Prolog.
Weven ; prolog.
Angin berembus kencang sampai menyapu bagian tulang di seluruh tubuh. Langit berubah warna menjadi lebih gelap, benar-benar berbeda dari siang tadi. Akhir-akhir ini Jakarta sulit sekali di tebak, siang panas kemudian sore hujan deras seakan tidak mau dihentikan.
“Renan gimana, Ja?”
Janureza menoleh saat mendengar kalimat tanya bersamaan dengan seorang pria berkaus putih yang datang menghampiri. Pria itu mengusap lengannya dengan jemari, seolah meredam hawa dingin yang melanda. “Belum bangun juga.”
Pria berkaus putih itu menoleh, mengikuti arah pandang Janureza yang sekarang tertuju ke dalam ruang persegi yang dibatasi dengan kaca gelap. Dia mengamati daksa sahabatnya yang terbarik lemah di sana, bersamaan dengan bunyi teratur yang berasal dari komputer di sebelahnya. “Tante Wendy udah tau?”
“Udah,” balasnya. “Lo percaya sama bidadari, malaikat atau semacamnya nggak sih, Jav?”
Javiero terkekeh, merasa lucu atas kalimat tanya Janureza. “Lo kalo ngelawak garing, tapi kali ini gue akui lo lucu, Ja.”
Janureza membenahi hoodie hitamnya, memutar balik tubuh guna menatap Javier sepenuhnya. “Kata Dokter, Renan sempet ngigau.”
“Ngigau dalam masa koma emang bisa?” Yes, Javiero tertarik dalam topik pembicaraan Janureza kali ini. Netranya menatap Janureza dan Renandika bergantian, “Terus maksud lo—”
“He'em, Dokternya bilang gitu ke gue.” Janureza tau kalau Javiero masih mengolah ke arah mana topik pembicaraan kali ini. Dia tertawa, kuasanya terangkat untuk mengusap wajah Javiero sepenuhnya. “Dipikirin banget?”
“Lo udah kasih tau Om Chandi sama Tante Wendy beneran?”
Lagi-lagi Janureza tertawa, aneh. Ia tidak pernah mengira kalau Javiero akan menjadi orang seserius hari ini. “Belum kalo tentang ini. Lagian ngapain lo pikirin, sih? Ngigau itu artinya Renan masih di dunia ini, Jav. Ngigau itu artinya mimpi, dan mimpi artinya bunga tidur.”
“Bunga tidur itu kalau kita tidur malam, Eja. Tapi ini Renan lagi koma loh? Lo tau apa itu koma, kan? Di antara titik dan kalimat, atau ... di antara hidup dan mati.”
“Terus?”
Javero menyerah, berbicara dengan Janureza hanya buang-buang waktu. Namun sepersekon berikutnya, netra kecokelatan itu membola kala melihat daksa Renandika menggelepar bagai ikan yang kekurangan air.
“Panggil Dokter, bego!”