....”

”.... Mama?” Arkana ikut bangun dari posisi, lalu beranjak untuk duduk di samping Sagita.

Gadis itu menggigit bibir bawah, “Mama mengalami stress berat saat tau perselingkuhan Papa itu karena Papa nggak siap punya anak. Sekarang kamu tau kenapa Papa nggak mau punya anak setelah aku walau sama isterinya yang baru, kan?”

“Dan .... sekarang kamu tau kenapa aku nggak mau menikah walau umurku udah matang, kan?”

“Selain karena takut gagal .... Aku juga takut suamiku ninggalin aku, Ka. Aku takut sama segala kemungkinan yang Semesta kasih ke aku.” Sagita menipiskan bibirnya, menatap Arkana lalu terkekeh sumbang. “Berat, Ka ....”

“Git, gimana kamu bisa takut gagal di saat kamu mencobapun belum?”

Sagita tertawa, “di saat aku nyoba dan gagal—apa yang harus aku lakuin? Kehilangan lagi?”

Mata Arkana tidak sedikitpun lepas dari Sagita yang kini berjalan ke arah laci untuk mengambil sekotak nikotin dan pematik. Pria itu menipiskan bibir, lalu berjalan kecil mengikuti Sagita ke balkon.

“Kenapa harus nikotin?”

Sagita menoleh, membuang asap dari bibirnya ke sembarang arah. “Aku biasanya kalau lagi stress mabuk—tapi besok harus ada meeting sama client eropa, kan? Nggak mungkin aku ninggalin kantor lagi.”

“Harus banget nikotin?”

“Iya, Arka.”

Dengan perlahan Arkana mengambil benda panjang yang diapit di antara dua jari Sagita lalu mematikan dan membuangnya.

“Ka?!”

Tatapan protes Sagita membuat Arkana memajukan badannya—ingin mencium gadis itu. Tapi dengan cepat Sagita langsung memundurkan dan memalingkan wajah ke kiri.

“Git?”

“Jatuh cinta itu apa, sih, Ka?”

Arkana tersenyum, menyandarkan tubuhnya pada besi balkon dan membawa Sagita untuk berdiri hanya beberapa senti di hadapan. “Jatuh cinta itu, apa?”

“Bohong kalau cinta itu cuma tentang rasa nyaman, aman dan kasih sayang, Git.” Dia menarik sebelah sudut bibir lalu melayangkan telunjuknya di dada Sagita. “If you falling in love, you feel it. Semuanya cuma tentang rasa. Kamu ngerasa beda saat jatuh cinta, Git. Selain ngerasa nyaman atau aman, kamu juga ngerasa kalau orang yang bikin kamu jatuh cinta itu cerminan da—”

Arkana tidak dapat melanjutkan kalimatnya di saat Sagita dengan cepat meraup bibirnya. Di sela-sela ciuman itu Arkana tersenyum puas, lalu dengan cepat ia membawa tangan Sagita untuk melingkar di lehernya.

I'm in love with you ....” Sagita membuka matanya, menatap netra Arkana dalam. “Kamu cerminana aku, Ka. Tanpa sadar kalau selama ini aku bergantung sama kamu, aku butuh kamu ....”

“Aku di sini, Git. Nggak akan ke mana-mana. Aku di sini, sama kamu.” Arkana membawa tubuh bosnya itu ke dalam pelukan. Lalu setelah dua menit, ia kembali menjauhkan tubuhnya—menatap netra Sagita dalam. “Let's try it, Git. Nikah sama aku. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Cukup. Cukup keluarga kamu, Papa kamu yang jadi kesedihan pertama dan terakhir kamu. Aku janjiin bahagia buat kamu.”

Sagita menundukkan kepalanya. “Aku .... nggak bisa janjiin bahagia buat kamu, Ka. Aku nggak bisa janjiin bahagia di saat aku sendiri nggak tau apa itu ba—”

ssst” Arkana meletakkan telunjuknya di depan bibir merah muda Sagita. Ia menggeleng dan merendahkan suaranya, “mastiin kamu hidup dengan baik adalah bahagiaku, Git.”

Kedua sudut bibir Jingga terangkat ketika telinganya mendapati suara mobil yang berhenti tepat di halaman rumahnya. Ia beranjak dari duduknya lalu menghampiri Ibu yang sedang membuat kopi untuk Ayah. “Bu, itu kayanya Mas Biru sama Bunda.”

Ibu menoleh dan mendapati putrinya dengan gamis berwarna cokelat muda dan hijab senada. “Yaudah, ayo dibukain pintunya.” Katanya lalu berlari ke arah kamar Renan. “Ren, Renan! Itu Mas Biru di depan kayanya bawa undangan. Tolong dibantuin dulu.”

“Iya, Bu!” Lalu disusul Renan yang keluar dari kamar dengan kaus hitam polosnya.

Sedangkan Ibu dan Jingga sudah lebih dulu berjalan ke luar, membuka pintu untuk Biru dan Bundanya. Disapanya wanita paruh baya itu dengan menyalimi tangan dengan sopan oleh Jingga si calon menantu. Lalu ia hanya melempar senyum tipis untuk Biru yang sudah menahan tawanya di belakang Bunda.

“Ayo, ayo masuk dulu.” Ibu mengambil alih satu kantung kecil yang tiga detik lalu diserahkan Bunda. “Jingga, ini diajak ngobrol dulu Bunda sama Birunya. Ibu mau nyiapin makan malam.”

Putri semata wayang Ayah dan Ibu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Ia beralih untuk duduk di samping Bunda yang malam ini terlihat sangat cantik dengan balutan gamis hitam dipadukan hijab berwarna emas.

“Bunda capek, ya? Maafin Jingga karena nggak bisa ikut ambil undangan. Soalnya Jingga fitting siang ini.” Katanya sambil memijat lembut tangan Bunda.

“Nggak apa-apa, cah ayu. Jingga fitting juga? Kok nggak bareng sama Biru?” Bunda melirik putra yang justru sedang senyum-senyum sendiri di tempatnya.

“MAS BIRU! INI RENAN DISURUH ANGKAT UNDANGAN SENDIRI?” Pria yang sudah tidak lagi kecil memunculkan kepalanya dari pintu masuk, menatap nanar ke arah Biru yang langsung berdiri dan tertawa kecil.

“Tadi Jingga nggak tahu kalau Mas Biru mau fitting juga. Soalnya Mas Biru bilangnya mau ambil undangan aja sama Bunda. Jadi Jingga ke butik sama Renan.” Jelas Jingga masih dengan memijit bahu Bunda dengan tulus.

Tiba-tiba Bunda menahan pergelangan tangan Jingga, memutar balik tubuhnya sendiri sehingga menatap manik kecokelatan milik gadis itu dalam. “Jingga ... makasih, ya? Makasih udah bertahan buat nunggu Biru. Makasih udah mau jadi menantunya Bunda dan Ayah. Nanti ... kalau di tengah jalan pernikahan kalian ada masalah, sebesar apapun masalahnya tolong dengarkan Biru ya, sayang? Bunda nggak mau rumah tangga anak Bunda hancur dan Bunda juga nggak mau Jingga disakiti sama Biru. Jadi sekecil apapun masalahnya, kalau memang perlu diceritakan, tolong diceritakan, ya?”

Entah kenapa air mata itu turun membasahi pipi kanan milik Jingga. Hatinya menghangat setelah mendengar kalimat tulus dari Bunda juga tatapan dalam penuh permintaan seolah Bunda memberi tanggung jawab untuk gadis itu. Kemudian ia mengangguk di sela tangisnya.

“Bunda ... makasih udah mau nerima Jingga yang mungkin enggak begitu pantas untuk Mas Biru—tapi Bunda jangan khawatir, ya? Jingga selalu berusaha untuk memantaskan diri buat Mas Biru. Soal perceraian ... Insya Allah, Jingga nggak akan mengucapkan kalimat itu sampai Allah meminta Jingga untuk kembali ke sisinya.” Kalimat terakhir ia ucapkan kala Bunda memeluk daksanya dalam, seolah sedang menyiapkan diri untuk melepas putranya karena satu kewajiban.

“Bunda jangan khawatir tentang apa-apa, ya? Jingga nggak akan ngelarang Mas Biru untuk sering-sering berkunjung ke rumah Bunda. Jingga juga bisa pastiin kalau cintanya Mas Biru nggak akan berkurang untuk Bunda maupun Putri.” Gadis itu tahu betul kekhawatiran yang ada di dalam hati wanita paruh baya itu. Menyerahkan putra satu-satunya kepada seorang gadis yang akan menjadi istrinya itu bukan hal yang mudah, tapi Bunda harus melakukannya.

Bunda menjauhkan daksa Jingga perlahan, tangannya terangkat untuk menghapus sisa air mata itu dengan lembut lalu berakhir merapikan hijab milik gadis di hadapannya. “Cah ayu, Bunda titip Biru sama kamu, ya? Biru itu anaknya manja dan kadang egois, tapi aslinya dia sayang banget sama orang-orang di sekitarnya.”

Jingga mengangkat kedua sudut bibirnya lalu mengangguk seolah siap dengan apa yang terjadi ke depan.

“Ada apa, nih?” Biru duduk di samping kiri Bunda, lalu menatap Jingga kebingungan. “Dek, kok nangis?”

Tawa Jingga membawa Biru kembali dipenuhi tanya. “Nggak apa-apa, Mas. Bunda cuma bilang kalau Mas Biru orangnya manja.”

“Astaghfirullah, Bunda ...”

Bunda ikut tertawa, wanita itu mengelus surai legam putranya dengan lembut. “Ya emang kamu manja, kan? Bunda bisa tebak, nanti kalau kalian sudah tinggal serumah pasti Biru yang sering ndusel dan nggak mau tidur kalau nggak ada Jingga.”

“Bunda ....” Biru mengerucutkan bibirnya lucu membuat Jingga tertawa kecil.

..

Ini bukan cerita yang panjang, tapi hanya beberapa kalimat yang kalau disatukan menjadi sebuah paragraf menyakitkan. Tentang Adigama yang selalu merindukan gadis penyuka pantai.

Ini juga tentang Adigama yang sudah lama menjerit untuk Semesta.

Mau dimulai?

Mari kita mulai,

“Adigama!”

Panggilan dari gadis berambut kecokelatan itu membuat langkah Adigama berhenti di ujung koridor yang sepi. Maklum saja, ini dekat perpustakaan fakultas kedokteran yang beberapa bulan ini menjadi jalan kesukaannya.

Ya, bagaimana bukan kesukaan kalau hanya untuk ke perpustakaan saja hanya jalan ini yang bisa dia pijak? Sebab jalan dari utara sedang ada pembangunan di lahan kosongnya, entah untuk apa.

“Ya. Kenapa?” Adigama membenarkan letak kacamatanya, lalu mengusahakan sebuah senyum tipis untuk teman satu angkatannya ini.

Adigama selalu ingat apa kata Lintang, “Ga, mau lagi seneng atau sedih sekalipun kamu harus tetep senyum, ya? Senyum kamu manis soalnya.

Senjani tersenyum tipis. “Nanda bilang, lo juga diundang ke acaranya dia nanti malem, ya?”

Keningnya mengerinyit— kembali mengingat-ingat apa yang ia lupakan di hari ini. “Oh, ulang tahun, ya?”

Gadis itu mengangguk, lalu membenarkan letak totebag yang agak merosot di lengan kirinya. “Iya. Gue .... boleh nebeng, nggak?”

Alisnya naik sebelah untuk mempertimbangkan jawaban yang akan dia berikan kepada gadis di sampingnya ini.

“Kalo nggak boleh juga nggak apa-apa, serius. Nanti gue berangkat bareng Haidar aj—”

“Berangkat bareng gue. Jam empat gue jemput.” Potongnya cepat, lalu segera meningalkan Senjani yang masih mematung di tempat.

Adigama, seorang pria dingin yang ia idam-idamkan akhirnya mau memberikan tumpangan? Wow. Sebuah pencapaian luar biasa untuk Senjani.

Padahal, bisa saja Senjani berangkat sendiri menggunakan mobil yang dua bulan lalu baru saja dibelikan oleh Ayahnya. Tapi kesempatan untuk duduk di di mobil yang sama bersama Adigama kesempatan yang sama sekali tidak mau ia sia-siakan.

“Gama!”

Langkah Adigama kembali terhenti saat suara Senjani mengintrupsi. “Apa?”

“Kenapa jam empat? Kan acaranya jam delapan.” Gadis itu berjalan cepat untuk mengikuti Adigama yang sudah masuk ke dalam perpustakaan.

Adigama menoleh, “temenin gue ketemu orang dulu.”

Anak baik, apa kabar?

Adigama menghela napas membuat Senjani menoleh ke arahnya. Mata gadis itu berjalan ke sana-kemari menatap setiap gundukan tanah di sekeliling.

“Gama, lo nggak mau macem-macem ke gue, kan?”

Seketika kalimat itu membuat Adigama menoleh, menatap Senjani dari atas ke bawah. “Apa yang perlu gue macem-macemin dari diri lo? Lagian gue kalo mau macem-macem ya tinggal ke hotel, ngapain ke pemakaman?”

Senjani berdecak malas. Ternyaa benar apa kata Nanda kalau Adigama ini memiliki kalimat yang cukup pedas.

“Lo tunggu di sini,” Adigama menghela napasnya, mengambil satu buket bunga di jok belakang mobil lalu menghirupnya dalam. “Jangan ke mana-mana.”

Senjani mengangguk, “lo jangan lama-lama. Gue takut.”

Entah keberanian dan dorongan dari mana, tangan Adigama terangkat untuk mengusap surai kecokelatan milik Senjani yang sudah ditata rapi sedemikian rupa. Da tekekeh singkat lalu mengangguk kecil di hadapan gadis manis itu.

Senjani itu sebenarnya si manis yang akhir-akhir ini menjadi kesukaan Adigama. Sifatnya berbeda jauh dengan Lintang yang lembut, Senjani lebih terburu-buru dalam melakukan beberapa hal. Tapi Senjani jauh lebih bijak dalam mengambil keputusan dari pada Lintang.

Kalau Lintang memiliki hati yang lembut, maka Senjani adalah si pemilik jiwa yang keras. Ah, mau sekeras apapun jiwanya, tetap saja— namanya juga perempuan, kalau ia tersakiti pasti menangis juga.

“Hai,” Adigama meletakkan satu buket bunga itu di atas gundukan tanah yang tertulis nama gadis kesayangannya di batu nisannya. “Anak baik, apa kabar?”

Dia mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. “Nggak kerasa hampir satu tahun kamu ninggalin aku ....”

“Selamat hari jadi, sayang.” Lanjutnya.

Adigama menghela napas, mengusap lembut batu nisan itu lalu mengusahakan sebuah senyum manis. “Udah ketemu Ibu di surga, kan? Seneng, nggak?”

“Aku ke sini nggak sendiri, Tang.” Tatapannya beralih k arah mobil yang sengaja ia parkirkan di dekat sana. “Senjani, namanya. Mau aku jadiin tempat berpulang kaya kamu— tapi tenang aja .... aku nggak akan ngelupain kamu. Karena katamu,

hal yang paling menakutkan dari kepergian adalah dilupakan. Bener?”

Bayangan-bayangan wajah Lintang kembali memenuhi isi otak Adigama. Tentu saja membuat satu bulir air matanya mengalir membasahi pipi. Ia menangis lagi setelah sekian lama karena merindukan gadisnya.

“Maafin aku .... aku masih belum ikhlasin kepergian kamu, Tang. Aku .... aku masih berharap kalau Semesta kembali kirim kamu dalam sosok yang sama.”

Dia terkekeh sumbang, “kalau kamu ada di sini, kita pasti lagi makan soto mie kesukaanmu di depan komplek. Atau .... lagi makan ice cream melon di deket taman, kan?”

Satu minggu sekali pasti Adigama selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makam gadis kesayangannya. Sampai-sampai bapak si pencabut rumput selalu tau jadwal Adigama kalau pergi ke sana.

Jum'at dan selalu pukul empat lewat.

“Den, udah mau hujan. Nggak pulang?” Bapak itu beralih untuk mencabut beberapa rumput liar di sekitar pemakaman Lintang.

Adigama beralih bangun dari posisinya. “Bapak, saya boleh minta tolong?”

“Iya, Den. Kenapa?”

“Kalau saya nggak bisa ke sini lagi satu minggu sekali, tolong tetap bersihin makam Lintang ya, Pak? Sama tolong dikasih bunga mawar putihnya juga. Nanti soal uang saya kirim satu bulan sekali, boleh?”

Si bapak menangguk yakin, lalu tersenyum manis. Ia tau apa yang ada di dalam hati Adigama, tentang seluruh perasaannya pada si gadis baik hati yang sekarang sudah berpulang ke rumah Tuhan.

Adigama kembali jongkok, mengelus batu nisan itu sambil tersenyum. “Aku pulang dulu, ya? Nanti aku ke sini lagi. Tapi nggak janji kalau sendiri, aku mau kenalin Senjani ke kamu.”

Lintang itu .... gadis yang sangat berarti buat Adigama. Gadis baik hati yang mengajarkan bagaimana pahitnya kehilangan. Gadis dengan hati selembut sutera yang selalu merasa tenang walau ia disakiti. Gadis yang patut direngkuh daksanya ketika ia menangis karena kenyataan.

“Gama, lo nangis? Tadi makam siapa?”

Adigama menoleh, menatap mata Senjani dalam. Menenggelamkan diri di bolamata cokelat tua milik gadis itu, berusaha mencari ketenangan yang ia dapatkan pada bolamata milik Lintang. Lalu menjerit pada Semesta untuk meyakinkan diri untuk meletakkan seluruh rasa pada Senjani.

Senjani, jadilah rumah berpulangnya Adigama. Laki-laki lemah yang jarang sekali bersua semenjak kepergian gadis kesayangannya.

Ini bukan cerita yang panjang, tapi hanya beberapa kalimat yang kalau disatukan menjadi sebuah paragraf menyakitkan. Tentang Adigama yang selalu merindukan gadis penyuka pantai.

Ini juga tentang Adigama yang telah lama menjerit untuk Semesta.

Mau dimulai?

Mari kita mulai,

“Adigama!”

Panggilan dari gadis berambut kecokelatan itu membuat langkah Adigama berhenti di ujung koridor yang sepi. Maklum saja, ini dekat perpustakaan fakultas kedokteran yang beberapa bulan ini menjadi jalan kesukaannya.

Ya, bagaimana bukan kesukaan kalau hanya untuk ke perpustakaan saja hanya jalan ini yang bisa dia pijak? Sebab jalan dari utara sedang ada pembangunan di lahan kosongnya, entah untuk apa.

“Ya. Kenapa?” Adigama membenarkan letak kacamatanya, lalu mengusahakan sebuah senyum tipis untuk teman satu angkatannya ini.

Adigama selalu ingat apa kata Lintang, “Ga, mau lagi seneng atau sedih sekalipun kamu harus tetep senyum, ya? Senyum kamu manis soalnya.

Senjani tersenyum tipis. “Nanda bilang, lo juga diundang ke acaranya dia nanti malem, ya?”

Keningnya mengerinyit— kembali mengingat-ingat apa yang ia lupakan di hari ini. “Oh, ulang tahun, ya?”

Gadis itu mengangguk, lalu membenarkan letak totebag yang agak merosot di lengan kirinya. “Iya. Gue .... boleh nebeng, nggak?”

Alisnya naik sebelah untuk mempertimbangkan jawaban yang akan dia berikan kepada gadis di sampingnya ini.

“Kalo nggak boleh juga nggak apa-apa, serius. Nanti gue berangkat bareng Haidar aj—”

“Berangkat bareng gue. Jam empat gue jemput.” Potongnya cepat, lalu segera meningalkan Senjani yang masih mematung di tempat.

Adigama, seorang pria dingin yang ia idam-idamkan akhirnya mau memberikan tumpangan? Wow. Sebuah pencapaian luar biasa untuk Senjani.

Padahal, bisa saja Senjani berangkat sendiri menggunakan mobil yang dua bulan lalu baru saja dibelikan oleh Ayahnya. Tapi kesempatan untuk duduk di di mobil yang sama bersama Adigama kesempatan yang sama sekali tidak mau ia sia-siakan.

“Gama!”

Langkah Adigama kembali terhenti saat suara Senjani mengintrupsi. “Apa?”

“Kenapa jam empat? Kan acaranya jam delapan.” Gadis itu berjalan cepat untuk mengikuti Adigama yang sudah masuk ke dalam perpustakaan.

Adigama menoleh, “temenin gue ketemu orang dulu.”

Anak baik, apa kabar?

Ini bukan cerita yang panjang, tapi hanya beberapa kalimat yang kalau disatukan menjadi sebuah paragraf menyakitkan. Tentang Adigama yang selalu merindukan gadis penyuka pantai.

Ini juga tentang Adigama yang telah lama menjerit untuk Semesta.

Mau dimulai?

Mari kita mulai,

“Adigama!”

Panggilan dari gadis berambut kecokelatan itu membuat langkah Adigama berhenti di ujung koridor yang sepi. Maklum saja, ini dekat perpustakaan fakultas kedokteran yang beberapa bulan ini menjadi jalan kesukaannya.

Ya, bagaimana bukan kesukaan kalau hanya untuk ke perpustakaan saja hanya jalan ini yang bisa dia pijak? Sebab jalan dari utara sedang ada pembangunan di lahan kosongnya, entah untuk apa.

“Ya. Kenapa?” Adigama membenarkan letak kacamatanya, lalu mengusahakan sebuah senyum tipis untuk teman satu angkatannya ini.

Adigama selalu ingat apa kata Lintang, “Ga, mau lagi seneng atau sedih sekalipun kamu harus tetep senyum, ya? Senyum kamu manis soalnya.

Senjani tersenyum tipis. “Nanda bilang, lo juga diundang ke acaranya dia nanti malem, ya?”

Keningnya mengerinyit— kembali mengingat-ingat apa yang ia lupakan di hari ini. “Oh, ulang tahun, ya?”

Gadis itu mengangguk, lalu membenarkan letak totebag yang agak merosot di lengan kirinya. “Iya. Gue .... boleh nebeng, nggak?”

Alisnya naik sebelah untuk mempertimbangkan jawaban yang akan dia berikan kepada gadis di sampingnya ini.

“Kalo nggak boleh juga nggak apa-apa, serius. Nanti gue berangkat bareng Haidar aj—”

“Berangkat bareng gue. Jam empat gue jemput.” Potongnya cepat, lalu segera meningalkan Senjani yang masih mematung di tempat.

Adigama, seorang pria dingin yang ia idam-idamkan akhirnya mau memberikan tumpangan? Wow. Sebuah pencapaian luar biasa untuk Senjani.

Padahal, bisa saja Senjani berangkat sendiri menggunakan mobil yang dua bulan lalu baru saja dibelikan oleh Ayahnya. Tapi kesempatan untuk duduk di di mobil yang sama bersama Adigama kesempatan yang sama sekali tidak mau ia sia-siakan.

“Gama!”

Langkah Adigama kembali terhenti saat suara Senjani mengintrupsi. “Apa?”

“Kenapa jam empat? Kan acaranya jam delapan.” Gadis itu berjalan cepat untuk mengikuti Adigama yang sudah masuk ke dalam perpustakaan.

Adigama menoleh, “temenin gue ketemu orang dulu.”

Anak baik, apa kabar?

Ini bukan cerita yang panjang, tapi hanya beberapa kalimat yang kalau disatukan menjadi sebuah paragraf menyakitkan. Tentang Adigama yang selalu merindukan gadis penyuka pantai.

Ini juga tentang Adigama yang telah lama menjerit untuk Semesta.

Mau dimulai?

Mari kita mulai,

“Adigama!”

Panggilan dari gadis berambut kecokelatan itu membuat langkah Adigama berhenti di ujung koridor yang sepi. Maklum saja, ini dekat perpustakaan fakultas kedokteran yang beberapa bulan ini menjadi jalan kesukaannya.

Ya, bagaimana bukan kesukaan kalau hanya untuk ke perpustakaan saja hanya jalan ini yang bisa dia pijak? Sebab jalan dari utara sedang ada pembangunan di lahan kosongnya, entah untuk apa.

“Ya. Kenapa?” Adigama membenarkan letak kacamatanya, lalu mengusahakan sebuah senyum tipis untuk teman satu angkatannya ini.

Adigama selalu ingat apa kata Lintang, “Ga, mau lagi seneng atau sedih sekalipun kamu harus tetep senyum, ya? Senyum kamu manis soalnya.

Senjani tersenyum tipis. “Nanda bilang, lo juga diundang ke acaranya dia nanti malem, ya?”

Keningnya mengerinyit— kembali mengingat-ingat apa yang ia lupakan di hari ini. “Oh, ulang tahun, ya?”

Gadis itu mengangguk, lalu membenarkan letak totebag yang agak merosot di lengan kirinya. “Iya. Gue .... boleh nebeng, nggak?”

Alisnya naik sebelah untuk mempertimbangkan jawaban yang akan dia berikan kepada gadis di sampingnya ini.

“Kalo nggak boleh juga nggak apa-apa, serius. Nanti gue berangkat bareng Haidar aj—”

“Berangkat bareng gue. Jam empat gue jemput.” Potongnya cepat, lalu segera meningalkan Senjani yang masih mematung di tempat.

Adigama, seorang pria dingin yang ia idam-idamkan akhirnya mau memberikan tumpangan? Wow. Sebuah pencapaian luar biasa untuk Senjani.

Padahal, bisa saja Senjani berangkat sendiri menggunakan mobil yang dua bulan lalu baru saja dibelikan oleh Ayahnya. Tapi kesempatan untuk duduk di di mobil yang sama bersama Adigama kesempatan yang sama sekali tidak mau ia sia-siakan.

“Gama!”

Langkah Adigama kembali terhenti saat suara Senjani mengintrupsi. “Apa?”

“Kenapa jam empat? Kan acaranya jam delapan.” Gadis itu berjalan cepat untuk mengikuti Adigama yang sudah masuk ke dalam perpustakaan.

Adigama menoleh, “temenin gue ketemu orang dulu.”

— — — — —

/* Blog header on post pages ONLY */