Perihal ketoprak dan perintah.
Matanya tidak mau lepas dari pintu putih di hadapan, dia bingung. Semuanya yang dimulai pada hari ini terasa aneh namun sangat nyata. Helaan napas terdengar keluar berulang-ulang dari bibirnya. Padahal di luar dingin, tapi Renandika tidak juga mau masuk ke dalam Apartmentnya sendiri. Kepalanya seolah berputar mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Klik
Pintu Apartment terbuka, lalu disusul dengan gadis manis dengan kemeja putih milik Renandika yang terlihat cukup besar di tubuhnya. Kurvanya terangkat sampai mata membentuk sabit.
“Renandika, nggak mau masuk?” tanyanya yang membuat pria yang sedang bersandar di lorong itu tersadar seketika.
Wajah Renandika memerah seketika saat ketahuan memerhatikan gadis itu dari atas ke bawah, dari bawah ke atas berulang kali. “Itu ... kemeja gue?”
Si gadis memerhatikan tubuhnya sendiri, lalu mengangguk polos. “Iya, di rumah aku nggak punya yang kaya gini. Tadi pas lihat ini di balkon, aku pakai. Nggak apa-apa, kan?”
Harusnya Renandika marah begitu tau kalau barang-barangnya dipakai tanpa izin seperti apa yang sering ia lakukan kepada Hayden. Renandika itu paling anti dengan orang yang tidak sopan.
“Nggak apa-apa. Ayo, masuk.” jawabnya kemudian masuk ke dalam unit Apartmentnya dengan melewati si gadis.
Sedangkan di tempatnya Shaqueena tersenyum tipis saat menyadari betapa hangatnya ketika ia hadir di samping Renandika. Kuasanya terangkat untuk menutup pintu, kemudian tuas membawanya untuk berjalan mengikuti Renandika dan duduk di kitchen bar.
“Ini namanya Bakso Malang?” Netranya tidak lepas dari setiap pergerakan Renandika yang sedang membuka bungkus ketoprak.
Pria itu menggeleng singkat, lalu menyodorkan ketoprak yang sudah dipindahkan ke dalam piring untuk Shaqueena. “Bukan. Ini namanya ketoprak, enak juga kaya Bakso Malang.”
“Katanya kamu mau beli Bakso Malang?” Shaqueena menghela napas, kemudian telunjuknya terangkat untuk menyolek bumbu kacang dalam ketoprak.
“Iya, tadinya mau beli Bakso Malang tapi habis.”
Netra berbinar itu menatap Renandika yang seketika membuat sang pria membeku.
“Apa?”
“Kapan-kapan ajak aku makan Bakso Malang, ya?” pintanya dengan mata yang berkali-kali berkedip lucu seolah membuat Renandika tidak mampu untuk menolaknya.
Dia mengangguk singkat, lalu menyantap ketopraknya sendiri dengan jutaan pertanyaan di kepala. Mata kecokelatan-nya beberapa kali melirik ke arah Shaqueena yang malah menatap ketopraknya sendiri.
Entah kenapa, tiba-tiba kuasa Renandika terangkat untuk mengambil sendok milik Shaqueena lalu menyendokkan satu lontong dan menyodorkannya ke arah gadis manis itu.
“Makan.”
Bibirnya mengerucut lucu, “kalau aku makan, kamu bakal nanya seputar hidupku, nggak?”
Seketika Renandika menghentikan pergerakannya sendiri, kemudian tersenyum manis. “Enggak.”
Kurva si manis terangkat penuh, tangannya kembali tergerak untuk menyuap makanan-nya sendiri. “Makasih, Ren—”
“Tapi besok lo keluar dari Apartment gue.” jawabnya tanpa ekspresi yang membuat Shaqueena menghentikan pergerakan.
Si manis kembali meletakkan sendoknya di atas piring, lalu berdiri untuk meninggalkan Renandika sendirian di Kitchen bar.
“Mau ke mana? Makanan lo belum habis.”
Tidak menjawab, Shaqueena langsung berjalan ke arah sofa lalu tiduran di sana. Otaknya berputar tentang bagaimana caranya ia menaklukan hati Renandika dalam waktu enam bulan sedangkan pria itu memiliki pacar.
“Renandika bikin pusing, tapi juga minta disayang.”