Jingga meremat genggaman tangan yang ditautkan dengan suaminya saat langkah kaki mereka masuk ke dalam ruang tamu yang sore ini di isi oleh Bunda dan Amel. Suara gelak tawa mulai terdengar di indra pendengaran Jingga—yang ia berani bertaruh kalau dirinyapun belum pernah melihat atau bahkan mendengar Bunda tertawa selepas ini.
“Mas di sini. Nggak apa-apa.” Biru tahu dengan jelas lewat tatapan mata perempuannya kalau ia sedang tidak dalam keadaan baik. Dilepaskannya genggaman itu, kini kuasa beralih untuk meraih daksa Jingga.
Dengan langkah yang dimulai oleh Biru—dan Jingga mengikuti—di sini mereka sekarang, di ruang tamu untuk menemui Bunda. Satu-satunya pria di ruangan itu dengan cepat mencium punggung tangan Bunda, diikuti juga oleh Jingga. Netranya beralih pada Amel yang diam-diam menunjukkan senyum yang terpaksa. “Tante Resa kemana, Bun?”
Perempuan bergamis merah muda—Amel— itu berdiri dari tempatnya, meminta Jingga untuk mengisi single sofa yang ia duduki. Namun dengan perlahan, Biru menarik tangan perempuannya untuk duduk di antara dirinya dan Bunda.
“Bunda .... Bunda udah pulang, Mas.” Jawab Amel lalu kembali duduk di tempatnya.
Biru mengangguk sedangkan Jingga terus mengamati gadis yang sedikit lebih muda dari padanya itu. Amel jelas bukan perempuan yang mudah ditolak oleh seorang pria karena gadis itu hampir saja sempurna. Parasnya yang anggun, lantunan ayat suci yang begitu merdu dan bahkan ilmu tentang agamanyapun mungkin jauh lebih baik ketimbang Jingga.
Diam-diam Jingga tertawa kecil, menertawakan segala kebodohan yang hampir saja membuat dirinya kehilangan sang suami. Ditatapnya Biru yang sedang berbincang dan meyakinkan Bunda tentang segala yang terjadi sudah menjadi kehendak Semesta. Dan menikah dengan Jingga bukanlah sebuah kesalahan yang sudah ia lakukan, melainkan sebuah keharusan.
“Pernikahan itu suci, Bun. Nggak ada penikahan yang menjadi sebuah kesalahan.” Biru menatap Bunda yang sedari tadi justru diam saja dan malah sibuk membaca hal-hal yang tidak terlalu penting di dalam majalah.
Tangan putranya terangkat untuk mengambil majalah dari pangkuan Bunda, memindahkan pada tempatnya semula. Ditatapnya netra pekat milik Bunda dengan sedikit tatapan memohon. “Bun, kasih Biru kesempatan, ya? Biru yakin kalau ini bukan kesalahan Jingga. Ini cuma tentang waktu, Bun.”
“Biru, dengerin Bunda.” Wanita hampir senja itu membenarkan posisi duduknya, menatap sepenuhnya ke arah Biru walau netranya sesekali menghampiri Jingga yang sore ini terlihat dua kali lipat lebih cantik memakai hijab berwarna biru keabu-abuan. “Usia nggak pernah ada yang tahu, Nak. Bisa aja besok Ayah atau Bunda yang dipanggil sama Allah. Bayangkan, betapa menyedihkannya Bunda di atas sana karena menunggu kabar baik dari anak Bunda dan istrinya.”
Biru diam. Memori dua tahun lalu di saat ia bersiap untuk datang ke rumah Jingga dan menemui Ayah-Ibu kembali terputar di benaknya. Waktu itu Biru sedang mengambil kunci mobil di atas nakas dan Bunda menghampiri. Wanita itu bilang, “Bunda nggak pernah mengharap apa-apa dari keputusan kamu untuk menjadikan Jingga pilihan, Biru. Tapi kamu harus sadar apa yang perlu kamu berikan untuk Ayah sama Bunda dengan segera, ya, Nak?“
Dari dulu Bunda memang menginginkan seorang cucu dari Biru dengan segera—maklum, anak pertama dan laki-laki. Dan kalau kejadiannya seperti ini, Biru harus benar-benar meyakinkan Bunda akan waktu yang terus berjalan dan tidak akan pernah berkhianat.
“Bunda—Mas Biru, Mbak Jingga .... Amel izin pulang, ya? Kayanya nggak enak aja kalau Amel di sini karena ini masalah keluarga.” Gadis bergamis merah muda itu berjalan mendekat ke arah Bunda—hendak mencium punggung tangan wanita itu.
“Bunda?” Entah apa yang ada di benak Jingga sampai kata tanya itu keluar begitu saja dari bibirnya. Karena jujur, Jinggapun sedikit tersentak akan hal itu.
Bunda melirik sekilas ke arah Jingga, mengulurkan tanannya untuk menarik Amel duduk di sisinya. “Jingga, bisa bergeser sedikit?”
Dengan cepat Jingga bangun dari posisinya, beralih untuk duduk di single sofa yang sebelumnya ditempati Amel. Kurvanya terangkat sedikit kala menyadari kalau Biru tidak juga melakukan pergerakan dan masih pada posisinya. Dengan jelas netra Jingga menangkap kalau Amel tersenyum dengan air muka bahagia ketika bisa duduk di antara Biru dan Bunda.
“Gimana, Biru? Masih ada yang mau dijelaskan?” Bunda mengelus punggung tangan Amel lembut, sesuatu yang selalu ia lakukan kepada Jingga waktu baru beberapa hari menikah dengan Biru.
“Benar kata Amel, Bun. Ini pembicaraan keluarga, dan nggak seharusnya seseorang yang bukan anggota mendengarkan semuanya.” Netra Biru sedikit melirik ke arah Amel yang sekarang justru menundukkan kepalanya.
Sedangkan Jingga menatap Amel sambil tersenyum kecil. Betapa munafiknya gadis cantik itu. Satu jam yang lalu, ia mungkin bersikap seolah-olah tidak lagi menginginkan Biru, tapi detik ini .... gadis itu bersikap seolah-olah ia harus mengambil hati Bunda. Kalau begini, bagaimana Jingga tidak memiliki pikiran yang negatif seperti kemarin?
Salahkah Jingga meminta Biru untuk menikahi Amel yang jelas-jelas sangat diinginkan oleh Bunda?
Perempuan berhijab biru keabuan itu menggelengkan kepalanya guna menghilangkan pening luar biasa yang tiba-tiba menyerang akibat memikirkan hal yang bahkan tidak perlu. “Uwek!“
Seluruh pasang mata langsung mengalihkan atensi pada Jingga—termasuk Ayah yang baru saja menginjakkan kakinya di ruang tamu. Dengan cepat Biru menghampiri istrinya, membawa perempuan itu ke kamar mandi untuk mengeluarkan seluruh isi perutnya.
“Keluarin semua aja, Dek.” Dengan hati-hati Biru mengurut tengkuk Jingga, melepas perlahan hijab yang digunakan oleh istrinya agar tidak basah karena air. “Kamu abis makan apa, sih?”
Setelah dirasa sedikit lega, Jingga menatap pantulan wajah Biru dari kaca lalu sedikit tersenyum kala mendapati wajah khawatir suaminya. Dibasuh wajahnya sendiri dengan air, lalu memutarbalik tubuhnya. “Jingga nggak habis makan apa-apa, Mas. Nggak makan pedas juga durian—termasuk apapun yang diolah dari durian.”
“Terus—?”
Kalimat Biru terpaksa berhenti karena dengan tiba-tiba Jingga kembali memutar balikkan tubuh dan memuntahkan isi perut ke dalam wastafel. “Habis ini ke rumah sakit, ya?”
Jingga menggeleng, “Inimah masuk angin doang, Mas. Paling juga Dokter kasih obat yang sama kaya di rumah.”
Pelan-pelan Biru membawa istrinya ke dalam kamar yang sempat ia tempati dulu, lalu membawa perempuan itu untuk merebahkan diri. “Pulangnya nanti dulu, ya? Setelah makan malam.”
Memang apalagi yang akan Jingga lakukan selain menuruti kalimat Biru? Permintaan Bunda dan Ibu benar-benar diindahkan oleh perempuan itu untuk menuruti segala perintah dari Imamnya.
Ditahannya tangan Biru ketika pria itu bangun dari duduknya. “Mau ke mana, Mas?”
“Mau kembali yakinin Bunda, Dek. Nggak apa-apa ya kalau Mas tinggal sendiri?” Biru mengelus surai sebahu milik istrinya, dikecupnya dahi itu dengan tulus.
Sebuah senyum tipis kembali dihadiahi oleh Jingga untuk suaminya. “Nggak apa-apa, Mas. Pelan-pelan aja ngomong ke Bundanya, ya? Kontrol emosinya, kalau bisa minta ditemani Ayah.”
Sebenarnya ada jutaan alasan kenapa Biru memilih Jingga sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan sejak ia menjadi guru lesnya. Tapi ada satu alasan kuat yang selalu Biru suka dari Jingga. Dari sebelum sampai sesudah menggunalan hijab, Jingga tetaplah Jingga. Perempuan manis yang sebenarnya memiliki hati tulus. Jingga tidak pernah meminta imbalan atas segela yang ia lakukan dari dulu dan Biru tahu itu. Bahkan di saat anak seumurannya meminta kado kepada orang tua ketika mendapati nilai yang tinggi, Jingga tidak. Jingga melakukan semuanya dengan tulus.
“Iya, sayang.” Secepat kilat Biru mencuri kecupan dari bibir istrinya lalu berjalan dengan santai setelah tersenyum meledek karena melihat wajah Jingga yang kian memerah.
Langkahnya terlihat santai seperti tidak ada beban. Lalu ketika sampai kembali di ruang tamu—yang tidak jauh dari kamar lamanya—Biru segera duduk di sofa, berdampingan dengan Ayah. Di samping Bunda masih ada Amel yang sedang menceritakan hari-hari yang gadis itu lewati di Kairo. Tidak jarang juga terdengar nama Biru dari kalimatnya.
“Bun,”
Wanita paruh baya itu mengalihkan atensi pada putra semata wayangnya. “Jingga nggak hamil, kan?”
Kedua alis Biru bertaut, netranya beralih kepada Ayah yang sedang menatapnya juga. “Maksud Bunda?”
“Mual—dan muntah begitu, bukan pertanda kalau Jingga itu hamil, kan?”
Kalimat Bunda dijawab oleh Ayah, “Kok pertanyaan Bunda seolah-olah nggak mau kalau Jingga hamil, ya?”
“Bukan gitu, Yah.” Bunda menatap Ayah, Biru dan Amel bergantian. “Ayah tahu kalau siapa yang paling nggak setuju atas permintaan Biru, kan? Biru—Bunda sudah menahan ini sebenarnya. Ingat perjanjian dua tahun lalu?”
Susah payah Biru menelan salivanya ketika kejadian dua tahun lalu yang sempat ia lupakan kembali terputar di memori ingatannya. “Bun, tapi ini baru enam bulan.”
“Dua bulan lagi, Biru. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kalau Jingga belum juga mengandung, kan?”
Ayah menatap Bunda tidak percaya, “Bun. Kita batalkan semua perjanjian di hari itu. Jingga, Biru dan Amel bukan permainan. Mereka punya perasaan yang kita semua nggak bisa kendalikan.”
“Loh, Ayah? Bunda udah menuruti semua permintaan Ayah—juga mungkin Biru walau lewat Ayah, kan? Sekarang gantian, ya?” Netranya beralih kepada Biru yang masih memijat dahinya sendiri. “Biru, dua bulan, ya, Nak? Setelah itu kamu tahu apa yang harus dilakukan, kan?”
“Bun, Biru sayang sama Jingga ....”
Kuasa Bunda merengkuh pundak Amel, kedua sudut bibirnya terangkat penuh. “Perasaan sayang itu nggak ada yang memiliki umur panjang, Biru. Bahkan jam dindingpun bisa berhenti bergerak, kan?”
Sedangkan di dalam kamar, Jingga mendengar seluruh percakapan di ruang tamu yang memang jaraknya tidak jauh. Dia mengerutkan kening ketika memikirkan kata perjanjian yang selalu dikeluarkan oleh Bunda.
Sebenarnya ada apa?
Dilihatnya kembali testpack di tangan, hanya satu garis merah yang tergambar dengan jelas di sana. Hal itu membuat Jingga dengan segera membuang benda kecil itu ke dalam closet. Perempuan itu langsung menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan, menangis sejadi-jadinya karena hal yang tidak pernah ia tahu bahkan sampai detik ini tentang Biru dan keluarganya.