Siapa dia?
Suasana siang ini mendung, seolah mengerti perasaan Haechan hari ini. Harusnya ia merasa biasa saja kalau Ayah memperlakukan-nya seperti sekarang. Bukankah memang begitu sedari dulu? Ayah selalu membedakan ia dengan Kakak tirinya itu.
Helaan napas terdengar cukup keras, diiringi dengan kuasa pria itu yang terulur untuk meletak-kan ponsel di atas meja belajarnya. Kemudian ia beralih mengambil foto sang Bunda yang terbingkai rapi di atas meja. Air mata mengalir begitu saja ketika jemarinya mengelus lembut wajah Bunda.
“Bunda ... maaf, Haechan nggak bisa hidup dengan baik di Dunia setelah nggak ada Bunda.” katanya sambil terisak. Beruntung pintu kamar sudah terkunci, karena kalau tidak, Ayah pasti dapat mendengar erangan yang sudah ia tahan mati-matian.
Pria itu meletak-kan foto Bunda di antara paha, lalu menjalankan kursi rodanya perlahan ke arah jendela kamar yang mengarah langsung ke taman belakang. Biasanya, setiap sore Bunda di sana untuk menjemur pakaian sambil bernyanyi. Senyum keibuan tidak pernah lepas dari wajahnya, sungguh manis dan menenangkan.
Menutupi kesedihan dan berpura-pura baik walaupun tidak adalah hal terbodoh yang sampai detik ini Haechan sesali.
“Bunda ... Haechan lapar.” Dia tersenyum kecil. Dulu, saat mengatakan kalimat itu, Bunda pasti selalu bergegas membawanya ke meja makan—mengambilkan nasi dan lauk dalam porsi yang cukup.
Tapi sekarang? Semua tentang Bunda hanyalah kenangan. Berjalan di taman dengan Bunda tidak lagi dapat dijadikan kenyataan—semua hanyalah angan yang tidak akan pernah berubah menjadi kenyataan.
“Bunda, Haechan sayang sama Ayah ...”
Tok Tok Tok
Haechan terperanjat, dengan gesit menghapus air matanya sendiri lalu berdeham guna menetralkan suara. Tidak lupa, bingkai foto Bunda juga ia selipkan di balik tubuhnya, terapit di antara kursi roda dan perut bagian belakang. Jantungnya berdetak kala suara Mark yang mengintrupsi.
“Masuk, Kak.” balasnya dilanjut dengan senyum terbaik yang bisa ia lakukan.
Haechan itu hebat, hebat sekali. Dia bisa mengulum senyum manis walau satu detik sebelumnya sedang menjerit, menahan rindu yang melanda di dalam dada kepada Bunda.
Derap langkah kaki terdengar mendekat. Dia Mark, dengan senyum yang mengembang dan nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas air mineral.
“Makan dulu, nanti sakit. Tadi Ayah buat nasi goreng buat makan siang.” kata Mark lalu meletak-kan nampan di atas kasur Haechan. Kemudian berjalan perlahan untuk membantu adik tirinya itu, mendorong kursi rodanya mendekat ke arah tempat tidur.
“Lo udah makan?” Haechan menerima sodoran piring nasi goreng ditambah telur mata sapi di atasnya.
Pria berkaus hitam itu mengangguk tulus, kuasanya terangkat untuk mengelus puncak kepala Haechan. “Maaf ...”
Haechan mengulum senyum disela kunyahan-nya. “Lo kenapa minta maaf? Begini aja cukup, Kak. Makasih, ya?”
“Chan, gue janji—”
Haechan menghentikan pergerakan tangan Mark, “jangan pernah janji, ya? Gue nggak apa-apa, serius.”
“Dengan lo nggak benci sama Bunda dan gue aja udah cukup buat gue, Kak.” Haechan menipiskan bibir, meyakinkan Mark dengan ucapan-nya barusan.
Mark memang Kakak tirinya, karena ia dan pria itu tidak satu Ayah—namun terlahir dari rahim yang sama. Dan Haechan adalah anak yang ada karena sebuah kesalahan—Bunda pernah digauli oleh bosnya yang sedang mabuk beberapa tahun silam. Dan parahnya, hari itu adalah hari di mana masa subur Bunda berlangsung.