Jingga ngagetin, ya?
“Masuk aja, saya tunggu di sini.” Kata pria berjaket levis di balik kemudi yang membuat Jingga mengalihkan pandang dari rumah sederhana di seberang jalan. “Kamu pulang aja, Nan. Makasih, ya, udah mau repot-repot anter aku ke sini.”
Afnan terkekeh kecil, “iya, sama-sama. Lagian kamu emang nggak pernah ngerepotin, Ga. Perasaan saya ke kamu yang ngerepotin. Suka kok sama orang yang sudah punya suami.”
Jingga tidak tau apa yang membuat Afnan menjadi sepemberani ini dalam mengungkap sebuah rasa. Dulu, Afnan hanya pria yang akan diam dan menyembunyikan perasaannya. Bahkan Jingga tau kalau Afnan ternyata menyimpan rasa untuknya aja dari Winar.
“Eung... Aku masuk dulu, ya? Kamu kalau mau pulang, pulang aja. Makasih, Nan.” Balasnya.
Lagi-lagi kekehan kecil bersamaan dengan gelengan kepala yang menjadi respon pria itu. Netranya masih memperhatikan Jingga yang sedang menyeberangi jalan untuk masuk ke dalam rumah mertuanya. Tidak lama setelah itu, Afnan mendapati Jingga yang perlahan memelankan tungkainya.
Sedangkan di tempatnya, Jingga segera menghentikan pergerakan saat mendapati suara tidak 'senonoh' dari jendela kamar—yang ia ketahui dengan jelas adalah kamar milik Biru. Diam-diam air matanya mengalir melewati pipi. Dielusnya perut yang masih datar itu, ia bahkan harus menggigit bibir bawahnya untuk meredam segala suara yang bisa saja ia keluarkan.
Dengan kepercayaan diri yang entah kenapa sudah hilang saat mendengar suara tadi, Jingga kembali menggerakkan kakinya. Melangkah dan mengetuk pintu rumah sambil sesekali mengucapkan salam dengan gemetar.
Saat pintu kayu itu terbuka, netranya menangkap sosok Bunda yang matanya malah memerah—persis seperti habis menangis.
Kenapa? Bukannya harusnya Bunda senang?
“Bunda, kenapa?” Tangan Jingga terangkat untuk mengelus pipi Bunda, membersihkan sisa air mata wanita itu. “Bunda .... untuk sekarang Jingga nggak mau lepas Mas Biru apapun alasannya.”
Helaan napas terdengar dari bibir Jingga. Ia menipiskan bibirnya, meyakinkan dirinya sendiri atas kalimat yang akan ia keluarkan. “Jingga izinin Mas Biru untuk menikah sama Amel, Bun. Jingga bertahan sampai .... sampai seenggaknya anak Jingga lihat sosok Ayahnya.”
Tidak disangka, respon Bunda justru membuat hati Jingga kembali teriris. Bagian pipi yang sudah mulai mengering itu kembali dibasahi oleh air mata. Dengan cepat Jingga merengkuh daksa wanita senja itu, menenggelamkan diri di pelukan yang sebenarnya hangat.
“Bunda .... Maafin Bunda, Jingga.”
Jingga tersenyum kecil, “Bunda nggak salah. Harusnya Jingga tau ini dari awal, kan? Harusnya Jingga nggak perlu memaksa rasanya Mas Biru untuk Jingga, kan? Harusnya Ayah Jingga nggak perlu kaya gini untuk kebahagiaan Jingga, kan?”
“Ayah, bukannya Jingga nggak mau menikah. Tapi masih ada satu pria yang Jingga tunggu.” Jingga ingat dengan betul, itu kalimat yang ia ucapkan dulu setelah ada tiga pria yang menawarkan pernikahan untuknya. Ia menolak karena ia percaya Biru masih dan akan selalu menjaga hati untuknya.
Tapi ternyata Jingga salah, salah besar. Biru tidak begitu mencintainya, dan segala janji yang diberikan adalah angan sementara yang terlanjur dianggap janji. Harusnya Jingga sadar diri,
dia ini siapa?
Begitu, kan?
“Jingga tau kalau Mas Biru emang udah ada rasa sama Amel sejak ketemu di Kairo kan, Bun?” Diam-diam air mata itu turun dari matanya, membasahi hijab merah muda milik Bunda.
Kadang semesta memang benar-benar sulit untuk ditebak dan dipercaya. Semua bertidak seolah-olah orang baik adalah yang paling jahat, begitupun sebaliknya.
“Maafin Ayah Jingga, ya, Bun? Di perjanjian dua tahun lalu .... Ayah bayar Mas Biru untuk bangun cabang di Indonesia, kan? Ayah bayar Mas Biru untuk kebahagiaan Jingga, kan?”
“Jingga?”
Perempuan itu melepaskan pelukannya, tersenyum kecil saat matanya mendapati Biru yang dipapah oleh Amel di sampingnya. “Jingga ... ngagetin, ya?”