TetehnyaaJisung

“Masuk aja, saya tunggu di sini.” Kata pria berjaket levis di balik kemudi yang membuat Jingga mengalihkan pandang dari rumah sederhana di seberang jalan. “Kamu pulang aja, Nan. Makasih, ya, udah mau repot-repot anter aku ke sini.”

Afnan terkekeh kecil, “iya, sama-sama. Lagian kamu emang nggak pernah ngerepotin, Ga. Perasaan saya ke kamu yang ngerepotin. Suka kok sama orang yang sudah punya suami.”

Jingga tidak tau apa yang membuat Afnan menjadi sepemberani ini dalam mengungkap sebuah rasa. Dulu, Afnan hanya pria yang akan diam dan menyembunyikan perasaannya. Bahkan Jingga tau kalau Afnan ternyata menyimpan rasa untuknya aja dari Winar.

Eung... Aku masuk dulu, ya? Kamu kalau mau pulang, pulang aja. Makasih, Nan.” Balasnya.

Lagi-lagi kekehan kecil bersamaan dengan gelengan kepala yang menjadi respon pria itu. Netranya masih memperhatikan Jingga yang sedang menyeberangi jalan untuk masuk ke dalam rumah mertuanya. Tidak lama setelah itu, Afnan mendapati Jingga yang perlahan memelankan tungkainya.

Sedangkan di tempatnya, Jingga segera menghentikan pergerakan saat mendapati suara tidak 'senonoh' dari jendela kamar—yang ia ketahui dengan jelas adalah kamar milik Biru. Diam-diam air matanya mengalir melewati pipi. Dielusnya perut yang masih datar itu, ia bahkan harus menggigit bibir bawahnya untuk meredam segala suara yang bisa saja ia keluarkan.

Dengan kepercayaan diri yang entah kenapa sudah hilang saat mendengar suara tadi, Jingga kembali menggerakkan kakinya. Melangkah dan mengetuk pintu rumah sambil sesekali mengucapkan salam dengan gemetar.

Saat pintu kayu itu terbuka, netranya menangkap sosok Bunda yang matanya malah memerah—persis seperti habis menangis.

Kenapa? Bukannya harusnya Bunda senang?

“Bunda, kenapa?” Tangan Jingga terangkat untuk mengelus pipi Bunda, membersihkan sisa air mata wanita itu. “Bunda .... untuk sekarang Jingga nggak mau lepas Mas Biru apapun alasannya.”

Helaan napas terdengar dari bibir Jingga. Ia menipiskan bibirnya, meyakinkan dirinya sendiri atas kalimat yang akan ia keluarkan. “Jingga izinin Mas Biru untuk menikah sama Amel, Bun. Jingga bertahan sampai .... sampai seenggaknya anak Jingga lihat sosok Ayahnya.”

Tidak disangka, respon Bunda justru membuat hati Jingga kembali teriris. Bagian pipi yang sudah mulai mengering itu kembali dibasahi oleh air mata. Dengan cepat Jingga merengkuh daksa wanita senja itu, menenggelamkan diri di pelukan yang sebenarnya hangat.

“Bunda .... Maafin Bunda, Jingga.”

Jingga tersenyum kecil, “Bunda nggak salah. Harusnya Jingga tau ini dari awal, kan? Harusnya Jingga nggak perlu memaksa rasanya Mas Biru untuk Jingga, kan? Harusnya Ayah Jingga nggak perlu kaya gini untuk kebahagiaan Jingga, kan?”

Ayah, bukannya Jingga nggak mau menikah. Tapi masih ada satu pria yang Jingga tunggu.” Jingga ingat dengan betul, itu kalimat yang ia ucapkan dulu setelah ada tiga pria yang menawarkan pernikahan untuknya. Ia menolak karena ia percaya Biru masih dan akan selalu menjaga hati untuknya.

Tapi ternyata Jingga salah, salah besar. Biru tidak begitu mencintainya, dan segala janji yang diberikan adalah angan sementara yang terlanjur dianggap janji. Harusnya Jingga sadar diri,

dia ini siapa?

Begitu, kan?

“Jingga tau kalau Mas Biru emang udah ada rasa sama Amel sejak ketemu di Kairo kan, Bun?” Diam-diam air mata itu turun dari matanya, membasahi hijab merah muda milik Bunda.

Kadang semesta memang benar-benar sulit untuk ditebak dan dipercaya. Semua bertidak seolah-olah orang baik adalah yang paling jahat, begitupun sebaliknya.

“Maafin Ayah Jingga, ya, Bun? Di perjanjian dua tahun lalu .... Ayah bayar Mas Biru untuk bangun cabang di Indonesia, kan? Ayah bayar Mas Biru untuk kebahagiaan Jingga, kan?”

“Jingga?”

Perempuan itu melepaskan pelukannya, tersenyum kecil saat matanya mendapati Biru yang dipapah oleh Amel di sampingnya. “Jingga ... ngagetin, ya?”

Jingga meremat genggaman tangan yang ditautkan dengan suaminya saat langkah kaki mereka masuk ke dalam ruang tamu yang sore ini di isi oleh Bunda dan Amel. Suara gelak tawa mulai terdengar di indra pendengaran Jingga—yang ia berani bertaruh kalau dirinyapun belum pernah melihat atau bahkan mendengar Bunda tertawa selepas ini.

“Mas di sini. Nggak apa-apa.” Biru tahu dengan jelas lewat tatapan mata perempuannya kalau ia sedang tidak dalam keadaan baik. Dilepaskannya genggaman itu, kini kuasa beralih untuk meraih daksa Jingga.

Dengan langkah yang dimulai oleh Biru—dan Jingga mengikuti—di sini mereka sekarang, di ruang tamu untuk menemui Bunda. Satu-satunya pria di ruangan itu dengan cepat mencium punggung tangan Bunda, diikuti juga oleh Jingga. Netranya beralih pada Amel yang diam-diam menunjukkan senyum yang terpaksa. “Tante Resa kemana, Bun?”

Perempuan bergamis merah muda—Amel— itu berdiri dari tempatnya, meminta Jingga untuk mengisi single sofa yang ia duduki. Namun dengan perlahan, Biru menarik tangan perempuannya untuk duduk di antara dirinya dan Bunda.

“Bunda .... Bunda udah pulang, Mas.” Jawab Amel lalu kembali duduk di tempatnya.

Biru mengangguk sedangkan Jingga terus mengamati gadis yang sedikit lebih muda dari padanya itu. Amel jelas bukan perempuan yang mudah ditolak oleh seorang pria karena gadis itu hampir saja sempurna. Parasnya yang anggun, lantunan ayat suci yang begitu merdu dan bahkan ilmu tentang agamanyapun mungkin jauh lebih baik ketimbang Jingga.

Diam-diam Jingga tertawa kecil, menertawakan segala kebodohan yang hampir saja membuat dirinya kehilangan sang suami. Ditatapnya Biru yang sedang berbincang dan meyakinkan Bunda tentang segala yang terjadi sudah menjadi kehendak Semesta. Dan menikah dengan Jingga bukanlah sebuah kesalahan yang sudah ia lakukan, melainkan sebuah keharusan.

“Pernikahan itu suci, Bun. Nggak ada penikahan yang menjadi sebuah kesalahan.” Biru menatap Bunda yang sedari tadi justru diam saja dan malah sibuk membaca hal-hal yang tidak terlalu penting di dalam majalah.

Tangan putranya terangkat untuk mengambil majalah dari pangkuan Bunda, memindahkan pada tempatnya semula. Ditatapnya netra pekat milik Bunda dengan sedikit tatapan memohon. “Bun, kasih Biru kesempatan, ya? Biru yakin kalau ini bukan kesalahan Jingga. Ini cuma tentang waktu, Bun.”

“Biru, dengerin Bunda.” Wanita hampir senja itu membenarkan posisi duduknya, menatap sepenuhnya ke arah Biru walau netranya sesekali menghampiri Jingga yang sore ini terlihat dua kali lipat lebih cantik memakai hijab berwarna biru keabu-abuan. “Usia nggak pernah ada yang tahu, Nak. Bisa aja besok Ayah atau Bunda yang dipanggil sama Allah. Bayangkan, betapa menyedihkannya Bunda di atas sana karena menunggu kabar baik dari anak Bunda dan istrinya.”

Biru diam. Memori dua tahun lalu di saat ia bersiap untuk datang ke rumah Jingga dan menemui Ayah-Ibu kembali terputar di benaknya. Waktu itu Biru sedang mengambil kunci mobil di atas nakas dan Bunda menghampiri. Wanita itu bilang, “Bunda nggak pernah mengharap apa-apa dari keputusan kamu untuk menjadikan Jingga pilihan, Biru. Tapi kamu harus sadar apa yang perlu kamu berikan untuk Ayah sama Bunda dengan segera, ya, Nak?

Dari dulu Bunda memang menginginkan seorang cucu dari Biru dengan segera—maklum, anak pertama dan laki-laki. Dan kalau kejadiannya seperti ini, Biru harus benar-benar meyakinkan Bunda akan waktu yang terus berjalan dan tidak akan pernah berkhianat.

“Bunda—Mas Biru, Mbak Jingga .... Amel izin pulang, ya? Kayanya nggak enak aja kalau Amel di sini karena ini masalah keluarga.” Gadis bergamis merah muda itu berjalan mendekat ke arah Bunda—hendak mencium punggung tangan wanita itu.

“Bunda?” Entah apa yang ada di benak Jingga sampai kata tanya itu keluar begitu saja dari bibirnya. Karena jujur, Jinggapun sedikit tersentak akan hal itu.

Bunda melirik sekilas ke arah Jingga, mengulurkan tanannya untuk menarik Amel duduk di sisinya. “Jingga, bisa bergeser sedikit?”

Dengan cepat Jingga bangun dari posisinya, beralih untuk duduk di single sofa yang sebelumnya ditempati Amel. Kurvanya terangkat sedikit kala menyadari kalau Biru tidak juga melakukan pergerakan dan masih pada posisinya. Dengan jelas netra Jingga menangkap kalau Amel tersenyum dengan air muka bahagia ketika bisa duduk di antara Biru dan Bunda.

“Gimana, Biru? Masih ada yang mau dijelaskan?” Bunda mengelus punggung tangan Amel lembut, sesuatu yang selalu ia lakukan kepada Jingga waktu baru beberapa hari menikah dengan Biru.

“Benar kata Amel, Bun. Ini pembicaraan keluarga, dan nggak seharusnya seseorang yang bukan anggota mendengarkan semuanya.” Netra Biru sedikit melirik ke arah Amel yang sekarang justru menundukkan kepalanya.

Sedangkan Jingga menatap Amel sambil tersenyum kecil. Betapa munafiknya gadis cantik itu. Satu jam yang lalu, ia mungkin bersikap seolah-olah tidak lagi menginginkan Biru, tapi detik ini .... gadis itu bersikap seolah-olah ia harus mengambil hati Bunda. Kalau begini, bagaimana Jingga tidak memiliki pikiran yang negatif seperti kemarin?

Salahkah Jingga meminta Biru untuk menikahi Amel yang jelas-jelas sangat diinginkan oleh Bunda?

Perempuan berhijab biru keabuan itu menggelengkan kepalanya guna menghilangkan pening luar biasa yang tiba-tiba menyerang akibat memikirkan hal yang bahkan tidak perlu. “Uwek!

Seluruh pasang mata langsung mengalihkan atensi pada Jingga—termasuk Ayah yang baru saja menginjakkan kakinya di ruang tamu. Dengan cepat Biru menghampiri istrinya, membawa perempuan itu ke kamar mandi untuk mengeluarkan seluruh isi perutnya.

“Keluarin semua aja, Dek.” Dengan hati-hati Biru mengurut tengkuk Jingga, melepas perlahan hijab yang digunakan oleh istrinya agar tidak basah karena air. “Kamu abis makan apa, sih?”

Setelah dirasa sedikit lega, Jingga menatap pantulan wajah Biru dari kaca lalu sedikit tersenyum kala mendapati wajah khawatir suaminya. Dibasuh wajahnya sendiri dengan air, lalu memutarbalik tubuhnya. “Jingga nggak habis makan apa-apa, Mas. Nggak makan pedas juga durian—termasuk apapun yang diolah dari durian.”

“Terus—?”

Kalimat Biru terpaksa berhenti karena dengan tiba-tiba Jingga kembali memutar balikkan tubuh dan memuntahkan isi perut ke dalam wastafel. “Habis ini ke rumah sakit, ya?”

Jingga menggeleng, “Inimah masuk angin doang, Mas. Paling juga Dokter kasih obat yang sama kaya di rumah.”

Pelan-pelan Biru membawa istrinya ke dalam kamar yang sempat ia tempati dulu, lalu membawa perempuan itu untuk merebahkan diri. “Pulangnya nanti dulu, ya? Setelah makan malam.”

Memang apalagi yang akan Jingga lakukan selain menuruti kalimat Biru? Permintaan Bunda dan Ibu benar-benar diindahkan oleh perempuan itu untuk menuruti segala perintah dari Imamnya.

Ditahannya tangan Biru ketika pria itu bangun dari duduknya. “Mau ke mana, Mas?”

“Mau kembali yakinin Bunda, Dek. Nggak apa-apa ya kalau Mas tinggal sendiri?” Biru mengelus surai sebahu milik istrinya, dikecupnya dahi itu dengan tulus.

Sebuah senyum tipis kembali dihadiahi oleh Jingga untuk suaminya. “Nggak apa-apa, Mas. Pelan-pelan aja ngomong ke Bundanya, ya? Kontrol emosinya, kalau bisa minta ditemani Ayah.”

Sebenarnya ada jutaan alasan kenapa Biru memilih Jingga sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan sejak ia menjadi guru lesnya. Tapi ada satu alasan kuat yang selalu Biru suka dari Jingga. Dari sebelum sampai sesudah menggunalan hijab, Jingga tetaplah Jingga. Perempuan manis yang sebenarnya memiliki hati tulus. Jingga tidak pernah meminta imbalan atas segela yang ia lakukan dari dulu dan Biru tahu itu. Bahkan di saat anak seumurannya meminta kado kepada orang tua ketika mendapati nilai yang tinggi, Jingga tidak. Jingga melakukan semuanya dengan tulus.

“Iya, sayang.” Secepat kilat Biru mencuri kecupan dari bibir istrinya lalu berjalan dengan santai setelah tersenyum meledek karena melihat wajah Jingga yang kian memerah.

Langkahnya terlihat santai seperti tidak ada beban. Lalu ketika sampai kembali di ruang tamu—yang tidak jauh dari kamar lamanya—Biru segera duduk di sofa, berdampingan dengan Ayah. Di samping Bunda masih ada Amel yang sedang menceritakan hari-hari yang gadis itu lewati di Kairo. Tidak jarang juga terdengar nama Biru dari kalimatnya.

“Bun,”

Wanita paruh baya itu mengalihkan atensi pada putra semata wayangnya. “Jingga nggak hamil, kan?”

Kedua alis Biru bertaut, netranya beralih kepada Ayah yang sedang menatapnya juga. “Maksud Bunda?”

“Mual—dan muntah begitu, bukan pertanda kalau Jingga itu hamil, kan?”

Kalimat Bunda dijawab oleh Ayah, “Kok pertanyaan Bunda seolah-olah nggak mau kalau Jingga hamil, ya?”

“Bukan gitu, Yah.” Bunda menatap Ayah, Biru dan Amel bergantian. “Ayah tahu kalau siapa yang paling nggak setuju atas permintaan Biru, kan? Biru—Bunda sudah menahan ini sebenarnya. Ingat perjanjian dua tahun lalu?”

Susah payah Biru menelan salivanya ketika kejadian dua tahun lalu yang sempat ia lupakan kembali terputar di memori ingatannya. “Bun, tapi ini baru enam bulan.”

“Dua bulan lagi, Biru. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kalau Jingga belum juga mengandung, kan?”

Ayah menatap Bunda tidak percaya, “Bun. Kita batalkan semua perjanjian di hari itu. Jingga, Biru dan Amel bukan permainan. Mereka punya perasaan yang kita semua nggak bisa kendalikan.”

“Loh, Ayah? Bunda udah menuruti semua permintaan Ayah—juga mungkin Biru walau lewat Ayah, kan? Sekarang gantian, ya?” Netranya beralih kepada Biru yang masih memijat dahinya sendiri. “Biru, dua bulan, ya, Nak? Setelah itu kamu tahu apa yang harus dilakukan, kan?”

“Bun, Biru sayang sama Jingga ....”

Kuasa Bunda merengkuh pundak Amel, kedua sudut bibirnya terangkat penuh. “Perasaan sayang itu nggak ada yang memiliki umur panjang, Biru. Bahkan jam dindingpun bisa berhenti bergerak, kan?”

Sedangkan di dalam kamar, Jingga mendengar seluruh percakapan di ruang tamu yang memang jaraknya tidak jauh. Dia mengerutkan kening ketika memikirkan kata perjanjian yang selalu dikeluarkan oleh Bunda.

Sebenarnya ada apa?

Dilihatnya kembali testpack di tangan, hanya satu garis merah yang tergambar dengan jelas di sana. Hal itu membuat Jingga dengan segera membuang benda kecil itu ke dalam closet. Perempuan itu langsung menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan, menangis sejadi-jadinya karena hal yang tidak pernah ia tahu bahkan sampai detik ini tentang Biru dan keluarganya.

Biru menarik kurvanya lebar, manik mata tenggelam bahagia saat mendapati wanitanya sedang mengarahkan pandang ke sana-kemari untuk mencari dirinya.

Ketemu!

Ia tersenyum semakin lebar ketika netra yang lebih indah dari pada langit sore itu menatapnya lembut. “Sini.”

Belum ada sahutan dari si pemilik mata kesukaan Biru. Sedang pria itu sudah mengayunkan kakinya untuk mendekat. Dilepasnya tas karton itu di dekat kaki, lalu kuasa terangkat untuk mendekap daksa yang ia rindukan. Lalu segera ia kecup dahi itu cukup lama membuat beberapa orang di sekeliling memperhatikan dan memaklumi.

“Kangen banget?” Pelan-pelan Biru melepaskan peluknya, menatap wajah yang sedikit memerah itu. Seketika senyum manisnya hilang seolah dibawa pergi oleh seseorang. “Habis nangis?”

Wanitanya menggelengkan kepala singkat, tentu saja berbohong pada pria berkemeja putih itu. “Enggak. Tadi Jingga ketiduran aja di mobil. Kalau nggak percaya, coba aja tanya Pak Ali.”

“Mas percaya kamu tidur di mobil. Tapi sebelum tidur pasti nangis.” Biru menggeser sedikit daksanya, menatap Pak Ali yang berdiri tidak jauh di belakang Jingga. “Ya kan, Pak?”

Pria paruh baya berbaju hitam itu mengangguk dan menunduk. Sedang Biru kembali mengambil tas karton di dekat kaki—memberikan seluruhnya pada sang belahan jiwa. “Isinya mukenah sama Al-Qur'an.”

Kuasa milik Jingga menerima tas karton itu, sedikit mengintip isinya dengan senyum manis. Netranya kembali menatap dalam milik Biru seolah sedang siap-siap kalau ada sesuatu yang terjadi ke depannya.

“Ada apa?” Tanya Biru dengan kuasa yang terangkat untuk merapikan hijab yang digunakan istrinya.

Entah kenapa, tapi setelah Bunda mengatakan apa keinginannya—yang tidak sengaja didengar oleh Jingga— perempuan itu jadi lebih murung di setiap ia menatap Biru. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi kebanyakan manusia dituntut untuk jadi seperti itu.

Perempuan itu menggeleng, “Nggak. Nggak apa-apa. Yuk pulang!” Ajaknya sambil menyelipkan jemari di antara ruas milik suaminya.

Ia tahu, tahu dengan jelas segala kekhawatiran yang ada di pikiran perempuannya. Biru juga tahu kenapa Jingga menutupi segala yang ia rasa seolah-olah perasaannya itu adalah beban bagi orang lain. Dengan itu, Biru pelan-pelan menuntut jawaban pada Semesta karena ia rasa tidak ada yang salah dari pernikahannya.

“Pernikahan itu suci, Biru.” Kata Ayah empat tahun lalu saat mereka sedang duduk berdua, menikmati pisang goreng buatan Bunda.

“Ga,” panggil Biru yang membuat Jingga mengalihkan pandang dari jendela dan menatapnya penuh tanya. Biru tertawa kecil di saat yang bersamaan, Jingga memang benar-benar diciptakan dengan sangat hati-hati oleh Sang Pencipta. “Pindah ke Kairo, ya?”

Dahinya mengerut, “Siapa, Mas?”

“Ya kita, lah. Mas sama kamu.” Katanya. Kuasa itu terangkat untuk mendekap hangat daksa wanitanya.

Jingga tertawa kecil, menatap Biru dari tempatnya. Salah satu hal yang menjadi kesukaan Jingga akhir-akhir ini adalah menatap wajah suaminya dari jawab. Hidung, bibir, mata—dan semuanya terlihat jauh lebih indah. “Jauh banget. Di sini aja, lah, Mas. Sayang juga kamu baru beli rumah di Kemang, kan?”

“Itu bisa dikontrakkan atau dijual, Ga.” Pelan-pelan ia mengelus bahu kanan Jingga dengan lembut.

Jingga menegakkan tubuhnya, menatap sang suami tidak percaya. “Hadiah pernikahan katamu, kan? Mau dijual? Yang bener aja, Mas, ah. Ngaco.”

Biru diam. Meredam seluruh alasannya untuk mengajak istrinya pindah ke negeri orang. Ini masalah rumah tangganya, dan ia tidak mau kalau Pak Ali selaku supir pribadi Jingga mendengar seluruh percakapannya.

“Biar handle pusat lebih enak ya, Mas?” Jingga merendahkan suara dari sebelumnya, karena tanpa sadar tadi ia berbicara dengan nada tinggi kepada suaminya. “Jingga .... ikut kemanapun Mas Biru pergi. Mas Biru itu Imam Jingga. Apapun keputusan Mas Biru, Insya Allah Jingga terima.”

Kuasanya lagi-lagi terangkat untuk merengkuh daksa kecil Jingga, mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Biru tidak tau bagaimana rasanya menjadi perempuan itu, tapi di sisi lain iapun merasa gagal dalam menjaga istrinya dari kalimat-kalimat yang seharusnya tidak didengar. Diam-diam ia menangis dalam hati, merasa gagal atas semua yang terjadi dalam hidup istrinya. Janji enam bulan lalu terasa semakin berat hari ini—dan mungkin pada hari selanjutnya.

Bukan. Bukan karena Biru telah menghianati janjinya pada Ayah Jingga di hari pernikahan. Tapi karena Bunda yang justru sibuk mencari hal-hal yang tidak perlu dicari. Di sisi lain, Biru tidak ingin melakukan hal yang Bunda inginkan. Tapi di sisi yang lain lagi, Biru tidak boleh menentang kalimat Bunda karena surganya ada di sana.

“Mas,” Jingga meletakkan dirinya di samping Biru yang baru saja selesai mandi. “Jingga mau ngomong, boleh?”

Biru mengangguk ragu, jantungnya tidak bisa ia kendalikan terlebih saat netranya menatap sang istri. “Ngomong apa, Dek?”

Perempuan itu menundukkan kepalanya. “Jingga pernah menolak permintaan Mas Biru?”

Biru menggeleng.

“Jingga pernah melawan Mas Biru?”

Lagi-lagi ia menggeleng.

“Jingga .... boleh minta sesuatu?”

Biru mengangguk walaupun ragu. Kuasanya terangkat untuk mengusap kepala sang istri yang bahkan detik ini masih menundukkan kepalanya. Namun dengan sejuta tekad yang sudah bulat, Jingga menegakkan tubuhnya—menatap Biru penuh harap.

“Jingga nggak pernah menentang Mas Biru dari awal kita menikah, Mas.”

“Mas Biru minta kita pindah ke Kemang, Jingga ikut. Mas Biru mau bulan madu di Kairo, Jingga ikut. Mas Biru mau bangun cabang di Surabaya, Jingga iyakan. Jingga .... nggak pernah menuntut Mas Biru untuk jadi sempurna. Tapi kali ini tolong turuti mau Bunda, ya?”

Biru bangkit dari posisinya, menatap Jingga yang diam-diam sudah menangis dengan suara bergetar. “Ga, enggak. Mas nggak akan ngelakuin hal gila itu. Kita coba terus, ya? Pernikahan kita masih terbilang muda dan kamu udah mau menyerah, Ga?”

“Bukan menyerah, Mas. Jingga nggak akan ninggalin Mas Biru. Kita nggak akan pisah, Mas. Cuma kita harus kasih ruang untuk satu orang lagi demi menyempurnakan segalanya.” Jingga menatap suaminya penuh harap karena demi apapun ini adalah satu dari jutaan hal gila yang selalu ia pikirkan.

“Jingga Insya Allah ikhlas kalau harus berbagi Mas Biru untuk seseorang yang menyempurnakan Mas Biru.” Satu bulir air mata itu kembali lolos membasahi pipinya membuat hati Biru tersayat begitu saja.

“Ga, ini bakalan nyakitin kamu lebih jauh lagi. Kita nggak perlu buru-buru, sayang. Dengerin Mas, percaya sama Mas, ya?”

Ia sudah tidak tau lagi apa yang harus dipercaya dari kalimat Biru di saat Bunda masih dengan cepat mengharapkan kehadirkan sebuah keturunan. Sudah. Rasanya sudah cukup batinnya tersiksa selama ini lewat kalimat-kalimat menyakitkan milik Bunda.

“Nikah sama Amel ya, Mas?”

Biru menarik kurvanya lebar, manik mata tenggelam bahagia saat mendapati wanitanya sedang mengarahkan pandang ke sana-kemari untuk mencari dirinya.

Ketemu!

Ia menarik kurvanya semakin lebar ketika netra yang lebih indah dari pada langit sore itu menatapnya lembut. “Sini.”

Belum ada sahutan dari si pemilik mata kesukaan Biru. Sedang pria itu sudah mengayunkan kakinya untuk mendekat. Dilepasnya tas karton itu di dekat kaki, lalu kuasa terangkat untuk mendekap daksa yang ia rindukan. Lalu segera ia kecup dahi itu cukup lama membuat beberapa orang di sekeliling memperhatikan dan memaklumi.

“Kangen banget?” Pelan-pelan Biru melepaskan peluknya, menatap wajah yang sedikit memerah itu. Seketika senyum manisnya hilang seolah dibawa pergi oleh seseorang. “Habis nangis?”

Wanitanya menggelengkan kepala singkat, tentu saja berbohong pada pria berkemeja putih itu. “Enggak. Tadi Jingga ketiduran aja di mobil. Kalau nggak percaya, coba aja tanya Pak Ali.”

“Mas percaya kamu tidur di mobil. Tapi sebelum tidur pasti nangis.” Biru menggeser sedikit daksanya, menatap Pak Ali yang berdiri tidak jaug di belakang Jingga. “Ya kan, Pak?”

Pria paruh baya berbaju hitam itu mengangguk dan menunduk. Sedang Biru kembali mengambil tas karton di dekat kaki—memberikan seluruhnya pada sang belahan jiwa. “Isinya mukenah sama Al-Qur'an.”

Jingga menurunkan tangannya lagi, mengurungkan niat untuk mengetuk pintu kamar Bunda karena dari dalam terdengar suara pertikaian kecil antara Bunda dan Putri. Wanita bergamis cokelat itu meremat tangannya sendiri ketika namanya kembali dibawa-bawa dalam pertikaian di dalam. Hati Jingga terasa sakit saat tahu kalau Putri bahkan memerangi Bunda sendiri hanya karenanya.

“Bun, Bunda sadar apa yang Bunda bilang saat Amel ada di sini tadi?” Putri terdengar sedikit meninggikan suara dari sebelumnya membuat Jingga kembali dihadiahi rasa bersalah. “Bunda tahu apa yang dirasain Mbak Jingga saat Bunda bilang betapa pantasnya Amel jadi istri Mas Biru?”

“Bunda tahu gimana Mbak Jingga meremas tangannya sendiri di bawah meja makan? Putri yang lihat aja sakit, Bun. Gimana kalau Mas Biru sampai tahu hal ini? Apa Bunda siap ditinggal Mas Biru lagi pergi ke Kairo bareng Mbak Jingga?” Di sini suara Putri mulai melemah diiringi getaran di setiap kalimat yang membuat Jingga meremat dadanya sendiri.

“Bunda .... apa Bunda ngerasain gimana sakitnya Mbak Jingga disaat Bunda buka aibnya di depan Amel dan Bundanya? Putri bener-bener nggak habis pikir sama Bunda. Putri kecewa sama Bunda.”

“Kenapa Bunda menyetujui Mas Biru menikah sama Mbak Jingga kalau pada akhirnya Bunda sendiri memerangi Mbak Jingga? Kenapa Bunda berubah jadi sosok yang kaya gini?”

“Karena Jingga cacat, Putri. Jingga nggak bisa memiliki keturunan dan Bunda tahu akan hal itu. Bunda nggak mau selamanya Biru hidup dalam kesepian. Walau ada Jingga di sisinya, setidaknya Biru harus memiliki keturunan—begitu pula sama kamu nantinya.” Bunda meninggikan suaranya di dalam sana sambil melempar amplop cokelat yang isinya adalah hasil dari cek minggu lalu.

Di dalam sana Putri membaca hasil yang dituliskan dengan jelas kalau Jingga memang selamanya tidak bisa memiliki keturunan. Tapi Dokter bukanlah Tuhan. Lagian ini belum ada satu tahun pernikahan Jingga dengan Biru. Kenapa Bunda buru-buru sekali, sih?

“Dokter itu bukan Allah, Bun. Kenapa Bunda harus percaya sama ciptaan Allah, sih? Putri yakin kalau Mbak Jingga bisa kasih Mas Biru keturunan—cepat atau lambat.” Putri bangkit dari duduk, hendak meninggalkan Bunda seorang diri di ruang persegi penuh sesak itu.

“Biru harus menikah sama Amel gimanapun caranya.” Kalimat Bunda membuat Putri menghentikan langkah, menatap wanita kesayangannya itu tidak percaya.

Memang satu minggu lalu Bunda mengajak Jingga ke rumah sakit untuk periksa, dan katanya Bunda akan mengambil hasilnya sendiri—padahal Dokter bisa saja menjelaskan hasilnya saat itu juga. Jingga tahu, karena Jingga sendiri adalah Dokter.

“Jadi .... hasilnya udah diambil Bunda?”

“Hasil apa, Ga?”

Jingga mengapus seluruh air matanya saat telinga mendengar suara Ayah yang mungkin sudsh berdiri beberapa meter di belakang. Ia memutar balik tubuh sambil tersenyum kecil ke arah Ayah mertuanya. “Nggak ada hasil apa-apa, Yah.”

“Kamu nangis?” Ayah berjalan mendekat, menarik tangan menantunya untuk duduk di ruang tengah. “Soal makan malam tadi, ya? Maafin Bunda ya, Ga. Ayah juga nggak tahu kenapa setelah kehadiran Amel di Jakarta bikin Bunda jadi kaya gini.”

Jingga menunduk dalam, memilih untuk mendengarkan kalimat yang keluar dari bibir Ayah.

“Dulu Bunda orang yang paling bahagia saat tahu kalau Amel dekat sama Biru.” Ayah tertawa kecil mengingat saat-saat bagaimana reaksi bahagia Bunda saat tahu kalau putranya sedang dekat dengan seorang gadis. “Tapi Bunda juga orang yang paling menentang pernikahan kamu dan Biru. Waktu itu Ayah bilang ke Bunda, Biru sudah besae dan perasaan anak itu bukan lagi tanggung jawab Ayah dan Bunda. Biru berhak menentukan siapa pilihannya. Dan kamu tau, Ga?”

Ayah menarik kurva seluas himalaya. “Seberapa keras manusia menentang tapi kalau Allah sudah berkehendak dan menentukan, manusia bisa apa?” Kuasa Ayah terangkat untuk mengelus puncak kepala Jingga lembut. “Percaya sama Ayah, nggak ada yang lebih pantas dari pada Jingga untuk mendampimgi putra Ayah.”

Jingga mengangguk kecil walau dalam hatinya ia benar-benar tersayat. Bukan Ayah, bukan Jingga orangnya. Jingga nggak bisa kasih keturunan untuk Mas Biru dan Bunda benar .... Mas Biru perlu keturunan untuk menghilangkan lelahnya di kemudian hari.

Perempuan itu berdiri dari sofa, menatap Ayah sambil tersenyum kecil. “Ayah, Jingga izin untuk pulang ke rumah Ibu. Insya Allah sebisa mungkin Jingga nggak cerita ke siapapun tentang kejadian hari ini. Ayah dan yang lain nggak usah takut kalau Ayah Jingga marah, ya?”

Ayah Danu ikut berdiri, mengulurkan tangan untuk disalimi oleh menantunya. “Ayah nggak pernah takut Ayah kamu marah. Tapi Ayah takut kalau kamu marah dan meninggalkan Biru, Ga.”

Ia menggeleng walau tidak yakin pada dirinya sendiri. “Insya Allah Jingga nggak akan meninggalkan Mas Biru kalau bukan Mas Biru sendiri yang minta Jingga untuk pergi, Yah.”

“Mau Ayah antar ke rumah Ibu?” Ayah Danu berjalan menggiring Jingga ke pintu utama dengan senyum khas yang menenangkan—persis seperti milik Biru.

Jingga menggeleng lagi, “Nggak usah, Yah. Jingga sendiri aja, nggak apa-apa. Salam untuk Bunda dan Putri, ya, Yah. Assalamualaikum.”

Setelah salamnya dijawab oleh Ayah Danu, Jingga buru-buru melesat pergi dari rumah mewah keluarga itu. Telapak tangan kanannya ia gunakan untuk menutup mulutnya guna meredam isak tangis agar tidak mencuri perhatian orang-orang yang berlalu-lalang. Sedang tangan satunya ia gunakan untuk merogoh saku gamis dan mengetik balasan pesan untuk Afnan—yang kebetulan menghubunginya duluan.

Butuh waktu lima belas menit untuk Jingga duduk di halte dan menunggu Afnan. Dan di sinilah ia sekarang, di dalam mobil Afnan tanpa suara karena tidak ada yang berani memulai. Jingga sibuk menangis sambil menatap ke luar jendela, sedang Afnan berusaha fokus pada strinya.

“Ga, kamu beneran nggak apa-apa?”

Jingga menoleh, “Nan, setiap orang itu bisa berubah, ya?”

“Ga, setiap orang emang bisa berubah. Tapi yang pantes dimaklumi itu berubah jadi lebih baik, bukan berubah jadi buruk.” Afnan mengalihkan seluruh pandangannya ke Jingga karena lamou alu lintas berubah menjadi merah. Diam-diam.ia mengangkat kurvanya, Jingga masih sama—tidak ada yang berubah. “Kamu beneran nggak apa-apa? Bisa cerita ke saya kalau mau.”

Dia menggeleng singkat. Untuk masalah ini Jingga tidak akan mengumbar-umbar, terlebih ini adalah salah satu aibnya. Perempuan itu berusaha sebisa mungkin untuk menjadi dirinya sendiri tapi tidak mengumbar aib juga.

“Mas Biru ada apa ke Surabaya, Ga?”

Perempuan itu membenarkan posisi duduknya. “Lagi mau buka cabang resto ke-empat di sana.”

“Wih, pusat restonya di mana, sih?”

“Kairo masih jadi pusat sih sejauh ini. Mas Biru sering bolak-balik ke sana, kalau ada kesempatan aku ikut.”

Afnan mengangguk mengerti, ia berusaha sebisa mungkin memahami perasaannya sekarang yang sudah mulai bisa ia kembalikan. “Besok saya berangkat ke turki, Ga.”

Ia menoleh, “Ngapain?”

“Ngambil program S2 di sana. Kalau kata Bunda sekalian cari yang nggak ada di Indonesia.” Lalu diselingi kekehan pada akhir kata yang membuat Jingga hanyut dalam tawa juga.

Obrolan-obrolan ringan mengiringi mereka sampai tidak terasa mobil Afnan sudah berhenti tepat di depan rumah Jingga. Perempuan berhijab itu sdsh menawarkan untuk mampir namun dengan halus Afnan menolaknya dengan dalih ingin membeli beberapa kebutuhan yang dipersiapkan.

“Sekarang bobo, yuk? Nanti tahajudan Mas yang bangunin.” Biru membawa isterinya ke kasur, lalu menyelimuti Jingga dengan selimut tebalnya. Diciumnya dahi itu dengan tulus membuat sang istri tersenyum bahagia.

Do'anya bukan lagi meminta kebahagiaan yang lebih, tapi pertahankan saja bahagia yang ini. Jingga bukan manusia yang suka meminta lebih, tapi ia lebih memilih untuk bertahan pada situasi yang selalu membuatnya merasa cukup dan dicintai.

Terlebih oleh suaminya,

Biru Putra Danu.

Jingga menoleh, “Mas lupa kalau Jingga lagi halangan?”

“Astaghfirullah.” Biru mengusap wajahnya sendiri lalu tersenyum manis. “Yaudah sini mana perutnya, dielus dulu biar nggak sakit. Kata Bunda, halangan tuh sakit banget, ya?”

Jingga tersenyum, lalu merapatkan dirinya sendiri ke tubuh Biru. “Bunda kasih tau apalagi ke Mas Biru?”

“Kasih tau tentang?”

Dia terkekeh, “sulitnya jadi perempuan.”

Pria itu mengelus punggung istrinya dengan lembut lalu mengecup puncak kepalanya berkali-kali. “Melahirkan, mengandung dan haid itu sakitnya bukan main kata Bunda. Dan dari sana Mas mulai pelan-pelan untuk nggak menyakiti hati perempuan—apalagi Bunda, Putri sama kamu.”

“Iya?”

Biru mengangguk mantap sambil terus mengelus punggung Jingga dan sesekali turin ke perut bagian belakang. “He'em, coba—apa pernah Mas nyakitin kamu, Ga?”

Jingga menggeleng samar, “enggak ....”

“Kalau untuk hari ini, maaf, ya? Tapi sebenernya Mas tadi nggak merasa lagi marah sama kamu. Mas cuma—”

“Mas cuma nggak mau Jingga nggak sopan sama orang lain, terlebih orang yang kita kenal, kan?” Jingga mengulum senyum lalu tangannya terangkat untuk mengelus pipi suaminya.

Pria berpiyama abu itu mengangguk, “Mas sayang banget sama Jingga soalnya.”

Pelan-pelan Jinga mulai menjauhkan tubuhnya, menatap netra kecokelatan itu dalam. “Mas, hukum poligami itu apa?”

“Kok nanyanya gitu?” Biru mengerinyitkan alisnya ke dalam. Tanannya terangkat untuk menyelipkan anak rambut ke daun telinga istrinya. “Islam itu nggak melarang poligami secara mutlak—haram. Nggak juga menghalalkan poligami secaa mutlak, Ga. Poligami itu .... boleh dilakukan kalau istri pertamanya ikhlas dan suaminya dapat berlaku adil—adil dalam hal apapun lh, ya. Emang kenapa, sih?”

Gadis itu menipiskn bibirnya lalu menggeleng kecil, “nggak, nggak apa-apa. Mas kenapa kita nggak— ke Turki aja?”

“Apa? Bulan madu?”

Jingga mengangguk ragu. Ia tidak mau menentang keinginan suaminya, tapi di sisi lain ada perasaan mengganjal di hatinya.

“Masih nggak mau ke Kairo, ya?”

“Bukan, bukan gitu ....”

“Terus?”

Jingga menggigit bibir dalamnya. Ingin jujur, tapi rasanya tidak mungkin. Lagi pula ia sudah memutusakan untuk mempercayai Biru sepenuhnya, kan?

“Nggak deh. Udah, yuk! Bobo aja.”

Biru mengangguk, “baca do'a dulu.”

“Nanti bangunin Jingga kalau Mas subuhan, ya. Mau siapin sarapan buat yang lain juga.” Lalu diakhiri kecupan manis di pipi kiri Biru setelahnya.

“Sekarang bobo, yuk? Nanti tahajudan Mas yang bangunin.” Biru membawa isterinya ke kasur, lalu menyelimuti Jingga dengan selimut tebalnya. Diciumnya dahi itu dengan tulus membuat sang istri tersenyum bahagia.

Do'anya bukan lagi meminta kebahagiaan yang lebih, tapi pertahankan saja bahagia yang ini. Jingga bukan manusia yang suka meminta lebih, tapi ia lebih memilih untuk bertahan pada situasi yang selalu membuatnya merasa cukup dan dicintai.

Terlebih oleh suaminya,

Biru Putra Danu.

Jingga menoleh, “Mas lupa kalau Jingga lagi halangan?”

“Astaghfirullah.” Biru mengusap wajahnya sendiri lalu tersenyum manis. “Yaudah sini mana perutnya, dielus dulu biar nggak sakit. Kata Bunda, halangan tuh sakit banget, ya?”

Jingga tersenyum, lalu merapatkan dirinya sendiri ke tubuh Biru. “Bunda kasih tau apalagi ke Mas Biru?”

“Kasih tau tentang?”

Dia terkekeh, “sulitnya jadi perempuan.”

Pria itu mengelus punggung istrinya dengan lembut lalu mengecup puncak kepalanya berkali-kali. “Melahirkan, mengandung dan haid itu sakitnya bukan main kata Bunda. Dan dari sana Mas mulai pelan-pelan untuk nggak menyakiti hati perempuan—apalagi Bunda, Putri sama kamu.”

“Iya?”

Biru mengangguk mantap sambil terus mengelus punggung Jingga dan sesekali turin ke perut bagian belakang. “He'em, coba—apa pernah Mas nyakitin kamu, Ga?”

Jingga menggeleng samar, “enggak ....”

“Kalau untuk hari ini, maaf, ya? Tapi sebenernya Mas tadi nggak merasa lagi marah sama kamu. Mas cuma—”

“Mas cuma nggak mau Jingga nggak sopan sama orang lain, terlebih orang yang kita kenal, kan?” Jingga mengulum senyum lalu tangannya terangkat untuk mengelus pipi suaminya.

Pria berpiyama abu itu mengangguk, “Mas sayang banget sama Jingga soalnya.”

Pelan-pelan Jinga mulai menjauhkan tubuhnya, menatap netra kecokelatan itu dalam. “Mas, hukum poligami itu apa?”

“Kok nanyanya gitu?” Biru mengerinyitkan alisnya ke dalam. Tanannya terangkat untuk menyelipkan anak rambut ke daun telinga istrinya. “Islam itu nggak melarang poligami secara mutlak—haram. Nggak juga menghalalkan poligami secaa mutlak, Ga. Emang kenapa, sih?”

Gadis itu menipiskn bibirnya lalu menggeleng kecil, “nggak, nggak apa-apa. Mas kenapa kita nggak— ke Turki aja?”

“Apa? Bulan madu?”

Jingga mengangguk ragu. Ia tidak mau menentang keinginan suaminya, tapi di sisi lain ada perasaan mengganjal di hatinya.

“Masih nggak mau ke Kairo, ya?”

“Bukan, bukan gitu ....”

“Terus?”

Jingga menggigit bibir dalamnya. Ingin jujur, tapi rasanya tidak mungkin. Lagi pula ia sudah memutusakan untuk mempercayai Biru sepenuhnya, kan?

“Nggak deh. Udah, yuk! Bobo aja.”

Biru mengangguk, “baca do'a dulu.”

“Nanti bangunin Jingga kalau Mas subuhan, ya. Mau siapin sarapan buat yang lain juga.” Lalu diakhiri kecupan manis di pipi kiri Biru setelahnya.

Jingga menghela napas sebelum akhirnya menekan knop pintu kamar. Tatapannya jatuh kepada Biru yang baru saja meletakkan ponselnya sambil tersenyum kecil. Kepalanya geleng-geleng sendiri, lalu beralih untuk mengambil buku Sejarah Islam di nakas.

“Mas,” Jingga kembali menutup pintu, berjalan pelan untuk meletakkan ponselnya di atas nakas. “Amel nanyain apa?”

Biru menoleh, menyunggingkan senyum yang setiap hari hanya ia berikan untuk orang yang ia sayang. “Kerjaan doang, Dek. Besok Mas mau ketemu Amel.” Matanya melirik Jingga yang langsung menghentikan pergerakan saat melepas kerudungnya. “Kamu ikut, ya?”

Jingga melenggeleng singkat. “Nggak, Mas. Jingga mau di rumah aja. Lagi halangan nggak enak pergi ke mana-mana.”

Sejujurnya Jingga ingin sekali pergi menemani Biru dan bertemu dengan Amel. Tapi rasa itu ia tahan karena mulai sekarang Jingga akan sepenuhnya percaya dengan Biru. Tadi kebetulan Ibu ngomong, “baru menikah itu nggak boleh kebanyakan bertengkar, Ga. Ngertiin satu sama lain, kalau Biru nggak bisa mengerti—gantian kamu yang ngertiin dia.

Ibu tidak sepenuhnya salah, Jinggapun begitu. Karena bagaimanapun juga Jingga hanya mengjaga sesuatu yang sudah menjadi miliknya dari orang lain. Jingga tau kalau Biru bukan pulpen yang kalau ditinggal sebentar di atas meja langsung hilang begitu saja. Tapi perasaan tidak ada yang tau, kan? Jadi yang mampu Jingga lakukan untuk saat ini adalah sepenuhnya mempercayai Biru.

Di sisi lain kadang Jingga berpikir, batu kalau kelamaan ditetes dengan air, pasti rapuh juga. Begitupula perasaan, kan?

“Bener nggak mau ikut? Besok pulangnya kita lansung belanja persiapan berangkat.” Tanya Biru sambil membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman lagi.

Jingga menggeleng, “nggak, Mas. Besok Mas Biru anter Jingga ke rumah Bunda aja. Setelah Mas ketemu sama Amel dan bicarain pekerjaan, baru Mas jemput Jingga lagi.”

“Bolak-balik, dong? Kenapa nggak ikut aja, sih? Masih marah?”

Jingga melihat wajah Biru dari pantulan kaca rias sambil menghela napas. “Mas, Jingga udah minta maaf, kan? Jingga juga udah nggak marah, kok.”

“Terus kenapa nggak mau ikut? Mas sama Amel itu bukan mahram loh?” Biru tidak habis pikir dengan istrinya itu, bagaimana ia bisa mengizinkannya pergi sendirian untuk bertemu seorang gadis.

Jingga memutar balik tubuh, sepenuhnya menatap Biru dalam. “Jingga cuma nggak mau nuntut Mas Biru ini-itu. Jingga mau sepenuhnya percaya sama Mas Biru. Jingga pelan-pelan merubah pola pikir Jingga menjadi lebih luas biar Mas Biru nggak merasa terkekang.” Setelahnya ia menengadahkan wajah, menahan air mata agar tidak turun dari pelupuknya.

Pria berpiyama abu itu turun dari kasur, berjalan pelan mendekati istrinya. Tangannya terangkat untuk membawa Jingga dalam pelukan. “Maaf, maafin Mas Biru .... Mas ngomongnya pakai nada tinggi, ya? Mas nyakitin hati Jingga, ya?”

Berhasil.

Kalimat Biru sepenuhnya berhasil membuat air mata Jingga turun dengan bebas membasahi pipinya. Gadis berjiwa lemah itu menangis di pelukan suaminya.

“Mas .... Mas nggak salah, maafin Jingga ....” Gadis itu menengadahkan wajahnya untuk menatap Biru dari bawah. “Jingga nggak mau jadi egois, Mas. Jingga nggak mau cemburuan. Besok .... Mas pergi temui Amel nggak apa-apa. Ada Mas Ten pasti, kan?”

Biru mengangguk kecil, mengecup puncak kepala istrinya lembut. “Mas ajak Amel lansung ke cafe karena dia cari kerjaan. Besok kalau masalah kerja udah selesai, Mas jemput kamu di rumah Bunda, ya?”

Jingga mengangguk lalu menipiskan bibirnya. Ia sama sekali tidak ingin menganggu dunia perbisnisan yang dibangun oleh suaminya sejak beberapa tahun lalu. Ia mengenal seluruh karyawan Biru, tapi untuk masalah lain-lain Jingga tidak ingin mengganggu.

“Sekarang bobo, yuk? Nanti tahajudan Mas yang bangunin.” Biru membawa isterinya ke kasur, lalu menyelimuti Jingga dengan selimut tebalnya. Diciumnya dahi itu dengan tulus membuat sang istri tersenyum bahagia.

Do'anya bukan lagi meminta kebahagiaan yang lebih, tapi pertahankan saja bahagia yang ini. Jingga bukan manusia yang suka meminta lebih, tapi ia lebih memilih untuk bertahan pada situasi yang selalu membuatnya merasa cukup dan dicintai.

Terlebih oleh suaminya,

Biru Putra Danu.

Biru meletakkan ponsel milik Jingga ke tempatnya semula. Tatapannya berhenti pada gadis bersurai cokelat yang sedang tidur membelakanginya. Biru tau pasti kalau Jingga belum benar-benar terlelap, itu sebabnya ia memilih untuk ikut tiduran di samping Jingga—sedikit menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Mas—”

“Mas tau kalau kamu belum bener-bener bobo. Mas mau cerita dulu, nih. Mau didengerin nggak?” Katanya. Diakhiri dengan beberapa kecupan di puncak kepala sang istri.

Gadis itu menghela napasnya, “nggak ah, Jingga ngantuk. Besok aja, kalau sempet.”

“Aduh ngambek ....” Biru terus-terusan menghujani kecupan ringan di atas kepala Jingga sampai pada pipi kanannya.

Sebenarnya Jingga senang-senang saja dan tidak risih sama sekali, tapi emang sepertinya ada beberapa hal yang menganggu pikiran hari ini. Mulai dari kalimat Bunda pagi tadi sampai dengan gadis bernama Amel.

“*Kasih cucu buat Ayah sama Bunda jangan lama-lama ya, Ga. Kamu kalau bisa resign jadi Dokter aja. Kan sudah ada Biru yang menanggung semuanya.*”

Itu kata Bunda pagi tadi yang membuat pikiran Jingga malayang ke mana-mana. Bukannya tidak mau segera memberi cucu, Jingga juga mau kok—nanti. Tapi bukan itu point kalimat Bunda yang menjadi pikiran Jingga. Tentang pekerjaannya. Jingga sudah berjalan sejauh ini, lalu harus berhenti di tengah jalan hanya karena ia diharapkan sebagai Ibu rumah tangga?

“Dek, bobo beneran nih?” Biru tidak lagi menumpu tubuhnya dengan satu tangan, sekarang ia sudah berbaring sepenuhnya di atas kasur—menghirup aroma dari surai hitam isterinya.

Hening. Mereka membiarkan kamarnya terasa damai sebelum akhirnya Jingga memutar-balik posisi untuk sepenuhnya menghadap Biru. “Mas,”

Pria berkaus putih itu membuka matanya perlahan, padahal ia baru saja ingin benar-benar terlelap. Hari ini termasuk hari yang melelahkan untuk pikirannya. Mulai dari Ayah yang mengajak bemain catur, Renan yang minta dibantu mengerjakan tugas sampai Amel yang tiba-tiba mengirim pesan ke nomor Jingga.

Tapi walau ngantuk-ngantuk begitu, Biru tetap membuka mata dan tersenyum lebar ke arah Jingga. Ditatapnya bolamata yang tetap bersinar walau di bawah pencahayaan yang minim itu dalam. “Kenapa, istriku?”

“Apaandeh!” Jingga menenggelamkan wajahnya yang ia sendiri yakin sudah berubah warna merah padam itu ke atas bantal. “Mas, ih, serius!”

“Loh? Mas juga serius. Kan kamu istrinya Mas?”

Iya, benar juga. Jingga segera merutuki dirinya dalam hati. Ya tapi tetap saja, statusnya memang sudah resmi menjadi istri dari seorang Biru Putra Danu—tapi kalau sudah seperti ini bagaimana bisa jantung Jingga bekerja dengan baik?

“Ada apa, sayangku? Bidadariku? Kekasih surgaku?” Biru megangkat tangannya untuk merapikan surai legam istrinya dengan lembut.

“Jingga ada beberapa pertanyaan, jawab jujur, ya?” Gadis itu mengangkat jari kelingkingnya yang seketika membuat Biru tertawa namun tetap menautkan jemarinya dengan sang istri.

Biru mengangguk penuh keyakinan, “insya Allah Mas jawab jujur.”

Keduanya langsung melepaskan jemari yang bertaut ketika Jingga tersenyum manis. “Amel itu siapa, Mas?”

“Mau jawaban jujur atau jujur banget?” katanya diakhiri tawa yang membuat Jingga kembali melipat bibirnya malas. “Eits—jangan ngambek dulu. Mas jawab, insya Allah nggak ada yang ditutupi, ya?”

Gadisnya mengangguk, lalu mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh—bersiap mendengar cerita dari pria yang sudah memiliki status sebagai suaminya.

“Amel itu adik tingkat Mas di Kairo. Karena sama sama orang Indonesia, jadi kita kenal—kalau kamu nggak tau, di sana ada komunitas khusus orang Indo gitu.”

“Mas juga nggak tau awalnya gimana, tapi waktu itu Tendra ajak Amel ke rumah makan punya Mas. Katanya lagi cari kerja paruh waktu dan di sana kita saling kenal satu sama lain dan mulai akrab. Udah sih, gitu aja.”

Selama pria itu bercerita, selama itu pula Jingga menatap bolamata kecokelatannya dalam. Tidak ada setitik kebohongan di sana, tapi tetap saja, Jingga masih penasaran dengan Amel.

“Amel .... suka sama Mas Biru?” Jingga menggigit bibir bawahnya, bertanya dengan hati-hati takut kalau Biru merasa terganggu walau seharunya ia tidak. Karena bagaimanapun, Jingga adalah istri sahnya, dan segalanya harus saling tau tentang satu sama lain walau sekecil beras sekalipun.

Pria itu mengangkat bahunya sekali, “nggak tau. Tapi Mas Biru pernah dapat kabar dari Tendra sih gitu.”

“Kalau Mas Biru, pernah suka sama Amel?”

Biru tersenyum tipis, “nggak ada alasan untuk nggak menyukai Amel, Ga. Amel sama halnya kaya kamu, tanpa celah. Bunda suka sama Amel, Ayah juga—tapi Mas nggak terlalu menyukai Amel.”

Kalimat itu ditelan habis oleh Jingga walau rasana sedikit menyakitkan. Di sisi lain ia begitu haru karena tidak ada kebohongan yang ditutupi oleh Biru kepadanya. Selama bersama Biru, ia benar-benar merasa sempurna karena pria itu selalu melengkapi harinya.

“Kenapa Mas nggak suka Amel?” Walau sakit, Jingga akan tetap bertanya karena tadi Biru sendiri yang bilang kalau tidak ada alasan untuk tidak menyukai Amel, kan?

Biru mengangkat kedua sudut bibirnya tipis. “Di Kairo, nggak ada hari yang Mas lewati tanpa menyebut nama kamu. Nggak ada hari yang Mas lewati tanpa mikirin kamu. Apa Mas punya waktu untuk menyukai Amel, Ga? Nggak. Sama sekali enggak.”

Jingga mengangkat kedua tangannya, lalu menenggelamkan diri di dada bidang suaminya itu. Diam-diam kedua sudut bibirnya terangkat penuh, merasa lebih-lebih diistimewakan oleh suaminya.

“Udah. Sekarang bobo, ya?” Biru mengangkat tangannya untuk mematikan lampu tidur di atas nakas, namun buru-buru berhenti karena Jingga menariknya. “Kenapa?”

“Ada .... satu pertanyaan lagi ....”

Biru diam, menyimak pertanyaan yang akan segera keluar dari bibir manis istrinya.

“Kalau Jingga tetap kerja di rumah sakit, Mas Biru nggak keberatan, kan?”

Biru meletakkan ponsel milik Jingga ke tempatnya semula. Tatapannya berhenti pada gadis bersurai cokelat yang sedang tidur membelakanginya. Biru tau pasti kalau Jingga belum benar-benar terlelap, itu sebabnya ia memilih untuk ikut tiduran di samping Jingga—sedikit menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Mas—”

“Mas tau kalau kamu belum bener-bener bobo. Mas mau cerita dulu, nih. Mau didengerin nggak?” Katanya. Diakhiri dengan beberapa kecupan di puncak kepala sang istri.

Gadis itu menghela napasnya, “nggak ah, Jingga ngantuk. Besok aja, kalau sempet.”

“Aduh ngambek ....” Biru terus-terusan menghujani kecupan ringan di atas kepala Jingga sampai pada pipi kanannya.

Sebenarnya Jingga senang-senang saja dan tidak risih sama sekali, tapi emang sepertinya ada beberapa hal yang menganggu pikiran hari ini. Mulai dari kalimat Bunda pagi tadi sampai dengan gadis bernama Amel.

“*Kasih cucu buat Ayah sama Bunda jangan lama-lama ya, Ga. Kamu kalau bisa resign jadi Dokter aja. Kan sudah ada Biru yang menanggung semuanya.*”

Itu kata Bunda pagi tadi yang membuat pikiran Jingga malayang ke mana-mana. Bukannya tidak mau segera memberi cucu, Jingga juga mau kok—nanti. Tapi bukan itu point kalimat Bunda yang menjadi pikiran Jingga. Tentang pekerjaannya. Jingga sudah berjalan sejauh ini, lalu harus berhenti di tengah jalan hanya karena ia diharapkan sebagai Ibu rumah tangga?

“Dek, bobo beneran nih?” Biru tidak lagi menumpu tubuhnya dengan satu tangan, sekarang ia sudah berbaring sepenuhnya di atas kasur—menghirup aroma dari surai hitam isterinya.

Hening. Mereka membiarkan kamarnya terasa damai sebelum akhirnya Jingga memutar-balik posisi untuk sepenuhnya menghadap Biru. “Mas,”

Pria berkaus putih itu membuka matanya perlahan, padahal ia baru saja ingin benar-benar terlelap. Hari ini termasuk hari yang melelahkan untuk pikirannya. Mulai dari Ayah yang mengajak bemain catur, Renan yang minta dibantu mengerjakan tugas sampai Amel yang tiba-tiba mengirim pesan ke nomor Jingga.

Tapi walau ngantuk-ngantuk begitu, Biru tetap membuka mata dan tersenyum lebar ke arah Jingga. Ditatapnya bolamata yang tetap bersinar walau di bawah pencahayaan yang minim itu dalam. “Kenapa, istriku?”

“Apaandeh!” Jingga menenggelamkan wajahnya yang ia sendiri yakin sudah berubah warna merah padam itu ke atas bantal. “Mas, ih, serius!”

“Loh? Mas juga serius. Kan kamu istrinya Mas?”

Iya, benar juga. Jingga segera merutuki dirinya dalam hati. Ya tapi tetap saja, statusnya memang sudah resmi menjadi istri dari seorang Biru Putra Danu—tapi kalau sudah seperti ini bagaimana bisa jantung Jingga bekerja dengan baik?

“Ada apa, sayangku? Bidadariku? Kekasih surgaku?” Biru megangkat tangannya untuk merapikan surai legam istrinya dengan lembut.

“Jingga ada beberapa pertanyaan, jawab jujur, ya?” Gadis itu mengangkat jari kelingkingnya yang seketika membuat Biru tertawa namun tetap menautkan jemarinya dengan sang istri.

Biru mengangguk penuh keyakinan, “insya Allah Mas jawab jujur.”

Keduanya langsung melepaskan jemari yang bertaut ketika Jingga tersenyum manis. “Amel itu siapa, Mas?”

“Mau jawaban jujur atau jujur banget?” katanya diakhiri tawa yang membuat Jingga kembali melipat bibirnya malas. “Eits—jangan ngambek dulu. Mas jawab, insya Allah nggak ada yang ditutupi, ya?”

Gadisnya mengangguk, lalu mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh—bersiap mendengar cerita dari pria yang sudah memiliki status sebagai suaminya.

“Amel itu adik tingkat Mas di Kairo. Karena sama sama orang Indonesia, jadi kita kenal—kalau kamu nggak tau, di sana ada komunitas khusus orang Indo gitu.”

“Mas juga nggak tau awalnya gimana, tapi waktu itu Tendra ajak Amel ke rumah makan punya Mas. Katanya lagi cari kerja paruh waktu dan di sana kita saling kenal satu sama lain dan mulai akrab. Udah sih, gitu aja.”

Selama pria itu bercerita, selama itu pula Jingga menatap bolamata kecokelatannya dalam. Tidak ada setitik kebohongan di sana, tapi tetap saja, Jingga masih penasaran dengan Amel.

“Amel .... suka sama Mas Biru?” Jingga menggigit bibir bawahnya, bertanya dengan hati-hati takut kalau Biru merasa terganggu walau seharunya ia tidak. Karena bagaimanapun, Jingga adalah istri sahnya, dan segalanya harus saling tau tentang satu sama lain walau sekecil beras sekalipun.

Pria itu mengangkat bahunya sekali, “nggak tau. Tapi Mas Biru pernah dapat kabar dari Tendra sih gitu.”

“Kalau Mas Biru, pernah suka sama Amel?”

Biru tersenyum tipis, “nggak ada alasan untuk nggak menyukai Amel, Ga. Amel sama halnya kaya kamu, tanpa celah. Bunda suka sama Amel, Ayah juga—tapi Mas nggak terlalu menyukai Amel.”

Kalimat itu ditelan habis oleh Jingga walau rasana sedikit menyakitkan. Di sisi lain ia begitu haru karena tidak ada kebohongan yang ditutupi oleh Biru kepadanya. Selama bersama Biru, ia benar-benar merasa sempurna karena pria itu selalu melengkapi harinya.

“Kenapa Mas nggak suka Amel?” Walau sakit, Jingga akan tetap bertanya karena tadi Biru sendiri yang bilang kalau tidak ada alasan untuk tidak menyukai Amel, kan?

Biru mengangkat kedua sudut bibirnya tipis. “Di Kairo, nggak ada hari yang Mas lewati tanpa menyebut nama kamu. Nggak ada hari yang Mas lewati tanpa mikirin kamu. Apa Mas punya waktu untuk menyukai Amel, Ga? Nggak. Sama sekali enggak.”

Jingga mengangkat kedua tangannya, lalu menenggelamkan diri di dada bidang suaminya itu. Diam-diam kedua sudut bibirnya terangkat penuh, merasa lebih-lebih diistimewakan oleh suaminya.

“Udah. Sekarang bobo, ya?” Biru mengangkat tangannya untuk mematikan lampu tidur di atas nakas, namun buru-buru berhenti karena Jingga menariknya. “Kenapa?”

“Ada .... satu pertanyaan lagi ....”

Biru diam, menyimak pertanyaan yang akan segera keluar dari bibir manis istrinya.

“Kalau Jingga tetap kerja di rumah sakit, Mas Biru nggak keberatan, kan?”