Nggak bisa apa-apa.

“Dia nggak bisa apa-apa! Nyawa manusia itu bukan taruhan!” Jingga melempar maskernya dengan kasar ke dalam tong, membuka seluruh pakaian bedahnya sambil menahan air mata.

Seseorang menepuk punggung wanita itu, tersenyum tulus sambil menyampaikan kalimat-kalimat terima kasih untuk hari ini, meyakinkan Jingga kalau wanita itu melakukan yang terbaik.

“Na, Pak Abimanyu beneran serahin rumah sakit sama Amel?” Tanyanya.

Pria yang yang dua tahun lebih muda dari pada Jingga itu tersenyum kecil sambil mengangguk. “Uang, Mbak. Harusnya yang jadi Direktur rumah sakit kali ini tuh Mbak Jingga. Naren yakin banget kalau kemampuan Mbak Jingga dalam mengolah rumah sakit lebih baik dari pada Dokter Amel.”

Wanita itu menutup mata, menarik napas sedalam-dalamnya lalu bergeser agar tubuhnya tidak menutupi jalan. “Kamu tau selama sembilan tahun ini aku selalu ada di ruang operasi, kan, Na?”

Naren mengangguk paham. Ia tau, tau sekali bagaimana cara Jingga memperjuangkan karirnya sebagai Dokter. Naren juga tau gimana besarnya keinginan Jingga dalam memimpin rumah sakit terbesar di kota. Bukan karena wanita itu haus akan jabatan, tapi Jingga cuma ingin mengubah segala jenis peraturan yang digunakan di rumah sakit ini.

“Amel harusnya tau kalau dia nggak mampu handle rumah sakit, Na. Kita tuh lagi bangun rumah sakit, bukan apartment, kan?” Matanya melirik sedikit ke arah Naren yang sekarang sedang meneguk air mineral.

Sejak sembilan tahun yang lalu Jingga memang ingin sekali membangun sebuah klinik, tapi Afnan memintanya untuk kembali bekerja di rumah sakit saja. Karena ada beberapa kerabat Afnan yang bisa saja mempromosikan Jingga sebagai Direktur rumah sakit—seperti apa yang diimpikan wanita itu.

Hari itu Jingga senang sekali sampai rasanya ia harus membagi kesenangan pada orang-orang di sekitar. Afnan itu orang yang akan baik-baik saja kalau Jingga kembali bekerja—karena rasanya ilmu istrinya itu akan sia-sia.

Waktu itu begini kata Afnan, “Kalau kamu mau di rumah sakit lagi, nanti aku coba hubungi temanku. Siapa tau beliau bisa bantu promosiin kamu di sana.”

“Dokter Jingga, sibuk?”

Jingga dan Naren mengalihkan pandang secra bersamaan, membungkuk sedikit untuk menyambut kedatangan Pak Banyu yang memiliki jabatan sebagai professor di rumah sakit ini.

“Engga, Dok. Ini baru selesai operasi yang dipimpin sama Dokter Anindya. Pak—”

Banyu mengembuskan napas untuk memotong kalimat Jingga. “Ga, saya nggak bisa. Maaf.”

“Uang? Berapa banyak yang dibayar sama Ibunya Amel, Pak?” Jingga tertawa remeh. Bisa-bisanya rumah sakit terbesar di kota menerima uang sogokan dari seseorang yang bahkan tidak memiliki jabatan apa-apa.

“Udah lah, Mbak Jingga. Yang enggak pantes jadi Dokter itu ya kamu.” Seseorang tiba-tiba saja masuk sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jas putihnya, melirik Jingga sambil tertawa kecil.

Tujuh belas tahun lalu, kalimat itu adalah kalimat yang paling menyakitkan untuk didengar oleh Jingga. Saat ia gagal menyelamatkan nyawa seseorang untuk yang pertama kalinya.

“Yang nggak pantes aku atau kamu? Amel, kamu tau? Pasien tadi itu .... adik angkatnya Afnan. Dan kamu bikin dia hampir nggak selamat.” Jingga marah. Marah pada semuanya yang ada di sini, marah dengan segala kekayaan yang melimpahi manusia seperti Amel. Manusia yang bahkan hampir membunuh Aletta selaku Adik angkat yang sangat disayangi oleh Afnan.

“Kamu itu nggak pantes ada di ruang operasi, Amel. Kamu punya gelar? Itu nggak akan cukup.” Masih dengan teriakan yang menggebu, Jingga menangis dalam kalimatnya. Pandangannya beralih kepada Banyu di sampingnya.

“Pak Banyu tolong ingat, kita bekerja untuk menyelamatkan nyawa beberapa orang. Tolong singkirkan beberapa kejadian beberapa tahun lalu.”

Jingga menarik napasnya, mantap mata Abimanyu—pria yang pernah ditolak lamarannya, dalam. “Saya permisi.”