Buat apa, Ren?
Malam itu rasanya sangat berbeda dari biasanya, jantungpun berdetak cepat seolah tidak mau dihentikan. Terlebih Renan—pria itu tidak mengerti apa-apa karena memang tujuannya datang ke rumah sakit hanya untuk menunggu Kakaknya saja. Dia bahkan hanya menganggukkan kepala ketika Jingga menarik tangannya dengan cepat untuk menjauh dari Afnan yang sedang membicarakan beberapa hal mengenai penyakit Vega.
Sedangkan di samping Renan yang sibuk dengan kemudi, Jingga justru sibuk dengan pikirannya sendiri. Menurutnya, tidak ada yang perlu dipilih karena ini sama sekali bukan pilihan. Dan yang ia lakukan ini adalah hal yang paling benar.
Ia memang pernah begitu menyukai Afnan, tapi itu dulu—di saat rasanya masih harus dipertimbangkan. Tapi Jingga berani bersumpah kalau saat ini hanya nama Biru di ruang hatinya, tidak ada sedikit celah untuk siapapun.
“Karena Vega tau .... Mas Afnan begitu mencintai Mbak Jingga. Itu sebabnya, Vega minta Mbak untuk menggantikan posisi Vega ya, Mbak? Vega mohon .... nikah sama Mas Afnan sebelum Allah panggil Vega untuk pergi ke sisinya.”
Kalimat itu kembali terngiang di kepala Jingga saat matanya bahkan sibuk memperhatikan keluar jendela. Jingga tidak pernah bimbang akan perasaannya kepada Biru. Ia juga tidak mungkin merelakan apa yang ia sudah perjuangkan dan hampir ia dapatkan. Jingga tidak mungkin membiarkan perasaannya hanya untuk membahagiakan orang lain yang bahkan ia tidak punya hak atas bahagianya.
“Kak, makan dulu, ya?”
Pernikahannya sudah di depan mata. Lagi pula Jingga juga tidak habis pikir dengan Vega, kenapa gadis yang bahkan lebih muda itu memintanya untuk menggantikan posisi?
Bahkan setelah merasa yakin atas perasaannya untuk Biru, tidak ada satu detikpun Jingga menghabiskan waktu untuk tidak mencintai pria itu. Semua yang ada di dalam diri Biru hampir sempurna—walau Jingga belum tau pasti bagaimana rasanya tinggal satu atap dengan Biru dan mengetahui segala kebiasaan buruknya.
“Kak?” Renan menepuk pelan bahu kanan Jingga, tapi masih dengan pandangan ke jalan.
“Hah?”
Pria di balik stir itu terkekeh, “mikirin apa sih, Kak? Mau cerita sama Renan nggak?”
Jingga mengubah posisinya, menjadi duduk dengan sempurna dan tidak lagi bersandar di pintu mobil. Dia menggeleng kecil, “nggak. Nggak ada apa-apa. Tadi kamu nanya apa? Mau makan dulu nggak? Kakak laper, nih.”
Helaan napas terdengar begitu saja dari mulut Renan, lalu ia memutar balik arah ke rumah sakit yang membuat Jingga mengerinyit kebingungan.
“Ren, kok balik?”
“Renan mau nanya ke Kak Vega, sebenernya ada apa? Renan nggak pernah liat Kakak jadi diem kaya gini.” Katanya sambil melihat ke sekeliling karena lampu lalu lintas tiba-tiba saja berubah warna menjadi merah.
“Vega .... minta kakak buat gantiin dia jalani aaruf sama Afnan.”
Tidak habis pikir. Renan langsung menatap Jingga penuh tanya. “Kakak mau?”
“Nan, ini bukan pilihan. Nggak ada yang harus dipilih antara Mas Biru dan Afnan. Kamu pikir buat apa Kakak nunggu Mas Biru selama enam tahun? Buat bikin Mas Biru lihat Kakak nikah sama Afnan? Engggak, Ren.” Jingga menarik napasnya, merasa lega setelah mengeluarkan kalimat itu kepada Renan.
Sedangkan di sebelahnya Renan tertawa kecil, “Renan juga tim Biru dan Jingga till Jannah.”