Terakhir, ya?

Sebuah senyum kecil ia usahakan sebisa mungkin, kuasanya terangkat untuk mengelus perutnya sendiri. Sambil memejamkan mata, Jingga berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan dirinya berkali-kali di dalam hati. Hari ini, hari bahagia—untuk sebagian orang. Walau acaranya tidak dibuat begitu megah, tapi Jingga harus mempersiapkan segalanya, termasuk dirinya sendiri.

Ini, harinya. Hari di mana satu hati dipatahkan dengan sebuah ijab kabul yang suci. Dulu, ia kira kalimat itu akan keluar dari mulut suaminya hanya untuknya seorang. Tapi Jingga salah.

Tangannya terangkat untuk menarik kursi riasnya, duduk di sana sambil menatap pantulan diri sendiri yang sudah terbalut manis dengan kebaya berwarna biru muda. Pelan-pelan senyumnya luntur ketika netra mendapati diri di dalam cermin.

“Jingga .... nggak boleh nangis. Kamu udah setuju sama ini semua, kan? Udah terlambat, Ga.” Ucapnya pada diri sendiri, meyakinkan sebisa mungkin untuk melukis senyum pura-pura seperti biasa.

Pandangannya teralih saat ada satu pergerakan dari pintu ruangan. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit saat mendapati suaminya berdiri yang sudah rapi dengan pakaiannya. Jingga berjalan menghampiri, merapikan sedikit lipatan pada bagian kerah baju Biru.

“Ga, maaf ....”

Pergerakannya terhenti saat netranya bertemu dengan bolamata kecokelatan milik Biru. Padahal sedari tadi kontak mata dengan Biru adalah hal yang paling Jingga hindari. Dengan suara yang tidak begitu keras Jingga membuka mulutnya,

“nggak apa-apa, Mas. Nggak akan ada hal yang lebih menyakitkan di lain hari, Jingga yakin.” Katanya. Dia mengulum bibirnya, lalu mengusahakan sebuah senyum manis dengan bumbu sebuah luka.

Biru mengangkat wajah mungil itu, dikecupnya dahi yang selalu ia kecup setiap malam. “Jangan pernah pergi, Ga.”

Lagi-lagi hanya senyum yang mampu Jingga berikan untuk Biru, sebab ia sendiri tidak tau apa yang terjadi ke depannya. Apa dia akan terus bertahan menjadi bodoh seperti hari ini dan sebelumnya?

“Perbaiki semuanya lewat Amel ya, Mas?” Lirih Jingga dengan tatapan memohon. Hatinya sakit, tentu saja. Tapi memang apalagi yang harus ia lakukan kecuali mengikhlaskan segala yang terjadi?

Biru bersimpuh di hadapan istrinya, menggeganggam jemari itu lembut. Dikecupnya dua kali, lalu kuasa terangkat untuk mengelus perut rata milik Jingga. “Adek .... ini Ayah.” Katanya dengan suara bergetar.

Jingga sudah tidak lagi dapat menahan air matanya, ia mengarahkan netra ke sana- ke mari untuk menormalkan perasaannya. Tapi ini sudah terlalu menyakitkan baginya. Jemarinya terangkat untuk mengambil milik Biru. “Mas, ngobrolnya nanti lagi, ya? Ijabnya udah mau dimulai.”

Terakhir, Biru membawa daksa perempuan di hadapan ke dalam pelukannya. Selang beberapa menit, ia memundurkan tubuh—menatap mata Jingga seolah meminta izin untuk pergi jauh.

Jingga mengangguk sambil tersenyum kecil sebelum akhirnya Biru menyambar bibir ranum yang dilapisi dengan tint berwarna merah mawar. Di sela-sela lumatan lembut itu air mata Jingga mengalir deras yang membuat Biru buru-buru melepaskan diri.

Jingga tau .... setelah ini tidak akan ada lagi ciuman hangat dan menenangkan dari suaminya. Semuanya cukup sampai di sini. “Ayo, Jingga antar ke depan.”

Biru mengangguk, menatap nanar ke arah Jingga yang menipiskan bibirnya—seolah sedang meminta kekuatan pada Semesta. Pelan-pelan ia melangkahkan kaki ke luar ruangan bersamaan dengan Jingga di sebelah kirinya. Tidak ada yang tau kalau di dalam hati Biru benar-benar merasa tidak berguna, merasa bersalah dengan Ayah yang sudah mati-matian membuang harta demi sang putra yang mengejar ilmu di negeri orang.

Di depan penghulu, Biru duduk dengan manis sebelum akhirnya Amel datang di antar Papanya. Gadis itu tampak anggun dengan balutan baju berwarna putih tulang. Sedangkan Jingga duduk di kursi bagian belakang bersama Bunda di sisinya. Menatap setiap proses pernikahan yang dilakukan oleh suaminya. Hatinya hancur ketika suara Biru dengan lancar mengucapkan janji sucinya.

“Bunda .... Jingga benci suara Mas Biru.”

Bunda mengalihkan pandang, menatap sedih ke arah menantu kesayangan. “Maafin Bunda, Ga. Bunda terlambat ....”

“Sah?”

“Sah!” Teriak para saksi. Setelahnya dilantunkan beberapa bait do'a yang membuat dada Jingga semakin sesak. Napasnya tidak lagi beraturan saat Biru berjalan menghampiri Bunda, menangis sejadi-jadinya di pelukan wanita senja itu.

“Jingga izin ke toilet dulu ya, Bun.” Katanya sambil berjalan pelan-pelan ke arah toilet. Tangan kanan itu meremat dadanya kencang, berusaha menyakiti dirinya dari luar. Jingga tidak suka disakiti dari dalam, apalagi bagian hatinya.

Langkah kakinya masuk ke dalam salah satu bilik, terududuk di lantai dan menenggelamkan wajahnya di lipatan kaki. Menangis sejadi-jadinya di dalam toilet adalah hal yang paling Jingga sukai, ditemani dengan suara air yang mengalir.

Sampai kisahnya berakhir Jingga sadar, tidak ada yang bisa dilakukan secara terpaksa apalagi pernikahan yang suci. Janji-janji yang diucapkan di hadapan kitab membuatnya lemah tidak memiliki daya. Semuanya harus berakhir, termasuk kebahagiaannya bersama Biru. Jinggapun harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk membangun keluarga kecil sederhana bersama Biru.

Semuanya .... sia-sia.

— END.