TetehnyaaJisung

Jingga meletakkan ponselnya di atas meja, lalu dengan semangat menyimak cerita dari Naren yang sedang menggebu bercerita tentang pasien di kamar mawar— si cantik pengindap kanker paru-paru.

“Permisi, Dokter Jingga?” Seorang perawat memunculkan kepalanya dari balik pintu ruangan Jingga lalu tersenyum kecil dan berjalan untuk memberikan satu papan catatan khusus pasien yang ditanganinya. “Ini keluhan pasien di ICU dan kondisinya sekarang.”

Jingga tersenyum sambil mengecek beberapa catatan yang dibuat tadi pagi lalu mengerinyit bingung sebelum akhirnya ia menemukan beberapa gejala yang aneh. “Ini .... beneran mengeluh sesak napas dan batuk?”

Perawat bernama Hana itu menangguk ragu. “Iya, tadi saya ngobrol sebentar sama beliau.”

“Nanti kalau ada keluhan lagi, atau batuk dan sesaknya jadi parah tolong kabari saya, ya, Hana?” Pinta Jingga yang langsung dihadiahi anggukan mantap dari gadis muda itu.

Sepeninggalan Hana, kini Jingga kembali menatap Naren yang sedang melahap makannya. Pria kecil ini selalu mengingatkan Jingga pada Renan—sebab Naren selalu ada di dekatnya.

“Dokter Jingga! Ada kecelakaan di depan rumah sakit!” Perawat bernama Hana tadi kembali lagi dengan berita yang jauh berbeda dari sebelumnya dan hal itu membuat Jingga langsung meraih jas putihnya kemudian berlari semampu yang ia bisa untuk sampai ke lobby.

Jantungmya berdetak cepat saat mengetahui siapa yang terbaring lemah di dalam sana. Dengan cepat Jingga membantu para perawat untuk mendorong emergency stretcher ke dalam ruang operasi. Jantungnya bekerja lebih cepat saat wanita yang terbaring lemah di atas sana menarik napas berkali-kali, meraup oksigen seolah-olah tidak memperbolehkan siapapun mengambilnya.

“Berhenti!” Pekik Jingga saat melihat perempuan itu menitikkan air mata. Dengan gerakan yang terburu Jingga langsung naik ke emergency stretcher yang kemudian didorong dengan cepat oleh yang lain.

“Amel .... kamu harus bertahan.” Entah kenapa, Jingga merasa hantinya sakit ketika melihat perempuan yang bahkan tidak peduli dengannya itu bersimbah darah. Kuasanya terangkat untuk memasangkan kantung oksigen. “Aku bakal bantu kamu, ayo bertahan!”

Dunia tidak bisa diubah.

Suara ketukan pintu semakin keras didengar, diikuti dengan suara-suara yang membuat bocah berumur empat belas tahun itu semakin mengeratkan tangannya untuk menutup telinga. Ia sudah bersembunyi di dalam lemari bersama dengan kemeja-kemeja Ayahnya. Suara tangisan bayi bersahutan dengan pintu yang dibuka secara paksa oleh Afnan. Sedangkan Rakha, masih diam di dalam lemari—berharap Ayahnya itu tidak menenemukan dirinya.

Tiba-tiba air mata bocah itu lolos turun ke pipi, jantungnya berdetak kencang sedangkan dahi sudah dipenuhi oleh peluh. Dalam diam ia menangis, menahan suaranya sebisa mungkin agar tidak kedengaran sampai luar.

“Bun .... da ....” Isaknya masih dengan suara yang terdengar memilukan sebab jantungnya berdebar cepat. Traumanya kembali lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Bayangan wajah Jingga dengan darah yang mengalir di hidung membuat Rakha kehilangan kendali. “Rakha takut .... Bunda .... tolongin Rakha ....”

Dia memeluk tubuhnya sendiri, menyembunyikan wajah di antara kemeja yang digantung—tidak peduli kalau nanti Bunda akan mengomel kepadanya. Yang jelas, Rakha hanya takut dengan suara-suara keributan yang meneriakkan namanya seperti apa yang dilakukan Afnan malam ini.

Di luar sana, Afnan meraih tubuh Keana—putri yang diketahui milik adik angkatnya. Jantungnya berdetak kencang saat netra mendapati Keana tiduran di lantai dengan keadaan tengkurap. Afnan kalut, matanya memerah, ia bahkan lari ke sama ke mari untuk menemukan Rakha.

“Rakha! Di mana kamu?” Afnan berlai menuju dapur, mencari putranya di sana dengan gerakan cepat, tubuhnya seolah dikuasai oleh setan yang kepanasan. Sampai akhirnya seseorang membuka pintu utama, membuat netra mereka bertemu.

“Di mana Rakha?”

Jingga mengernyit bingung, “loh? Kok nanya aku? Aku baru pulang, Nan.” Katanya sambil menghela napas, dilihatnya Keana yang sedang menangis dalam gendongan suaminya. “Kamu cari Rakha cuma buat marahin anak itu?”

Afnan menghentikan pergerakannya untuk menaiki tangga, hendak pergi ke kamar Rakha. Tubuhnya berbalik menatap Jingga yang menyorotkan kekecewaan luar biasa.

“Aku tanya sekali lagi, Afnan. Kamu cari Rakha cuma untuk marahin anak itu?” Jingga mengulangi pertanyaannya, menatap Afnan tidak percaya.

Sedangkan Afnan, kembali menuruni tangga perlahan—mengurungkan niat untuk mencari Rakha. Bayi dalam gendongan itu ia letakkan di atas sofa, dengan dua bantal yang menganjal agar tidak langsung jatuh ke lantai. Ia melangkahkan tuasnya untuk mendekat ke arah Jingga yang sedang menatapnya.

“Maaf ....”

Jingga menghela napas, ia juga manusia yang bisa marah. Karena sumpah demi apapun, Jingga juga lelah dengan semuanya. Keadaan yang seperti ini kadang memang membuatnya mau tidak mau harus bersiap dengan apapun yang terjadi ke depannya. “Kamu ngomong apa aja sama Rakha?”

Pria berkemeja putih itu menghela napas, mencoba untuk menatap istrinya tanpa membuat perempuan itu merasa takut. “Aku minta dia diam di rumah, udah itu aja.”

“Caramu benar?”

Dia menggeleng, menundukkan kepalanya seolah menyadari hal apa yang baru saja ia lakukan.

“Nan .... kamu tau kalau Rakha punya trauma dengan suara-suara yang meneriakkan namanya, kan?”

Jingga menghela napas, “Kamu tau kalau Rakha takut banget sama Mas Biru karena apa, kan?”

Afnan masih diam di tempatnya, menundukkan kepala sambil menatap ujung sepatunya nanar. Ia bertindak seolah-olah sedang dimarahi oleh seorang Ibu.

“Kamu satu-satunya Ayah yang lembut di mata Rakha, Nan. Kamu yang jadi alasan Rakha bertahan sampai sebesar ini.” Kata Jingga dengan suara yang bergetar. Tangisnya hampir saja pecah ketika potongan-potongan kejadian beberapa tahun lalu memutar begitu saja bagai film di memori ingatan Jingga. “Kamu .... nggak pernah tau gimana rasanya tumbuh jadi anak laki-laki dengan mental lemah karena kejadian masa lalu kaya Rakha, Nan.”

“Aku tau, Rakha nggak terlahir di keluarga yang serba ada dan serba bisa melakukan apapun kaya kamu. Tapi bisa aku minta tolong? Rangkul anak itu kaya gimana kamu dirangkul sama orang tuamu.” Bulir air mata lolos begitu saja seiring dengan suara Jingga yang kian melemah.

“Ga!” Afnan berlari mengejar Jingga ke kamar mereka, meninggalkan Keana yang masih menangis di atas sofa.

Sedangkan Jingga membuka pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurnya dengan kasar— mencari sosok putranya di dalam sana. Karena Rakha juga tidak ditemukan, Jingga beralih pergi untuk membuka pintu lemari sedangkan Afnan masih diam di ambang pintu kamar.

“Rakha ....” Jingga membawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya, kuasa terangkat untuk mengecek detak jantung melalui nadi sebab Rakha tidak sadarkan diri.

Pikiran Jingga kalut ketika jantung bocah itu berdetak lemah, ia yakin betul kalau Rakha hampir kehabisan oksigen di dalam lemari atau bahkan trauma hampir membunuhnya.

Perempuan itu mendongak, menatap Afnan yang bersiap untuk menggendong tubuh Rakha. “Awas!”

Pelan-pelan Jingga melepaskan pelukannya pada Rakha, membiarkan Afnan membawa tubuh lemah itu untuk dibaringkan ke atas kasur. Dengan segera Jingga mengambil kotak P3K di lacinya. Kemudian ia mengecek bola mata Rakha dan detak jantungnya lagi.

“Keana .... anak siapa, Nan?”

Afnan menghentikan pergerakan untuk menyelimuti Rakha. Netranya menatap Jingga yang sudah lebih tenang dari sebelumnya dalam. “Aku beneran nggak tau, Ga.”

“Keana dan Gerland, mereka kembar, kan?” tanya Jingga lagi. “Kenapa mereka bisa bikin kamu semarah ini sama Rakha, Nan? Apa karena Rakha bukan anak kandung kamu? Apa karen—”

Perempuan itu menghentikan kalimatnya ketika Afnan tanpa permisi mengecup bibirnya singkat. Setelah itu seolah tanpa dosa Afnan tersenyum lembut sehinga menimbulkan lubang pada pipi kiri dan kanannya. Senyum lembut yang setiap pagi ada untuk menyapa Jingga.

“Kalau kamu mikir Gerland dan Keana adalah anak-anak aku, tandanya kamu salah.” katanya. Dia bertumpu pada kedua kakinya, menggenggam tangan Jingga untuk sekedar menguatkan perempuan itu. “Ga, aku bahkan nggak bisa kasih kamu anak. Masa tiba-tiba aku kasih Aletta anak?”

Di dalam mata itu tidak ada kebohongan dan Afnan sedang berusaha untuk tidak menutup-nutupi sesuatu dari istrinya. “Tatap aku, Ga!”

Jingga menggeleng, menatap ke sembarang arah asal tidak pada bola mata kecokelatan itu.

“Kamu bilang bakalan nurut sama suami kamu biar nggak dosa, kan? Sekarang, tatap aku!” perintahnya dengan nada lembut membuat Jingga pelan-pelan mengalihkan pandang. “Aku .... nggak pernah bohong sama kamu, Ga. Di saat aku bilang bakalan nerima kamu dalam keadaan apapun, aku bener-bener ngelakuin itu.”

Jingga mengangguk, kemudian melepaskan genggaman tangan Afnan perlahan. Ia beralih untuk membuka kotak p3k, mencari minyak angin di sana untuk membangunkan Rakha.

“Rakha .... bisa dengar Bunda, nak?” tanyanya ketika Rakha mulai membuka kelopak matanya perlahan.

Bocah berkaus putih itu menyunggingkan sedikit senyumnya ketika netra mendapati sang Bunda dengan wajah cemasnya. Di belakang Bunda ada Ayah yang selalu ada untuknya. “ A-ayah .... maafin Rakha .... Ampun, Ayah .... Rakha nggak akan nakal lagi ....”

Dan untuk pertama kalinya Afnan menangis di hadapan Rakha, merengkuh daksa putranya untuk ditenggelamkan ke dalam pelukan hangat. “Maafin Ayah, Rakha ....”

Diam-diam Jingga meninggalkan Rakha dan Afnan yang sepertinya sedang menenangkan satu sama lain. Langkah kakinya berjalan menuju sofa untuk menenangkan Keana terlihat mengenaskan. Kalau diamati lebih jauh, wajah Keana mirip sekali dengan Aletta. Mulai dari mata, hidung bahkan pipinya. Tapi yang membuat Jingga merasa ganjal, bibirnya mirip seperti ....

Winar?

“Jingga, aku mau ngomong.”

Perempuan iu mengalihkan atensinya pada Afnan yang memintanya untuk mendekat. “Ada apa?”

“Aku .... nggak mau kamu salah paham soal ini, Ga. Tapi aku sayang banget sama Keana.”

Rasanya hati Jingga seperti dihantam dengan batu yang amat besar, apalagi setelah ia menyadari bahwa tatapan Afnan terlalu beda dengan caranya menatap Rakha. Tatapan yang sudah lama sekali tidak pernah Afnan perlihatkan karena terakhir Jingga melihat itu ketika Rakha masih bayi.

“Kamu .... sayang Keana atau Ibunya, Nan?” Tanyanya. Jingga berusaha terlihat baik-baik saja walau ia tau dengan jelas bahwa hatinya tidak.

Afnan menghela napas, kuasanya terangkat untuk mengelus lembut bayi di gendongan Jingga. Sebelah sudut bibir pria itu terangkat. “Nggak ada perempuan yang aku sayang selain Bunda sama kamu, Jingga.”

“Aku sayang sama Keana karena dia bayi .... aku selalu mau punya anak dari darah dagingku, Ga. Aku mau punya keturunan, tapi aku sadar kalau aku nggak mampu.”

Jingga menunduk, menatap Keana dalam. “Kita nggak pernah bisa mengubah dunia dan segala isinya, Afnan. Tapi kita bisa ngubah gimana caranya Dunia yang fana ini menjadi lebih membahagiakan.”

“Kamu mau, Ga?”

Perempuan itu mengerinyit, “Apa?”

“Aku ajak untuk mengubah dunia yang fana jadi lebih membahagiakan?”

Rakha nakal, ya, Ayah?

Suara ketukan pintu semakin keras didengar, diikuti dengan suara-suara yang membuat bocah berumur empat belas tahun itu semakin mengeratkan tangannya untuk menutup telinga. Ia sudah bersembunyi di dalam lemari bersama dengan kemeja-kemeja Ayahnya. Suara tangisan bayi bersahutan dengan pintu yang dibuka secara paksa oleh Afnan. Sedangkan Rakha, masih diam di dalam lemari—berharap Ayahnya itu tidak menenemukan dirinya.

Tiba-tiba air mata bocah itu lolos turun ke pipi, jantungnya berdetak kencang sedangkan dahi sudah dipenuhi oleh peluh. Dalam diam ia menangis, menahan suaranya sebisa mungkin agar tidak kedengaran sampai luar.

“Bun .... da ....” Isaknya masih dengan suara yang terdengar memilukan sebab jantungnya berdebar cepat. Traumanya kembali lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Bayangan wajah Jingga dengan darah yang mengalir di hidung membuat Rakha kehilangan kendali. “Rakha takut .... Bunda .... tolongin Rakha ....”

Dia memeluk tubuhnya sendiri, menyembunyikan wajah di antara kemeja yang digantung—tidak peduli kalau nanti Bunda akan mengomel kepadanya. Yang jelas, Rakha hanya takut dengan suara-suara keributan yang menerikkan namanya seperti apa yang dilakukan Afnan malam ini.

Di luar sana, Afnan meraih tubuh Keana—putri yang diketahui milik adik angkatnya. Jantungnya berdetak kencang saat netra mendapati Keana tiduran di lantai dengan keadaan tengkurap. Afnan kalut, matanya memerah, ia bahkan lari ke sama ke mari untuk menemukan Rakha.

“Rakha! Di mana kamu?” Afnan berlai menuju dapur, mencari putranya di sana dengan gerakan cepat, tubuhnya seolah dikuasai oleh setan yang kepanasan. Sampai akhirnya seseorang membuka pintu utama, membuat netra mereka bertemu.

“Di mana Rakha?”

Jingga mengernyit bingung, “loh? Kok nanya aku? Aku baru pulang, Nan.” Katanya sambil menghela napas, dilihatnya Keana yang sedang menangis dalam gendongan suaminya. “Kamu cari Rakha cuma buat marahin anak itu?”

Afnan menghentikan pergerakannya untuk menaiki tangga, hendak pergi ke kamar Rakha. Tubuhnya berbalik menatap Jingga yang menyorotkan kekecewaan luar biasa.

“Aku tanya sekali lagi, Afnan. Kamu cari Rakha cuma untuk marahin anak itu.” Jingga mengulangi pertanyaannya, menatap Afnan tidak percaya.

Sedangkan Afnan, kembali menuruni tangga perlahan—mengurungkan niat untuk mencari Rakha. Bayi dalam gendongan itu ia letakkan di atas sofa, dengan dua bantal yang menganjal agar tidak langsung jatuh ke lantai. Ia melangkahkan tuasnya untuk mendekat ke arah Jingga yang sedang menatapnya.

“Maaf ....”

Jingga menghela napas, ia juga manusia yang bisa marah. Karena sumpah demi apapun, Jingga juga lelah dengan semuanya. Keadaan yang seperti ini kadang memang membuatnya mau tidak mau harus bersiap dengan apapun yang terjadi ke depannya. “Kamu ngomong apa aja sama Rakha?”

Pria berkemeja putih itu menghela napas, mencoba untuk menatap istrinya tanpa membuat perempuan itu merasa takut. “Aku minta dia diam di rumah, udah itu aja.”

“Caramu benar?”

Dia menggeleng, menundukkan kepalanya seolah menyadari hal apa yang baru saja ia lakukan.

“Nan .... kamu tau kalau Rakha punya trauma dengan suara-suara yang menerikkan namanya, kan?”

Jingga menghela napas, “Kamu tau kalau Rakha takut banget sama Mas Biru karena apa, kan?”

Afnan masih diam di tempatnya, menundukkan kepala sambil menatap ujung sepatunya nanar. Ia bertindak seolah-olah sedang dimarahi oleh seorang Ibu.

“Kamu satu-satunya Ayah yang lembut di mata Rakha, Nan. Kamu yang jadi alasan Rakha bertahan sampai sebesar ini.” Kata Jingga dengan suara yang bergetar. Tangisnya hampir saja pecah ketika potongan-potongan kejadian beberapa tahun lalu memutar begitu saja bagaim film di memori ingatan Jingga. “Kamu .... nggak pernah tau gimana rasanya jadi anak laki-laki dengan mental lemah karena kejadian masa lalu kaya Rakha, Nan.”

“Aku tau, Rakha nggak terlahir di keluarga yang serba ada dan serba bisa melakukan apapun kaya kamu. Tapi bisa aku minta tolong? Rangkul anak itu kaya gimana kamu dirangkul sama orang tuamu.” Bulir air mata lolos begitu saja seiring dengan suara Jingga yang kian melemah.

“Ga!” Afnan berlari mengejar Jingga ke kamar mereka, meninggalkan Keana yang masih menangis di atas sofa.

Sedangkan Jingga membuka pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurnya dengan kasar— mencari sosok putranya di dalam sana. Karena Rakha juga tidak bisa ditemukan, Jingga beralih pergi untuk membuka pintu lemari sedangkan Afnan masih diam di ambang pintu kamar.

“Rakha ....” Jingga membawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya, kuasa terangkat untuk mengecek detak jantung melalui nadi sebab Rakha tidak sadarkan diri.

Pikiran Jingga kalut ketika jantung bocah itu berdetak lemah, ia yakin betul kalau Rakha hampir kehabisan oksigen di dalam lemari atau bahkan trauma hampir membunuhnya.

Perempuan itu mendongak, menatap Afnan yang bersiap untuk menggendong tubuh Rakha. “Awas!”

Pelan-pelan Jingga melepaskan pelukannya pada Rakha, membiarkan Afnan membawa tubuh lemah itu untuk dibaringkan ke atas kasur. Dengan segera Jingga mengambil kotak P3K di lacinya. Kemudian ia mengecek bola mata Rakha dan detak jantungnya lagi.

“Keana .... anak siapa, Nan?”

Afnan menghentikan pergerakan untuk menyelimuti Rakha. Netranya menatap Jingga yang sudah lebih tenang dari sebelumnya dalam. “Aku beneran nggak tau, Ga.”

“Keana dan Gerland, mereka kembar, kan?” tanya Jingga lagi. “Kenapa mereka bisa bikin kamu semarah ini sama Rakha, Nan? Apa karena Rakha bukan anak kandung kamu? Apa karen—”

Perempuan itu menghentikan kalimatnya ketika Afnan tanpa permisi mengecup bibirnya singkat. Setelah itu seolah tanpa dosa Afnan tersenyum lembut sehinga menimbulkan lubang pada pipi kiri dan kanannya. Senyum lembut yang setiap pagi ada untuk menyapa Jingga.

“Kalau kamu mikir Gerland dan Keana adalah anak-anak aku, tandanya kamu salah.” katanya. Dia bertumpu pada kedua kakinya, menggenggam tangan Jingga untuk sekedar menguatkan perempuan itu. “Ga, aku bahkan nggak bisa kasih kamu anak. Masa tiba-tiba aku kasih Aletta anak?”

Di dalam mata itu tidak ada kebohongan dan Afnan sedang berusaha untuk tidak menutup-nutupi sesuatu dari istrinya. “Tatap aku, Ga!”

Jingga menggeleng, menatap ke sembarang arah asal tidak pada bola mata kecokelatan itu.

“Kamu bilang bakalan nurut sama suami kamu biar nggak dosa, kan? Sekarang, tatap aku!” perintahnya dengan nada lembut membuat Jingga pelan-pelan mengalihkan pandang. “Aku .... nggak pernah bohong sama kamu, Ga. Di saat aku bilang bakalan nerima kamu dalam keadaan apapun, aku bener-bener ngelakuin itu.”

Jingga mengangguk, kemudian melepaskan genggaman tangan Afnan perlahan. Ia beralih untuk membuka kotak p3k, mencari minyak angin di sana untuk membangunkan Rakha.

“Rakha .... bisa dengar Bunda, nak?” tanyanya ketika Rakha mulai membuka kelopak matanya perlahan.

Bocah berkaus putih itu menyunggingkan sedikit senyumnya ketika netra mendapati sang Bunda dengan wajah cemasnya. Di belakang Bunda ada Ayah yang selalu ada untuknya. “ A-ayah .... maafin Rakha .... Ampun, Ayah .... Rakha nggak akan nakal lagi ....”

Dan untuk pertama kalinya Afnan menangis di hadapan Rakha, merengkuh daksa putranya untuk ditenggelamkan ke dalam pelukan hangat. “Maafin Ayah, Rakha ....”

Diam-diam Jingga meninggalkan Rakha dan Afnan yang sepertinya sedang menenangkan satu sama lain. Langkah kakinya berjalan menuju sofa untuk menenangkan Keana terlihat mengenaskan. Kalau diamati lebih jauh, wajah Keana mirip sekali dengan Aletta. Mulai dari mata, hidung bahkan pipinya. Tapi yang membuat Jingga merasa ganjal, bibirnya mirip seperti ....

Winar?

“Jingga, aku mau ngomong.”

Perempuan iu mengalihkan atensinya pada Afnan yang memintanya untuk mendekat. “Ada apa?”

“Aku .... nggak mau kamu salah paham soal ini, Ga. Tapi aku sayang banget sama Keana.”

Rasanya hati Jingga seperti dihantam dengan batu yang amat besar, apalagi setelah ia menyadari bahwa tatapan Afnan terlalu beda dengan caranya menatap Rakha. Tatapan yang sudah lama sekali tidak pernah Afnan perlihatkan karena terakhir Jingga melihat itu ketika Rakha masih bayi.

“Kamu .... sayang Keana atau Ibunya, Nan?” Tanyanya. Jingga berusaha terlihat baik-baik saja walau ia tau dengan jelas bahwa hatinya tidak.

Afnan menghela napas, kuasanya terangkat untuk mengelus lembut bayi di gendongan Jingga. Sebelah sudut bibir pria itu terangkat. “Nggak ada perempuan yang aku sayang selain Bunda sama kamu, Jingga.”

“Aku sayang sama Keana karena dia bayi .... aku selalu mau punya anak dari darah dagingku, Ga. Aku mau punya keturunan, tapi aku sadar kalau aku nggak mampu.”

Jingga menunduk, menatap Keana dalam. “Kita nggak pernah bisa ngerubah dunia dan segala isinya, Afnan. Tapi kita bisa ngubah gimana caranya Dunia yang fana ini menjadi lebih membahagiakan.”

“Kamu mau, Ga?”

Perempuan itu mengerinyit, “Apa?”

“Aku ajak untuk mengubah dunia yang fana jadi lebih membahagiakan?”

Rakha nakal, ya, Ayah?

Suara ketukan pintu semakin keras didengar, diikuti dengan suara-suara yang membuat bocah berumur empat belas tahun itu semakin mengeratkan tangannya untuk menutup telinga. Ia sudah bersembunyi di dalam lemari bersama dengan kemeja-kemeja Ayahnya. Suara tangisan bayi bersahutan dengan pintu yang dibuka secara paksa oleh Afnan. Sedangkan Rakha, masih diam di dalam lemari—berharap Ayahnya itu tidak menenemukan dirinya.

Tiba-tiba air mata bocah itu lolos turun ke pipi, jantungnya berdetak kencang sedangkan dahi sudah dipenuhi oleh peluh. Dalam diam ia menangis, menahan suaranya sebisa mungkin agar tidak kedengaran sampai luar.

“Bun .... da ....” Isaknya masih dengan suara yang terdengar memilukan sebab jantungnya berdebar cepat. Traumanya kembali lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Bayangan wajah Jingga dengan darah yang mengalir di hidung membuat Rakha kehilangan kendali. “Rakha takut .... Bunda .... tolongin Rakha ....”

Dia memeluk tubuhnya sendiri, menyembunyikan wajah di antara kemeja yang digantung—tidak peduli kalau nanti Bunda akan mengomel kepadanya. Yang jelas, Rakha hanya takut dengan suara-suara keributan yang menerikkan namanya seperti apa yang dilakukan Afnan malam ini.

Di luar sana, Afnan meraih tubuh Keana—putri yang diketahui milik adik angkatnya. Jantungnya berdetak kencang saat netra mendapati Keana tiduran di lantai dengan keadaan tengkurap. Afnan kalut, matanya memerah, ia bahkan lari ke sama ke mari untuk menemukan Rakha.

“Rakha! Di mana kamu?” Afnan berlai menuju dapur, mencari putranya di sana dengan gerakan cepat, tubuhnya seolah dikuasai oleh setan yang kepanasan. Sampai akhirnya seseorang membuka pintu utama, membuat netra mereka bertemu.

“Di mana Rakha?”

Jingga mengernyit bingung, “loh? Kok nanya aku? Aku baru pulang, Nan.” Katanya sambil menghela napas, dilihatnya Keana yang sedang menangis dalam gendongan suaminya. “Kamu cari Rakha cuma buat marahin anak itu?”

Afnan menghentikan pergerakannya untuk menaiki tangga, hendak pergi ke kamar Rakha. Tubuhnya berbalik menatap Jingga yang menyorotkan kekecewaan luar biasa.

“Aku tanya sekali lagi, Afnan. Kamu cari Rakha cuma untuk marahin anak itu.” Jingga mengulangi pertanyaannya, menatap Afnan tidak percaya.

Sedangkan Afnan, kembali menuruni tangga perlahan—mengurungkan niat untuk mencari Rakha. Bayi dalam gendongan itu ia letakkan di atas sofa, dengan dua bantal yang menganjal agar tidak langsung jatuh ke lantai. Ia melangkahkan tuasnya untuk mendekat ke arah Jingga yang sedang menatapnya.

“Maaf ....”

Jingga menghela napas, ia juga manusia yang bisa marah. Karena sumpah demi apapun, Jingga juga lelah dengan semuanya. Keadaan yang seperti ini kadang memang membuatnya mau tidak mau harus bersiap dengan apapun yang terjadi ke depannya. “Kamu ngomong apa aja sama Rakha?”

Pria berkemeja putih itu menghela napas, mencoba untuk menatap istrinya tanpa membuat perempuan itu merasa takut. “Aku minta dia diam di rumah, udah itu aja.”

“Caramu benar?”

Dia menggeleng, menundukkan kepalanya seolah menyadari hal apa yang baru saja ia lakukan.

“Nan .... kamu tau kalau Rakha punya trauma dengan suara-suara yang menerikkan namanya, kan?”

Jingga menghela napas, “Kamu tau kalau Rakha takut banget sama Mas Biru karena apa, kan?”

Afnan masih diam di tempatnya, menundukkan kepala sambil menatap ujung sepatunya nanar. Ia bertindak seolah-olah sedang dimarahi oleh seorang Ibu.

“Kamu satu-satunya Ayah yang lembut di mata Rakha, Nan. Kamu yang jadi alasan Rakha bertahan sampai sebesar ini.” Kata Jingga dengan suara yang bergetar. Tangisnya hampir saja pecah ketika potongan-potongan kejadian beberapa tahun lalu memutar begitu saja bagaim film di memori ingatan Jingga. “Kamu .... nggak pernah tau gimana rasanya jadi anak laki-laki dengan mental lemah karena kejadian masa lalu kaya Rakha, Nan.”

“Aku tau, Rakha nggak terlahir di keluarga yang serba ada dan serba bisa melakukan apapun kaya kamu. Tapi bisa aku minta tolong? Rangkul anak itu kaya gimana kamu dirangkul sama orang tuamu.” Bulir air mata lolos begitu saja seiring dengan suara Jingga yang kian melemah.

“Ga!” Afnan berlari mengejar Jingga ke kamar mereka, meninggalkan Keana yang masih menangis di atas sofa.

Sedangkan Jingga membuka pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurnya dengan kasar— mencari sosok putranya di dalam sana. Karena Rakha juga tidak bisa ditemukan, Jingga beralih pergi untuk membuka pintu lemari sedangkan Afnan masih diam di ambang pintu kamar.

“Rakha ....” Jingga membawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya, kuasa terangkat untuk mengecek detak jantung melalui nadi sebab Rakha tidak sadarkan diri.

Pikiran Jingga kalut ketika jantung bocah itu berdetak lemah, ia yakin betul kalau Rakha hampir kehabisan oksigen di dalam lemari atau bahkan trauma hampir membunuhnya.

Perempuan itu mendongak, menatap Afnan yang bersiap untuk menggendong tubuh Rakha. “Awas!”

Pelan-pelan Jingga melepaskan pelukannya pada Rakha, membiarkan Afnan membawa tubuh lemah itu untuk dibaringkan ke atas kasur. Dengan segera Jingga mengambil kotak P3K di lacinya. Kemudian ia mengecek bola mata Rakha dan detak jantungnya lagi.

“Keana .... anak siapa, Nan?”

Afnan menghentikan pergerakan untuk menyelimuti Rakha. Netranya menatap Jingga yang sudah lebih tenang dari sebelumnya dalam. “Aku beneran nggak tau, Ga.”

“Keana dan Gerland, mereka kembar, kan?” tanya Jingga lagi. “Kenapa mereka bisa bikin kamu semarah ini sama Rakha, Nan? Apa karena Rakha bukan anak kandung kamu? Apa karen—”

Perempuan itu menghentikan kalimatnya ketika Afnan tanpa permisi mengecup bibirnya singkat. Setelah itu seolah tanpa dosa Afnan tersenyum lembut sehinga menimbulkan lubang pada pipi kiri dan kanannya. Senyum lembut yang setiap pagi ada untuk menyapa Jingga.

“Kalau kamu mikir Gerland dan Keana adalah anak-anak aku, tandanya kamu salah.” katanya. Dia bertumpu pada kedua kakinya, menggenggam tangan Jingga untuk sekedar menguatkan perempuan itu. “Ga, aku bahkan nggak bisa kasih kamu anak. Masa tiba-tiba aku kasih Aletta anak?”

Di dalam mata itu tidak ada kebohongan dan Afnan sedang berusaha untuk tidak menutup-nutupi sesuatu dari istrinya. “Tatap aku, Ga!”

Jingga menggeleng, menatap ke sembarang arah asal tidak pada bola mata kecokelatan itu.

“Kamu bilang bakalan nurut sama suami kamu biar nggak dosa, kan? Sekarang, tatap aku!” perintahnya dengan nada lembut membuat Jingga pelan-pelan mengalihkan pandang. “Aku .... nggak pernah bohong sama kamu, Ga. Di saat aku bilang bakalan nerima kamu dalam keadaan apapun, aku bener-bener ngelakuin itu.”

Jingga mengangguk, kemudian melepaskan genggaman tangan Afnan perlahan. Ia beralih untuk membuka kotak p3k, mencari minyak angin di sana untuk membangunkan Rakha.

“Rakha .... bisa dengar Bunda, nak?” tanyanya ketika Rakha mulai membuka kelopak matanya perlahan.

Bocah berkaus putih itu menyunggingkan sedikit senyumnya ketika netra mendapati sang Bunda dengan wajah cemasnya. Di belakang Bunda ada Ayah yang selalu ada untuknya. “ A-ayah .... maafin Rakha .... Ampun, Ayah .... Rakha nggak akan nakal lagi ....”

Dan untuk pertama kalinya Afnan menangis di hadapan Rakha, merengkuh daksa putranya untuk ditenggelamkan ke dalam pelukan hangat. “Maafin Ayah, Rakha ....”

Diam-diam Jingga meninggalkan Rakha dan Afnan yang sepertinya sedang menenangkan satu sama lain. Langkah kakinya berjalan menuju sofa untuk menenangkan Keana terlihat mengenaskan. Kalau diamati lebih jauh, wajah Keana mirip sekali dengan Aletta. Mulai dari mata, hidung bahkan pipinya. Tapi yang membuat Jingga merasa ganjal, bibirnya mirip seperti ....

Winar?

Jingga menghela napasnya pelan, kuasa itu terangkat untuk mengelus punggung pria muda yang sedang menekan bagian jantung pasien. Bertemu lagi dengan harinya, hari di mana operasi yang dipimpin oleh Jingga mengalami kegagalan. Sebenarnya perempuan itu sudah merasa biasa aja akan hal itu, karena selama menjadi dokter ia sudah mengalami tiga kali kejadian ini.

Tapi berbeda dengan Naren, ini adalah operasi pertamanya yang mengalami kegagalan. Dengan peluh yang mengucur di pelipisnya, pria itu tetap menekan bagian jantung pasien sambil menangis—berharap Semesta memberi keajaiban.

Jingga yang masih dibalut baju operasi itu berjalan sedikit menjauhi juniornya itu. “Naren, dia udah meninggal.”

Naren tidak juga menghentikan pergerakannya, sedangkan tiga perawat lain termasuk Jingga masih diam di belakangnya.

“Mbak, dia masih hidup. Detak jantungnya masih ada tadi.” Katanya sambil menahan isak tangis yang membuat Jingga melepas haircap yang menyisakan kerudung putihnya. “Naren .... gagal, Mbak.”

“Naren, detak jantungnya berhenti sepuluh menit yang lalu. Dan itu adalah waktu kematian beliau.” Katanya memberitau, kuasa perempuan itu terangkat untuk menghentikan pergerakan Naren. Lalu netranya beralih kepada tiga perawat lain, “setelah saya beritau keluarganya, tolong dipindah ke kamar mayat, ya.”

“Pukul delapan lebih enam belas menit waktu kematiannya.” Naren berjalan menjauhi pasien sebanyak dua langkah, mensejajarkan diri di samping Jingga yang sedang melepaskan sapu tangannya.

Jingga melirik Naren sekilas, “Naren, kamu itu bukan gagal sebagai seorang Dokter. Kita itu tugasnya membantu, bukan menyelamatkan. Tentang selamat atau enggak ....” Telunjuk Jingga berdiri, “Urusan yang di atas. Kita nggak bisa mengambil alih takdir untuk kembali menghidupkan satu nyawa.”

Pria itu menganggukkan kepala, pelan-pelan berusaha mengerti dan menerima kejadian beberapa menit lalu di mana tiba-tiba tekanan darah pasien turun dengan drastis kemudian disusul dengan detak jantung yang berhenti.

Sebenarnya dalam hati Jingga juga merasa sedih, ia gagal dalam membantu menyelamatkan nyawa seseorang yang sangat berarti bagi keluarganya. Seorang Ayah pekerja keras yang mencari nafkah untuk istri dan ketiga anaknya yang masih sekolah. Setelah ini pasti kehidupan empat manusia itu akan lebih sulit tanpa seorang kepala keluarga.

“Jingga?”

Jingga mengalihkan netranya kepada pria berkemaja putih yang sedang berdiri beberapa langkah di depan sana—diikuti senyum tipis yang terasa memilukan. “Mas Biru?”

Setelah menyelesaikan operasi dadakannya hari ini, Jingga memilih untuk mengisi perutnya yang kosong di kantin rumah sakit. Menikmati sayur dan buah dengan pemandangan indah di mana para orang berlalu lalang di koridor. Netra pekat itu masih memandangi Biru yang berjalan mendekat langkah demi langkah.

Sejujurnya untuk Jingga ketika melihat Biru adalah hal yang paling ia hindari belakangan ini. Ia takut kalau Biru kembali memukulinya seperti dulu. Jingga tau, tau sekali kalau Biru sudah melepaskan diri dari Amel, namun Jingga tidak tau pasti apa alasan pria itu lepas dari seseorang yang dicinta.

“Apa kabar?”

Jingga tersenyum ragu, “Baik. Mas Biru, gimana?”

“Baik. Kamu kembali jadi Dokter atas izin Afnan, ya?” Tanyanya, ia berjalan maju selangkah untuk duduk di kursi depan Jingga. Kemudian meneguk teh botol di tangan kanan. Tidak lupa, Biru juga mengeluarkan sebungkus nikotin yang membuat Jingga membulat sempurna.

“Mas Biru .... ngerokok?”

Ia menganggukkan kepala, terkekeh sebentar lalu menatap netra Jingga dalam. “Menghilangkan stress, Ga.”

“Oh...” Jingga menganggukkan kepala paham. Seharusnya, menghilangkan stress bukan berarti harus merusak tubuh juga.

Ah, andai Jingga masih bertanggung jawab atas tubuh pria ini, kesehatan pria ini dan segalanya tentang pria ini. Jingga pastikan ia tidak akan menyentuh barang sebatang nikotinpun.

Nggak bisa apa-apa.

“Dia nggak bisa apa-apa! Nyawa manusia itu bukan taruhan!” Jingga melempar maskernya dengan kasar ke dalam tong, membuka seluruh pakaian bedahnya sambil menahan air mata.

Seseorang menepuk punggung wanita itu, tersenyum tulus sambil menyampaikan kalimat-kalimat terima kasih untuk hari ini, meyakinkan Jingga kalau wanita itu melakukan yang terbaik.

“Na, Pak Abimanyu beneran serahin rumah sakit sama Amel?” Tanyanya.

Pria yang yang dua tahun lebih muda dari pada Jingga itu tersenyum kecil sambil mengangguk. “Uang, Mbak. Harusnya yang jadi Direktur rumah sakit kali ini tuh Mbak Jingga. Naren yakin banget kalau kemampuan Mbak Jingga dalam mengolah rumah sakit lebih baik dari pada Dokter Amel.”

Wanita itu menutup mata, menarik napas sedalam-dalamnya lalu bergeser agar tubuhnya tidak menutupi jalan. “Kamu tau selama sembilan tahun ini aku selalu ada di ruang operasi, kan, Na?”

Naren mengangguk paham. Ia tau, tau sekali bagaimana cara Jingga memperjuangkan karirnya sebagai Dokter. Naren juga tau gimana besarnya keinginan Jingga dalam memimpin rumah sakit terbesar di kota. Bukan karena wanita itu haus akan jabatan, tapi Jingga cuma ingin mengubah segala jenis peraturan yang digunakan di rumah sakit ini.

“Amel harusnya tau kalau dia nggak mampu handle rumah sakit, Na. Kita tuh lagi bangun rumah sakit, bukan apartment, kan?” Matanya melirik sedikit ke arah Naren yang sekarang sedang meneguk air mineral.

Sejak sembilan tahun yang lalu Jingga memang ingin sekali membangun sebuah klinik, tapi Afnan memintanya untuk kembali bekerja di rumah sakit saja. Karena ada beberapa kerabat Afnan yang bisa saja mempromosikan Jingga sebagai Direktur rumah sakit—seperti apa yang diimpikan wanita itu.

Hari itu Jingga senang sekali sampai rasanya ia harus membagi kesenangan pada orang-orang di sekitar. Afnan itu orang yang akan baik-baik saja kalau Jingga kembali bekerja—karena rasanya ilmu istrinya itu akan sia-sia.

Waktu itu begini kata Afnan, “Kalau kamu mau di rumah sakit lagi, nanti aku coba hubungi temanku. Siapa tau beliau bisa bantu promosiin kamu di sana.”

“Dokter Jingga, sibuk?”

Jingga dan Naren mengalihkan pandang secra bersamaan, membungkuk sedikit untuk menyambut kedatangan Pak Banyu yang memiliki jabatan sebagai professor di rumah sakit ini.

“Engga, Dok. Ini baru selesai operasi yang dipimpin sama Dokter Anindya. Pak—”

Banyu mengembuskan napas untuk memotong kalimat Jingga. “Ga, saya nggak bisa. Maaf.”

“Uang? Berapa banyak yang dibayar sama Ibunya Amel, Pak?” Jingga tertawa remeh. Bisa-bisanya rumah sakit terbesar di kota menerima uang sogokan dari seseorang yang bahkan tidak memiliki jabatan apa-apa.

“Udah lah, Mbak Jingga. Yang enggak pantes jadi Dokter itu ya kamu.” Seseorang tiba-tiba saja masuk sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jas putihnya, melirik Jingga sambil tertawa kecil.

Tujuh belas tahun lalu, kalimat itu adalah kalimat yang paling menyakitkan untuk didengar oleh Jingga. Saat ia gagal menyelamatkan nyawa seseorang untuk yang pertama kalinya.

“Yang nggak pantes aku atau kamu? Amel, kamu tau? Pasien tadi itu .... adik angkatnya Afnan. Dan kamu bikin dia hampir nggak selamat.” Jingga marah. Marah pada semuanya yang ada di sini, marah dengan segala kekayaan yang melimpahi manusia seperti Amel. Manusia yang bahkan hampir membunuh Aletta selaku Adik angkat yang sangat disayangi oleh Afnan.

“Kamu itu nggak pantes ada di ruang operasi, Amel. Kamu punya gelar? Itu nggak akan cukup.” Masih dengan teriakan yang menggebu, Jingga menangis dalam kalimatnya. Pandangannya beralih kepada Banyu di sampingnya.

“Pak Banyu tolong ingat, kita bekerja untuk menyelamatkan nyawa beberapa orang. Tolong singkirkan beberapa kejadian beberapa tahun lalu.”

Jingga menarik napasnya, mantap mata Abimanyu—pria yang pernah ditolak lamarannya, dalam. “Saya permisi.”

Dengerin saya,

Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan, menangis sejadi-jadinya saat membayangkan betapa takutnya Rakha akan Ayah kandungnya itu. Hatinya bahkan teriris ketika memori ingatannya mengulas balik kejadian tadi malam, di mana Rakha bercerita kalau ia sampai bersembunyi di dalam lemari.

“Rakha .... maafin Bunda ....”

“Tenang, tenang.” Pintu kemudi dibuka dengan cepat dari arah luar oleh seorang pria yang langsung menyambar daksa Jingga. Memeluknya erat, membawa perempuan itu untuk menenggelamkan wajah di kemejanya.

Pria itu—Afnan, mengecup pelan wajah istrinya yang penuh dengan air mata. Membawa hati-hati tubuh itu untuk keluar dari dalam mobil putihnya. “Aku di sini. Kita cari Rakha bareng-bareng, okay?”

“Nan ....”

Pria itu mengulas senyum manis yang mampu menimbulkan lubang di pipi kanannya, “maaf. Aku emang bukan Ayah kandungnya Rakha, Ga. Tapi dari kamu mengandung, melahirkan bahkan sampai Rakha sebesar ini. Dia sama aku, dia anakku juga. Maaf kalau aku nggak bisa kasih kamu anak, maaf kalau aku cacat. Maaf.”

Tersadar akan kalimat menyakitkan yang ia kirim beberapa menit lalu di pesan, Jingga langsung memeluk Afnan erat. Tidak ada memperlakukan Jingga selembut Ayah dan Afnan—walau itu Biru sekalipun. “Nan .... maaf. Aku salah ....”

“Sayang, dengerin aku.” Afnan membawa wajah itu untuk tetap mantapnya. Dia terkekeh sebentar sebelum akhirnya mengecup hidung mancung Jingga sekilas, tidak peduli ada Pak Bayu atau beberapa guru Rakha. “Kamu nggak salah, yang kamu omongin bener adanya dan itu fakta. Aku nggak sakit hati akan hal itu, Ga. Tapi lain kali, kalau itu bukan aku— tolong disaring kalimatnya, ya?”

Perempuan berhijab hitam itu mengangguk kecil, memeluk daksa prianya erat seolah tidak ingin lepas. “Nan, aku nggak mau Rakha kenapa-napa ....”

“Ga, nggak ada yang mau Rakha kenapa-napa, dan Rakha emang nggak akan kenapa-napa. Percaya sama aku, ya?” Katanya meyakinkan sang istri, membelai lembut pipinya sambil tersenyum menenangkan. “Mas Biru itu Ayahnya Rakha, dia nggak akan apa-apain Rakha, Ga.”

“Nan, Mas Biru bahagia sama Amel, kan?”

Kalimat tanya itu membuat Afnan mematung di tempatnya. Mengingat kejadian dua bulan lalu saat ia sedang berkunjung ke Rumah Bundanya Biru untuk menjemput Rakha. Di sana Amel sedang bertengkar hebat dengan Biru—bahkan sampai perempuan itu menodong suaminya dengan pisau. “Pasti, Ga. Mereka pasti bahagia.”

“Ga, kebahagiaan orang itu bukan tanggung jawab kamu. Kecuali kebahagiaan Rakha dan kamu, itu jadi tanggung jawabku.” Tangannya terangkat untuk membenahi kerudung Jingga, mengelus kepala perempuan itu penuh kasih. “Sekarang telepon Bundanya Mas Biru, ya? Tanya rumah Mas Biru yang di Bogor itu alamatnya di mana. Kita ke sana sama Pak Bayu.”

“Kamu nggak mau ganti baju atau istirahat dulu? Canada Indonesia itu bukan satu atau dua jam, Nan.”

Afnan terkekeh, “Rakha lebih berharga dari pada rasa capek aku, sayang. Ayo, telepon Bundanya Mas Biru.”

Entah kenapa sejak memutuskan untuk mengikat janji dengan Afnan, Jingga merasa lebih didahulukan. Jingga merasa tidak ada wanita beruntung selain dirinya. Afnan bahkan tidak pernah menghilangkan rasa untuk Jingga selama mereka duduk di bangku Sekolah Menengah.

Bocah itu memejamkan matanya, merapatkan selimut putih untuk menutupi tubuhnya yang bergetar. Air matanya mengalir deras saat mendengar decitan antara kulit manusia dan lantai. Hatinya tersayat perih. Satu hal yang ia harapkan detik ini, pria yang selama ini ia panggil Ayah menghentikan aksinya.

“Ayah .... udah ....” Desisnya pada diri sendiri. Rakha tidak berani untuk keluar dari kamar dan menemui Ayah Biru yang sedang beradu argumen dengan Bundanya—Jingga. Rakha takut kalau Bundanya semakin disiksa oleh Ayah.

Sedangkan di luar sana, Jingga menahan perih di bagian pipinya. Setelah tubuhnya terseret akibat menghentikan pergerakan Biru yang berjalan menuju kamar Rakha, ia ditampar dengan keras oleh pria itu. “Mas, jangan!”

“Ga, saya cuma mau ketemu Rakha!”

Jingga menangis, menahan perih luar biasa di pipi kanan. “Rakha .... Rakha nggak mau ketemu kamu, Mas Biru!”

Lima belas menit sebelumnya Rakha menuruti permintaan Jingga untuk mengunci pintu kamar dan jangan dibuka kalau bukan ia yang meminta. Dan Rakha menuruti, Rakha cuma tidak mau dibawa oleh Biru dan bertemu dengan Mama Amel. Rakha nggak suka.

“Ayah Afnan .... Rakha takut ....” Rakha berlari sekuat tenaga untuk mengurung diri di dalam lemari bajunya, menangis sejadi-jadinya. Membayangkan tiga bulan lalu kejadian yang sama seperti hari ini,

di mana Biru ingin mengambil dirinya dari sang Bunda lalu membawanya pergi ke Bogor—untuk tinggal bersama Amel.

“Rakha ....”

Di sela tangisnya, Rakha berlari kecil ke arah pintu kamarnya saat mendengar suara lembut milik Bunda. Dibukanya perlahan pintu putih itu, dan segera ia masuk ke dalam pelukan sang Bunda. Diusapnya dengan lembut pipi milik Jingga,

“bunda .... maafin Rakha.”

Jingga tersenyum, menghapus air mata milik putranya lembut. “Rakha nggak salah, sayang. Harusnya Bunda yang minta maaf, ya? Setelah ini, kita pindah yang jauh, ya?”

“Sama Ayah Afnan, Bunda?”

Jingga tersenyum sambil mengangguk kecil, “iya, sayang.”

Dari dulu, untuk menenangkan putranya Jingga selalu bilang akan pergi meningalkan Jakarta tapi entah kenapa hatinya tidak sampai untuk meninggalkan kota kelahiran itu.

“Rakha nggak suka Mama Amel, Bunda .... Mama Amel jahat!”

Kedua kurva Jingga terangkat seluas himalaya untuk menenangkan si buah hati. “Bunda Jingga di sini, sayang.”

“Bunda, Ayah Biru kenapa selalu pukul Bunda? Ayah Biru nggak sayang sama Bunda, ya?” Katanya. Lagi-lagi bocah itu menangis. Sekarang, Rakha memiliki trauma sendiri ketika bertemu dengan Ayah kandungnya.

Entah, tapi Rakha lebih menyukai Ayah Afnan yang selalu mengajarinya mengaji sampai di detik di mana Rakha hafal beberapa surat pendek.

“Bunda nginep di sini untuk hari ini.” Wanita berkerudung hijau muda itu melangkahkan kakinya ke kamar menantu pertamanya saat netra mendapati perempuan dari arah dapur—Amel.

Jingga mengangguk sambil tersenyum tipis, kemudian duduk di sofa.

Lima menit lalu Afnan yang memutuskan mampir ke rumah sudah izin pulang karena ada beberapa hal yang harus ia kerjakan. Ada saat di mana Jingga mengingat masa-masa yang sudah terlewati bersama Afnan tujuh tahun yang lalu.

“Mbak Jingga nggak langsung ke kamar?”

Jingga mengalihkan pandang, mendapati Amel yang sedang meletakkan kopi hangat untuk suaminya. “Enggak—oh iya, Amel, aku boleh ngobrol sama Mas Biru sebentar?”

Beruntungnya perempuan itu mengerti lalu segera memisahkan diri, masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat. Sejak pernikahannya dengan Biru, Amel jarang sekali menunjukkan wajah di depan Jingga. Tahu diri, katanya.

“Mas, Jingga nggak main-main soal yang tadi.” Helaan napas terdengar dari Jingga setelahnya. Menatap bola mata Biru dengan rasa sesak di dalam dada. “Jingga emang sayang sama Mas Biru—sayang banget. Tapi tolong .... lepasin Jingga, ya, Mas?”

“Jingga tau kok, Mas Biru mungkin seneng—atau parahnya nggak peduli atas kepergian Jingga nanti.” Katanya lalu disusul dengan kekehan. Netranya menatap Biru serius, seolah meminta izin untuk pergi yang jauh. “Jingga juga tau kalau perceraian adalah hal yang sama sekali enggak disukai sama Allah. Mas Biru benar, nggak ada pernikahan yang menjadi sebuah kesalahan .... tapi menunggu Mas Biru adalah kesalahan terbesar yang pernah Jingga lakuin.”

“Harusnya Jingga sadar kan, Mas? Jingga ini siapa? Jingga ini—”

“Diem.” Biru menarik daksa itu ke dalam pelukannya, menumpu dagunya di atas kepala sang istri. Baru kali ini rasanya sangat sakit ketika seseorang memiliki niat untuk meninggalkannya.

Seketika kejadian-kejadian di mana ia menjadi guru less Jingga dan Renan memenuhi memori ingatan Biru. Diam-diam air mata itu mengalir deras dari pelupuknya. Menyanggah kalimat Jingga, “Kesalahan terbesar Mas Biru itu nggak pernah bisa meletakkan sebuah rasa ke kamu.”

“Mas,” Jingga menengadahkan wajahnya, menatap Biru dari bawah. “Perasaan itu nggak bisa dipaksakan walau dengan uang sekalipun. Kalau dari awal Mas Biru nggak sayang sama Jingga .... kenapa Mas Biru mau sama tawaran Ayah? Soal uang, Mas bisa ngomong sama Jingga .... nggak banyak, tapi insya Allah saat itu Jingga bisa pinjamin uang untuk Mas Biru.”

Diam mengangguk, memejamkan mata di posisinya. Baru kali ini rasanya ada sebagian diri yang hilang entah ke mana. Dan memang, penyesalan selalu datang pada waktu yang tepat.

“Jingga mau apa sekarang?”

Jingga memejam, meyakinkan dirinya sendiri untuk kalimat yang akan ia ucapkan. “Talak Jingga, Mas.”

Dijauhkan tubuh itu darinya, dengan senyum kecilnya ia merapikan kerudung sang istri. “Mas Biru lepas Jingga...”

“Jingga, hari ini kamu saya talak.”

Seketika air mata itu turun dari pelupuk mata Jingga, ada sebagian dirinya yang belum bisa terima. Namun ada sebagian yang merasa lega.

Sebuah senyum kecil ia usahakan sebisa mungkin, kuasanya terangkat untuk mengelus perutnya sendiri. Sambil memejamkan mata, Jingga berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan dirinya berkali-kali di dalam hati. Hari ini, hari bahagia—untuk sebagian orang. Walau acaranya tidak dibuat begitu megah, tapi Jingga harus mempersiapkan segalanya, termasuk dirinya sendiri.

Ini, harinya. Hari di mana satu hati dipatahkan dengan sebuah ijab kabul yang suci. Dulu, ia kira kalimat itu akan keluar dari mulut suaminya hanya untuknya seorang. Tapi Jingga salah.

Tangannya terangkat untuk menarik kursi riasnya, duduk di sana sambil menatap pantulan diri sendiri yang sudah terbalut manis dengan kebaya berwarna biru muda. Pelan-pelan senyumnya luntur ketika netra mendapati diri di dalam cermin.

“Jingga .... nggak boleh nangis. Kamu udah setuju sama ini semua, kan? Udah terlambat, Ga.” Ucapnya pada diri sendiri, meyakinkan sebisa mungkin untuk melukis senyum pura-pura seperti biasa.

Pandangannya teralih saat ada satu pergerakan dari pintu ruangan. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit saat mendapati suaminya berdiri yang sudah rapi dengan pakaiannya. Jingga berjalan menghampiri, merapikan sedikit lipatan pada bagian kerah baju Biru.

“Ga, maaf ....”

Pergerakannya terhenti saat netranya bertemu dengan bolamata kecokelatan milik Biru. Padahal sedari tadi kontak mata dengan Biru adalah hal yang paling Jingga hindari. Dengan suara yang tidak begitu keras Jingga membuka mulutnya,

“nggak apa-apa, Mas. Nggak akan ada hal yang lebih menyakitkan di lain hari, Jingga yakin.” Katanya. Dia mengulum bibirnya, lalu mengusahakan sebuah senyum manis dengan bumbu sebuah luka.

Biru mengangkat wajah mungil itu, dikecupnya dahi yang selalu ia kecup setiap malam. “Jangan pernah pergi, Ga.”

Lagi-lagi hanya senyum yang mampu Jingga berikan untuk Biru, sebab ia sendiri tidak tau apa yang terjadi ke depannya. Apa dia akan terus bertahan menjadi bodoh seperti hari ini dan sebelumnya?

“Perbaiki semuanya lewat Amel ya, Mas?” Lirih Jingga dengan tatapan memohon. Hatinya sakit, tentu saja. Tapi memang apalagi yang harus ia lakukan kecuali mengikhlaskan segala yang terjadi?

Biru bersimpuh di hadapan istrinya, menggeganggam jemari itu lembut. Dikecupnya dua kali, lalu kuasa terangkat untuk mengelus perut rata milik Jingga. “Adek .... ini Ayah.” Katanya dengan suara bergetar.

Jingga sudah tidak lagi dapat menahan air matanya, ia mengarahkan netra ke sana- ke mari untuk menormalkan perasaannya. Tapi ini sudah terlalu menyakitkan baginya. Jemarinya terangkat untuk mengambil milik Biru. “Mas, ngobrolnya nanti lagi, ya? Ijabnya udah mau dimulai.”

Terakhir, Biru membawa daksa perempuan di hadapan ke dalam pelukannya. Selang beberapa menit, ia memundurkan tubuh—menatap mata Jingga seolah meminta izin untuk pergi jauh.

Jingga mengangguk sambil tersenyum kecil sebelum akhirnya Biru menyambar bibir ranum yang dilapisi dengan tint berwarna merah mawar. Di sela-sela lumatan lembut itu air mata Jingga mengalir deras yang membuat Biru buru-buru melepaskan diri.

Jingga tau .... setelah ini tidak akan ada lagi ciuman hangat dan menenangkan dari suaminya. Semuanya cukup sampai di sini. “Ayo, Jingga antar ke depan.”

Biru mengangguk, menatap nanar ke arah Jingga yang menipiskan bibirnya—seolah sedang meminta kekuatan pada Semesta. Pelan-pelan ia melangkahkan kaki ke luar ruangan bersamaan dengan Jingga di sebelah kirinya. Tidak ada yang tau kalau di dalam hati Biru benar-benar merasa tidak berguna, merasa bersalah dengan Ayah yang sudah mati-matian membuang harta demi sang putra yang mengejar ilmu di negeri orang.

Di depan penghulu, Biru duduk dengan manis sebelum akhirnya Amel datang di antar Papanya. Gadis itu tampak anggun dengan balutan baju berwarna putih tulang. Sedangkan Jingga duduk di kursi bagian belakang bersama Bunda di sisinya. Menatap setiap proses pernikahan yang dilakukan oleh suaminya. Hatinya hancur ketika suara Biru dengan lancar mengucapkan janji sucinya.

“Bunda .... Jingga benci suara Mas Biru.”

Bunda mengalihkan pandang, menatap sedih ke arah menantu kesayangan. “Maafin Bunda, Ga. Bunda terlambat ....”

“Sah?”

“Sah!” Teriak para saksi. Setelahnya dilantunkan beberapa bait do'a yang membuat dada Jingga semakin sesak. Napasnya tidak lagi beraturan saat Biru berjalan menghampiri Bunda, menangis sejadi-jadinya di pelukan wanita senja itu.

“Jingga izin ke toilet dulu ya, Bun.” Katanya sambil berjalan pelan-pelan ke arah toilet. Tangan kanan itu meremat dadanya kencang, berusaha menyakiti dirinya dari luar. Jingga tidak suka disakiti dari dalam, apalagi bagian hatinya.

Langkah kakinya masuk ke dalam salah satu bilik, terududuk di lantai dan menenggelamkan wajahnya di lipatan kaki. Menangis sejadi-jadinya di dalam toilet adalah hal yang paling Jingga sukai, ditemani dengan suara air yang mengalir.

Sampai kisahnya berakhir Jingga sadar, tidak ada yang bisa dilakukan secara terpaksa apalagi pernikahan yang suci. Janji-janji yang diucapkan di hadapan kitab membuatnya lemah tidak memiliki daya. Semuanya harus berakhir, termasuk kebahagiaannya bersama Biru. Jinggapun harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk membangun keluarga kecil sederhana bersama Biru.

Semuanya .... sia-sia.

— END.