Nikotin yang membuat candu.
Jingga menghela napasnya pelan, kuasa itu terangkat untuk mengelus punggung pria muda yang sedang menekan bagian jantung pasien. Bertemu lagi dengan harinya, hari di mana operasi yang dipimpin oleh Jingga mengalami kegagalan. Sebenarnya perempuan itu sudah merasa biasa aja akan hal itu, karena selama menjadi dokter ia sudah mengalami tiga kali kejadian ini.
Tapi berbeda dengan Naren, ini adalah operasi pertamanya yang mengalami kegagalan. Dengan peluh yang mengucur di pelipisnya, pria itu tetap menekan bagian jantung pasien sambil menangis—berharap Semesta memberi keajaiban.
Jingga yang masih dibalut baju operasi itu berjalan sedikit menjauhi juniornya itu. “Naren, dia udah meninggal.”
Naren tidak juga menghentikan pergerakannya, sedangkan tiga perawat lain termasuk Jingga masih diam di belakangnya.
“Mbak, dia masih hidup. Detak jantungnya masih ada tadi.” Katanya sambil menahan isak tangis yang membuat Jingga melepas haircap yang menyisakan kerudung putihnya. “Naren .... gagal, Mbak.”
“Naren, detak jantungnya berhenti sepuluh menit yang lalu. Dan itu adalah waktu kematian beliau.” Katanya memberitau, kuasa perempuan itu terangkat untuk menghentikan pergerakan Naren. Lalu netranya beralih kepada tiga perawat lain, “setelah saya beritau keluarganya, tolong dipindah ke kamar mayat, ya.”
“Pukul delapan lebih enam belas menit waktu kematiannya.” Naren berjalan menjauhi pasien sebanyak dua langkah, mensejajarkan diri di samping Jingga yang sedang melepaskan sapu tangannya.
Jingga melirik Naren sekilas, “Naren, kamu itu bukan gagal sebagai seorang Dokter. Kita itu tugasnya membantu, bukan menyelamatkan. Tentang selamat atau enggak ....” Telunjuk Jingga berdiri, “Urusan yang di atas. Kita nggak bisa mengambil alih takdir untuk kembali menghidupkan satu nyawa.”
Pria itu menganggukkan kepala, pelan-pelan berusaha mengerti dan menerima kejadian beberapa menit lalu di mana tiba-tiba tekanan darah pasien turun dengan drastis kemudian disusul dengan detak jantung yang berhenti.
Sebenarnya dalam hati Jingga juga merasa sedih, ia gagal dalam membantu menyelamatkan nyawa seseorang yang sangat berarti bagi keluarganya. Seorang Ayah pekerja keras yang mencari nafkah untuk istri dan ketiga anaknya yang masih sekolah. Setelah ini pasti kehidupan empat manusia itu akan lebih sulit tanpa seorang kepala keluarga.
“Jingga?”
Jingga mengalihkan netranya kepada pria berkemaja putih yang sedang berdiri beberapa langkah di depan sana—diikuti senyum tipis yang terasa memilukan. “Mas Biru?”
Setelah menyelesaikan operasi dadakannya hari ini, Jingga memilih untuk mengisi perutnya yang kosong di kantin rumah sakit. Menikmati sayur dan buah dengan pemandangan indah di mana para orang berlalu lalang di koridor. Netra pekat itu masih memandangi Biru yang berjalan mendekat langkah demi langkah.
Sejujurnya untuk Jingga ketika melihat Biru adalah hal yang paling ia hindari belakangan ini. Ia takut kalau Biru kembali memukulinya seperti dulu. Jingga tau, tau sekali kalau Biru sudah melepaskan diri dari Amel, namun Jingga tidak tau pasti apa alasan pria itu lepas dari seseorang yang dicinta.
“Apa kabar?”
Jingga tersenyum ragu, “Baik. Mas Biru, gimana?”
“Baik. Kamu kembali jadi Dokter atas izin Afnan, ya?” Tanyanya, ia berjalan maju selangkah untuk duduk di kursi depan Jingga. Kemudian meneguk teh botol di tangan kanan. Tidak lupa, Biru juga mengeluarkan sebungkus nikotin yang membuat Jingga membulat sempurna.
“Mas Biru .... ngerokok?”
Ia menganggukkan kepala, terkekeh sebentar lalu menatap netra Jingga dalam. “Menghilangkan stress, Ga.”
“Oh...” Jingga menganggukkan kepala paham. Seharusnya, menghilangkan stress bukan berarti harus merusak tubuh juga.
Ah, andai Jingga masih bertanggung jawab atas tubuh pria ini, kesehatan pria ini dan segalanya tentang pria ini. Jingga pastikan ia tidak akan menyentuh barang sebatang nikotinpun.