Amel itu siapa, Mas?

Biru meletakkan ponsel milik Jingga ke tempatnya semula. Tatapannya berhenti pada gadis bersurai cokelat yang sedang tidur membelakanginya. Biru tau pasti kalau Jingga belum benar-benar terlelap, itu sebabnya ia memilih untuk ikut tiduran di samping Jingga—sedikit menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

“Mas—”

“Mas tau kalau kamu belum bener-bener bobo. Mas mau cerita dulu, nih. Mau didengerin nggak?” Katanya. Diakhiri dengan beberapa kecupan di puncak kepala sang istri.

Gadis itu menghela napasnya, “nggak ah, Jingga ngantuk. Besok aja, kalau sempet.”

“Aduh ngambek ....” Biru terus-terusan menghujani kecupan ringan di atas kepala Jingga sampai pada pipi kanannya.

Sebenarnya Jingga senang-senang saja dan tidak risih sama sekali, tapi emang sepertinya ada beberapa hal yang menganggu pikiran hari ini. Mulai dari kalimat Bunda pagi tadi sampai dengan gadis bernama Amel.

“*Kasih cucu buat Ayah sama Bunda jangan lama-lama ya, Ga. Kamu kalau bisa resign jadi Dokter aja. Kan sudah ada Biru yang menanggung semuanya.*”

Itu kata Bunda pagi tadi yang membuat pikiran Jingga malayang ke mana-mana. Bukannya tidak mau segera memberi cucu, Jingga juga mau kok—nanti. Tapi bukan itu point kalimat Bunda yang menjadi pikiran Jingga. Tentang pekerjaannya. Jingga sudah berjalan sejauh ini, lalu harus berhenti di tengah jalan hanya karena ia diharapkan sebagai Ibu rumah tangga?

“Dek, bobo beneran nih?” Biru tidak lagi menumpu tubuhnya dengan satu tangan, sekarang ia sudah berbaring sepenuhnya di atas kasur—menghirup aroma dari surai hitam isterinya.

Hening. Mereka membiarkan kamarnya terasa damai sebelum akhirnya Jingga memutar-balik posisi untuk sepenuhnya menghadap Biru. “Mas,”

Pria berkaus putih itu membuka matanya perlahan, padahal ia baru saja ingin benar-benar terlelap. Hari ini termasuk hari yang melelahkan untuk pikirannya. Mulai dari Ayah yang mengajak bemain catur, Renan yang minta dibantu mengerjakan tugas sampai Amel yang tiba-tiba mengirim pesan ke nomor Jingga.

Tapi walau ngantuk-ngantuk begitu, Biru tetap membuka mata dan tersenyum lebar ke arah Jingga. Ditatapnya bolamata yang tetap bersinar walau di bawah pencahayaan yang minim itu dalam. “Kenapa, istriku?”

“Apaandeh!” Jingga menenggelamkan wajahnya yang ia sendiri yakin sudah berubah warna merah padam itu ke atas bantal. “Mas, ih, serius!”

“Loh? Mas juga serius. Kan kamu istrinya Mas?”

Iya, benar juga. Jingga segera merutuki dirinya dalam hati. Ya tapi tetap saja, statusnya memang sudah resmi menjadi istri dari seorang Biru Putra Danu—tapi kalau sudah seperti ini bagaimana bisa jantung Jingga bekerja dengan baik?

“Ada apa, sayangku? Bidadariku? Kekasih surgaku?” Biru megangkat tangannya untuk merapikan surai legam istrinya dengan lembut.

“Jingga ada beberapa pertanyaan, jawab jujur, ya?” Gadis itu mengangkat jari kelingkingnya yang seketika membuat Biru tertawa namun tetap menautkan jemarinya dengan sang istri.

Biru mengangguk penuh keyakinan, “insya Allah Mas jawab jujur.”

Keduanya langsung melepaskan jemari yang bertaut ketika Jingga tersenyum manis. “Amel itu siapa, Mas?”

“Mau jawaban jujur atau jujur banget?” katanya diakhiri tawa yang membuat Jingga kembali melipat bibirnya malas. “Eits—jangan ngambek dulu. Mas jawab, insya Allah nggak ada yang ditutupi, ya?”

Gadisnya mengangguk, lalu mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh—bersiap mendengar cerita dari pria yang sudah memiliki status sebagai suaminya.

“Amel itu adik tingkat Mas di Kairo. Karena sama sama orang Indonesia, jadi kita kenal—kalau kamu nggak tau, di sana ada komunitas khusus orang Indo gitu.”

“Mas juga nggak tau awalnya gimana, tapi waktu itu Tendra ajak Amel ke rumah makan punya Mas. Katanya lagi cari kerja paruh waktu dan di sana kita saling kenal satu sama lain dan mulai akrab. Udah sih, gitu aja.”

Selama pria itu bercerita, selama itu pula Jingga menatap bolamata kecokelatannya dalam. Tidak ada setitik kebohongan di sana, tapi tetap saja, Jingga masih penasaran dengan Amel.

“Amel .... suka sama Mas Biru?” Jingga menggigit bibir bawahnya, bertanya dengan hati-hati takut kalau Biru merasa terganggu walau seharunya ia tidak. Karena bagaimanapun, Jingga adalah istri sahnya, dan segalanya harus saling tau tentang satu sama lain walau sekecil beras sekalipun.

Pria itu mengangkat bahunya sekali, “nggak tau. Tapi Mas Biru pernah dapat kabar dari Tendra sih gitu.”

“Kalau Mas Biru, pernah suka sama Amel?”

Biru tersenyum tipis, “nggak ada alasan untuk nggak menyukai Amel, Ga. Amel sama halnya kaya kamu, tanpa celah. Bunda suka sama Amel, Ayah juga—tapi Mas nggak terlalu menyukai Amel.”

Kalimat itu ditelan habis oleh Jingga walau rasana sedikit menyakitkan. Di sisi lain ia begitu haru karena tidak ada kebohongan yang ditutupi oleh Biru kepadanya. Selama bersama Biru, ia benar-benar merasa sempurna karena pria itu selalu melengkapi harinya.

“Kenapa Mas nggak suka Amel?” Walau sakit, Jingga akan tetap bertanya karena tadi Biru sendiri yang bilang kalau tidak ada alasan untuk tidak menyukai Amel, kan?

Biru mengangkat kedua sudut bibirnya tipis. “Di Kairo, nggak ada hari yang Mas lewati tanpa menyebut nama kamu. Nggak ada hari yang Mas lewati tanpa mikirin kamu. Apa Mas punya waktu untuk menyukai Amel, Ga? Nggak. Sama sekali enggak.”

Jingga mengangkat kedua tangannya, lalu menenggelamkan diri di dada bidang suaminya itu. Diam-diam kedua sudut bibirnya terangkat penuh, merasa lebih-lebih diistimewakan oleh suaminya.

“Udah. Sekarang bobo, ya?” Biru mengangkat tangannya untuk mematikan lampu tidur di atas nakas, namun buru-buru berhenti karena Jingga menariknya. “Kenapa?”

“Ada .... satu pertanyaan lagi ....”

Biru diam, menyimak pertanyaan yang akan segera keluar dari bibir manis istrinya.

“Kalau Jingga tetap kerja di rumah sakit, Mas Biru nggak keberatan, kan?”