Bandara kedatangan.

Biru menarik kurvanya lebar, manik mata tenggelam bahagia saat mendapati wanitanya sedang mengarahkan pandang ke sana-kemari untuk mencari dirinya.

Ketemu!

Ia menarik kurvanya semakin lebar ketika netra yang lebih indah dari pada langit sore itu menatapnya lembut. “Sini.”

Belum ada sahutan dari si pemilik mata kesukaan Biru. Sedang pria itu sudah mengayunkan kakinya untuk mendekat. Dilepasnya tas karton itu di dekat kaki, lalu kuasa terangkat untuk mendekap daksa yang ia rindukan. Lalu segera ia kecup dahi itu cukup lama membuat beberapa orang di sekeliling memperhatikan dan memaklumi.

“Kangen banget?” Pelan-pelan Biru melepaskan peluknya, menatap wajah yang sedikit memerah itu. Seketika senyum manisnya hilang seolah dibawa pergi oleh seseorang. “Habis nangis?”

Wanitanya menggelengkan kepala singkat, tentu saja berbohong pada pria berkemeja putih itu. “Enggak. Tadi Jingga ketiduran aja di mobil. Kalau nggak percaya, coba aja tanya Pak Ali.”

“Mas percaya kamu tidur di mobil. Tapi sebelum tidur pasti nangis.” Biru menggeser sedikit daksanya, menatap Pak Ali yang berdiri tidak jaug di belakang Jingga. “Ya kan, Pak?”

Pria paruh baya berbaju hitam itu mengangguk dan menunduk. Sedang Biru kembali mengambil tas karton di dekat kaki—memberikan seluruhnya pada sang belahan jiwa. “Isinya mukenah sama Al-Qur'an.”