Jingga nggak mau nutut apa-apa dari Mas Biru.
Jingga menghela napas sebelum akhirnya menekan knop pintu kamar. Tatapannya jatuh kepada Biru yang baru saja meletakkan ponselnya sambil tersenyum kecil. Kepalanya geleng-geleng sendiri, lalu beralih untuk mengambil buku Sejarah Islam di nakas.
“Mas,” Jingga kembali menutup pintu, berjalan pelan untuk meletakkan ponselnya di atas nakas. “Amel nanyain apa?”
Biru menoleh, menyunggingkan senyum yang setiap hari hanya ia berikan untuk orang yang ia sayang. “Kerjaan doang, Dek. Besok Mas mau ketemu Amel.” Matanya melirik Jingga yang langsung menghentikan pergerakan saat melepas kerudungnya. “Kamu ikut, ya?”
Jingga melenggeleng singkat. “Nggak, Mas. Jingga mau di rumah aja. Lagi halangan nggak enak pergi ke mana-mana.”
Sejujurnya Jingga ingin sekali pergi menemani Biru dan bertemu dengan Amel. Tapi rasa itu ia tahan karena mulai sekarang Jingga akan sepenuhnya percaya dengan Biru. Tadi kebetulan Ibu ngomong, “baru menikah itu nggak boleh kebanyakan bertengkar, Ga. Ngertiin satu sama lain, kalau Biru nggak bisa mengerti—gantian kamu yang ngertiin dia.“
Ibu tidak sepenuhnya salah, Jinggapun begitu. Karena bagaimanapun juga Jingga hanya mengjaga sesuatu yang sudah menjadi miliknya dari orang lain. Jingga tau kalau Biru bukan pulpen yang kalau ditinggal sebentar di atas meja langsung hilang begitu saja. Tapi perasaan tidak ada yang tau, kan? Jadi yang mampu Jingga lakukan untuk saat ini adalah sepenuhnya mempercayai Biru.
Di sisi lain kadang Jingga berpikir, batu kalau kelamaan ditetes dengan air, pasti rapuh juga. Begitupula perasaan, kan?
“Bener nggak mau ikut? Besok pulangnya kita lansung belanja persiapan berangkat.” Tanya Biru sambil membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman lagi.
Jingga menggeleng, “nggak, Mas. Besok Mas Biru anter Jingga ke rumah Bunda aja. Setelah Mas ketemu sama Amel dan bicarain pekerjaan, baru Mas jemput Jingga lagi.”
“Bolak-balik, dong? Kenapa nggak ikut aja, sih? Masih marah?”
Jingga melihat wajah Biru dari pantulan kaca rias sambil menghela napas. “Mas, Jingga udah minta maaf, kan? Jingga juga udah nggak marah, kok.”
“Terus kenapa nggak mau ikut? Mas sama Amel itu bukan mahram loh?” Biru tidak habis pikir dengan istrinya itu, bagaimana ia bisa mengizinkannya pergi sendirian untuk bertemu seorang gadis.
Jingga memutar balik tubuh, sepenuhnya menatap Biru dalam. “Jingga cuma nggak mau nuntut Mas Biru ini-itu. Jingga mau sepenuhnya percaya sama Mas Biru. Jingga pelan-pelan merubah pola pikir Jingga menjadi lebih luas biar Mas Biru nggak merasa terkekang.” Setelahnya ia menengadahkan wajah, menahan air mata agar tidak turun dari pelupuknya.
Pria berpiyama abu itu turun dari kasur, berjalan pelan mendekati istrinya. Tangannya terangkat untuk membawa Jingga dalam pelukan. “Maaf, maafin Mas Biru .... Mas ngomongnya pakai nada tinggi, ya? Mas nyakitin hati Jingga, ya?”
Berhasil.
Kalimat Biru sepenuhnya berhasil membuat air mata Jingga turun dengan bebas membasahi pipinya. Gadis berjiwa lemah itu menangis di pelukan suaminya.
“Mas .... Mas nggak salah, maafin Jingga ....” Gadis itu menengadahkan wajahnya untuk menatap Biru dari bawah. “Jingga nggak mau jadi egois, Mas. Jingga nggak mau cemburuan. Besok .... Mas pergi temui Amel nggak apa-apa. Ada Mas Ten pasti, kan?”
Biru mengangguk kecil, mengecup puncak kepala istrinya lembut. “Mas ajak Amel lansung ke cafe karena dia cari kerjaan. Besok kalau masalah kerja udah selesai, Mas jemput kamu di rumah Bunda, ya?”
Jingga mengangguk lalu menipiskan bibirnya. Ia sama sekali tidak ingin menganggu dunia perbisnisan yang dibangun oleh suaminya sejak beberapa tahun lalu. Ia mengenal seluruh karyawan Biru, tapi untuk masalah lain-lain Jingga tidak ingin mengganggu.
“Sekarang bobo, yuk? Nanti tahajudan Mas yang bangunin.” Biru membawa isterinya ke kasur, lalu menyelimuti Jingga dengan selimut tebalnya. Diciumnya dahi itu dengan tulus membuat sang istri tersenyum bahagia.
Do'anya bukan lagi meminta kebahagiaan yang lebih, tapi pertahankan saja bahagia yang ini. Jingga bukan manusia yang suka meminta lebih, tapi ia lebih memilih untuk bertahan pada situasi yang selalu membuatnya merasa cukup dan dicintai.
Terlebih oleh suaminya,
Biru Putra Danu.