TetehnyaaJisung

Siapa dia?

Suasana siang ini mendung, seolah mengerti perasaan Haechan hari ini. Harusnya ia merasa biasa saja kalau Ayah memperlakukan-nya seperti sekarang. Bukankah memang begitu sedari dulu? Ayah selalu membedakan ia dengan Kakak tirinya itu.

Helaan napas terdengar cukup keras, diiringi dengan kuasa pria itu yang terulur untuk meletak-kan ponsel di atas meja belajarnya. Kemudian ia beralih mengambil foto sang Bunda yang terbingkai rapi di atas meja. Air mata mengalir begitu saja ketika jemarinya mengelus lembut wajah Bunda.

“Bunda ... maaf, Haechan nggak bisa hidup dengan baik di Dunia setelah nggak ada Bunda.” katanya sambil terisak. Beruntung pintu kamar sudah terkunci, karena kalau tidak, Ayah pasti dapat mendengar erangan yang sudah ia tahan mati-matian.

Pria itu meletak-kan foto Bunda di antara paha, lalu menjalankan kursi rodanya perlahan ke arah jendela kamar yang mengarah langsung ke taman belakang. Biasanya, setiap sore Bunda di sana untuk menjemur pakaian sambil bernyanyi. Senyum keibuan tidak pernah lepas dari wajahnya, sungguh manis dan menenangkan.

Menutupi kesedihan dan berpura-pura baik walaupun tidak adalah hal terbodoh yang sampai detik ini Haechan sesali.

“Bunda ... Haechan lapar.” Dia tersenyum kecil. Dulu, saat mengatakan kalimat itu, Bunda pasti selalu bergegas membawanya ke meja makan—mengambilkan nasi dan lauk dalam porsi yang cukup.

Tapi sekarang? Semua tentang Bunda hanyalah kenangan. Berjalan di taman dengan Bunda tidak lagi dapat dijadikan kenyataan—semua hanyalah angan yang tidak akan pernah berubah menjadi kenyataan.

“Bunda, Haechan sayang sama Ayah ...”

Tok Tok Tok

Haechan terperanjat, dengan gesit menghapus air matanya sendiri lalu berdeham guna menetralkan suara. Tidak lupa, bingkai foto Bunda juga ia selipkan di balik tubuhnya, terapit di antara kursi roda dan perut bagian belakang. Jantungnya berdetak kala suara Mark yang mengintrupsi.

“Masuk, Kak.” balasnya dilanjut dengan senyum terbaik yang bisa ia lakukan.

Haechan itu hebat, hebat sekali. Dia bisa mengulum senyum manis walau satu detik sebelumnya sedang menjerit, menahan rindu yang melanda di dalam dada kepada Bunda.

Derap langkah kaki terdengar mendekat. Dia Mark, dengan senyum yang mengembang dan nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas air mineral.

“Makan dulu, nanti sakit. Tadi Ayah buat nasi goreng buat makan siang.” kata Mark lalu meletak-kan nampan di atas kasur Haechan. Kemudian berjalan perlahan untuk membantu adik tirinya itu, mendorong kursi rodanya mendekat ke arah tempat tidur.

“Lo udah makan?” Haechan menerima sodoran piring nasi goreng ditambah telur mata sapi di atasnya.

Pria berkaus hitam itu mengangguk tulus, kuasanya terangkat untuk mengelus puncak kepala Haechan. “Maaf ...”

Haechan mengulum senyum disela kunyahan-nya. “Lo kenapa minta maaf? Begini aja cukup, Kak. Makasih, ya?”

“Chan, gue janji—”

Haechan menghentikan pergerakan tangan Mark, “jangan pernah janji, ya? Gue nggak apa-apa, serius.”

“Dengan lo nggak benci sama Bunda dan gue aja udah cukup buat gue, Kak.” Haechan menipiskan bibir, meyakinkan Mark dengan ucapan-nya barusan.

Mark memang Kakak tirinya, karena ia dan pria itu tidak satu Ayah—namun terlahir dari rahim yang sama. Dan Haechan adalah anak yang ada karena sebuah kesalahan—Bunda pernah digauli oleh bosnya yang sedang mabuk beberapa tahun silam. Dan parahnya, hari itu adalah hari di mana masa subur Bunda berlangsung.

Bunga ketulusan.

Perempuan itu menghela napasnya pelan, membuka masker dan pelindung kepalanya secara bergantian. Netra pekat tidak mau lepas dari daksa yang terbaring lemah dengan alunan komputer di sampingnya. Detak jantungnya sudah mulai stabil beberapa hari ini, namun netranya tidak kunjung terbuka. Padahal, ada beberapa jiwa yang mengharapkan kesembuhan-nya, mengharapkan tawanya juga tatapan matanya yang hangat.

“Mas Biru.” Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit, sebuah senyum yang ia usahakan dengan sekuat tenaga. Karena entah kenapa, setelah mengetahui alasan dengan jelas bahwa Biru melindunginya dengan cara yang salah—hati Jingga merasa sangat bersalah. “Ternyata bener kata Bang Jo, Biru dan Jingga itu nggak akan pernah cocok.”

Netra itu makin mantap daksa si pria dalam, helaan napas terdengar berkali-kali. Sekarang ia bahkan harus menahan napasnya karena ada beberapa kalimat yang tercekat di tenggorokan. Rasanya ingin sekali mengungkap, tapi kenapa sulit sekali?

Jingga sadar akan posisinya, Jingga tau diri karena ia bukan lagi siapa-siapa.

Ingin sekali rasanya mengangkat kuasa untuk mengelus surai pekat itu, membisik-kan kalimat-kalimat penenang atau bahkan membacakan beberapa bait kalimat dalam kitab suci. Tapi rasanya, semua sia-sia.

Tidak, Jingga tidak sedang mengharapkan kembalinya sesuatu yang telah hilang atau parahnya, kepulangan seseorang ke dalam rumah. Karena Jingga bukan lagi rumahnya. Bukan. Jingga hanya ... merindukan pria ini.

Jingga merindukan Birunya.

Seperti senja yang tidak akan bisa hidup tanpa langit yang memiliki dasar berwarna biru. Begitu hangat dan menenangkan.

“Mas, udah dua bulan di sini ... nggak bosan?” Jantungnya berdetak cepat kala beberapa kalimat keluar manis dari bibir, diiringi dengan air mata yang mengalir deras tanpa mau dihentikan layaknya sumber air. “Mas Biru nggak kangen sama Rakha?”

“Rakha sudah besar, Mas.”

“Rakha tumbuh jadi pria remaja yang sudah menghafal tiga puluh juz sejak umur delapan tahun. Afnan bener-bener jagain Jingga, menuntun Jingga dan sayang sama Rakha layaknya anak sendiri.” Bahunya naik-turun menahan sesak di dalam dada. Sebenarnya Jingga tidak lagi kuat untuk sekedar mengeluarkan satu katapun, tapi semuanya terpaksa karena ia rasa harus berbincang dengan Biru hari ini.

Tadi setelah menyelesaikan beberapa operasi dan pasien di bawah pengawasan-nya, Jingga langsung berjalan ke ruang ICU untuk sekedar memeriksa keadaan Biru. Tapi sukmanya meminta tetap di sana walau sudah selesai menyelesaikan tugasnya. Berbincang, bercerita atau bahkan bernostalgia—kembali dalam masa lalu yang terasa menyenangkan.

“Kemarin pas hari Ayah, Rakha ke sini sendiri tanpa Afnan. Dia naik sepedah karena belum punya surat izin mengemudi.” Netra Jingga beralih ke arah nakas untuk menatap sebuket bunga yang mengering di sana. “Itu dari Rakha, di sebelahnya ada radio dari Ayahnya Mas Biru. Setiap malam Jingga diminta menyalakan radio itu, isinya surat-surat dalam kitab suci.”

Jingga ingat sekali waktu ia bertatapan dengan Rakha di lorong ruang ICU, waktu itu Jingga tidak tau kalau Rakha ingin mengunjungi Ayahnya. Karena Rakha sama sekali tidak bicara atau memberi kabar. Saat itu Jingga tanya, “kok kasih bunga untuk Ayah?

Pria kecil yang beranjak remaja itu mengangguk, “Bunda, bunga itu bukan hanya sebagai simbol kematian—tapi juga ketulusan, kata Saranita. Kalau Rakha bawa cokelat, Ayah nggak bisa makan. Tapi kalau Rakha bawa bunga, Ayah bisa lihat nanti ketika bangun, walau bunganya udah kering.

Hatinya menghangat sehingga menimbulkan senyum tipis denan hati yang tersayat. Jingga mulai sibuk berandai-andai kala itu,

Andai ia tidak berpisah dengan Biru.

Andai ia tidak pernah meminta ditalak.

dan andai,

Afnan tidak pernah menawarkan hati untuknya.

Tapi semua bukan berarti bahwa Jingga masih mencintai Biru, atau parahnya Jingga tidak memiliki rasa untuk Afnan. Dan ternyata Winar benar,

Rasa Jingga ke Afnan adalah rasa yang paling benar, tanpa paksaan.” Hanya saja waktunya salah atau mungkin terburu.

Tapi kadang, semua yang udah terjadi memang harus dijadikan pelajaran dan jangan sampai terulang. Setiap jiwa di dunia ini memang layak memiliki pilihan untuk dirinya sendiri, tanpa paksaan atau bahkan penantian—sebagaimana Jingga yang selalu menunggu kepulangan seorang Biru, waktu dulu.

Kata Langit.

Renandika mengerinyit bingung sambil menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang obrolannya bersama dengan gadis manis yang ia temui empat hari lalu di depan cafetaria. Helaan napas terdengar begitu saja bersamaan dengan kuasanya yang mulai terangkat untuk membuka pagar besi di hadapannya. Netra cokelatnya menerawang ke sana ke mari dan mendapati tiga pria yang sedang bermain playstation di ruang tengah.

“Permisi,” ucapnya. Namun karena ketiga pria itu sibuk dengan layar di hadapan masing-masing mereka bahkan tidak memedulikan Renandika yang bahkan sudah berdiri di sana hampir dua puluh menit.

Sedangkan di kamarnya Shaqueena berjalan ke arah kulkas kecil lalu mengambil lima cup cakes yang ia bawa dari cafe tadi. Senyum itu merekah lalu tuasnya berjalan untuk menuruni tangga dengan terburu. Netra cokelat itu semakin bersinar kala mendapati Renandika yang sudah berdiri di ruang tamu sambil menatap malas ke arah Mas Angkasa dengan dua teman-nya.

“Renan!” pekiknya yang mampu membuat Renandika menatap gadis yang sedikit terburu itu menuruni tangga.

Saking terburunya, Shaqueena bahkan tidak tau kalau ada satu gelas kecil yang tidak sengaja diletakkan di anak tangga terakhir oleh Angkasa. Alhasil, gelas itu jatuh dan tentu membuat si gadis berkaus putih itu ikut terjatuh karena terlalu licin.

“Queen!” Angkasa dengan cepat melempar stick di tangannya ke arah Yudha yang masih menatap Shaqueena ngeri—membayangkan betapa sakit tulang kakinya.

Refleks membawa Renandika untuk berlari lebih dulu ketimbang Angkasa sehingga membuat Shaqueena jatuh tepat di pelukannya. Aneh namun terasa dengan jelas bahwa detak jantung pria itu mulai tidak karuan kala ia menatap netra Shaqueena dalam.

Renandika tidak tau rasa apa itu, karena ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Malam ini tidak terlalu panas, tapi cukup membuat dahinya berkeringat. Akhirnya dia bangun dari posisinya—membiarkan Angkasa dan dua teman-nya menatap kebingungan.

“Dua kali gue ketemu lo, dua kali pula lo jatuh.” kata Renandika sambil membenarkan kemejanya dan menatap Shaqueena malas.

Gadis itu menunduk, merutuki kesalahan-nya. Ia juga berpikir tentang hal-hal yang tidak disukai oleh Renandika—terutama orang yang ceroboh dan memiliki banyak tingkah laku. “Maaf.”

“Queen, lo nggak apa-apa?” Angkasa tiba-tiba sadar dari lamunan, kuasanya tergerak untuk memutar-balik tubuh Shaqueena berkali-kali. “Ada yang sakit, nggak?”

Si manis menggeleng lugu, “enggak, Mas.”

“Ayo!” ajak Renandika sambil menarik tangan gadis itu untuk keluar dari kostan.

Entah kenapa, tapi saat Renandika menyentuh kulit Shaqueena rasanya ada getaran yang sulit sekali dijelaskan. Kendati begitu, pria berkemeja itu menyukainya.

“Mana cup cakes buat gue?” tanya-nya saat sudah di parkiran. Netra itu tidak mau lepas dari setiap pergerakan Shaqueena, diam-diam ia juga memerhatikan setiap inci kulit gadis itu—barang kali ada yang terluka karena jatuh tadi. “Sakit nggak?”

Shaqueena menyodorkan tas karton ke arah Renandika dengan tatapan tanya, “apanya?”

“Enggak.” Kuasa pria itu terangkat untuk menerima tas karton tersebut, lalu mengambil satu cup kue yang rasa red velvet. “Gue nggak main-main soal tadi.”

“Apa?”

“Kerja di tempat gue.” katanya sambil masih terus menelan kue di dalam mulut. “Nanti gue bilang Javiar buat ajarin lo jadi Photographer.”

Wow!” Matanya membulat sempurna sedangkan kurvanya tertarik seluas himalaya dan sesempurna alam Semesta. “Renan, kamu ... kalau ada masalah, boleh cerita sama aku, kok.”

Kunyahan itu berhenti tiba-tiba, netranya menatap sang gadis yang menyandarkan tubuh di kap mobil putih Renandika. Sedetik berikutnya dia menunduk, dan kembali menatap Shaqueena dengan senyum tipisnya. “Gue nggak pernah ngadepin masalah yang berat. Lo nggak perlu khawatir.”

“Kamu hidup dengan baik di Bumi, ya?” Kuasa Shaqueena terangkat untuk merapikan surai pekat milik Renandika yang tertiup angin malam. “Renan, kenapa manusia suka bohong, sih? Mereka bilang baik-baik aja padahal mereka enggak.”

Pria itu mengulum bibirnya, berpikir juga atas jawab dari pertanyaan yang seharusnya mudah itu. Ia kembali menyodorkan tas karton ke arah Shaqueena yang diterima dengan manis oleh gadis itu. Kini Renandika ikut menyandarkan tubuhnya di kap mobil—seperti apa yang dilakukan Shaqueena. Keduanya menatap langit dengan bintang berhamburan di sana.

“Lo mau tau apa alasan manusia suka bohong?”

Si manis mengangguk, menatap Renandika dari sebelah kiri.

“Karena ... di saat mereka cerita ke orang lain kalau lagi nggak baik-baik aja, orang lain cuma sekedar mau tau—tanpa peduli apa solusi dari masalah yang diceritain.” jelasnya. Dia memejam, menarik napas sampai dadanya terasa sesak. “Dunia itu sempit, Queen.”

Gadis itu tersenyum bangga, sekarang Renandika kesayangannya sudah bisa memanggil nama. “Renandika, dunia itu luas.”

Renandika membuka mata, lalu menoleh ke arah kanan yang membuat netranya bertemu dengan milik Shaqueena.

“Beneran, dunia itu luas.” jelas Shaqueena sekali lagi. “Nggak cuma ada satu atau dua jiwa di dunia ini, Renan. Kamu nggak bisa memukul rata semuanya. Kamu nggak bisa bilang mereka cuma mau tau apa masalahmu.”

Tangan-nya yang bebas terangkat untuk menepuk pundak Renandika dua kali, seolah meleburkan beban yang ada di sana. “Kamu jangan nggak terlalu percaya sama orang di sekitarmu—tapi, jangan terlalu percaya juga.”

“Renan,” Dia kembali menoleh, menatap langit yang indah. Telunjuknya terangkat, “lihat ke arah langit kalau kamu lagi sedih, cerita dalam hati karena ada beberapa jiwa yang mendengarkan cerita kamu.”

“Nggak apa-apa nangis. Siapa bilang cowok nggak boleh nangis? Sini, suruh berantem sama aku orangnya.” katanya diiringi dengan tawa lembut yang membuat hati Renandika tiba-tiba saja menghangat.

Perihal ketoprak dan perintah.

Matanya tidak mau lepas dari pintu putih di hadapan, dia bingung. Semuanya yang dimulai pada hari ini terasa aneh namun sangat nyata. Helaan napas terdengar keluar berulang-ulang dari bibirnya. Padahal di luar dingin, tapi Renandika tidak juga mau masuk ke dalam Apartmentnya sendiri. Kepalanya seolah berputar mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

Klik

Pintu Apartment terbuka, lalu disusul dengan gadis manis dengan kemeja putih milik Renandika yang terlihat cukup besar di tubuhnya. Kurvanya terangkat sampai mata membentuk sabit.

“Renandika, nggak mau masuk?” tanyanya yang membuat pria yang sedang bersandar di lorong itu tersadar seketika.

Wajah Renandika memerah seketika saat ketahuan memerhatikan gadis itu dari atas ke bawah, dari bawah ke atas berulang kali. “Itu ... kemeja gue?”

Si gadis memerhatikan tubuhnya sendiri, lalu mengangguk polos. “Iya, di rumah aku nggak punya yang kaya gini. Tadi pas lihat ini di balkon, aku pakai. Nggak apa-apa, kan?”

Harusnya Renandika marah begitu tau kalau barang-barangnya dipakai tanpa izin seperti apa yang sering ia lakukan kepada Hayden. Renandika itu paling anti dengan orang yang tidak sopan.

“Nggak apa-apa. Ayo, masuk.” jawabnya kemudian masuk ke dalam unit Apartmentnya dengan melewati si gadis.

Sedangkan di tempatnya Shaqueena tersenyum tipis saat menyadari betapa hangatnya ketika ia hadir di samping Renandika. Kuasanya terangkat untuk menutup pintu, kemudian tuas membawanya untuk berjalan mengikuti Renandika dan duduk di kitchen bar.

“Ini namanya Bakso Malang?” Netranya tidak lepas dari setiap pergerakan Renandika yang sedang membuka bungkus ketoprak.

Pria itu menggeleng singkat, lalu menyodorkan ketoprak yang sudah dipindahkan ke dalam piring untuk Shaqueena. “Bukan. Ini namanya ketoprak, enak juga kaya Bakso Malang.”

“Katanya kamu mau beli Bakso Malang?” Shaqueena menghela napas, kemudian telunjuknya terangkat untuk menyolek bumbu kacang dalam ketoprak.

“Iya, tadinya mau beli Bakso Malang tapi habis.”

Netra berbinar itu menatap Renandika yang seketika membuat sang pria membeku.

“Apa?”

“Kapan-kapan ajak aku makan Bakso Malang, ya?” pintanya dengan mata yang berkali-kali berkedip lucu seolah membuat Renandika tidak mampu untuk menolaknya.

Dia mengangguk singkat, lalu menyantap ketopraknya sendiri dengan jutaan pertanyaan di kepala. Mata kecokelatan-nya beberapa kali melirik ke arah Shaqueena yang malah menatap ketopraknya sendiri.

Entah kenapa, tiba-tiba kuasa Renandika terangkat untuk mengambil sendok milik Shaqueena lalu menyendokkan satu lontong dan menyodorkannya ke arah gadis manis itu.

“Makan.”

Bibirnya mengerucut lucu, “kalau aku makan, kamu bakal nanya seputar hidupku, nggak?”

Seketika Renandika menghentikan pergerakannya sendiri, kemudian tersenyum manis. “Enggak.”

Kurva si manis terangkat penuh, tangannya kembali tergerak untuk menyuap makanan-nya sendiri. “Makasih, Ren—”

“Tapi besok lo keluar dari Apartment gue.” jawabnya tanpa ekspresi yang membuat Shaqueena menghentikan pergerakan.

Si manis kembali meletakkan sendoknya di atas piring, lalu berdiri untuk meninggalkan Renandika sendirian di Kitchen bar.

“Mau ke mana? Makanan lo belum habis.”

Tidak menjawab, Shaqueena langsung berjalan ke arah sofa lalu tiduran di sana. Otaknya berputar tentang bagaimana caranya ia menaklukan hati Renandika dalam waktu enam bulan sedangkan pria itu memiliki pacar.

“Renandika bikin pusing, tapi juga minta disayang.”

Gerbong Pertemuan.

Shaqueena menangis di tempatnya ketika mendapati Arion—Sang Ayah, menghukum Kakaknya yang jatuh cinta pada manusia. Cambukan yang pasti terasa panas itu berkali-kali mengenai tubuh Lentara Arion—Sang Kakak, tanpa ampun. Hal itu berkali-kali pula membuat Shaqueena merasa hatinya sakit.

Lentara tidak pernah melanggar perintah dari Ayah kecuali jatuh cinta pada manusia. Karena sejatinya, sebuah rasa memang hadir tanpa harus memiliki perencanaan yang matang. Shaqueena-pun sama, ia jatuh cinta pada manusia yang setiap hari ia kunjungi selama beberapa tahun belakangan. Mengagumi diam-diam sampai akhirnya merasa bahwa ia semakin ingin mendekati pria yang tidak diketahui namanya.

“Ayah, sudah!” teriak Shaqueena saat melihat Arion mulai mencambuk Lentara dengan tambahan api di ujung cambukan. “Ayah, Kak Lentara tidak seharusnya mendapatkan ini.”

“Dia juga tidak seharusnya jatuh cinta pada manusia, Queen!” jawab Arion dengan emosi yang memuncak. “Queen, jatuh cinta dengan manusia adalah perbuatan paling keji di Langit.”

Tiba-tiba Shaqueena merasakan sesak luar biasa saat Arion mengeluarkan kalimat terakhirnya. Serpihan wajah pria yang ia cintai mulai bermuculan bagai potongan film di ingatannya. Kuasanya yang mungil terangkat untuk meremat dada sendiri seolah meredam nyeri luar biasa yang dirasa.

“Queen, tidak apa-apa?”

Shaqueena menatap Lentara yang sudah lemas tidak berdaya, lalu kembali menatap Arion yang sedang mengkhawatirkan dirinya. “Ayah, Queen jatuh cinta dengan manusia.”

Cambukan di tangan Arion jatuh begitu saja ketika mendengar penuturan lemah dari mulut sang putri. Dirinya seolah tidak berdaya ketika dua keturunan yang ia punya dan harapkan untuk menggantikan posisinya sebagai Raja Langit ternyata jatuh cinta oleh anak Adam.

Di tempat yang berbeda, Renandika tidak berhenti menatap air hujan yang turun membasahi Bumi. Dari siang tadi hujan tidak mau berhenti seolah langit sedang bersedih. Jakarta memang begitu kalau sudah memasuki akhir tahun, pasti hujan tidak mau reda barang beberapa jam.

Renandika berdecak, “pasti besok banjir.” katanya sambil mengotak-atik ponsel dengan tangan kanannya, menekan beberapa digit nomor lalu ia tempelkan di telinga.

“Halo, Jav? Besok interview pegawai baru di ruangan gue aja, lantai tiga.” ucapnya yang kemudian diakhiri dengan seruputan kopi untuk menghangatkan tubuhnya.

“Oh, yaudah. Semua lamaran yang gue apply udah dikirim ke email, ya.” balas Javiero sambil menyeruput cafein juga di seberang sana—bedanya, ia masih di kantor. ““Eh*, Ren? Ini ... gue liat jadwal, minggu depan ada pemotretan sama majalah Antumn?”

Alih-alih menjawab, Renandika malah mengerjapkan matanya berkali-kali saat melihat seorang pria yang sangat ia kenali di depan cafe. Ponselnya diletakkan di atas meja bersamaan dengan proposal dan laptop yang masih menyala. Renandika menjalankan tuasnya perlahan saat pria yang ia kenali masuk ke dalam mobil bersamaan dengan wanita asing. “Brengsek.

Aw!”

Seorang gadis jatuh bersamaan dengan Renandika yang baru saja memutar balik tubuhnya yang ternyata menghantam dengan keras tubuh mungil itu. Ia langsung jongkok di hadapan gadis yang sedang merintih kesakitan. Gaun putihnya sudah berubah warna menjadi kecokelatan akibatnya. “Sorry, sorry. Lo nggak apa-apa?”

Gadis itu menggeleng, “nggak apa-apa, Renandika.” jawabnya sambil menepuk-nepuk pelan bagian tangan untuk membersihkan sisa kotoran di sana.

Senyum tipis dari bibir gadis itu mampu menyihir Renandika sampai lupa pada dirinya sendiri. Dua menit setelahnya, pria itu menggeleng. “Lo kenal gue?— maksud gue, kita kenal? Pernah ketemu? Atau—pernah kenal, gitu?”

Bukannya menjawab, si gadis malah menyodorkan tangannya. “Shaqueena. Kita nggak pernah kenal, Renandika.”

Nggak pernah kenal tapi dia tau nama gue? Aneh.” jawab Renan dalam hati. Netranya menatap gadis itu dari atas ke bawah, bawah ke atas—begitu terus sampai lima kali.

Shaqueena terkekeh geli saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Renandika dalam hati. “Aku duluan ya, Renandika.” katanya lalu pergi.

Sedangkan Renandika masih diam di depan pintu cafe, menatap kepergian gadis bernama Shaqueena itu yang berjalan biasa saja tanpa payung tapi bajunya tidak begitu basah. Pria itu segera menyodorkan tangannya di bawah air hujan, “lumayan deres. Tapi—?”

Prolog.

Weven ; prolog.

Angin berembus kencang sampai menyapu bagian tulang di seluruh tubuh. Langit berubah warna menjadi lebih gelap, benar-benar berbeda dari siang tadi. Akhir-akhir ini Jakarta sulit sekali di tebak, siang panas kemudian sore hujan deras seakan tidak mau dihentikan.

“Renan gimana, Ja?”

Janureza menoleh saat mendengar kalimat tanya bersamaan dengan seorang pria berkaus putih yang datang menghampiri. Pria itu mengusap lengannya dengan jemari, seolah meredam hawa dingin yang melanda. “Belum bangun juga.”

Pria berkaus putih itu menoleh, mengikuti arah pandang Janureza yang sekarang tertuju ke dalam ruang persegi yang dibatasi dengan kaca gelap. Dia mengamati daksa sahabatnya yang terbarik lemah di sana, bersamaan dengan bunyi teratur yang berasal dari komputer di sebelahnya. “Tante Wendy udah tau?”

“Udah,” balasnya. “Lo percaya sama bidadari, malaikat atau semacamnya nggak sih, Jav?”

Javiero terkekeh, merasa lucu atas kalimat tanya Janureza. “Lo kalo ngelawak garing, tapi kali ini gue akui lo lucu, Ja.”

Janureza membenahi hoodie hitamnya, memutar balik tubuh guna menatap Javier sepenuhnya. “Kata Dokter, Renan sempet ngigau.”

Ngigau dalam masa koma emang bisa?” Yes, Javiero tertarik dalam topik pembicaraan Janureza kali ini. Netranya menatap Janureza dan Renandika bergantian, “Terus maksud lo—”

He'em, Dokternya bilang gitu ke gue.” Janureza tau kalau Javiero masih mengolah ke arah mana topik pembicaraan kali ini. Dia tertawa, kuasanya terangkat untuk mengusap wajah Javiero sepenuhnya. “Dipikirin banget?”

“Lo udah kasih tau Om Chandi sama Tante Wendy beneran?”

Lagi-lagi Janureza tertawa, aneh. Ia tidak pernah mengira kalau Javiero akan menjadi orang seserius hari ini. “Belum kalo tentang ini. Lagian ngapain lo pikirin, sih? Ngigau itu artinya Renan masih di dunia ini, Jav. Ngigau itu artinya mimpi, dan mimpi artinya bunga tidur.”

“Bunga tidur itu kalau kita tidur malam, Eja. Tapi ini Renan lagi koma loh? Lo tau apa itu koma, kan? Di antara titik dan kalimat, atau ... di antara hidup dan mati.”

“Terus?”

Javero menyerah, berbicara dengan Janureza hanya buang-buang waktu. Namun sepersekon berikutnya, netra kecokelatan itu membola kala melihat daksa Renandika menggelepar bagai ikan yang kekurangan air.

“Panggil Dokter, bego!”

Kesepian itu nggak enak.

Lengkungan tipis langsung terlukis di wajah Jingg saat mendapati Afnan yang sedang berjalan perlahan bersama payung yang dibawa. Ia segera bangkit dari kursi, berpamitan dengan beberapa perawat yang sedang berjaga di lobby.

“Udah?”

Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berusaha mengambil alih payung dari tangan suaminya. Namun dengan cepat Afnan meninggikan payungnya membuat Jingga menatap kesal.

“Kok ngeselin?”

Pria itu tertawa kecil, lalu mengambil alih tas hitam milik Jingga. “Sini, aku yang bawain.”

Di sampingnya Jingga masih mengerinyit kebingungan, ada beberapa perubahan Afnan yang kelewat kentara. Biasanya, Afnan tidak akan bersikap seperti ini. Afnan akan membiarkan Jingga membawa payung dan tasnya sendiri, tapi hari ini berbeda.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Jingga memberhentikan langkahnya. “Kamu .... nggak habis ngelakuin kesalahan, kan, Nan?”

Gelengan di kepala Afnan lalu disertai dengan senyuman tipis itu membuat jantung Jingga berdebar bukan main. Apa .... tadi Afnan mendengar penuturannya di depan Biru? Tapi bukannya tadi di ICU tidak ada siapapun? Atau—

“Atau, aku yang ngelakuin kesalahan?”

Lagi-lagi Afnan menggelengkan kepalanya kali ini dilanjut dengan kecupan singkat. “Masuk, cepet. Di luar dingin, kita ngobrol di dalam, okay?”

Memang benar, kalau sudah masuk akhir tahun pasti Jakarta selalu disiram oleh air hujan tanpa henti. Membuat beberapa penduduk menerka-nerka tentang hari esok.

Besok banjir nggak, ya?

Besok kerja gimana?

Pada akhirnya Jingga masuk ke dalam mobil setelah menghela napasnya, memerhatikan Afnan yang memutari mobil untuk masuk ke dalam kursi kemudi.

“Kenapa?” tanya Jingga langsung yang membuat Afnan terkekeh kecil.

“Apanya?”

“Nan, kamu percaya sama aku, kan?” Jingga menatap Afnan yang sudah mulai menyalakan mesin mobil sepenuhnya. Perempuan itu menyadari satu hal yang sampai detik ini tidak akan pernah bisa ia lupakan.

Rasanya beda, beda sekali. Biru dengan Afnan adalah dua jiwa yang sama-sama tidak pernah dimengerti oleh Jingga. Biru dengan ketertutupannya dan Afnan dengan perasaan yang disembunyikannya.

“Kalau pertanyaan Rakha itu ganggu kamu, aku bakalan secepatnya kasih pengertian ke Rakha, Nan.”

Afnan tau, tau sekali kalau Jingga bisa diandalkan dalam menangani Rakha. Tapi Afnan juga tau jelas bahwa dirinya tidak berguna. Ia bisa memberikan seluruhnya pada Rakha; mainan seperti anak-anak lain, kendaraan agar tidak kepanasan pun kehujanan atau bahkan rumah baru. Tapi satu hal yang tidak bisa Afnan berikan pada Rakha,

yaitu seorang teman.

Afnan itu tunggal, dan dia mengerti bagaimana rasanya kesepian tanpa seorang Kakak ataupun Adik di sisinya. Tidak ada seorangpun yang bisa dibagi rasa, dibagi luka juga dibagi bahagia. Semua dinikmati sendirian dan terasa kurang.

Argh!” Pria itu mengerang frustasi, memukul stir mobilnya kencang yang membuat jantung Jingga hampir saja loncat dari tempatnya.

“Nan,” panggil Jingga dengan suara rendah dengan bulu yang meremang. Jingga takut kalau Afnan bakalan marah dan mengeluarkan emosinya, tapi keinginan untuk memeluk dan menenangkan pria itu jauh lebih besar dari pada rasa takutnya. “I'll be there.

“Kamu bukan satu-satunya orang yang punya kekurangan, Afnan.” jelas Jingga lalu meraih tubuh Afnan untuk didekap. “Aku sayang sama kamu segimana kamu. Tentang Rakha—”

“Bayi tabung, gimana?”

Kayak anak muda aja!

Jingga meletakkan ponselnya di atas nakas sesaat setelah membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh Afnan. Napasnya terhela begitu saja saat netranya menangkap hamburan bintang di jumantara. Tuasnya melangkah ke arah balkon dengan jemari yang menggenggam secangkir kopi buatannya.

Sebenarnya rasa apa ini?

Jingga tidak pernah mengharapkan dirinya untuk kembali pada Biru, tapi kenapa kekhawatiran selalu memuncak ketika ia menghadapi kondisi pria itu saat ini. Jantungnya bahkan berdetak cepat kala mendapati Biru yang sempat menghentikan detaknya.

Dengan segera, tangannya yang bebas mengambil tape recorder di saku bajunya, kembali menyumpal telinga dengan earphone lalu netra menatap jumantara. Cuaca hari ini cerah, seolah Semesta tidak membiarkannya bersedih begitu saja.

Sedetik berikutnya, telinga langsung diisi oleh suara Biru yang menghangatkan.

Jingga, kamu masih di sana?

Entah apa yang membawa Jingga tiba-tiba menganggukkan kepalanya, ia memasukkan kembali tape recorder ke dalam saku baju dengan ear phone yang menyumpal kedua telinga. Kini jemarinya memegang cangkir dengan erat seolah menyalurkan rasa nyeri di dalam dada.

Kalau kamu masih di sini, kamu tau apa keinginan terbesar aku? Do'a yang selalu aku utarakan saat di depan Allah?

Sederhana, Ga .... aku cuma mau kamu hidup bahagia, dengan atau tanpa aku. Aku juga minta Allah ambil nyawa kamu sebelum aku, tapi .... kalau ternyata Allah ambil nyawaku sebelum kamu itu bukan berarti Allah nggak mengabulkan do'aku.

Mas Biru, Jingga sakit .... Itu adalah kalimat yang paling benci untuk aku dengar. Aku nggak suka kamu sakit apalagi tertekan, aku nggak suka lihat kamu keluarin air mata, Ga. Makannya, ketika kamu dengar ini .... jangan nangis, ya?

Cengkraman tangan di cangkir semakin erat dirasa, sampai buku jari perempuan itu memutih. Ia sedang mengusahakan air matanya tidak lagi jatuh membasahi pipi, tapi kenapa dada terasa sesak luar biasa?

Rekaman ke dua, direkam setelah Biru dan Jingga menikah. Hai, Jingga? Ini aku, Biru. Kamu hari ini kelihatan capek banget, ya? Ikut Ibu ke pasar terus ke rumah Bunda. Aku ajak kamu lihat rumah barunya, nanti aja, ya?

Aku dengar suaramu ngaji tadi, bagus—jauh lebih bagus dari pada di Jogja waktu itu. Tajwidnya sudah hampir sempurna, nanti aku ajarin lagi, ya?

Kamu tau kalimat apa yang paling aku suka, Jingga? Ketika kamu panggil aku dengan 'mas' suaramu selembut sutera, jemarimu sehangat mentari pagi, hatimu seluas samudera. Aku merasa bangga punya kamu saat ini, bangga sama diriku sendiri dan bahagia. Tapi ada sebagian diriku yang sedih, Ga. Semuanya akan cepat berlalu, dan semakin banyak kebohongan yang aku utarakan hingga hari ini. Aku ....

Dengan suara seraknya, Biru mengusahakan sebuah kalimat. “Aku .... nggak siap kalau harus kehilangan kamu dalam waktu cepat.

Jingga langsung melepaskan earphonenya dengan kasar, menarik napas sebisa mungkin untuk menetralkan detak jantung. Kakinya melemas hingga membuat ia menjatuhkan diri untuk duduk di atas lantai balkon. Perempuan itu membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang sudah dibasahi oleh air mata.

“Kenapa nangis?”

Suara Afnan tiba-tiba memenuhi indera pendengaran yang membuat Jingga langsung menengadah, menatap wajah pria yang sudah memeluk daksanya. “Nggak ada orang yang suka lihat kamu nangis, Ga. Termasuk Mas Biru dan aku.”

Jingga meletakkan cangkirnya di atas lantai lalu mengeratkan tangannya untuk memeluk Afnan yang sedang tersenyum tipis. “Maafin aku. Maafin aku kalau harus selalu nangisin orang yang jelas-jelas nyakitin aku, Nan. Maafin aku kalau .... kalau bikin kamu ngerasa nggak layak. Maafin aku, tolong ....”

“Liat mata aku, Ga!” perintah Afnan yang membuat Jingga menatap netra kecokelatan itu sendu. Di dalam bolamata itu terdapat ketenangan yang diciptakan oleh si pria. “Jangan minta maaf, kamu nggak salah. Aku tau, tau banget kalau setelah tau alasan kenapa Mas Biru jahat sama kamu .... itu bikin kamu tambah susah untuk ngelupain Mas Biru, kan? Tapi Ga,”

“Ini udah berbelas tahun setelah kalian bercerai, apa kamu nggak punya sedikitpun rasa buat aku?” Tanya pria itu penuh penekanan.

Ini yang Jingga nggak suka dari Afnan, pria itu memiliki pikiran yang cukup keras untuk diruntuhkan. Egois walau tidak selamanya ingin menang sendiri.

“Rasaku .... seluruhnya untuk kamu, Nan.”

Afnan menghela napas, “Tapi kenapa masih ada Mas Biru di sini? Di saat kita harus melanjutkan semua cerita kita berdua.”

“Karena .... Mas Biru pernah masuk ke dalam bagian hidup aku, Nan. Mas Biru juga Ayahnya Rakha, jadi mau nggak mau, suka nggak suka— kita harus emang melibatkan Mas Biru.” Jawabnya sambil menahan napas, takut Afnan semakin marah akan jawabannya. “Tapi Demi Allah .... bertahun-tahun, rasaku ke kamu emang semakin bertambah, Nan.”

Afnan menghela napasnya, menatap netra Jingga dan tidak ada kebohongan i sana atas kalimat terakhirnya. “Okay, Then. Kiss me.

“Kaya anak muda aja kamu!” Balasnya diiringi tawa yang membuat Afnan mengerucutkan bibir dan sedikit menjauhkan daksanya.

Melihat hal itu Jingga langsung mendekatkan bibirnya ke telinga Afnan. “Jangan disini, di dalam aja. Malu kalau dilihat tetangga.” Lalu pergi masuk ke dalam kamar.

Ditempatnya Afnan masih diam, menatap hamburan bintang di langit. Ia tidak tau apa yang dikatakan Biru dalam tape recordernya. Tapi Afnan yakin dan percaya sepenuhnya bahwa Biru bukanlah orang yang ingin menghancurkan rumah tangganya.

Suara ini direkam di Kairo.

Perempuan itu masuk ke dalam mobil dan langsung mendaratkan kecupannya pada pipi kiri sang suami. Hal itu tentu saja membuat Afnan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Tidak biasa Jingga seperti ini, pikirnya.

“Lagi seneng?”

Jingga mengangguk kecil, “Habis gajian.”

Afnan mengangguk mengerti, ia membuka laci dash board dan langsung memberikan satu tape recorder pada Jingga. Perempuan berkerudung cokelat itu menghela napasnya panjang, lalu menipiskan bibirnya.

“Kamu .... fokus bawa mobil aja, aku dengerin dulu.” katanya sambil menancapkan earphone pada benda persegi di tangannya.

Entah kenapa, Jingga merasa jantungnya berdetak cepat dan rasanya gugup sekali. Perlahan perempuan itu menyandarkan daksa lelahnya pada jok, lalu menghela napas demi menetralkan detak jantung. Diam-diam jemarinya menekan tombol On yang ada di bagian ujung yang langsung disambut oleh suara menenangkan dari sana.

Assalamualaikum, Jingga.” Kalimat pertama itu membuat Jingga ingin segera melepas benda yang menyumpal telinganya. Ia merasakan sakit luar biasa pada bagian hati ketika mendengar suara Biru dari benda mati di pangkuannya.

Kalau ada orang salam, dijawab, ya?

Hening, hanya helaan napas yang selanjutnya terdengar sampai akhirnya Jingga memutuskan untuk menjawab salam walau tidak terucap di bibir.

Ga, kalau sekarang kamu lagi nangis—tolong udah, ya? Dari dulu kamu tau kalau aku nggak suka lihat atau bahkan denger suara kamu yang lagi nangis, kan?

Suara ini direkam di Kairo, satu hari sebelum aku pulang ke Jakarta untuk pertama kalinya setelah lama menjauh dari kamu, dunia kamu dan nggak mau apa-apa tentang kamu.

Suara ini nggak ditujukan untuk kamu kalau aku masih ada di dunia. Tapi ... kalau ternyata kamu dengar segalanya yang ada di dalam kaset ini, itu tandanya aku udah nggak ada.

Ga, you know that i love you so much, right?”

Jingga diam, berkali-kali menahan air mata yang bisa saja turun dari tempatnya. Matanya melirik ke arah Afnan yang sedang berusaha untuk fokus pada kemudi.

Aku janji sama diriku sendiri, sama Tuhanku kalau aku nggak pernah mau nyakitin kamu, Ga. Tapi .... kalau suatu saat nanti ada bagian dari dalam diri kamu— entah fisik ataupun hati terluka karena aku, itu tandanya aku melakukan semuanya karena aku sayang sama kamu.

Sudah, Jingga nggak kuat. Dia menangis dan tidak memedulikan Afnan yang hanya tersenyum tipis dalam diamnya.

“Gimana bisa kamu sayang sama aku tapi kamu nyakitin aku, Mas Biru?” Kalimat itu lepas begitu saja dengar suara rendah dari bibir Jingga. Kalimaf itu terdengar dikeluarkan dengan penuh tekanan dan rasa sesak di dalam dada.

Ga, kalau aku meninggal nanti, aku mau kamu selalu kirim do'a untuk aku, ya? Walau mungkin kamu udah nggak lagi sama aku atau parahnya kamu benci banget sama aku. Nggak apa-apa, Ga.

Kamu ingat apa yang selalu aku bilang? Lakukan apapun yang bikin kamu bahagia sekalipun benci sama aku. Tapi tolong jangan lupain aku, Ga. Sebentar, mau minta maaf dulu—

Untuk siapapun yang jadi pendamping hidup Jingga nanti, tolong jaga anak ini, ya? Saya sayang sekali sama dia. Tolong bilangin kalau sakit, harus dibawa ke rumah sakit. Jangan mentang-mentang Dokter tapi nggak mau diperiksa. Tolong bilangin sama Dokter yang sukanya makan bakso dan ice jeruk ini, jaga kesehatan dan jangan pernah nyakitin diri sendiri lagi.

“Ah .... Tapi kayanya nggak pernah ada yang bisa miliki Jingga selain saya. Iya nggak, Ga? Karena yang bisa bertahan untuk Jingga, mempertaruhkan segalanya untuk Jingga, ya cuma Biru.

Jingga melepas dengan segera earphone walau ia tau kalau masih ads rekaman yang belum ia dengarkan dari dalam sana. Hatinya terasa sesak dan pikirannya kacau. Yang bisa Jingga lakukan saat ini hanya menatap jalanan yang tiba-tiba saja diguyur hujan. Kendati begitu, Jakarta masih selalu dipenuhi oleh manusia-manusia yang sedang berusaha bertahan hidup.

You okay, sayang?

Perempuan itu menghapus air matanya, menatap Afnan yang sedang membagi konsentrasi pada jalanan dan pada dirinya. “Nan, sebenernya ada apa?”

“Apa?” Afnan mengerinyit kebingungan.

Hening menguasai sampai Afnan menepikan mobilnya di bahu jalan, lalu menatap Jingga dari posisinya dalam. “Mas Biru menikahi Amel karena mau melindungi kamu.”

Yang hanya bisa dilakukan oleh Jingga saat ini cuma menghela napasnya sambil memejamkan mata—merasa bersalah akan memperlakukan Biru tidak layak selama beberapa tahun belakangan. “Kenapa, Nan? Kenapa aku yang baru tau sekarang?”

“Karena Mas Biru mau kamu sama Rakha tetap hidup, Jingga.” Afnan mengeratkan gengamannya pada kemudi sampai buku jarinya memutih. “Kenapa? Kamu menyesal pisah sama Mas Biru pas kamu tau alasannya?”

Perempuan itu langsung mengalihkan atensinya kepada Afnan yang menatapnya tajam. Yang sumpah demi apapun baru kali ini Afnan melayangkan tatapan itu untuknya. “Nan .... enggak gitu. Aku tulus sayang sama kamu, tapi aku ngerasa kamu bohongin aku. Kamu tau? Semuanya dimulai dari kebohongan, Afnan.”

“Semuanya dimulai dari dendam dan diikuti kebohongan, Jingga.”

Rakha mau ketemu Ayah Biru, Bunda.

Jingga meregangkan seluruh ototnya, menarik napas lalu membuang masker bersimbah darah yang baru saja ia buka—kemudian memasukkannya ke dalam tong khusus. Bibirnya tersenyum tipis ketika mendapati pasien yang baru saja ditanganinya didorong di atas brangkar menuju kamar rawat. Hari ini, ia berhasil lagi.

“Bunda!”

Suara itu mengintrupsi si perempuan berbaju biru khas Dokter. Setelahnya langsung dihadiahi pelukan hangat dari Rakha yang sudah berlari dari lorong pintu masuk, dan disusul oleh Afnan yang sedang tersenyum manis.

“Rakha udah makan siang?” Jingga menyisir rambut putranya yang sudah mulai panjang dengan jemari.

Anak itu menggeleng, sedikit menjauhkan tubuh dari Jingga sambil mengerucutkan bibirnya. “Tadi Rakha hubungi Ayah Biru, tapi nggak dibalas. Ditelepon juga nggak diangkat. Padahal, Rakha mau nginep di rumah Oma.”

Netra Jingga beralih kepada Afnan yang masih setia berdiri dua meter di belakang putranya itu. Hari ini Afnan tampak santai dengan kaus hitamnya dengan rambut yang sengaja tidak disisir terlalu rapi. Kepalanya mengangguk seolah memberi izin pada Jingga untuk menanggapi aduan si kecil.

“Mungkin Ayah Biru lagi sibuk?” Katanya sambil meletakkan jari telunjuk di atas dagu. “Atau .... Ayah Biru punya anak lagi selain Rakha?”

Tidak disangka, anak itu malah mundur beberapa langkah. “Rakha ... nggak mau punya adik, Bunda.”

“Loh? Kenapa?”

Dia menunduk, netranya menangkap kedua ujung sepatu. “Nanti Ayah Biru nggak sayang lagi sama Rakha—kaya waktu Keana datang ke rumah. Ayah Afnan .... bikin Rakha takut.”

Di belakangnya Afnan terkekeh, maju satu langkah untuk merengkuh daksa menggemaskan milik Rakha. Dikecupnya pipi kiri anak itu singkat. “Maafin Ayah, ya?”

“DOKTER JINGGA! ADA DUA PASIEN KECELAKAAN LAGI!” Dari arah selatan datang Naren yang sudah siap untuk belari ke arah Ambulan.

Sedangkan Jingga masih diam di tempatnya, menatap Rakha dan Afnan bergantian. Tatapan sendu dan penuh rasa bersalah itu jatuh pada Afnan yang sekarang justru menganggukkan kepala—seolah mengizinkan Jingga untuk melakukan tugasnya.

“Rakha ... makan sama Ayah dulu, ya? Bunda ada kerjaan.”

Anak itu mengangguk. Ia mengerti dan akan selalu mengerti tentang pekerjaan Bundanya yang harus tepat waktu untuk memberikan pertolongan. Hal itu membuat Jingga langsung berlari menyusul Naren ke luar untuk melihat keadaan pasiennya.

“Bukan korban kecelakaan, Dok. Tapi korban kena todong di jalan Sudirman, ada bekas tembakan di bagian kiri tangannya.” Jelas perawat yang memberitau segala informasi kepada Jingga agar Dokter itu bisa melakukan penindakan secepatnya.

Jingga mengangguk mengerti setelah memerintah sang supir untuk membuka pintu ambulan. Jantungnya berdetak cepat kala melihat wajah seseorang yang matanya tertutup di dalam sana. Tubuhnya bersimbah darah—terutama bagian perut.

“Mas Biru ....”

Perempuan itu dengan cepat meminta beberapa orang untuk menyipkan satu UGD untuknya, ia memasangkan kantung oksigen manual. Beberapa orang—termasuk Afnan yang entah sejak kapan sudsh berada di pintu utama rumah sakit menyaksikan sorot kekhawatiran dalam mata Jingga.

“Mas Biru, bisa dengar Jingga?” Perempuan itu menepuk pelan pipi kanan milik Biru saat mata sayup itu diusahakan terbua oleh pemiliknya. Kedua tangan Jingga tidak lepas untuk menekan kantung oksigen manual seiring dengan emergency stretcher yang didorong semakin cepat dengan beberapa perawat—dibantu Afnan juga Rakha.

“Naren, saya butuh defibrillator.

Dengan cepat Naren menyiapkan semuanya, lalu diserahkan kepada Jingga yang sedari tadi tidak mau melepaskan tatapannya dari wajah Biru yang kian lama kian memucat karena hampir saja kehabisan darah.

“Tegangan 200, siap?”

“Siap!”

Satu, dua, tiga.

Netranya jatuh pada layar monitor yang menunjukkan garis yang hampir saja lurus dengan sempurna. “Coba lagi, tegangan 400, siap?”

“Siap!”

Satu,

dua,

tiga.

“Jantungnya berhenti berdetak, Dok!”

“Gagal jantung!”

“Napasnya nggak beraturan!”

Suara dari beberapa perawat memenuhi indera pendengaran perempuan itu.

Jingga melepas defibrillator dari tangannya, lalu secara manual menekan dada bagian kanan milik Biru dengan kedua tangan. “Satu, dua, tiga.”

“Satu, dua, tiga.”

“Satu, dua, tiga.”

Jingga, ingat Ibu. Menjadi Dokter itu hanya membantu menyelamatkan, bukan memberi nyawa pasien untuk kembali.” Air matanya jatuh tepat saat Jingga mengingat kalimat-kalimat yang diutarakan oleh Ibu ketika Jingga untuk pertama kalinya gagal dalam menyelamatkan nyawa pasiennya.