Jingga emang sayang sama Mas Biru.
“Bunda nginep di sini untuk hari ini.” Wanita berkerudung hijau muda itu melangkahkan kakinya ke kamar menantu pertamanya saat netra mendapati perempuan dari arah dapur—Amel.
Jingga mengangguk sambil tersenyum tipis, kemudian duduk di sofa.
Lima menit lalu Afnan yang memutuskan mampir ke rumah sudah izin pulang karena ada beberapa hal yang harus ia kerjakan. Ada saat di mana Jingga mengingat masa-masa yang sudah terlewati bersama Afnan tujuh tahun yang lalu.
“Mbak Jingga nggak langsung ke kamar?”
Jingga mengalihkan pandang, mendapati Amel yang sedang meletakkan kopi hangat untuk suaminya. “Enggak—oh iya, Amel, aku boleh ngobrol sama Mas Biru sebentar?”
Beruntungnya perempuan itu mengerti lalu segera memisahkan diri, masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat. Sejak pernikahannya dengan Biru, Amel jarang sekali menunjukkan wajah di depan Jingga. Tahu diri, katanya.
“Mas, Jingga nggak main-main soal yang tadi.” Helaan napas terdengar dari Jingga setelahnya. Menatap bola mata Biru dengan rasa sesak di dalam dada. “Jingga emang sayang sama Mas Biru—sayang banget. Tapi tolong .... lepasin Jingga, ya, Mas?”
“Jingga tau kok, Mas Biru mungkin seneng—atau parahnya nggak peduli atas kepergian Jingga nanti.” Katanya lalu disusul dengan kekehan. Netranya menatap Biru serius, seolah meminta izin untuk pergi yang jauh. “Jingga juga tau kalau perceraian adalah hal yang sama sekali enggak disukai sama Allah. Mas Biru benar, nggak ada pernikahan yang menjadi sebuah kesalahan .... tapi menunggu Mas Biru adalah kesalahan terbesar yang pernah Jingga lakuin.”
“Harusnya Jingga sadar kan, Mas? Jingga ini siapa? Jingga ini—”
“Diem.” Biru menarik daksa itu ke dalam pelukannya, menumpu dagunya di atas kepala sang istri. Baru kali ini rasanya sangat sakit ketika seseorang memiliki niat untuk meninggalkannya.
Seketika kejadian-kejadian di mana ia menjadi guru less Jingga dan Renan memenuhi memori ingatan Biru. Diam-diam air mata itu mengalir deras dari pelupuknya. Menyanggah kalimat Jingga, “Kesalahan terbesar Mas Biru itu nggak pernah bisa meletakkan sebuah rasa ke kamu.”
“Mas,” Jingga menengadahkan wajahnya, menatap Biru dari bawah. “Perasaan itu nggak bisa dipaksakan walau dengan uang sekalipun. Kalau dari awal Mas Biru nggak sayang sama Jingga .... kenapa Mas Biru mau sama tawaran Ayah? Soal uang, Mas bisa ngomong sama Jingga .... nggak banyak, tapi insya Allah saat itu Jingga bisa pinjamin uang untuk Mas Biru.”
Diam mengangguk, memejamkan mata di posisinya. Baru kali ini rasanya ada sebagian diri yang hilang entah ke mana. Dan memang, penyesalan selalu datang pada waktu yang tepat.
“Jingga mau apa sekarang?”
Jingga memejam, meyakinkan dirinya sendiri untuk kalimat yang akan ia ucapkan. “Talak Jingga, Mas.”
Dijauhkan tubuh itu darinya, dengan senyum kecilnya ia merapikan kerudung sang istri. “Mas Biru lepas Jingga...”
“Jingga, hari ini kamu saya talak.”
Seketika air mata itu turun dari pelupuk mata Jingga, ada sebagian dirinya yang belum bisa terima. Namun ada sebagian yang merasa lega.